1 | Uncertain Life and The Mansion
"Tunggu di depan stasiun? Baiklah, baiklah," ucapku pasrah sambil mendorong koper lalu bersandar di dinding.
Suasana stasiun kereta api telah dipenuhi kerumunan orang yang datang dan pergi. Kehidupan perkotaan begitu terasa asing untukku, apalagi kuil yang kutempati nyaris berada di pedalaman. Jangankan menggunakan kereta api, melihat kendaraan roda empat yang lewat di desaku bisa dihitung dengan jari dalam sehari.
Ini hari baruku.
Ya, ibu telah berpesan bahwa ada seseorang yang akan menjemputku dan bersedia memberikan akomodasi utama; sebuah penginapan. Aku tahu hal ini akan terjadi--- bahkan aku tidak ingin membayangkan kejadian ini.
Yaitu kehidupanku sebagai cenayang.
Bukannya aku tidak suka jalan-jalan atau menikmati suasana baru, tetapi semua ini terlalu tiba-tiba. Tidak. Aku tidak boleh merasakan ketakutan seperti ini. Kutarik napas mendalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Aku hanya perlu berusaha, lalu melakukan aktivitas cenayang sebaik mungkin.
"Miss [Name]?"
Ternyata setelah tiga puluh menit lamanya, ada seseorang yang memanggilku.
Eh. Tunggu. Siapa yang memanggilku?
Aku menoleh, mendapati seorang pria paruh baya bertampang aneh--- setelan jas cokelat pekat diikat dasi merah polkadot, bingkai manik abu-abu berlensa hitam, dan seringai kilat menyambutku. Dia mengulurkan tangan kepadaku. Meski bingung, aku tetap menjabat ulurannya pula.
"Maaf, Anda siapa?" Aku menggaruk tengkuk.
Pria paruh baya itu memutar dirinya dengan semangat. Aku merasa kikuk, tidak bisa berucap sepatah kata pun--- apalagi menyadari orang sekitar melihatnya bertingkah eksentrik meskipun pria itu tidak peduli.
"Hohoho, maaf sebelumnya. Perkenalkan, nama saya Shining Saotome. Saya yang menyediakan akomodasi bagi Miss [Name], sang cenayang."
Jujur. Aku ragu jika itu nama aslinya. Namun selain dia, tidak ada lagi seseorang yang tampaknya mengenaliku.
"Omong-omong, Anda... tidak takut akan profesi saya? Saya bisa melihat hantu, loh." tanyaku yang sebenarnya lebih menginginkan kembali ke kuil dengan alasan "sang penampung mengusir karena ketakutan".
Namun, pria itu--- Saotome--- tertawa terbahak-bahak seolah ucapanku adalah lelucon sambil memutari tubuhnya. Aku mengerjap, tepatnya merasa bingung adakah yang lucu dari ucapanku barusan.
Saotome tersenyum lebar lalu berkata, "Tenang saja. Pintu rumahku terbuka bagi orang-orang spesial."
Aku menggaruk tengkuk. "Ah, begitukah?"
Dugaanku salah. Benar-benar salah untuk memancingnya karena pria itu justru dengan senang hati menyambutku. Ternyata dia punya pemikiran positif.
"Akan saya antar menuju hunian baru Anda. Apa hanya koper itu saja?" tanya Saotome mengambil kunci mobil di dalam saku celana.
Aku mengangguk cepat. "Ya. Terima kasih."
"Ohohoho~ semoga betah, ya."
Aku tidak meyakinkan bagian "betah" yang dia maksudkan, tetapi mau tidak mau aku harus beradaptasi.
Orang yang spesial, ya.
Apa yang bisa kupergunakan di sebuah perkotaan yang sedemikian pelik seperti ini?
• • •
Suasana perkotaan terlihat gemerlap karena sederetan tiang lampu yang dipasang di pinggir jalan. Saotome terlihat fokus dengan kemudinya, sedangkan aku hanya meratapi jalanan yang ramai oleh kendaraan roda empat. Kulirik arloji yang tersemat di pergelangan tanganku. Satu jam lebih perjalanan dari stasiun kereta api telah berlalu.
"Miss [Name], apa Anda benar-benar bisa mengembalikan hantu ke tempat asalnya?" tanya Saotome memecah keheningan.
Aku mengangguk. "Sebenarnya saya belum benar-benar profesional dalam melakukan aktivitas sebagai cenayang. Namun, saya bisa berinteraksi dengan mereka...."
Duh. Aku yakin setelah ini akan diragukan. Namun, tidak ada salahnya berbuat jujur ketimbang melebih-lebihkan sesuatu.
"Tidak masalah. Anda hanya perlu belajar. Sebenarnya, ada masalah yang harus Anda hadapi ketika sampai nanti."
Aku meneguk ludah. Belum apa-apa aku sudah disuruh membasmi hantu?
Refleks, sabuk pengaman yang kugenggam mengerat karena merasa gugup. "A-apa hantunya sangat mengganggu?"
Saotome menggeleng. "Entahlah, tapi kurasa ada penghuni di sana mulai merasakan keanehan dan saya tidak mau kehilangan mereka karena suasana tidak nyaman seperti itu."
Aku memiringkan kepala. "Tunggu. Jadi saya tidak tinggal sendirian saja di sana?"
Entah kenapa, suasana tegang yang kurasakan perlahan menguap.
"Tentu saja ada penghuni lain. Ditambah Anda berarti di sana ada enam orang. Tapi hanya ada laki-laki."
Aku membeku.
Semuanya laki-laki?
Hunian seperti apa itu? Apakah aku akan terdiskriminasi di sana?
"Ano... Kenapa tidak ada perempuan di sana?" tanyaku sambil membasahi bibir yang terasa kering.
Saotome mengusap dagu. "Kenapa ya? Entahlah, mereka kebanyakan memilih keluar dari sana dengan sendirinya. Saya harap Miss [Name] tidak seperti itu, ya. Apalagi saya mengistimewakan Anda tinggal di sini cuma-cuma selama tiga bulan."
"Ti-tiga bulan?" kejutku mengernyitkan dahi.
Kukira aku bisa di tinggal di mansion itu sesuka hati; tetapi segera sadar kalau kini kehidupan perkotaan tidak ada yang gratis.
"Kalau Miss [Name] tidak bisa memberantas kerisian yang saya maksudkan tadi dalam waktu tersebut, maaf Anda harus out. Jika sebaliknya, saya akan otomatis memperpanjang masa tinggal Anda di sini."
Aku mengerjap. Cobaan seperti apa ini?
Namun, aku tidak punya kuasa untuk pulang ke rumah dengan kemampuan pas-pasan seperti ini.
"Nah, kita sudah sampai!" Saotome menekan rem secara mendadak sehingga mau tidak mau, aku mengeratkan sabuk pengaman agar kepalaku tidak membentur dasbor.
Sebuah mansion megah tampak kokoh ditemani dua pepohonan yang tampak menghiasi sekitar pintu utama.
Aku bisa betah di sini? Entahlah. Katakanlah aku inkonsisten, tetapi siapa yang tidak terpukau akan bangunan semegah ini?
"Beristirahatlah. Ruangan Anda ada di lantai tiga, tersemat papan nomor tujuh di depan pintu." Saotome keluar dari mobil sambil menyerahkan koperku.
"Terima kasih. Mulai besok saya akan berjuang keras!" Aku mengepalkan tanganku dengan tatapan membara.
Saotome terkekeh. "Semangat yang bagus. Saya undur diri dulu. Sampai jumpa."
Aku menggunakan kunci pemberian Saotome. Pemandangan yang megah menyambutku--- sebuah ruang tamu bernuansa hangat--- membuatku semakin takjub ketika menjejakkan kaki ke sini.
Kududuki sofa kecokelatan yang terasa empuk. Setelah itu, aku memutuskan mencari letak kamar tidurku. Suasana nyaman seperti ini tidak menimbulkan kesan aneh. Kalau penghuni perempuan yang lain malah risi dan memilih pergi, mereka yang seharusnya merasa menyesal!
Menjejaki anak tangga yang melingkar, kuratapi suasana sepi di lantai dua. Seolah tak ada eksistensi yang melintas di sana. Mungkin penghuninya sedang pergi, tapi entahlah, bukan urusanku. Kembali melangkah lagi, kudapati lantai yang menjadi destinasi terakhirku mengelilingi seisi rumah secara sekilas.
Kamarku benar-benar terletak paling pojok--- bertemu dinding--- langsung bertemu dengan anak tangga. Aku merentangkan tanganku, melemaskan sendi-sendi yang terasa lelah. Kudorong koperku masuk ke dalam ruangan setelah kunci berhasil membuka pintu.
Tempat tidur king size!
Aku berseru lalu segera mengempaskan tubuhku ke tempat tidur. Kalau diingat-ingat, tinggal di kuil tidak seperti ini. Hanya beralaskan futon yang sealas dengan lantai. Seringkali nyamuk mampir untuk menghisap darahku.
"Hi... hi... hi...."
Di tengah aku sedang merentangkan tangan--- menikmati kenyamanan, terdengar tawa seorang wanita di samping. Berbatasan dengan dinding kamarku. Aku mengernyitkan dahi, mengingat ucapan Saotome saat perjalanan menuju ke sini.
"Tapi di sana hanya ada laki-laki."
Bulu kudukku meremang.
Apa aku tadi tanpa sadar tertawa? Namun, aku yakin suaraku tidak memantul maupun bergema saat berseru barusan.
Tawa itu lagi-lagi muncul. Semakin keras. Dengan intonasi tinggi mendominasi seisi ruanganku. Apa misiku benar-benar harus berlangsung sekarang juga?
Berjuanglah, [Name]. Yang pasti adalah ketidakpastian. Oleh karena itu, selesaikan misi ini sesegera mungkin dan hiduplah dengan nyaman!
Suara itu berasal dari ruang enam. Sudah pasti. Namun, kenapa pemilik ruangan sebelah tidak berespons apapun? Apa karena dia tidak sadar?
Namun, ada benarnya jika suara gaib barusan bisa diresapi oleh orang-orang tertentu sepertiku, misalnya. Tak lupa kukenakan kalung pemberian keluargaku seiring kakiku perlahan melangkah pelan saat keluar dari ruangan. Dadaku berdesir kencang karena tegang bercampur khawatir.
Biasanya aku selalu ditemani rekan cenayang. Memang ada kalanya aku perlu berjuang sendiri. Ini demi masa depanku. Tidak ada yang bisa menentukan hal itu selain diriku sendiri.
Aku menarik napas lagi.
Bersiaplah, diriku!
• To be Continued •
☆ Question 1 ☆
Kira-kira siapa pemuda yang pertama kali [Name] temui di episode berikutnya?
A. Hijirikawa Masato
B. Kurosaki Ranmaru
C. Ichinose Tokiya
D. Shining Saotome
Kok cuma empat? Ya segitu aja dulu, ntar belakangan opsinya bisa lebih banyak lagi (dor).
Silakan jawab dengan abjad melalui komentar sesuai pilihan kalian! Aku tunggu loh ;3
Apakah suara terbanyak mempengaruhi jalan cerita berikutnya? Tidak juga, kok lolol~ saya sudah rancang plotnya sejak awal :">
A/N:
Ini mah banyakan gambar interior sama narasi ketimbang mejengi foto husbando //(har har). Part ini khusus buat pengenalan gitu sih maksudnya :">
Tenang, saya bakal mejengin mereka belakangan, kok.
Konsepnya memang reverse harem, cuman belum kerasa diawal-awal. Baru nebar kode-kodenya doang/ lol ;;3
Anyway, thanks for reading!
See ya on the next part~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top