6 | Tiba-tiba Menghilang
DALAM hidup, sejauh apa pun melarikan diri, masalah memang akan selalu mengikuti. Datang berlapis-lapis. Namun, dengan terus belajar menghadapi lapisan masalah itu, akan membuat kita menjadi semakin tangguh. Toh, pada hakikatnya hidup itu adalah ujian. Hanya perlu percaya bahwa Allah memberikan berjuta-juta masalah adalah bukan untuk kita tanggung sendiri. Bukan untuk kita selesaikan sendiri. Manusia itu “Lahaula Wala quwwata illa billah.” Saat Allah memberikan beban pada pundak kita, itu berarti Allah ingin kita menyelesaikan masalah itu bersama-Nya.
Sabrina selalu bilang, bahagia itu tak akan bermakna bila ia belum merasakan bagaimana pahitnya penderitaan.
Fahim ingat betul seberapa bahagia dirinya saat mendapatkan donor jantung setelah merasakan sakit bertahun-tahun lamanya. Mungkin seperti itu maksud Sabrina.
Sekarang, saat masalah lain datang menghampirinya, ia selalu percaya bahwa itu adalah proses untuk ia melangkah menuju kebahagiaan.
“Kamu yang sabar ya, Him.”
Senyum tipis Fahim tersemat. Sebentar ia melirik Udin yang kini mengambil tempat di sampingnya. Bersama mereka berselonjor di bawah meja bundar yang ada di ruangan Khalid bin Walid. Untuk urusan sabar Fahim sudah cukup terlatih sedari kecil. Jika tidak sabar, sebelum dapat donor jantung Fahim mungkin lebih dulu menyerah.
“Katanya sampai dibawa ke rumah sakit. Bener, enggak, sih?” tanya Udin.
Fahim menggeleng. “Tadi sebelum ikut nganterin ke puskentren, Kak Hinan nyuruh aku bersiap-siap buat salat Magrib. Aku enggak tahu kondisinya separah apa.” Sambil menjawab demikian, tangan Fahim sibuk mengurut pelan dadanya. Ada denyutan tak wajar di dalam sana, agak sakit dan membuat sesak. Mungkin efek panik tadi, pikir Fahim.
“Sebenarnya, beberapa kali Muhyi pernah kayak gitu,” ujar Udin selagi netranya tak henti memperhatikan gerak-gerik Fahim. Ia curiga Fahim tengah menahan sakit juga.
Mendengar kalimat Udin, sontak bola mata Fahim berotasi. Menatap Udin dengan serius.
“Kamu juga sakit?” Urung peduli dengan ekspresi terkejut Fahim, Udin lebih khawatir dengan keadaan teman sekamarnya itu.
Fahim menggeleng. Menurunkan tangannya yang masih nangkring di dada. Fahim tidak ingin teman-teman barunya tahu tentang penyakit bawaan yang dideritanya. Lagi pula, penyakit itu adalah masa lalu. Harusnya karena donor jantung itu, ia sudah menjadi manusia sehat seutuhnya. Jadi, teman-temannya tidak perlu tahu tentang hal itu.
Meski sempat curiga, tetapi Udin tak ingin memaksa Fahim untuk mengaku. Alhasil, ia hanya mengangkat bahu tak acuh.
“Tadi kamu bilang kalau Muhyi ...”
“Awalnya aku sih curiga kalau Muhyi itu beneran sakit. Tapi, Alif sama Hamzah bilang kalau dia itu cuma cari muka doang.”
Sesaat Fahim terdiam. Langsung saja kejadian tadi ter-replay kembali dalam benaknya. Ia sungguh melihat Muhyi kesakitan tadi. Lagi pula, kalau memang cuma cari muka, Muhyi tidak mungkin melarangnya melapor pada Kak Hinan tadi.
“Him, Alif sama Hamzah itu jangan dibaikin. Kalau enggak bisa ngelawan kayak Muhyi, cuekin aja kayak aku. Mereka itu kalau makin digugu, malah makin seenaknya.”
“Umma bilang, berbuat baik sama orang yang baik sama kita itu adalah hal biasa. Tapi, berbuat baik sama orang yang enggak baik sama kita itu berkali-kali lipat luar biasa.”
Mendengar kalimat Fahim seketika membuat Udin terpaku. Ummanya Fahim pasti wanita salihah, batin Udin kemudian.
“Didoain aja. Allah kan Maha Membolak-balik Hati. Kalau ia berkenan ngabulin doa kita, suatu saat Alif sama Hamzah pasti jadi orang baik.”
“Pantes ya Muhyi langsung betah. Deket kamu adem banget kayak ada AC-nya,” canda Udin seraya membawa Fahim dalam rangkulannya.
Fahim tertawa. Melupakan sejenak kekhawatiran yang sedang lihai mempermainkan perasaannya. Tidak hanya tentang Muhyi, tetapi juga tentang sesuatu di dalam dadanya.
Kenapa sakit lagi, Ya Allah? Batin Fahim.
FAHIM tidak bisa tidur. Selain sakit di dadanya yang timbul-tenggelam tanpa permisi, ketidakhadiran Muhyi juga membuat pikirannya kalang kabut. Ia benar-benar mengkhawatirkan sosok itu. Alif dan Hamzah turut absen, menambah kekosongan di ruangan Khalid bin Walid. Hanya suara dengkuran halus Udin yang sedikit memecah sepi di ruangan bernuansa hijau itu.
Lagi, Fahim mengurut dadanya. Sesekali memukul-mukul area yang nyeri dengan pelan. Kayaknya besok harus telepon Umma. Aku harus tanya sama dokter kenapa bisa sakit kayak gini. Hati Fahim sibuk bermonolog.
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam lebih saat Fahim mendengar krasak-krusuk tak jelas di depan pintu. Ia berniat untuk membaringkan diri, takut kalau itu Tim Keamanan Pondok yang sedang memantau apa masih ada santri yang berkeliaran atau tidak. Namun, suara familiar itu menahan pergerakannya.
Alif dan Hamzah, sambil tertawa-tawa kecil dengan watados-nya masuk ke dalam kamar. Ada satu kantong plastik besar berisi makanan yang dibawa Hamzah.
Melihat Fahim masih terjaga, kedua saudara kembar itu kompak mengernyit.
“Dia baik-baik aja. Enggak usah dipikirin!” Seolah tahu apa penyebab Fahim tak bisa terlelap, Hamzah berujar demikian. Ditaruhnya kantong plastik berisi makanan itu di atas ranjang Fahim. “Tadi enggak sempet makan sore, ‘kan? Di sana ada roti sama beberapa camilan.”
Lapar. Salah satu alasan tak bisa tidur yang Fahim sembunyikan sejak tadi itu tak lantas membuat Fahim menerima apa yang Hamzah berikan. Lama, ia menatap makanan itu sebelum melirik kedua saudara si kembar yang kini sudah mengambil posisi di tempat ia dan Udin tadi. Melihat aktifitas apa yang dilakukan mereka, sontak mata Fahim membola.
“Ka-kalian kok ngerokok?”
“Enggak usah ngebawel kayak si Muhyi. Udah baik kita kasih kamu makanan. Daripada nanti kelaparan. Inget, besok hari Kamis.”
Ah, Fahim lupa. Meskipun hari Senin dan Kamis itu termasuk puasa sunah, tetapi untuk seluruh santri Ulul Ilmi puasa itu diwajibkan. Bagi yang tidak menjalankannya, hukumannya tadarus Al-Qur’an dari Magrib sampai Isya. Meskipun jenis hukuman di Ulul Ilmi itu diselipkan efek jera dan manfaat, Fahim enggan menambah catatan hitam lagi di Tim Keamanan Pondok.
Mengingat hukuman yang harus ia jalani esok masih cukup banyak, Fahim lantas membuka kantong plastik guna memakan apa pun yang ada di dalamnya.
Pasti hari esok akan sangat berat. Apalagi, Muhyi tidak ada di sisinya.
FAHIM memilih untuk menghibur dirinya sendiri dengan menghafal Al-Qur’an. Tiga hari berlalu tanpa Muhyi membuat harinya terasa hampa. Lelah jelas kentara di balik wajahnya. Selain dibebani tugas dan jadwal yang padat, ia juga harus melewati sisa hukuman yang ada sendirian. Benar-benar sendirian sebab Hamzah tak berniat membantu atau meringankan penderitaannya.
Fahim sedih. Niat untuk menelepon Sabrina pun batal. Selain sakit itu mendadak hilang, ia juga tidak ingin disebut mangkir dari hukuman seperti yang lain mengatai Muhyi demikian.
Ini hari Ahad. Tidak ada PBM seperti biasa, jadi seluruh santri lebih banyak menghabiskan waktu untuk menghafal di asrama, selagi Kiai dan para Asatidz juga pengurus pesantren melaksanakan pengajian rutin untuk umum. Biasanya dihadiri oleh beberapa orang tua wali dan penduduk sekitar Ulul Ilmi.
Maka siang itu, sebelum menunaikan salat Asar berjamaah, Fahim memilih untuk membuka Al-Qur’an dan mengusir sepi di kamar Khalid bin Walid dengan lantunan ayat suci.
Daripada memikirkan Muhyi yang menghilang entah ke mana, yang malah membuat perasaannya semakin ditelan pilu, Fahim pikir lebih baik ia memikirkan cara agar hafalan Al-Qur’annya bisa sebanyak teman baiknya itu.
Akan tetapi ...
“FAHIM!”
... Fahim bahkan belum berhasil menghafal satu ayat pun saat tubuhnya dipaksa bangkit berdiri. Tergesa ia meletakkan Al-Qur’an-nya di atas meja kemudian menatap Alif dan Hamzah dengan bingung.
“Kamu, ‘kan?!” Hamzah mendorong tubuh Fahim, hingga tubuh kurus itu membentur tembok di belakangnya. Lantas si kembar mengunci pergerakannya di sana.
“Apa?” Suara Fahim bergetar hebat. Kali ini Alif dan Hamzah terlihat benar-benar marah. Biasanya mereka seperti ini hanya sekadar untuk mengusilinya, bukan untuk memarahinya.
“Kamu yang bilang ke Kak Hinan kalau kita ngerokok, ‘kan?!” Alif yang biasanya lebih kalem juga tampak sangat marah. Ditatapnya mata sendu Fahim, selagi lengannya mengapit leher laki-laki itu.
Fahim menggeleng. Air matanya jatuh.
“Enggak usah nangis!” Bentakan Hamzah justru membuat air mata Fahim malah semakin gencar berproduksi.
“Demi Allah, bukan aku.” Susah payah Fahim menjauhkan lengan Alif yang menekan lehernya. Ia kesulitan mengambil udara, sementara jantungnya tiba-tiba berpacu dengan cepat. Sedikit menimbulkan nyeri di dadanya.
“Enggak usah pake 'demi Allah' segala. Emangnya siapa lagi yang tahu kita ngerokok selain kamu, hah?” Alif menjauhkan lengannya saat sadar kalau Fahim mulai kesulitan bernapas.
Fahim menggeleng. Ia terbatuk-batuk, dadanya sesak.
“Kasih pelajaran aja, Lif. Mumpung pahlawannya enggak ada.” Senyum licik Hamzah terbit, sementara Alif mengangguk mengiyakan. “Buka baju kamu!”
Mendengar perintah itu, mata Fahim kontan membulat. Refleks ia menggeleng-gelengkan kepalanya cepat-cepat. “Enggak mau. Apa pun asal jangan itu.”
Alif dan Hamzah saling pandang. Lantas tertawa. Fahim terlihat sangat lucu. “Emang kamu pikir kita mau ngapain kamu, hah?! Kita ini masih normal. CEPET BUKA!”
“Enggak!” Fahim keukeuh. Ia tahu kalau Alif dan Hamzah tidak akan melakukan sesuatu di luar batas, tetapi masalahnya bukan itu. Fahim tidak ingin siapa pun tahu tentang beberapa bekas sayatan hasil karya para dokter di tubuhnya.
“Jangan, aku mohon!”
Akan tetapi, penolakan Fahim yang diiringi isak tangis malah semakin membuat Alif dan Hamzah penasaran. Alhasil kedua manusia berwajah serupa itu membuka baju Fahim dengan paksa.
Fahim pasrah saja. Bahkan ketika akhirnya Alif dan Hamzah terpaku di tempatnya, ia hanya bisa tertunduk dalam bisu. Selagi napasnya memburu dan detak jantungnya kocar-kacir mencari rima yang pas.
“Ini ada apa?”
Baik Fahim maupun si kembar tanpa komando kompak melirik ke arah pintu masuk. Muhyi dengan satu ransel besar masuk ke dalam kamar. Lantas berjalan tergesa menghampiri ketiganya saat sadar sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.
“Kalian ini apa-apaan, sih?” Dengan gerakan cepat, direbutnya baju yang tengah Alif pegang. Kemudian memberi kode kepada Fahim untuk segera mengenakan pakaian itu kembali.
“Wih, pahlawannya udah balik.” Sebenarnya Hamzah masih agak terkejut dengan apa yang baru saja dilihatnya. Benar-benar terkejut sampai timbul niat dalam hati untuk melafalkan maaf. Namun, melihat Muhyi datang seperti tokoh Marvell yang siap membasmi kejahatan, membuat niat itu kembali terkulum. Sungguh, satu-satunya hal yang Hamzah benci di dunia ini adalah Muhyi.
Dalam, Muhyi meraup oksigen yang ada. Lelah tengah memonopoli seluruh tubuh, harapnya saat ia kembali ke pondok, ia bisa istirahat dengan tenang barang satu atau dua jam sebelum kembali melakukan rutinitas seperti biasa. Namun, Alif dan Hamzah selalu saja berhasil mengacaukan segalanya.
“Kemarin aja kabur dan biarin Fahim ngejalanin hukuman sendiri. Sekarang pas masa hukumannya selesai, baru balik. Pura-pura sok peduli, sok belain.”
Di tempatnya Fahim hanya bisa terpaku. Hatinya agak membenarkan kata-kata Alif barusan. Bola mata yang kini dilumuri kekecewaan itu sesaat berotasi, melirik punggung tegak Muhyi yang kini membelakanginya.
“Enggak usah menyebar kebencian kayak gini. Enggak usah ngompor-ngompori orang.”
“Alahh, bilang aja kalau kamu takut gelar kamu sebagai santri terbaik rusak gara-gara hukuman kemarin.”
Muhyi mendengkus. “Terserahlah kalian mau ngomong apa. Bebas!” Ia menyimpan asal ransel yang dibawanya. Kemudian mengempaskan tubuhnya di atas dipan. Lelah. Kepalanya pusing.
Suara azan Asar berkumandang saat Fahim melihat Alif dan Hamzah pergi keluar kamar. Wajah Muhyi yang terlihat menyimpan banyak lelah sepertinya sedikit membuat mereka berempati. Walhasil, mereka enggan memperpanjang perdebatan dan memilih untuk pergi.
“Muhyi ...” perlahan Fahim membawa langkah mendekat ke arah Muhyi, lantas memyentuh lembut pundak sosok yang memunggunginya itu.
Muhyi tak merespons.
“Udah azan. Salat berjamaah dulu, yuk.” Sempat menyimpan kecewa, tetapi Muhyi itu satu-satunya teman yang Fahim punya di Ulul Ilmi. Apa pun alasan Muhyi pergi tiga hari ke belakang—entah itu memang untuk menghindari hukuman atau ada alasan lain—Fahim tidak peduli. Ia tidak berharap pertemanannya rusak hanya karena hal kecil seperti ini.
“Duluan aja, aku mau tidur sebentar. Capek banget.”
Fahim tak berniat lagi mengganggu saat sadar ada getaran kecil di balik suara Muhyi. Laki-laki itu menangis. Tahu kalau Muhyi butuh waktu sendiri, Fahim mencoba memahami dan melangkah pergi meninggalkannya.
Setelah yakin kalau suasana di sekitarnya mulai kosong, Muhyi mulai meluapkan sesak yang menghimpit dadanya dalam tangis yang agak keras. Isakanya merambati tiap jengkal ruangan.
Tanpa Muhyi tahu, kalau di balik pintu sana, Fahim masih berdiri mematung. Larut dalam kebingungan. Ia tidak tahu apa yang membuat Muhyi terlihat amat sedih, tetapi yang pasti, Fahim bisa merasakan kesedihan yang ada di dalam sana.
Apa yang udah terjadi sama kamu tiga hari ini, Muhyi?
Publikasi, 18 Maret 2020
Revisi, 04 September 2021
Bonus:
Muhyi’s point of view
Seperti biasa, sebakda salat Isya Abah selalu memberi tausiah pendek. Tausiah itu biasanya diisi oleh cerita tentang kisah para Rasul, sahabat Rasulullah, atau pejuang-pejuang islam.
Aku kurang tahu sumber cerita ini dari mana, tetapi malam itu, beliau menceritakan tentang percakapan seorang Wali dan Wabah. Aku enggak begitu fokus saat itu sebab kantuk yang bergelantungan di pelupuk mata. Tapi, kira-kira begini isi percakapan itu:
Wali: “Hendak pergi ke mana kau, Wabah?”
Wabah: “Aku hendak pergi ke Damaskus, Wahai Waliyullah.”
Wali: “Untuk apa kau pergi ke sana?”
Wabah: “Aku diperintahkan oleh Allah Swt. untuk membunuh 20.000 manusia dalam dua tahun.”
Maka pergilah si Wabah ke Damaskus. Dua tahun di sana, setelah 50.000 manusia meninggal, kemudian ia kembali dan bertemu kembali dengan Waliyullah.
Wali: “Katanya, kau hendak membunuh 20.000 manusia, tetapi kenapa kau justru membunuh 50.000 manusia?”
Wabah: “Benar, wahai Waliyullah. Aku memang hanya membunuh 20000 manusia. Sisanya mati karena kepanikan yang mereka buat sendiri.”
Versi cetak bisa di order di shopee: orinami.official. Atau bisa hubungi nomor yang tersedia di atas.
Jangan lupa, follow ig penulis @naesu13 dan @queenofsadending_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top