8 | Tawaran Pertemanan
“KATANYA Kak Hinan dapat beasiswa ke Mesir.”
“Enggak heranlah. Kak Hinan kan pinter, hafalannya udah tiga puluh juz. Udah hapal banyak hadis juga.”
“Kalau Kak Hinan ke Mesir, Ketua TKP bakal diganti dong.”
Mendengar percakapan di meja sebelah, Fahim kontan melirik Muhyi yang tengah khidmat menghafal mufrodat bahasa Arab. Terlihat tidak terganggu sama sekali dengan kericuhan yang ada di kantin sekolah siang ini.
“Muh!” Fahim menyenggol pelan lengan Muhyi.
“Hm?” Gumam Muhyi sebagai respons, tanpa berminat mengalihkan fokusnya.
“Emang beneran ya Kak Hinan mau ke Mesir?”
Muhyi mengangguk. “Bahasa Arab-nya anak nangis apa?” Bukan menanggapi serius pertanyaan Fahim, Muhyi malah melempar tanya. Pertanyaannya jauh dari topik pembicaraan.
“Waladun Yabkii?” tebak Fahim tak yakin. Ia belum benar-benar menguasai bahasa Arab seperti santri yang lain.
Muhyi menggeleng. “Jawabannya, yaflahuun,” lanjutnya. Tawanya mengudara. Sementara Fahim kontan mendengkus. Dikira Muhyi benar-benar menanyakan pertanyaan Bahasa Arab, tahunya cuma tebak-tebakan.
“FAHIM!”
Tak hanya Fahim, tetapi juga Muhyi cukup terkejut dengan suara bernada tinggi itu. Anak-anak di meja sebelah yang tadi membicarakan Kak Hinan bahkan sampai menoleh, tetapi kemudian kembali ke aktifitas semula begitu tahu siapa si pemilik suara.
Alif dan Hamzah. Mereka berdua kini duduk mengapit Fahim. Hamzah sempat mendorong tubuh Muhyi agar bergeser dan memberinya tempat.
“Jangan kebanyakan ghibah! Nanti tabungan amal kebaikan kalian kosong gara-gara ditransfer ke tabungan amal orang yang diomongin,“ tegur Alif seraya mengalungkan tangannya di bahu Fahim.
Fahim yang masih mencoba menetralisir detakan jantungnya sebab terkejut, kini dibuat bingung dengan sikap si kembar. Pasalnya, mereka terlihat sok akrab. Sekarang Hamzah bahkan ikut mengalungkan tangan di lehernya juga. Netranya kontan berputar ke arah Muhyi yang hanya menatap malas adegan yang ada, kemudian laki-laki itu kembali sibuk dengan buku mufrodat-nya.
“Kita enggak lagi ghibah kok. Ini ada apa, ya?” Fahim berusaha menjauhkan tangan Alif dan Hamzah. Bersikap waspada, takut kalau-kalau kedua makhluk berparas sama itu mengerjainya.
“Mulai sekarang kita berteman!” Hamzah kembali mengalungkan tangannya. Fahim pasrah saja, alisnya berkerut mendengar kata-kata Hamzah.
“Jangan mau!” Sambar Muhyi cepat. Ia menatap Fahim kontan.
“Ayolah, jangan sombong. Nanti Allah musnahkan kayak Qorun sama Namrudz, loh!” seru Alif, sinis ia menatap Muhyi.
“Jangan mau, Fahim! Pengaruh buruk itu menular cepat kayak virus.”
Mendengar kalimat Muhyi yang agak menusuk, Hamzah kontan berdiri. Menggebrak meja dengan keras sebelum meloloskan tatapan runcing ke arah orang yang kini duduk di sampingnya. “Maneh mah ngajak gelut wae da emang (kamu itu ngajak berantem terus emang)!”
“Yaudah, yaudah! Aku mau jadi teman kalian.” Cepat Fahim menahan lengan Hamzah yang hendak menyerang Muhyi. “Tapi semuanya tolong akur, ya? Jangan ada keributan lagi.” Apa pun maksud Alif dan Hamzah tiba-tiba menyuguhkan sebuah pertemanan padanya saat ini, Fahim tidak ingin ambil pusing. Yang penting, tidak ada lagi pelanggaran yang dibuat. Fahim tidak ingin menjalani hukuman untuk kedua kalinya.
MUHYI sebenarnya senang melihat Alif dan Hamzah serius ingin berteman dengan Fahim. Mereka tidak bermain-main dengan ucapannya. Tidak sekadar mengerjai Fahim atau juga memanfaatkan kebaikan anak itu. Entah apa alasan si kembar tiba-tiba baik kepada Fahim, Muhyi tidak terlalu ambil peduli. Fahim juga tampaknya merasa nyaman berteman dengan mereka.
“Kira-kira aneh enggak Alif sama Hamzah tiba-tiba baik gitu sama Fahim?” Udin bertanya kepada Muhyi sore itu. Mereka tengah menyiapkan alat-alat hadrah untuk latihan hari ini. Acara maulid akbar akan digelar beberapa hari lagi. Jadwal latihan jadi lebih banyak beberapa minggu ini.
“Aneh, sih. Tapi, aku lihat kayaknya mereka emang tulus. Mungkin pas udah lihat kondisi Fahim, mereka jadi ngerasa bersalah gitu.”
Sudah hampir seminggu setelah hari itu. Sekarang Fahim jadi lebih sering bersama Alif dan Hamzah. Muhyi cukup bersyukur, walau sebenarnya ia merasa kesepian sebab sekarang ia jadi lebih sering sendirian.
“Muh, katanya kamu juga dapetin kuota beasiswa ke Mesir bareng Kak Hinan, ya?” Udin bertanya lagi. Tak berminat membahas Fahim dan si kembar lebih jauh.
Muhyi mengangguk, selagi mengetes suara keprak di tangannya. Beberapa hari ke belakang, ia memang meminta Ustaz Yusuf mendaftarkan dirinya ikut seleksi beasiswa itu. Belum sebulan, keputusan itu sudah diterimanya.
“Diambil, enggak?”
“Tadinya sih, enggak. Tapi, sekarang jadi mikir lagi.”
“Ambil aja elah. Sayang tahu, kesempatan enggak datang dua kali.”
Muhyi tak lagi berkomentar, hanya tersenyum menanggapi kalimat Udin. Setelah tahu alasan Nabila dan Kiai Muhsin menikah, Muhyi tidak lagi berpikir untuk meninggalkan Ulul Ilmi.
“DULU sih, sebelum dapat donor, ada alat sebesar kotak korek api dipasang di dadaku. Namanya PPM. Permanent Pace Maker. Alat pacu jantung gitu.”
Selepas kembali dari masjid setelah salat Isya, Alif tiba-tiba bertanya soal penyakit yang Fahim derita. Alhasil, satu jam ini dengan terbuka Fahim menceritakan semuanya.
“Kok bisa? Emang buat apa?” Kali ini giliran Hamzah yang bertanya.
“Pasca operasi, aku mengalami Aritmia. Jadi terpaksa dipasang alat pacu jantung biar detakan jantungku stabil.” Fahim melihat Alif dan Hamzah mengangguk paham dengan kompak.
“Maaf, ya, kita pernah jahat banget sama kamu,” cetus Hamzah yang langsung disusul anggukan setuju milik Alif. Wajah mereka benar-benar mengguratkan penyesalan. Kadang, memang agak mengesalkan sebab dipandang menyedihkan, tetapi setidaknya karena hal itu mungkin ia bisa mengetuk hati seseorang untuk menjadi lebih baik.
“Enggak apa-apa kok.” Fahim tersenyum canggung. Matanya lantas berotasi ke arah tempat tidur Muhyi. Kosong. Karena sibuk dengan latihan hadrah, Muhyi jadi jarang bersama dengannya. “Muhyi bilang, kalau kalian itu sebenarnya anak yang baik.”
Alif dan Hamzah saling pandang. Lantas bersamaan tawa mereka mengudara. “Enggak mungkinlah. Di mata dia kita itu cuma anak nakal, enggak berguna, enggak bisa dibanggain. Pokoknya dia itu mikirnya kita ini beratus-ratus tingkat di bawah dia!“ seru Alif agak ketus.
Fahim tak menanggapi. Ia ingin membujuk Alif dan Hamzah agar membuka pertemanan juga dengan Muhyi. Namun, ia takut hal itu membuat si kembar tersinggung dan kemudian kembali membencinya.
Revisi, 06 September 2021
Bonus
Muhyi’s point ofo view
Pernah satu waktu Kak Hinan mengajakku ke area belakang pesantren. Tempat di mana Abah memelihara hewan ternak seperti kambing, sapi, dan beberapa unggas. Karena Mang Jali, petugas peternakan, sedang pulang ke Tasik, akhirnya Abah menyuruh Kak Hinan mengambil alih tugas sementara waktu. Merasa kerepotan, Kak Hinan akhirnya meminta bantuanku.
Lalu di sela kesibukan kami menyiapkan pakan, obrolan kecil antara kami pun tercipta.
“Kemarin ada seorang mahasiswa yang nanya sama Abah, “ ujar Kak Hinan.
“Nanya apa?” tanyaku.
“Katanya, Kiai, kita mengadakan istigasah dan berdoa untuk kebaikan negara. Tak hanya satu orang tapi beribu-ribu orang, tetapi kenapa negara yang kita doakan masih saja seperti ini? Apa Allah tidak berkenan mengabulkan doa kita?”
“Terus kata Abah gimana?”
“Abah jawab gini, bukan tidak berkenan mengabulkan doa kita. Hanya saja mungkin doanya terlalu panjang, tetapi tobatnya kependekan.” Sambil berkata demikian, Kak Hinan bangkit guna memasukkan tempat pakan ayam ke dalam kandang.
“Emang ya, Kak. Padahal Nabi Adam, untuk satu kesalahan yang dilakukan, tobatnya sampai dua ratus tahun. Tapi, kita yang tiap saat lakuin dosa, enggak pernah tobat, enggak pernah minta maaf sama Allah, tapi masih punya muka buat minta banyak hal,” tuturku turut membantu Kak Hinan melakukan hal yang sama.
“Sepantasnya, kita berpikir kalau semua hal yang kita dapat itu bukan karena usaha dan doa kita. Tapi, karena Allah itu Maha Baik.”
“Bener, Kak. Kalau Allah enggak baik, Dia mana mau melimpahi kita dengan banyak hal sementara kita sering mengkhianatinya.”
...
....
Barangkali berkenan, ditunggu Muhyi di cerita ini 😄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top