3 | Pesantren Ulul Ilmi
“PONDOKNYA bagus ya, Sayang?”
Fahim mengangguk, menyetujui pertanyaan retoris Sabrina. Mereka baru saja melangkah memasuki gerbang pesantren, dan langsung disuguhi pemandangan yang luar biasa indah.
Sebelumnya, Fahim memang menyerahkan semua urusan mondoknya pada Wahid. Termasuk ke pesantren mana ia didaftarkan.
Namanya Pesantren Ulul Ilmi. Berdiri di sebuah pedesaan di daerah Bogor. Bangunan mewah dengan gaya arsitektur islam itu berdiri di tengah-tengah perkebunan. Wahid sampai harus meninggalkan mobilnya di ujung jalan lantaran tidak ada akses masuk untuk kendaraan roda empat. Sebab itu Mereka harus jalan kaki memasuki pemukiman warga terlebih dahulu untuk sampai di tempat tujuan.
“Abah kirim ajalah mereka berdua ke Assalam. Biar mondok di sana.”
Fahim, Wahid, dan Sabrina terpaksa menghentikan langkah di teras depan begitu suara berat itu terdengar. Ujung mata Fahim sedikit melirik pintu rumah yang seluruhnya terbuka itu. Di sana berdiri dua orang anak seumuran dirinya, sementara dua orang lainnya tengah duduk di kursi. Karena terhalang jendela, jadi Fahim tak bisa melihatnya dengan jelas.
“Nanti, kalau mereka udah hafal setengahnya Al-Qur’an, Abah kirim ke Mesir sekalian.”
“Lima belas juz gimana? Juz amma aja mereka enggak hafal-hafal. Capek aku tuh, Abah. Mereka tuh anak Kiai tapi kelakuannya kayak bandit gitu!”
“Mulutnya, Hinan. falyaqul khairun au liyashmut. Berkata baik atau diam ya, Sayang.” Seorang wanita berjilbab toska datang membawakan sebuah mug dan meletakkannya di atas meja.
“Kalau gitu, Hinan enggak mau jadi ketua keamanan pondok lagi. Apaan, yang bikin onar selalu aja ni budak dua! Mereka tuh enggak pernah kapok. Jadi, santri-santri yang lain tuh nyangkanya Hinan enggak adil sama mereka.”
“La taghdob walakal jannah, Kak. Janganlah kamu marah, niscaya bagimu surga.” Salah satu dari kedua anak itu berujar, seraya terkekeh.
“Tahulah! Pusing aku tuh.” Laki-laki bernama Hinan itu kemudian bangkit keluar, agak terkejut saat melihat kehadiran Fahim, Sabrina, dan juga Wahid. Raut kecutnya seketika berubah menjadi ramah.
“Abah, ada tamu,” ujarnya kembali berbalik. Kemudian menyuruh Fahim dan yang lain masuk setelah menyuruh dua orang anak laki-laki yang tadi jadi objek kekesalannya pergi.
“JAGA kesehatan, ya.”
Itu adalah pesan terakhir Sabrina sebelum memercayakan Fahim pada pengurus pondok. Cukup lama, wanita berhati lembut itu memberi pelukan hangat sebelum mengecup singkat puncak kepalanya. Ada kekhawatiran yang melumuri seluruh bola mata teduh itu. Fahim turut merasakan getir yang menyapa saat spasi antara ia dan Sabrina tercipta.
Ini memang keputusannya. Tak seharusnya ia merasa begitu berat melihat Sabrina melangkah meninggalkannya. Hanya saja, setelah ini Fahim harus berjuang agar biasa tanpa kehadiran sosok itu. Seseorang yang bertahun-tahun tak jemu menjaganya. Hatinya yang dilimpahi kesabaran dan keikhlasan, entah akan Fahim temui atau tidak di tempat barunya ini.
“Kamu bisa istirahat dulu. Nanti pas jam makan siang, baru bisa keliling area pesantren.”
Fahim mengangguk singkat, sebelum kembali memfokuskan seluruh atensinya pada dinding-dinding lorong asrama yang ditempeli beragam pamflet dengan kata-kata mutiara Islam. Fahim yakin kreasi unik itu hasil kreatifitas santri-santri di Ulul Ilmi ini.
Langkah Fahim terhenti saat Halim, orang yang ditugaskan mengantarnya sampai asrama menghentikan langkah juga.
Mereka berdiri di depan pintu dengan label ‘Ruangan Khalid bin Walid’ yang menggantung di baliknya. Setiap kamar memang diberi nama para sahabat Rasulullah. Fahim bisa melihat beberapa nama sahabat Rasulullah lainnya menggantung di depan pintu kamar yang ia lewati sebelumnya.
Sekilas Fahim membaca salah satu pamflet di hadapannya. Selagi menunggu instruksi Hinan selanjutnya.
“ألصديق الحقيقي يعرف نقاط ضعفك، لكنه يطهرلك نقاط قوتك.
“Sahabat sejati itu tahu kelemahanmu, tetapi dia lebih milih nunjukin kelebihanmu.”
“Oya, siapa namamu tadi?”
Melupakan kata-kata yang dibacanya, Fahim kemudian menoleh ke arah Halim. “Muhammad Fahim,” jawabnya.
Halim mengangguk singkat. “Anak-anak yang lain masih PBM. Kamu bisa kenalan sama yang lain pas mereka pulang nanti.”
“Iya, Kak. Makasih banyak.”
Halim tak lagi bersuara. Ia tersenyum ramah sebelum kemudian berlalu.
Saat membuka pintu ruangan, Fahim dibuat terkejut. Kondisi di dalam sungguh seperti kapal pecah. Pakaian, buku-buku, dan alat-alat tulis tampak berserakan di mana-mana.
Menghela napas panjang, Fahim melangkah lebih dalam memasuki ruangan. Merasa tak tahu harus melakukan apa, alhasil Fahim memilih untuk membereskan segala kekacauan yang ada di sana.
Bandung
Publikasi, 22 Pebruari 2020
Revisi, 06 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top