4 | Manusia 3G

WOI bangun, tempat tidurku ini!“

Fahim tersentak. Ia baru saja selesai membersihkan kamar yang berantakan dan hendak tertidur saat seseorang tiba-tiba memaksa tubuhnya bangun. Belum sempat ia menetralisir detak tak wajar dalam dadanya, kedua orang berparas sama itu kemudian secara bersamaan menarik tubuhnya untuk berdiri.

Fahim sedikit limbung. Hampir saja ia jatuh seandainya seseorang tak muncul dari balik pintu ruangan dan menahan tubuh kurusnya.

“Anak baru, ya? Sana tidur di pojokan. Enggak usah pake kasur, enggak usah pake bantal sama selimut.”

Fahim belum sadar sepenuhnya sampai seseorang mendorong pelan tubuhnya ke samping, lantas orang itu berdiri tepat di hadapan kedua makhluk kembar yang ia lihat di rumah Kiai tadi. Wajah mereka sangat mirip, sulit bagi Fahim membedakannya. Dari name tag seragam sekolah mereka, yang satu bernama Hamzah, dan yang satu bernama Alif. Mereka benar-benar mirip, seperti kloningan saja.

“Bosan berurusan denganku, sekarang cari masalah dengan orang lain, hah?”

Perkenalkan, namanya Muhyi. Ganteng, bertubuh tinggi, berkulit putih. Hafal dua puluh juz Al-Qur’an. Laki-laki yang di mata Fahim tampak keren lantaran mau membelanya.

Ulah pipilueun, elah! Lain urusan maneh oge (Gak usah ikut campur, bukan urusanmu)! “ Hamzah berujar malas, selagi tangannya mendorong bahu Muhyi.

“Enggak usah sombong! Enggak usah semena-mena!” Balas mendorong tubuh Hamzah, Muhyi berseru. Sekilas ia menatap pakaian dan peralatannya yang sudah kembali tertata rapi di atas dipan. Seingatnya, ia tidak berniat membereskan kekacauan yang terjadi tadi pagi. Entah siapa yang membereskan, Muhyi sangsi itu Alif dan Hamzah.

“Siapa yang kamu maksud sombong, hah?!”

“Tahu kenapa Fir'aun, Namrudz, dan Qarun Allah musnahkan? Itu karena mereka sombong dan semena-mena! Jangan karena kalian berdua ini anaknya pemilik pondok terus bisa seenaknya sama yang lain.”

“Sadar diri, Woy!” Mendengar kalimat Muhyi, sumbu dalam dada Hamzah tersulut. Ia mendorong tubuh Muhyi hingga laki-laki itu sedikit melangkah mundur ke belakang.

“Yang harusnya Allah musnahkan itu kamu, Muhyi.” Alif turut maju. Ekspresinya terlihat lebih santai dari Hamzah. “Tahu kenapa? Karena kamu itu songong. Mentang-mentang hafalannya lebih banyak terus jadi kebanggan Abah dan Asatidz di sini, kamu sok ngerasa paling bener dan paling segalanya.”

Muhyi berdecak. “Terserahlah, kalian mau ngomong apa tentang aku. Tapi, enggak usah gangguin orang lain apalagi santri baru!”

Setelah itu, Fahim melihat Muhyi berlalu, tanpa melirik barang sedetik pun ke arahnya. Tak lama kemudian, Ali dan Hamzah berlalu juga. Bedanya saat melewatinya, Hamzah sedikit mendorong bahunya, sementara Alif hanya mendelik tak suka. Salah saya apa sih? Fahim membatin.

“Udah, Enggak usah dipikirin! ”

Fahim merasakan tepukan ringan di bahunya. Sebentar ia melirik laki-laki bertubuh gempal di belakangnya.

“Kenalin, Udin.” Laki-laki beralis tebal mirip Sinchan itu tersenyum lebar, selagi tangannya terulur.

Fahim menerima uluran tangan itu, tersenyum canggung. “Fahim.”

SEMALAMAN Fahim menangis. Ingat Sabrina, Wahid, dan saudaranya yang lain. Kejadian sore tadi masih terngiang di benaknya. Sikap ketus Alif dan Hamzah sungguh membuat Fahim merasa tak nyaman. Fahim pikir, apa yang ia hindari di sekolah lamanya tidak akan terulang lagi di sini, terlebih pesantren. Namun, nyatanya?

Selain itu, tempatnya berbaring kini sangatlah keras. Selimutnya tipis dan udara kota Bogor bukan buatan dinginnya. Tubuh Fahim menggigil sepanjang malam dan penderitaannya sungguh lengkap saat seseorang tiba-tiba saja menggedor pintu kamar.

“Khalid bin Walid! Qumtum! Qumtum! Qiamulail!

Pukul 02:30 dan Fahim belum tidur sama sekali, tetapi ia sudah harus bangun sesubuh ini. Seseorang berjalan, membuka pintu dan memberi tahu si penggedor bahwa semua penghuni sudah bangun.

“Fahim, bangun!” Seseorang mengguncang pelan bahu Fahim beberapa detik setelahnya. Suara Muhyi.

Fahim menggumam. “Iya ...” Ia tidak ingin berbicara lebih. Atau suara seraknya akan membuat Muhyi curiga kalau ia sudah menangis.

Setelah seluruh penghuni keluar lebih dulu, Fahim baru mengekor dari belakang. Teman-temannya tidak boleh tahu kalau matanya bengkak lantaran tak berhenti menangis.

FAHIM ingat, sebelum berangkat ke pondok, Jahid sempat bilang kalau minggu-minggu pertama di pondok pasti sangat menyiksa. Ternyata itu benar. Di hari pertamanya, Fahim benar-benar merasa menjadi manusia paling menderita.

Masalah dengan teman-teman sekamarnya. Harus tidur di kasur yang keras dengan selimut yang tipis sehingga ia mesti menahan dingin sepanjang malam. Diwajibkan bangun malam untuk qiamulail, yang pada akhirnya membuat ia terkantuk-kantuk saat kajian Bedah Al-Qur’an sebakda salat Subuh.

Sekarang, hal pertama yang Fahim rasa saat lidahnya menyicipi makanan di dapur pondok adalah, “tidak enak”. Bukan lantaran Fahim tak suka buncis dan aneka sayur lainnya. Toh, Sabrina juga sering memasak sayur. Hanya saja rasanya tidak pernah seaneh saat ini. Baru sehari, Fahim begitu merindukan masakan Sabrina. Sempat terlintas dalam benaknya untuk meminta Sabrina menjemputnya kembali. Fahim ingin pulang. Ia tidak masalah harus di-bully Lais dan kawan-kawannya. Setidaknya di rumah, ia tidak harus merasakan semua kepahitan yang ada di sini.

“Berpikir mau pulang, hm?” Muhyi mengambil tempat di sisi Fahim dengan piring di tangannya.

Fahim tak menjawab. Hanya tersenyum. Heran kenapa temannya yang baru ia tahu bernama lengkap Muhyi Abdul Aziz itu tahu apa yang ada di pikirannya.

“Aku sih enggak tahu gimana rasanya. Tapi, katanya di awal-awal emang agak sulit menyesuaikan diri. Ilham, penghuni Khalid bin Walid, baru dua hari yang lalu pulang. Enggak betah, katanya. Padahal baru seminggu di pondok. Di antara kamar-kamar yang lain, penghuni Khalid bin Walid yang paling sering keluar-masuk santri baru.”

Fahim ingat, di kamar itu ada enam dipan, tetapi hanya ada lima penghuni termasuk dirinya.

“Oya, makasih udah beresin barang-barangku kemarin. Itu kamu, ‘kan?” Muhyi menduga itu Fahim, sebab tidak mungkin Alif dan Hamzah yang bertanggung jawab, kendatipun mereka yang membuat kekacauan itu.

“Yang berantakan itu, semua barang-barang kamu?”

Muhyi mengangguk. “Sebenarnya, aku ini yang paling sering mereka kerjain. Sebulan ini aku udah ganti sandal lebih dari tujuh kali. Mereka sengaja ngambil sandal-sandalku buat bikin masalah.”

“Kenapa ya kok mereka kayak gitu?” Bersusah payah Fahim menelan brokoli di mulutnya.

Muhyi mengangkat bahu. “Entahlah. Mungkin karena ngerasa anaknya Abah, jadi songong dan suka seenaknya aja.”

“Terus kamu kok kemarin berani gitu sih sama mereka. Mereka kan anaknya Kiai. Katanya, kita harus hormat gitu kan sama anaknya Kiai?”

“Hormat? Ya kali mereka bendera.” Muhyi tampak menikmati makanannya. “Emangnya kalau kamu ditindas dan dianiaya, kamu mau diem aja?”

Sebentar Fahim terdiam. “Kalau milih diem dan bersabar aja gimana emangnya?” Selama ini Fahim lebih memilih demikian saat jadi korban bullying di sekolah lamanya.

“Kalau kita dianiaya terus diam aja, itu sih lemah namanya.”

Dari awal bertemu entah kenapa Muhyi seperti mempunyai magnet tersendiri. Daya tariknya begitu kuat. Mendadak, Fahim ingin membuka pertemanan lebih jauh dengan sosok itu.

“Kalau kamu bisa bertahan di sini, dengan semua peraturan yang ada, dengan semua jadwal kegiatan yang padat, hafalan bejibun, target hafalan Quran yang bikin puyeng, itu baru orang sabar.”

Good Person. Good personality. Good looking. Dia, Muhyi Abdul Aziz.

Bandung
Publikasi, 27 Pebruari 2020
Revisi, 13 Agustus 2021


.....

Versi cetak sudah bisa di-order di shopee orinami.official yaaa ...
Makasih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top