7 | Hubungan yang Sebenarnya

TERUS reaksi Alif sama Hamzah gimana?”

Fahim memutar bola mata, mengingat. Lantas ia mengangkat bahu. “Entahlah, tadi aku nunduk aja karena kaget.” Ia tengah menceritakan kejadian sore tadi kepada Muhyi.

Setelah beberapa jam lalu memilih untuk diam, sekembali dari masjid sebakda salat Isya, Muhyi jauh lebih segar dan kembali ceria. Laki-laki itu tiba-tiba meminta Fahim untuk menceritakan kejadian sebelum ia tiba di pondok.

“Soal penyakit kamu, aku sebenarnya udah tahu dari awal.” Muhyi menyandarkan punggungnya di kaki meja. Membuka buku setebal lima sentimeter yang entah sejak kapan berada dalam genggamannya.

“Kok bisa?” Fahim langsung menodong Muhyi dengan tatap curiga. Pantas kalau Muhyi tampak biasa saja melihat bekas operasinya tadi.

“Jadi, waktu itu  ...”

PAK Yudi tengah asyik menerangkan rumus hukum Newton 3 saat suara salam seseorang terdengar. Sesaat menjadi jeda segala kegiatan di kelas XI-1 itu. Seluruh mata tanpa komando kompak menoleh ke arah pintu masuk kelas yang sudah terbuka.

“Muhyi boleh ikut sama saya sebentar, Pak?”

Mendengar namanya disebut, kontan Muhyi melupakan materi fisika yang sedang ditekuninya. Bola mata sewarna rambut hitamnya itu kemudian berputar ke arah sumber suara. Hinan tampak berdiri di ambang pintu.

“Boleh. Tapi, dijaga baik-baik, ya? Muhyi itu kayak hati soalnya, mudah tergores.”

Tak hanya yang berdiri di ambang pintu sana, pun semua siswa yang mendengar kata-kata Pak Yudi barusan, sontak saja tertawa. Sementara Muhyi hanya bisa meringis menanggapi humor guru sekolahnya itu.

“Ada apa ya, Kak?” Muhyi melepas tanya saat mereka sama-sama meninggalkan kelas dan berjalan menyusuri koridor sekolah.

“Kita ke rumah Abah.”

Bola mata Muhyi seketika melebar. “Apa gara-gara masalah tadi pagi ya, Kak? Abah balik marah sama aku?” Gelisah terdengar di balik suara Muhyi. Ia pikir, kejadian tadi pagi saat Alif dan Hamzah mengacak-acak barang-barangnya, yang menyeretnya ke rumah Kiai saat ini.

“Enggak, sih. Soal Alif sama Hamzah, tolong dimaklumi, ya? Emang mereka tuh bocah banget.” Hinan paham, sebab merasa anak seorang pemilik pondok, si kembar jadi merasa berkuasa. Merasa tidak masalah jika harus melanggar seabrek peraturan pesantren. Namun, jika masalahnya dengan Muhyi, ia tahu kalau ada alasan lain di baliknya.

“Dosa kecil saja kalau dilakukan berulang-ulang, enggak bisa dibilang dosa kecil, ‘kan, Kak?”

Sebelah ujung bibir Hinan terangkat begitu pemaparan itu terdengar. Tentu saja, ia mengerti betul maksud adik tirinya itu.

“Kalau bukan karena masalah tadi pagi, kenapa Abah nyuruh aku ke rumah?” Pintu pagar rumah minimalis itu terbuka. Mengekori langkah Hinan, Muhyi masuk ke pekarangan rumah.

“Ada yang perlu ketemu sama kamu.”

“Siapa?”

Belum sempat Hinan menjawab, wanita berjilbab syar'i di teras depan rumah Kiai Muhsin sudah memenuhi netra Muhyi. Bersama seorang pemuda dewasa di sana, juga Kiai, tatap mereka menyambut kedatangan dirinya.

Seraya uluk salam, Muhyi menyalami ketiga orang dewasa di sana satu per satu. Sementara Hinan masuk ke dalam, ia mendudukkan diri di salah satu kursi kosong begitu Kiai memberinya instruksi untuk duduk. Seluruh pergerakannya tak luput dari rekam lensa mata satu-satunya wanita di sana.

“Ada santri baru di kamar Khalid bin Walid. Namanya Fahim, dan ini keluarganya.”

Penjelasan Kiai Muhsin membuat kedua alis Muhyi seketika saling bertemu.

“Sebelumnya maaf loh, udah ganggu kegiatan belajar kamu. Tapi, saya memang sengaja minta temu sama seseorang yang bakal jadi temen sekamarnya Fahim.” Sabrina, wanita anggun berparas cantik itu bersuara. Masih betah menatap Muhyi lama-lama. Hatinya sekonyong-konyong menaruh percaya pada anak seumur putra ketiganya itu.

Senyum yang terulas tulus tanpa pretensi di balik bibir ranum Sabrina, mau tidak mau membuat kurva tipis melengkung juga di bibir Muhyi. Kadang, hati keras itu selalu menjadi lebih lunak jika berhadapan dengan orang tua.

“Waktu Fahim bilang pengen mondok, saya sama keluarga agak kaget. Iya enggak, Bang?” Sabrina melirik pemuda di sampingnya.

 Wahid, kakak sulung Fahim, hanya mengangguk saja.

“Tadi saya udah cerita soal kondisi Fahim sama Pak Kiai. Dia itu agak spesial, jadinya sempet berat juga ninggalin dia di sini. Tapi, saya harap kalian bisa berteman baik. Tolong ya, Muhyi?”

Kendati sebenarnya ia sangsi sebab selama ini pun ia tidak pernah benar-benar mau membuka pertemanan untuk orang lain, Muhyi hanya bisa mengangguk. Tak enak seandainya merobohkan kepercayaan yang Sabrina bangun terhadapnya.

PADAHAL aku udah niat nyembunyiin semuanya. Tapi, ternyata dari awal ini bukan lagi sebuah rahasia.” Kembali ke malam ini. Mendengar cerita Muhyi, Fahim hanya bisa tersenyum miring. “Umma pasti minta kamu lakuin banyak hal buat aku?”

Muhyi refleks menggeleng. “Enggak, kok. Ibumu sama sekali enggak nyuruh aku ngelakuin apa pun buat kamu. Dia percaya kalau tanpa aku atau siapa pun, kamu bisa melewati semuanya. Dia yakin Allah selalu ada di sisimu.”

Mendengar hal itu, senyum Fahim mendadak terbit. Mendadak ia merindukan sosok itu. Sosok luar biasa yang Allah anugerahkan padanya. Salah satu wanita salihah yang segala jasanya patut dihadiahi surga tertinggi.

“Oya, aku sebenarnya... bukan ...” Fahim melihat Muhyi mengambil posisi untuk tiduran saat rasa penasaran tentang apa yang terjadi tiga hari lalu itu tiba-tiba muncul.

“Kenapa?”

“Bukan aku suuzan. Sebenarnya aku enggak apa-apa kalau memang kamu ... aku cuma penasaran. Sebenarnya  ...” Tetapi,  mengingat tangisan Muhyi sore tadi membuat Fahim ragu untuk bertanya. Takut kalau ia menyinggung perasaan teman baiknya itu dan membuat Muhyi kembali bersedih.

Kalimat random Fahim, mengundang kekehan kecil mengudara dari mulut Muhyi. Ditatapnya langit-langit kusam kamar Khalid bin Walid dengan sendu.

“Sebenarnya, Alif sama Hamzah itu enggak seburuk yang kamu dan orang lain pikirkan. Mereka itu anak baik, cuma gara-gara aku, mereka jadi berubah.” Laki-laki berparas rupawan itu kemudian menutup seluruh wajahnya dengan buku Fadilah Amal di tangannya. Menyembunyikan raut sedih yang seketika terlukis di sana.

“Setelah Ayah meninggal, Ibu memasukkanku ke pondok ini. Walaupun tak begitu dekat, tetapi aku kenal Alif dan Hamzah. Mereka anak yang baik. Tapi,  itu sebelum ibuku meminta Pak Kiai menikahinya. “

“Lah, kok?” Fahim gagal paham.

“Iya, sebenarnya aku juga kesal karena Ibu terlihat merendahkan dirinya sendiri. Tapi kemarin, Ibu kasih tahu aku alasan kenapa dia meminta lamaran Kiai. Begitu tahu aku ngerasa bersalah karena udah suuzan sama Ibu.”

Muhyi bener-bener tidak tahu kalau banyaknya harta peninggalan si Ayah selama ini membuat Nabila– ibunya–dizalimi banyak pria tak bertanggung jawab, berpura-pura serius ingin menikahi, padahal hanya untuk mengambil kekayaan yang keluarganya punya. Itu sebabnya Nabila meminta Kiai Muhsin menikahinya. Nabila hanya perlu status agar tak ada lagi pria-pria materialistis yang berpikir untuk menguasai harta suaminya.

“Tiga hari kemarin, aku benar-benar minta maaf. Aku enggak bermaksud lari dari tanggung jawab. Tapi, saat itu aku—”

“Enggak apa-apa.” Fahim menyela. Ia menepuk punggung Muhyi beberapa kali. Alasan Muhyi menghilang beberapa hari ke belakang tak lagi penting untuk Fahim. Yang terpenting sekarang, Muhyi sudah kembali dengan sehat wal afiat.

Revisi, 05 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top