2 | Mendadak Ragu

FAHIM mendudukkan dirinya di salah satu kursi. Memperhatikan Sabrina yang sejak selesai salat Subuh berjamaah langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti biasanya.

Memang seingat Fahim, Sabrina tidak pernah tidur lagi bakda salat Subuh. Pamali, katanya. Tidur setelah salat Subuh itu termasuk hal yang dilarang oleh Allah. Hailullah disebutnya, salah satu tidur yang menghalangi rezeki yang Allah tebar di pagi hari.

Fahim sendiri malah kerap tidur lagi, terlebih kalau malamnya ia begadang karena tak bisa tidur. Namun, subuh ini entah kenapa rasanya ada sesuatu yang menuntun langkah Fahim mengikuti Sabrina ke dapur. Entahlah, tiba-tiba saja ada rindu untuk Sabrina. Ia ingin melihat wajah cantik itu untuk beberapa lama.

“Eh, Fahim.” Mengunci tatap sebentar ke arah Fahim, Sabrina kemudian kembali sibuk dengan berbagai macam bumbu masak.

“Bikin nasi goreng, ya?” Fahim melontar tanya. Melipat tangan di atas meja dan menumpu dagu di sana. Memperhatikan betapa lihainya si Ibu berduet dengan alat-alat masak.

He-em. Kamu mau sarapan yang lain?” Gelengan Fahim kemudian mengguratkan kurva tipis di balik bibir Sabrina. Sesungguhnya, Sabrina begitu paham dengan watak anak-anaknya, tak terkecuali Fahim.

Jika diibaratkan rumah ini adalah sebuah panggung teater, maka Fahim adalah satu-satunya penonton. Hanya mengikuti alur cerita tanpa protes. Tanpa komentar. Tanpa bisa menuntut lebih. Hanya diam dan menerima apa yang ada.

Dari sejak kecil, Fahim tidak pernah banyak menuntut. Bahkan ketika ditanya, ‘Fahim mau sepatu yang bagaimana? Mau tas warna apa? Mau makan sama apa? Mau liburan ke mana?’ Fahim cuma punya satu jawaban. “Terserah.” Sebabnya, ketika Fahim—

“Umma, udah tanya sama Abba, ‘kan?”

—akhirnya meminta sesuatu, cukup berat untuk Sabrina menolak.

“Udah.” Sabrina menata piring di atas meja makan. “Kata Abba, boleh, kok.”

“Serius?” Mata Fahim berbinar. Ia menegakkan tubuhnya seketika.

“Tapi..., “ Mendudukkan dirinya di samping Fahim, Sabrina biarkan matanya menatap Fahim dengan rinci. Mencari kesungguhan di sana. “...Kamu yakin? Apa enggak perlu Umma dateng ke sekolah kamu dulu buat—”

“Enggak usah, Umma!”

“Fahim  ...”

“Umma enggak percaya ya, sama saya? Padahal Abang Wahid sama Kak Jahid kan lulusan pesantren juga. Tapi, kok Umma kayaknya enggak mau saya mondok?”

Sebanyak mungkin Sabrina mengeluarkan karbondioksida dalam dadanya. Berusaha mengumpulkan semua aura positif yang ada. “Umma percaya kok sama kamu.” Wanita berkacamata itu mengelus lembut rambut Fahim. Mengulas senyum tipis. “Okelah, Umma enggak akan memperpanjang soal bullying ini. Tapi, kamu enggak mau gitu cerita ke Umma kejadian yang sebenarnya itu gimana?”

Sebentar Fahim melarutkan diri dalam diam. Sebelum tertunduk seraya memainkan jemarinya, gugup. Sebenarnya Fahim ingin menceritakan apa alasan ia ingin pergi mondok. Namun,  Fahim ragu. Kendati selalu terlihat kuat seperti superhero, tetapi hati Umma itu terlalu lembut, mudah tersinggung bahkan dengan sentuhan ringan. Fahim yakin, Sabrina pasti akan menangis seandainya mendengar semua hal yang sudah terjadi padanya selama ini.

“Umma penasaran banget loh ini. Tapi, kalau misal kamu enggak bisa cerita hari ini, yaudah enggak apa-apa.” Umma itu selain baik, ia juga bijaksana. Satu-satunya orang yang paling memahami anak-anaknya.

“Maaf ya, Umma.”

Senyum tulus tergurat penuh di bibir ranum Sabrina. “Apa pun keputusan kamu, di mana pun kamu berada nanti, sejauh apa pun kamu sama Umma dan saudara-saudara kamu, ingat selalu pesan Umma. Oke?”

“Oke!”

“Apa coba?”

“Selalu berbuat baik kepada siapa pun. Karena, balasan untuk kebaikan adalah kebaikan pula.”

Senyum lebar Sabrina menular kepada Fahim. Selalu, senyum itu berhasil membuat Fahim seperti menemukan surga. Indah. Menawan. Membuat Fahim sesaat lupa segala beban yang bergumul dalam dadanya.

Memang, Umma itu penawar setiap nestapa yang menjerat jiwanya. Membuat Fahim jadi bimbang, apa ia sanggup pergi mondok kemudian berpisah dengan sosok itu?

DI pondok nanti, kamu harus lebih terbuka. Jangan gengsian. Cari teman yang baik. Walaupun di pesantren, bukan berarti orangnya baik semua.”

Anggukan kecil Fahim tunjukkan guna merespons petuah dari Wahid. Kakak pertamanya itu cenderung  cerewet. Suka mengatur. Hobi memerintah  dan tidak suka dibantah.

Si Koleris, begitu Umma memanggilnya. Memang, kealfaan sang Ayah di rumah membuat Wahid memegang penuh tanggung jawab seluruh keluarga. Sebabnya mahasiswa lulusan Fakultas Arsitektur itu selalu bersikap tegas dan keras kepala.

“Justru kebanyakan di pesantren itu anak-anak nakal, Bang. Rata-rata orang tua melempar anaknya ke pesantren karena mereka udah angkat tangan, enggak tahan sama kelakuan ambyar anaknya.” Setelah berujar demikian, Jahid menyeruput kopi hitam yang turut ia bawa sebelum ikut bergabung dengan Wahid dan Fahim di teras depan.

Sekilas Fahim menilik Jahid yang tampak menikmati kopinya.

Kalau kata Sina, Jahid itu seleranya Karuhun banget! Selain kopi hitam, Jahid juga penyuka makanan generasi kolonial lainnya.

“Kata Umma sih kayak Abang Wahid sama Abang Jahid dulu.” Sina tahu-tahu nyambar. Sambil terkekeh-kekeh, remaja kelas delapan SMP itu menyembul di balik pintu.

Wahid dan Jahid kontan saling pandang. “Kita berdua disuruh mondok sama Umma dulu tuh bukan karena nakal, Sin,” bela Wahid.

“Oya? Masa? Enggak percaya tuh.” Sina mengambil posisi di antara Wahid dan Fahim. “Wajah Abang berdua itu penuh aura antagonis tahu enggak.”

Fahim tertawa mendengar kata-kata Sina.

“Duh, cowok 3G gini ya kali dibilang antagonis,” protes Wahid. Membenarkan jambulnya, sok keren.

“3G?”

“3G: Good person; Good personality; Good looking,” sela Jahid cepat.

“Pantes aja Abang berdua ini lemot. Jaringannya masih 3G, sih. Orang udah 5G juga.” Sina mencebik, seraya melempar cibiran penuh candanya.

“Wah, Bang. Ini sih Nona princess minta diserang, nih.” Tangan Jahid sudah mulai siap menyerang Sina, begitu pun dengan Wahid. Tanpa menunggu detik berikutnya, kedua adik-kakak itu langsung menghadiahi Sina dengan sebuah gelitikan.

“AAAH, Kak Fahim tolong Sina.” Sina memeluk Fahim erat. “Ampun. Ampun abang-abangnya Sina yang ganteng!” Tangan Sina mulai sibuk menangkis asal tangan jahil si Abang yang tidak mau berhenti menggelitiki pinggannya.

Di sampingnya, Fahim hanya tertawa-tawa saja. Melihat keceriaan yang ada, membuat ragu sesaat melintas lagi dalam pikirnya.

Apa keputusannya untuk mondok itu benar?

Apa ia sanggup jauh dari keluarganya?

Apa ia bisa menahan rindu untuk semua keceriaan yang ada di rumah ini bersama Ibu dan saudara-saudaranya?

“Fahim? Ada telepon tuh dari Isyfa.”

Kehadiran Sabrina di sana tak hanya menghentikan kegiatan ricuh Sina, Wahid, dan Jahid, tetapi  juga membuat lamunan Fahim seketika terhenti.

AKU tahu kalau Lais tuh udah keterlaluan banget. Tapi, kamu beneran yakin sama keputusan kamu?”

Beberapa sekon Fahim biarkan hening menjawab tanya gadis cantik di sampingnya. Membiarkan udara yang bergerak menerbangkan hela napas panjangnya yang terasa begitu berat. “Aku yakin, kok.” Dusta. Bola mata yang kini terfokus pada jalanan ramai di hadapannya itu sesungguhnya dilumuri keragu-raguan yang mendalam.

Isyfa menunduk. Menatap ujung-ujung flatshoes merah mudanya dengan sendu. “Melarikan diri dari masalah itu tindakan pengecut, ‘kan?”

Sinar senja yang menyorot langsung sisi wajah Isyfa entah kenapa membuat gadis itu tampak lebih bersinar. Fahim memperhatikannya sejenak, sebelum kembali menundukkan pandangannya.

“Lagian, aku tuh heran deh sama si Lais. Dia itu kan sepupuan sama kamu. Tapi, kenapa sih kok dia nindas sepupunya sendiri?”

Fahim tak lagi bersuara. Tenggelamnya matahari turut  menenggelamkan Fahim pada kejadian-kejadian yang telah lalu. Kejadian yang membuat ia berpikir bahwa ia harus pergi meninggalkan kehidupannya saat ini.

Fahim itu tak pandai melawan, maka satu-satunya jalan adalah menghindar. Tak peduli seandainya orang bilang ia pecundang atau pengecut, seperti kata Isyfa. Karena yang dipikirkan Fahim saat ini adalah—

“Isyfa, kamu harus tahu.”  Fahim melirik Isyfa, menatap mata teduh gadis cantik itu dengan cukup lama. “Aku menghindar, bukan karena takut sama Lais.”

—Fahim hanya ingin sekali saja membuat Ayah dan ibunya bangga. Jika tidak di dunia, setidaknya di keabadian nanti.

“Tapi, Fahim. Kalau kamu pergi ...” Isyfa menggantungkan kalimatnya.

“Kalau aku pergi, kenapa?”

Bagaimana dengan perasaanku?

Bandung,

Publikasi, 11 Pebruari 2020
Revisi, 30 Juli 2021

Hubungi kontak yang tersedia untuk pemesanan Syubbanul Yaum vesri cetak. 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top