12 | Desire and Motive

"Menikahlah denganku."

Aku mengerjap panik. "Maaf, aku...."

Dia siapa?!

"Ada apa, [Name]-san?" tanya Ichinose yang ada di belakangku lalu beralih menatap pemuda berambut cokelat pekat itu. "Tunggu... Kau jangan-jangan...."

Tangan pemuda itu terulur kepadaku.

"Aijima Cecil, anak tunggal dari Shining Saotome. Aku tertarik kepadamu sejak pandangan pertama," ujar Cecil mengedipkan manik kanannya sekali kepadaku, "oleh karena itu, terima lamaranku, ya?"

Aku menganga. "A-anaknya... pemilik mansion ini?! Tapi a-aku...."

Shining tak pernah menceritakan soal Cecil kepadaku--- wajar saja sepertinya karena personal--- tapi tak kusangka anaknya akan datang ke sini.

Sekarang, aku jadi penasaran akan pekerjaan Shining. Mendengar ucapan Cecil, Ichinose menarikku ke belakang, membiarkan dirinya di depan.

"Aku tidak ingat sekalipun jika kau berkeinginan ke sini." Tokiya mengernyitkan dahi.

Cecil berbalik badan lalu menjentikkan tangan. Beberapa detik kemudian, seorang petugas berpakaian rapi hendak membawakannya sekoper biru cerah. Petugas itu membubarkan diri, menghilang di balik limusin hitam yang melaju.

"Sekarang, aku berkeinginan tinggal di sini." Cecil menatap Ichinose kembali. "Jadi, bisa minggir? Aku mau lewat."

"Siapa?" tanya Kurosaki menyadari keributan di luar mansion, mencolek bahuku.

Aku terkejut sekilas, tetapi menarik napas singkat. Ingin saja aku bilang anak-Shining-yang-baru-saja-melamarku. Namun, jika mengatakan hal itu, aku pasti akan ditertawakan.

"Dia Aijima Cecil. Anaknya Shining," jawabku singkat.

Cecil memandangi seisi mansion dengan takjub. Ia memandangku.

"Jadi kamarku ada di mana, ya?" gumam Cecil.

Ichinose menautkan alis sambil memegang bahu Cecil. "Sebelumnya, apa kau sudah izin kepada ayahmu soal ke sini?"

Cecil berkata dengan santai, "Ah, ngapain harus izin-izinan? Aku bisa tinggal di mana saja. Aku bukan bocah lima tahun."

Kudapatkan sebuah kesimpulan. Ada seseorang yang lebih nekad dan nakal ketimbang diriku, sekadar memberitahu. Sebelumnya, ada seseorang yang mengataiku mampu berbuat nekad dengan posibilitas 50:50. Entah kenapa, menemui seseorang yang seperti itu justru membuatku senang. Kebetulan pula, subjek yang kumaksudkan--- Mikaze menuruni anak tangga.

"Siapa dia?" tunjuk Mikaze.

"Anaknya Shining-san, Aijima Cecil," sahutku.

Ai memandangi koper di sisi kanan Cecil. "Kuberitahu sebuah hal, tak ada kamar satupun yang bisa kauhuni. Lima kamar sudah terisi semua."

Seingatku ada tujuh kamar. Mungkin Mikaze hanya menggertaknya.

Cecil mengerucutkan bibir. "Aku ini tamu terhormat di sini! Cih, kukira ayah menyediakan dua ratus kamar kosong di sini."

Bisa-bisanya, dia menyamakan mansion sama dengan hotel bintang lima.

"Lalu...," Cecil menghampiriku, "kalaupun nggak ada kamar kosong lagi, aku 'kan bisa sekamar denganmu."

Aku membatu sejenak. Tak hanya nekad dan nakal, dia juga mengajakku sekamar dengannya. Kulirik ke arah Ichinose yang sudah memandangnya dengan tatapan sinis.

"Kau akan sekamar denganku, dasar binal. Nggak dengan [Name]." Ichinose menarik Cecil.

Cecil menggeleng. "Nggak mau! Ngapain sama laki-laki!"

Mikaze menyilangkan tangan. "Terserahmu, saja. Mau mati kedinginan tidur di sini tanpa penghangat atau sekamar dengan seseorang yang sudah berbaik hati?"

Cecil mendesah lalu memandangku dengan puppy eyes--- memohon dengan serius--- tapi tetap saja kuacuhkan. Dengan berat hati, ia menarik kopernya menuju anak tangga.

"Kamarmu mana, Ichinose?"

"Ikuti saja ke mana aku melangkah."

Cecil mengangguk, mengikuti Ichinose yang ada di depannya. Namun, ia menoleh kepadaku sepintas.

"Tunggu saja. Aku akan membuatmu jatuh hati, [Name]," ucap Cecil mengedipkan sebelah maniknya kepadaku.

Tubuhku langsung bergidik. Apa-apaan dia, host--- pembicara manis berujung kepedihan?

Jujur, aku takkan mau terperdaya dengan ucapan manis laki-laki. Aku ingat, ayah pernah bilang jika semua laki-laki itu serigala. Tak bisa dipercaya dengan mudah. Hanya saja, kenapa aku merasakan ada yang aneh dari Cecil?

Sejenak, bulu romaku berdiri. Sekali lagi, aku memandang pemuda itu lekat-lekat. Tanpa sadar menangkap sosok lain membelakanginya dengan langkah kecil.

Apa yang kulihat hanya halusinasi saja?

• • •

"Gadis... kecil?" Hijirikawa mengernyitkan dahi.

Aku mengangguk sembari menggaruk tengkuk. "Tadi aku yakin bahwa ada yang mengikuti Cecil. Haruskah aku memberitahunya, ya?"

Sebelumnya, aku tidak pernah melihat wujud seperti itu. Ini kali ketiga pertemuanku dengan makhluk halus. Apa motifnya dengan mengekori Cecil?

"Beritahu saja jika itu memang kenyataannya," sambung pemuda berambut gondrong--- Camus telah berada di seberang sofa yang kami duduki.

Aku tidak ingat pasti jika Camus tahu diriku sebagai cenayang, tetapi sepertinya dia tak keberatan soal itu.

Belum lagi, Mikaze juga tak begitu peduli tentangnya. Mungkin bukan, tapi cepat atau lambat ia akan tetap berucap sarkas bila aku sedikit saja bertingkah lengah.

"[Nameee]~" panggil subjek sasaran yang kupikirkan telah mendekap dari belakang--- Cecil melingkari lengan di sekitar tengkukku.

Aku menoleh bingung. "Cecil?!"

Manik hijau Cecil melebar ketika kupanggil dengan tegas. "Marah ya?"

Aku menggeleng lalu bertanya, "Cecil... apa kau sebenarnya punya anak?"

Yaaah... siapa tahu saja sebenarnya dia duda beranak satu? Meskipun dia tampan, tapi penampilan sungguh dapat menipu. Lalu gadis itu tak bisa berpulang dengan tenang?

Terdengar bunyi piring terbentur ke lantai, memecah keheningan di antara kami. Syukur bahan piringnya bukan terbuat dari porselen. Pelakunya? Si makhluk jabrik abu-abu.

"Ah... Aku tak mendengar pembicaraan kalian. Silakan lanjutkan. Anggap saja aku tak ke sini," Kurosaki memungut kembali piring tersebut, persis bertingkah seperti kucing nyasar tanpa peraduan.

Jelas-jelas dia mendengarnya!

"Kalau mau dengar ya dengar saja, tak perlu jaga image padahal dulunya mantan preman," semprot Camus.

Namun karena aku merasa arah pembicaraan kami semakin aneh dan tak bisa dilanjutkan di sini, akhirnya kuputuskan untuk mengajak Cecil berbincang di taman depan mansion.

"Berjuanglah, [Name]," ujar Camus melempar tatapan yang tak bisa kutebak karena tetap berekspresi datar. Mungkin ia sungguh mendukung perjuanganku.

Hijirikawa hanya tersenyum tipis. Mungkin ia tak tahu ingin berkata apa.

Namun ketika kami berada di taman, Cecil terdiam sejak Kurosaki tak sengaja mengalihkannya. Lambat laun, ia tertawa terbahak-bahak sembari memeluk perut. Belum lagi ia sampai menitikkan air mata. Usai tertawa, jemari berkulit gelapnya membelai helaian rambutku.

"Soal anak... Aku tidak pernah mengawini siapapun, apalagi menikah, [Name]. Jadi, itu alasannya kau ragu untuk menerima lamaranku?"

Aku menyeringai kaku. "Maaf, tapi aku memang nggak tertarik menikahi siapapun untuk saat ini."

Menikah merupakan destinasi perjalanan hidup yang terlampau sangat, bahkan terlalu jauh hingga terlihat buram di mataku.

Cecil mengernyitkan dahi. "Begitukah? Aku bisa memberikanmu harta berlimpah, kecantikan, dan apapun yang kau inginkan. Masa kau nggak tertarik, sih?"

Aku tetap menggeleng, tetapi tersenyum tipis. "Kau pasti nggak mencintaiku. Lagipula segala pemberian itu pastinya dari harta Ayahmu, kan?"

Mendengar ucapanku barusan, Cecil langsung terdiam. Mungkin tadi ucapanku terlalu kejam. Terkesan menohok, tapi memang itulah realita. Tanpa saling mengenal, belum tentu kami dapat langsung saling menyukai. Cecil berjongkok lalu membenamkan wajahnya di kedua lutut.

"Wah. Ternyata Ayah benar. Kau bukan gadis biasa."

Ejekan atau pujian, aku pun tak mau tahu lagi.

"Oke, mungkin kau nggak tertarik dengan sesuatu yang bersifat duniawi," ungkap Cecil menautkan alis.

Kukira ia akan langsung menyerah setelah menerima penolakan dengan tegas.

"Bagaimana jika kau hidup seperti biasa? Maksudku, tanpa indera keenammu sebagai cenayang?"

Aku tergeming. "Eh, maaf?"

Cecil menyeringai lebar. "Pasti sangat menyengsarakan, bukan? Melihat wujud yang tidak seharusnya berada di sini lagi? Aku bisa membantumu membebaskan hal itu."

Indera yang bisa dihilangkan?

Seumur hidup, melihat dan beurusan dengan makhluk halus tak selalu membawa hal baik. Kebanyakan buruk. Tak banyak orang yang mau menerimaku sebagai teman. Menganggapku sebagai makhluk abnormal. Tak sama dengan mereka. Tak sepantasnya ada.

Oleh karena itu, aku merasa lebih nyaman di sini meskipun semua penghuninya laki-laki. Setidaknya, mereka tak mendiskriminasi dan saling paham situasi masing-masing.

Tangan Cecil menyentuh bahuku. "Semua akan beres jika bersamaku, bagaima---"

Mikaze mengetuk puncak kepala Cecil. "Nggak akan kubiarkan. Kau mau apakan muridku?"

Aku mendongak ke arah inspekturku. "Mikaze-san...."

Soal keberadaannya yang muncul di sini dikarenakan sebagai tempat favoritnya, sih. Ingat, saat aku disuruh keliling lapangan di hari pertama?

"Asal kau tahu, dia milikku." Mikaze menengahi kami. "Dan kau, meskipun anak Shining sekalipun nggak bisa bertingkah seenaknya."

"Tunggu!" sergahku tak mau arah pembicaraan kami semakin melenceng. "Sebenarnya... ada yang lebih penting...."

Tanganku terarah ke sisi kanan Cecil. Manik biru Mikaze hendak mengekori ke arah yang sama. Gadis mungil itu terdiam sembari berdiri di seberang lorong mansion, tak jauh dari posisi Cecil berdiri. Tanpa sepasang kaki.


"Sebenarnya selain topik tadi, ada sesosok hantu gadis kecil di belakangmu, Cecil."

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top