15 | Talk and Idea
"Aku... bisa melihatnya," ungkap Kurosaki mengerjap bingung.
"Katakan, apa yang kau lihat," ucap Mikaze, tapi langsung melepas genggaman dari Kurosaki.
Gadis mungil itu menatap Kurosaki.
Belum sempat pemuda itu menatap sosoknya baik-baik, wujud halus itu telah larut, bercampur dengan lingkungan sekitar. "Loh... kok jadi hilang?"
Aku beralih mengikuti arah pandangnya. Gadis itu sebenarnya masih ada. Apa dia baru saja berhalusinasi? Kalau dia berbohong dan mengada-ada, awas saja dia.
Mikaze mengeluarkan lembaran kertas merah yang dicoret-coret dengan kuas hitam. "Mumpung kertas mantraku masih tersisa banyak, aku langsung pulangkan dia saja."
"Tunggu!" sergahku. "Katakan alasanmu. Kumohon."
Persetan Kurosaki yang masih tidak paham dengan situasi terkini, mungkin di matanya aku dan Mikaze sedang berbicara sendiri.
"Aku menyukainya, Kak," terang gadis itu tersenyum getir. "Aku hanya ingin bersamanya."
Tatapan gadis itu... menunjukkan sirat kesepian.
"Dengan membunuhnya, keinginanku bisa tercapai, kan?"
Aku menggeleng cepat. "Apa kau ingin dia bahagia?"
Sirat netra sepasang milik gadis itu mengeruh. Diliputi buliran bening yang menggenangi penjuru indra penglihatan. Ia berjongkok, mengacak rambut panjangnya.
"Tidakkah ia bisa bahagia bila bersamaku?"
Aku tersenyum getir. "Tidak, Dik. Bagaimana kau bisa mengenalnya?"
Gadis itu memegang bajunya erat-erat. Meskipun niat membunuhnya terlihat besar dan mampu menimbulkan bulu kuduk siapapun berdiri karena eksistensinya, tetap saja ia punya hati. Karena cinta, siapapun bisa dibutakan oleh penggapaian berupa harapan.
"Aku gadis sakit-sakitan. Dan, dia sudah pasti melupakanku."
Belum sempat aku dan Mikaze merespons, gadis itu telah hilang lebih dulu. Mendengar ucapan yang terasa menyayat hati, aku jadi merasa tegang. Apa sekarang ia melakukan teleportasi untuk menggencarkan niatnya?
Segala tindakan makhluk halus sepertinya tidak bisa kutebak.
"Aku akan ke kamar Ichinose-san," ucapku bergegas ke dalam mansion.
Mikaze menahan pergelangan tanganku. Tatapan sepasang manik biru itu tenang, tanpa merasa terancam dan sepertinya tiada kepanikan yang bisa melanda batinnya.
"Dia tidak akan membunuh... untuk saat ini."
• • •
Pernyataan Mikaze tidak salah. Selain menjadi cenayang, kurasa dia bisa menjadi paranormal kalau dia mau.
Aku mendapati Cecil berdiri di depan balkon kamar Ichinose.
"Cecil," panggilku dari lantai dasar mansion.
Cecil menatapku berseri lalu menyahut, "[Name], apa kau merindukanku? Aku juga."
Aku melengos, tidak menyadari sikapnya masih bisa narsistik meskipun dilanda ancaman nyawa melayang kapan saja. Namun, dia tidak percaya soal ini. Baik di antara aku dan Mikaze tidak mengabari insiden siang itu.
"Aku ingin bicara denganmu," ucapku menarik napas perlahan, "akan kususul kau ke sana."
Aku menaiki anak tangga. Soal permainan anak tangga juga sudah kutunda. Siasat itu tidak lagi berguna. Namun kalau bukan karena ada makhkuk halus, aku akan mengajak mereka bermain lagi.
Kamar Ichinose hanya terdapat Cecil. Sang pemilik pergi entah ke mana. Usai kejadian itu, semakin larut mansion menjadi begitu sepi. Mereka punya aktivitas-aktivitas yang harus diselesaikan. Dan itu soal privasi yang kuhargai betul.
Di sisi balkon sana, Cecil telah duduk di sofa mini sambil menyilang kaki. Ia memandang butiran kejora yang luas terlukis di angkasa indigo.
"Apa kau telah mempertimbangkan lamaranku?"
Aku menggeleng. "Sudah kubilang, aku takkan menerimanya. Tadi... hantu gadis yang mengincarmu datang, tapi bukan dengan maksud baik."
Cecil menautkan alis. Ia tampak penasaran.
"Setahuku Mikaze-san, si tangan tangan Ayah adalah cenayang lihai. Apakah kalian telah memulangkannya?"
Aku menggeleng lagi. Mereka harus bertemu, sekalipun berbeda dimensi. Antara dunia fana dan alam baka. Dan, cara itu harus dimulai dari sini.
"Cecil, temui gadis itu, ya?" ajakku memantapkan batin.
Semuanya harus terselesaikan dengan jalan yang baik. Harus begitu.
"Kenapa aku harus bertemu dengannya?" Alih-alih menyahut, dia malah bertanya balik.
Dia tidak terlihat peduli sejak awal. Karena dia tidak bisa melihatnya, semua usahaku seolah bagaikan lelucon untuk menghabiskan waktu. Kekesalan pun memuncak, ingin kulontarkan, tetapi dengan perlahan segera tertelan dengan motivasi 'demi misi'.
"Karena... dia mencintaimu. Dia sakit-sakitan, apa kau mengingatnya?"
Cecil tergeming sejenak. Ia pasti mendengar ucapanku. Alasan seperti ini memang klise. Nyatanya, tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa cinta.
"Kurasa tidak."
Mendengar jawaban itu terasa pahit, meskipun bukan teruntuk diriku. Rasanya sangat dingin, seolah membekukan dan menusuk-nusuk tulang.
Aku berkata lagi, "Aku akan memberitahumu waktu kalian bisa saling berinteraksi."
Tanpa menunggu tanggapan Cecil, aku keluar dari kamar Ichinose. Langkah demi langkah kecil kujejaki menuju ke kamar asal. Tidak mudah untuk memercayai sesuatu yang mistis. Namun, tiada hal tidak mungkin terjadi selama ada tekad di dalam batin yang membara.
Tiba-tiba saja di benakku terlintas akan sebuah keinginan; yakni mendatangi kantor Saotome.
• • •
Tentu saja aku tidak terang-terangan menyatakan akan langsung ke sana kepada seluruh penghuni mansion. Tapi setidaknya teman pertamaku--- Hijirikawa Masato yang tahu. Dia yang paling bisa dipercayai mengenai denah seluk beluk Tokyo.
Sebenarnya aku bisa saja bertanya kepada Mikaze, tetapi aku yakin ia akan malas menanggapi. Ditambah melirik sinis diriku sembari berkata: "Jangan ikut campur urusan Tuan Besar. Kerjakan saja misimu di sini saja harusnya sudah bersyukur."
Kuakui, nyaliku ciut dengan sengaja memilih alternatif ternyaman.
"Kantor perusahaan Tuan Saotome sangat besar. Kalau tidak membaca GPS dengan benar bisa tersesat. Memangnya ada urusan apa ke sana?"
Hijirikawa tidak terlalu mengetahui kasus Cecil. Namun karena dia telah membantuku, aku merasa dia patut tahu. Meskipun bukan sekarang waktunya. Mungkin saja setelah urusan ini selesai.
Aku memasang senyum lebar. "Ada sesuatu yang penting, jadi aku harus ke sana."
Memang, aku hanyalah tamu yang menerima undangan Saotome untuk menciptakan rasa aman kepada seluruh penghuni mansion. Kalau ke sana, belum tentu ia bisa bertemu karena beragam rapat. Datang ke mansion juga sangat jarang.
"Begitukah? Apapun alasannya, semoga sukses." Hijirikawa menyeduh teh dari cerek.
Aku mengangguk mantap. Tidak ada salahnya mencoba. Usai pamit dari Hijirikawa, aku memutuskan ke ruang tamu untuk melihat siaran yang bisa kutonton. Namun, Mikaze terlihat bersandar dari sekat dinding antara ruang tamu dan dapur mansion.
Dadaku mencelus. Ya Tuhan, dia tidak ada bedanya dengan hantu-hantu di film yang senang mengagetkan orang, ya?
"Kau mau menemui Saotome-san?" tanya Mikaze.
Dia menguping.
Kenapa aku tidak sadar dia ada di sana?
Aku meneguk ludah. "Y-Ya, begitulah."
Mikaze mengusap dagu. "Katakan saja apa yang kauperlukan darinya, nanti akan kusampaikan."
Dengan cepat aku menggeleng. Sekalipun aku telah mengetahui posisinya sebagai tangan kanan Saotome, dia pasti akan menolak ideku. Salah satunya adalah menanyakan keberadaan gadis itu. Kalau Cecil tidak kenal, mungkin saja Saotome tahu. Kalau dia tidak sinis, perfeksionis, dan selalu sok tenang, aku akan meminta bantuannya sejak awal. Lama-lama, aku merasa menyalahkan semua pihak. Dan itu bukanlah sikap yang baik.
Yang jelas, lama-lama dia akan tahu sendiri.
"Tidak usah, aku akan menemuinya sendiri."
Mikaze menaikkan satu alisnya. "Tidak sembarang orang bisa menemuinya."
Aku berdecak. "Kaukira aku salah satu 'sembarang orang' itu?"
Mikaze menimbang-nimbang, sepertinya tahu kalau posisiku ada artinya. Meskipun tidak sebanding dengan derajatnya di kantor Saotome.
"Kau boleh ke sana, tapi aku yang akan memilihkan seseorang dari mansion ke sana."
Aku mengangguk. Silakan saja. Aku tidak keberatan, sekalipun Camus atau Cecil. Kalau Camus, ia bisa menuntunku kantor dengan terorganisir. Kalau Cecil, ia adalah anak Saotome. Dengan opsi kedua, justru ideku bisa terselesaikan lebih mudah.
"Besok kan? Akan kukabari kepada Saotome. Pergilah dengan Kurosaki-san."
Tapi tidak dengan pemuda berambut jabrik abu itu?!
Dari sekian hipotesis yang berkelebat singkat, opsi Mikaze benar-benar pengecualian.
"Inspektur Mikaze, apa kau demam?" tanyaku menautkan alis.
Mikaze mengusap dagu. "Kau kan yang paling akrab dengannya. Lagi pula kau ini berasal dari desa, masih awam dengan jalanan kota."
Entah kenapa, aku merasakan dèjavú beberapa episode lalu.
"Apa nggak bisa dengan yang lain?" elakku, menunjukkan tidak mau bersama pemuda yang mengaku bisa melihat makhluk halus beberapa waktu itu.
"Ikut bersamanya atau pertemuan itu akan ku-cancel?"
Cih. Apa boleh buat.
Aku akan menyelesaikannya. Sesegera mungkin. Di sana, pasti ada jejak yang bisa kutemui tentang hantu gadis mungil itu.
• To be Continued •
A/N:
Baru sadar... buku ini rupanya nggak ke-update sebulan. Maafkan saya :'))))
Untuk rilisan ke depannya akan berjalan secara bertahap. Tapi akan diusahakan agar tidak akan discontinued, kok.
Sekian,
Agachii
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top