5 | Pelanggaran yang Berat
DUA minggu berlalu ...
Muhyi kerap melihat Fahim diam-diam menangis. Tak hanya saat malam hari, tetapi di beberapa kesempatan saat tengah sendirian, laki-laki bertubuh kurus itu selalu tiba-tiba bercucuran air mata.
Muhyi pikir itu wajar. Memang, menyesuaikan diri di lingkungan pesantren dengan beragam manusia itu bukan hal yang mudah. Jauh dari keluarga, tidak biasa dengan jadwal dan aktifitas yang padat, terlebih lagi sekamar dengan dua makhluk jadi-jadian macam Alif dan Hamzah.
Sampai sekarang, Alif dan Hamzah juga masih sering menindas Fahim. Menyuruh Fahim melakukan banyak hal untuk mereka. Mengambil jatah makan, mencuci bekas makan mereka, menyalin catatan, dan hal-hal menyebalkan lainnya. Yang membuat Muhyi gemas itu, kenapa Fahim selalu saja mau mereka suruh-suruh.
Muhyi sebenarnya enggan menambah urusannya dengan si kembar seandainya membela Fahim. Namun, setiap kali ingat tanggung jawab yang dibebankan kepadanya mengenai Fahim, membuat Muhyi berada dalam posisi dilematis.
Seperti sore ini, saat anak-anak yang lain membubarkan diri sebakda halaqah muraja'ah dan bergegas ke dapur pesantren guna menyantap makan sore, Fahim tampak menahan diri di aula sana. Sementara tangannya mendekap Al-Qur’an di dada, kepalanya tenggelam di balik rihal. Bahu itu tampak bergetar kecil. Laki-laki itu pasti menangis lagi.
Muhyi yang melihat hal itu hanya menghela napas, lantas kakinya berayun menghampiri teman sekamarnya itu. “Fahim.”
Mendengar seseorang memanggil namanya, Fahim sesegera mengangkat kepala, setelah sebelumnya menyeka rusuh air matanya. Ia menatap Muhyi yang kini mengambil posisi di sisinya.
“Coba tebak, Him!” Sambil mengapit leher Fahim, laki-laki berkulit putih bersih itu tiba-tiba melantunkan sebuah lagu...
Ibu, kaulah wanita yang mulia ...
Derajatmu tiga tingkat dibandingkan Ayah.
Kau mengandung, melahirkan.
Mengandung lagi, melahirkan lagi.
Mengandung lagi, melahirkan lagi.
“ ... coba tebak jadi berapa anaknya?”
Sesaat terpana karena suara Muhyi yang ternyata merdu, Fahim kemudian menjawab, “Tiga?”
“Salah!” Muhyi mengubah posisinya, menghadap ke arah Fahim. Sementara itu kening Fahim tampak berkerut. “Jawabannya empat. Kan yang terakhir anaknya kembar. Hahaha ...”
Sebenarnya agak garing, tetapi melihat begitu tulusnya niat Muhyi untuk menghiburnya, mau tak mau membuat bibir Fahim melengkungkan senyum. “Kayak Alif sama Hamzah?”
Muhyi mengangguk. “Ambil jatah makan, hayu!” Kemudian laki-laki itu bangkit lebih dulu dan mengulurkan tangan untuk membantu Fahim berdiri. Setelah itu beriringan mereka melewati koridor menuju dapur pesantren.
“Suara kamu bagus juga.” Fahim tiba-tiba ingat nyanyian yang tadi Muhyi senandungkan saat langkahnya tiba di dapur pesantren.
“Aku ini vokalis hadrah Ulul Ilmi.” Muhyi mengambil dua piring rotan dan memberikannya satu pada Fahim. Lantas bersamaan mereka mengisinya dengan nasi dan lauk seadanya.
“Aku baru tahu kalau kamu personel hadrah.” Menu yang sama tiap hari Rabu. Tahu dan sayur taoge. Fahim sadar, di Ulul Ilmi itu tidak hanya jadwal kegiatan yang tersusun, menu makan pun sama.
“Dua mingguan lagi bakal ada acara Maulid Akbar. Aku manggung nanti. Dan juga kita bisa makan en—”
“Astagfirullah!”
Kalimat Muhyi belum terlafal sempurna saat pekikan Fahim terdengar. Piring yang tengah Fahim bawa tampak jatuh, isinya berserakan di mana-mana. Beberapa santri yang masih berada di area dapur sontak menoleh.
“Enggak tahu fungsi mata, ya? Jalan kok nabrak-nabrak?”
“Maaf.” Fahim tahu kalau ia tidak salah. Jelas kalau Hamzah memang sengaja menabraknya. Tetapi, ia tidak ingin memperkeruh suasana dengan melawan. Sebabnya ketika—
“Beresin sana!”
—Hamzah memaksa ia berjongkok untuk membereskan kekacauan, Fahim tidak menolak sama sekali. Meski sebenarnya ia malu sebab semua orang menatapnya kini.
“Enggak usah!” Muhyi dengan cepat menarik tubuh Fahim untuk berdiri. Ia lantas menempatkan diri di hadapan Hamzah. Agak aneh karena Alif tidak bersamanya, biasanya mereka selalu bersama-sama.
“Sebaik-baiknya manusia itu adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Kalau kamu enggak bisa jadi manusia yang bermanfaat, seenggaknya kamu enggak perlu manfaatin kebaikan orang lain.”
“Kamu tuh ya, hobi banget sih ngegurui orang lain.” Hamzah berdecak, kesal.
“Aku gurui kamu itu biar kamu mikir, biar kamu pinter.” Sinis sekali Muhyi menimpali. Detik selanjutnya, setelah mengucapkan kata-kata itu, Muhyi merasa tubuhnya didorong dengan kuat hingga menghantam meja dan menumpahkan beberapa hidangan.
Fahim tahu, Muhyi itu anak yang baik. Hanya saja, Muhyi tidak selihai dirinya saat mengendalikan marah. Sehingga saat itu juga teman barunya itu buru-buru bangkit dan balik menyerang Hamzah. Sekon berikutnya, sesuatu yang tidak Fahim harapkan pun terjadi di depan mata.
“APA yang kalian lakukan itu termasuk pelanggaran berat. Berantem, saling baku hantam, mengacaukan dapur, memubazirkan makanan. Tahu apa hukuman buat kalian?”
Fahim menunduk dalam. Di sampingnya Muhyi juga sama. Sementara Hamzah lebih terlihat santai, malah sesekali terdengar berdecak malas.
“HAMZAH!” Melihat kelakuan Hamzah, Hinan seketika berteriak penuh emosi.
“Pertama, berkelahi. Hukumannya membaca istighfar di depan umum satu jam selama tiga hari. Kedua, merusak properti pesantren. Hukumannya mengganti dan menanggung seluruh biaya kerugian. Ketiga, membuat keonaran. Hukumannya menyapu dan mengepel asrama selama tiga hari sambil membaca selawat nabi.”
Fahim melirik Hamzah yang dengan santainya menyebutkan serentetan hukuman yang harus mereka jalani. Sementara Fahim tampak gugup dan bergetar di tempatnya, bagaimana bisa laki-laki dengan tubuh lebih tinggi darinya itu bisa begitu santai dan tenang?
Di tempatnya, Hinan menarik napas panjang. Hamzah bahkan sudah hafal jenis sanksi tanpa harus ia beri tahu. Itu karena adik bungsunya terlampau sering menjalani hukuman yang ada. Seharusnya, jika bukan anaknya si tokoh sentral, Hamzah sudah dipulangkan kepada orang tuanya. Diusir dengan tidak hormat lantaran begitu sering terdaftar di catatan hitam Tim Keamanan Pondok.
“Kalau begitu, kalian berdua!” Hinan menunjuk Fahim dan Muhyi. “Laksanakan hukuman pertama. Berdiri di tengah lapangan sana sebelum azan Magrib. Kamu Hamzah, ayo temui Kiai dulu sebelum bergabung dengan mereka.” Dengan kasar Hinan menarik lengan Hamzah dan menyeretnya pergi.
ASTAGHFIRULLAH aladzim alladzi la ila ha illa huwal hayyul qayyum wa atubu ilaih.
Dua puluh menit berlalu dan mereka larut dalam istighfar yang terlafal. Baik Fahim maupun Muhyi sama-sama tidak bersuara sejak hukuman itu berlangsung. Hamzah belum bergabung, mungkin tidak akan bergabung. Entah dapat hukuman lain dari Kiai, atau bisa saja kabur dan menghindari hukuman. Hamzah bisa melakukan apa pun yang ia mau.
Fahim tidak ingin ambil peduli. Begitu pun dengan Muhyi. Mereka hanya ingin hukuman ini segera selesai. Selain kaki mereka mulai terasa pegal, rasa malu juga dirasa sebab beberapa santri yang berseliweran untuk bersiap-siap melaksanakan salat Magrib tampak memperhatikan mereka.
“Lapar enggak?”
Fahim sontak menoleh ke arah Muhyi saat bisikan itu terdengar. Ragu, Fahim mengangguk. Tadi ia dan Muhyi tidak sempat menyantap makan sore mereka. Sekarang Fahim tidak begitu lapar, tetapi tidak tahu jika menjelang malam nanti. Tadi adalah jadwal makan terakhir, ia mungkin tidak akan mendapatkan makanan lagi sampai pagi nanti.
“Aku tadi enggak sempat makan siang karena sibuk kegiatan ekskul.” Muhyi tampak membungkuk, kedua lengannya terparkir di atas perut. Terlihat menekan area itu.
“Aku bilang Kak Hinan, ya?” Fahim bingung. Ia tidak tahu harus melakukan apa.
“Jangan!” Muhyi menggeleng. Ia menegakkan tubuhnya kembali, tak menghiraukan perih di lambungnya. “Nanti hukuman kita ditambah. Sanksi buat yang pura-pura sakit itu disuruh menulis seribu kali ayat terakhir surat Al-Baqarah.”
“Tapi, kamu kan enggak pura-pura.”
“Tetep aja mereka bakal mikirnya aku ini pura-pura. Udahlah, aku baik-baik aja. Masih bisa ditahan. Tenang, lima belas menit lagi azan Magrib.”
Fahim tahu kalau Muhyi bohong. Wajah tampan itu bahkan sudah terlihat pucat. Keringat sebesar biji jagung pun bermunculan di sekitar keningnya.
“Ada manusia, lahir di Tasik, tinggal di Inggris, sekolah di Spanyol, nikah di Perancis, kerja di Amerika, meninggal di Arab Saudi. Dikasih gelar apa coba?”
Fahim itu terlalu peka. Ia tahu kalau Muhyi tengah mencoba menghiburnya, mengalihkan perhatian agar ia tak lagi khawatir. “Apa emang?”
“Alm. Hahaha ...”
Sebentar Fahim ikut tertawa juga. Namun, tawa Muhyi perlahan lindap. Sosok itu menatap lama dirinya. Berkedip beberapa kali, dan ...,
“Muhyi!”
... Tubuh itu tiba-tiba saja tersungkur, jatuh tepat di hadapan Fahim.
Bandung,
Publikasi, 5 Maret 2020
Revisi, 21 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top