15 | Kembali ke Pondok

"KENAPA sih? Dari kemarin kamu murung terus. Masih mikirin kata-katanya Tante Hasni ya?"

Fahim menggeleng. "Aku belum bilang makasih karena kamu udah membelaku kemarin malam." Fahim mendudukkan dirinya di salah satu meja makan, setelah sebelumnya mengambil satu mug besar berisi air panas.

Setelah kejadian malam itu, Fahim memang jadi lebih banyak diam. Muhyi sampai bingung dan merasa tak nyaman. Semuanya terasa jadi canggung. Membuat Muhyi berharap waktu bergerak sedikit lebih cepat agar ia bisa segera kembali ke pondok. Alif dan Hamzah bahkan sempat berencana untuk pulang naik kendaraan umum dan tak menunggu diantar Jahid. Tapi, karena menghargai Sabrina, mereka akhirnya memutuskan untuk sedikit bersabar.

Belum lagi, sejak bangun tadi Muhyi merasa tidak enak badan. Pusing. Mual. Ia tahu udara subuh di tempat tinggal Fahim tidak sedingin di pondok, tapi entah kenapa ia merasa begitu kedinginan. Tenggorokannya juga sakit. Di samping sebelah hidungnya yang terasa tersumbat sesuatu, sepertinya flu.

"Aku enggak membela kamu. Aku cuma enggak suka tante kamu mandang pesantren dengan sebelah mata." Muhyi menggeser kursi yang lain, duduk tepat di hadapan Fahim.

"Aku ngerasa enggak berguna karena enggak bisa bela Umma waktu dipojokin sama Tante Hasni. Padahal Umma kelihatan sedih banget. Aku liat matanya berkaca-kaca, tapi aku beneran enggak bisa berbuat apa-apa buat bela Umma. Harusnya kamu aja yang jadi anaknya Umma."

"Aku emang anaknya Umma."

Fahim merengut. Suram semakin menghiasi wajahnya yang manis. "Emang harusnya kayak gitu. Kamu sempurna banget untuk Umma. Orang-orang pasti enggak akan menghina Umma seandainya kamu yang jadi anaknya."

Muhyi cukup terkejut dengan kata-kata Fahim. Ia bermaksud untuk bercanda, tapi Fahim tampak begitu terluka dan serius menanggapi ucapannya. "Aku enggak sesempurna itu, Fahim. Aku enggak benar-benar jago matematika, enggak benar-benar juara olimpiade fisika juga."

"Tapi kamu Hafidz Qur'an."

"Belum sempurna. Masih ada delapan juz yang harus kuhafalkan. Kamu mungkin bisa mengejarnya."

"Gak mungkin. Kamu bahkan sudah mendapatkan beasiswa ke Mesir." Fahim membuang muka. Tak berniat membalas tatap Muhyi.

"Tapi aku gak pergi. Jadi apa artinya?"

"Tetap saja, kamu beratus-ratus tingkat di atasku. Umma pasti lebih bangga punya anak kayak kamu. Aku yang penyakitan ini mana mungkin bisa membanggakan Umma seperti yang kamu bilang." Fahim berapi-api. Mendadak begitu emosi.

Memang serentetan bakat dan prestasi gemilang yang sempat Muhyi beberkan cukup membuat Fahim minder. Merasa kalau ia memang tidak ada apa-apanya di hadapan semua orang. Terlebih itu Muhyi. Fahim merasa tidak pantas berteman dengan orang sehebat Muhyi, di samping merasa kecewa sebab tidak bisa seperti Muhyi yang bisa membela Sabrina di tengah-tengah tekanan seperti kemarin.

"Kamu cemburu?" Muhyi memejam. Menghalau pening. Ia tidak mengerti kenapa mendadak Fahim seperti ini. Sama sekali tidak ia sangka kalau apa yang ia katakan waktu itu justru membuat Fahim seemosional ini. Niatnya adalah untuk memberi pelajaran kepada tantenya Fahim agar tidak bersikap sombong. Sebab di atas langit masih ada langit. Tapi, ia tidak menduga kalau hal itu justru membuat Fahim kehilangan kepercayaan dirinya.

Fahim membisu, tak ingin menjawab tanya Muhyi. Sebab, ia sendiri tidak yakin perasaan apa yang membuatnya sekacau saat ini.

Melihat Fahim bungkam, Muhyi bangkit. "Ya udah, kalau emang kayak gitu. Bersaing secara sehat denganku. Kalau emang ingin buat Umma bangga sama kamu, jadilah beribu-ribu tingkat di atasku. Gak usah mengasihani diri sendiri karena kamu sakit." Nada suara Muhyi naik beberapa oktaf. Tiba-tiba saja ia merasa jengkel dengan sikap Fahim yang seperti ini.

Fahim masih membisu. Matanya tampak berkaca-kaca. Merasa tidak ada yang benar-benar memahaminya.

"Ada banyak orang sakit di dunia ini. Bahkan mungkin lebih parah dari kamu. Tapi itu bukan berarti kamu berpikir kalau hidup kamu hanya berakhir sampai besok."

"Aku emang selalu berpikir kayak gitu! Aku bahkan gak bisa menolak semua kemauan Umma, termasuk kembali ke pondok karena aku berpikir mungkin besok aku tidak ada lagi di dunia ini. Kamu gak akan pernah pa——"

"Aku paham, Fahim. Aku bahkan jauh lebih mengerti daripada kamu!" Tahu apa yang hendak Fahim katakan, Muhyi memutus kalimat Fahim. Ia menggebrak meja di hadapannya, membuat Fahim cukup terkejut dengan aksi Muhyi. Fahim lupa kalau Muhyi tak begitu pandai menahan emosi.

"Justru karena kamu lebih mengerti daripada aku, makanya kamu gak akan pernah tahu apa yang aku rasakan! Muhyi, manusia yang serba segalanya, mana mungkin mengerti perasaan orang serba kekurangan sepertiku."

Panjang, Muhyi menarik napas. Berusaha mengendalikan diri. "Terserahlah!" Muhyi sadar kalau apa yang mereka permasalahkan saat ini bukan hal yang patut diperdebatkan. Sebabnya ia segera berbalik, hendak keluar dapur dan meninggalkan Fahim. Akan tetapi...

"Umma mau bikin sarapan. Kalian mau sarapan apa?"

...Sabrina muncul tiba-tiba.

Baik Fahim maupun Muhyi sama-sama terkejut dengan kedatangan Sabrina. Sesaat mereka saling pandang, sebelum mengalihkan tatap ke arah yang sama. Menatap Sabrina dengan senyum canggung.

"Ini ada apa ya?" tanya Sabrina lagi. "Kalian ber—"

"Umma punya obat flu gak? Aku ngerasa gak enak badan deh ini." Cepat, Muhyi menyela. Berusaha mengalihkan fokus Sabrina pada kejadian yang baru saja terjadi.

RAGU, Fahim melangkah mendekat ke arah Muhyi, Alif, dan Hamzah yang sudah siap-siap di depan rumah. Mereka tampak menunggu Jahid mengeluarkan mobil dari garasi. Melihat hal itu, dada Fahim terasa penuh. Sesak. Sementara air matanya menggenang nyaris tumpah.

Benarkah, aku sungguh tak bisa ikut pulang bersama mereka? Fahim membatin. Sedih menjerat segenap jiwanya yang sejak awal sudah rapuh. Perlahan hancur membayangkan tak akan ada lagi mereka di dekatnya.

Persahabatan mereka barulah terbentuk, tapi terikat kuat sehingga saat dipaksa untuk terlepas, membekaskan luka yang teramat dalam. Perih dan nyeri.

"Muhyi...." Berusaha melupakan pertengkaran mereka sebelumnya, Fahim memanggil nama itu.  Suaranya bergetar penuh haru.

Tak hanya si pemilik nama, tapi semua mata yang ada di sana tampak menoleh ke arah Fahim. Sabrina yang melihat ada begitu banyak nestapa terlukis di wajah anaknya seketika terenyuh dalam. Turut merasakan kesedihan yang Fahim tanggung. Benarkah keputusannya untuk kebaikan Fahim? Atau justru semakin menenggelamkan asa dan harapan Fahim? Semakin membuat Fahim jauh dari bahagia?

"Kalian yang akur." Fahim menatap Muhyi dan si kembar silih ganti. Berat sekali melepas mereka.

Muhyi memangkas jarak dengan Fahim agar lebih  mendekat. Singkat ia memeluk Fahim, juga melupakan kejadian tak mengenakkan di dapur tadi. "Jadi hafidz itu gak harus mondok, gak harus jadi santri. Yang penting, niat yang tulus karena Allah, selalu istiqamah, dan pantang menyerah!"

Fahim merasakan tepukan ringan di bahunya. Tapi, itu tak lantas membuat perasaannya tenang. "Kalian mau pulang ke pondok, tapi aku tetep di sini. Rasanya gak adil. Aku sedih banget. Kita mungkin gak bakal ketemu lagi." Hal itu yang sebenarnya membuat Fahim jauh lebih terluka, yang membuat Fahim semakin yakin tak akan pernah bisa bertingkat-tingkat di atas Muhyi.

Sejenak Muhyi membisu. Kemudian mengukir senyum setulus mungkin. "Nanti aku sama si kembar bakal sering main ke sini deh." Muhyi terkekeh kecil.

Tapi aku gak bisa. Aku gak mau. Aku juga pengen ikut pulang sama kalian. Fahim berteriak dalam hati, selagi air matanya menetes—yang langsung sigap dihapusnya. Menangis di hadapan Sabrina hanya akan membuatnya semakin terlihat payah dan menyedihkan. Bagaimana bisa ia melindungi Umma jika masih menangis hanya karena perpisahan kecil seperti ini.

"Semangat! Lain kali kalau tante kamu bersikap sombong, kamu jangan kelihatan lemah. Kalau gak bisa ditegur dengan cara halus dan cara tawadhu, kata-kata Imam Az-Zuhri mungkin bisa membantu. Bersikap sombong kepada pecinta dunia adalah bagian dari Islam yang kokoh."

Fahim mengangguk-angguk percis anak kecil saat dinasehati. Alif dan Hamzah bergantian memeluknya. Sadar kalau mereka akan menabung rindu untuk beberapa waktu yang lama. Jadwal kegiatan di pondok amatlah padat, tentu apa yang Muhyi bilang kalau mereka akan sering main ke rumahnya adalah bohong. Itu hanya sekadar untuk menghibur dirinya.

"Fahim, makasih banyak untuk semuanya. Kamu sehat terus. Baik-baik selalu," ujar Alif. Ia menepuk pundaknya. Di sampingnya Hamzah mengangguk, sepaham. Sementara Muhyi berjalan lebih dulu menuju mobil yang sudah terparkir di halaman rumah, tampak tak berniat kembali berbalik guna menatap Fahim.

Saat ketiga punggung temannya berbalik meninggalkannya, Fahim semakin dirundung pilu. Terlebih ketika pintu Rush hitam milik Wahid menelan tubuh sahabat-sahabatnya, air mata Fahim berlinang seketika—yang lagi—langsung dihapusnya. Melihat hal itu, di tempatnya Sabrina semakin risau dan bimbang.

"Umma, Jahid nanti bilang apa ya sama Pak Kiyai?" Jahid berdiri di hadapan Sabrina. Memainkan kunci mobil di tangannya dengan asal.

Sesaat Sabrina terdiam, selagi bola matanya berotasi guna melirik Fahim yang masih tampak terpaku di tempatnya. "Tunggu bentar ya, Kak? Umma kayaknya ikut aja deh. Terus kayaknya Fahim juga butuh waktu buat beresin barang-barang yang mau dibawa ke pondok."

"Maksud Umma?" Fahim sontak menoleh ke arah Sabrina.

"Katanya pengen balik ke pondok kan?"

Senyum Fahim merekah seketika. "Umma serius?" tanyanya sumringah. Berseri-seri seperti mentari pagi kala anggukan mantap Sabrina tertangkap lensa mata. Sambil menyerukan Alhamdulillah, Fahim berlari ke dalam rumah. Berniat membereskan semua keperluan yang hendak dibawanya.

Melihat hal itu, senyum Sabrina juga Jahid terbit seketika. Selama ini, baru pertama kalinya mereka melihat Fahim sebahagia saat ini.

"UDAH baikan, hm?"

Fahim tidak menyangka kalau Muhyi yang katanya ganteng, jago matematika, juara olimpiade fisika, punya suara bagus, dan lain sebagainya yang membuat ia tampak begitu sempurna, ternyata begitu payah.

Benar kata si kembar, dalam perjalanan yang bahkan tak sampai satu jam, laki-laki berwajah tampan itu mabuk parah. Jahid sampai beberapa kali berhenti hanya untuk membuat Muhyi merasa lebih baik. Sabrina bahkan sampai berniat membawa Muhyi ke klinik terlebih dahulu, yang Muhyi tolak tentu saja.

"Serius kemarin gak sampai parah kayak gini." Mereka baru saja tiba di pondok. Sabrina dan Jahid masih di rumah Pak Kiyai saat Muhyi dan Fahim juga si kembar bergegas ke asrama.

"Istirahat di rumah aja, Muh. Kamu sakit deh kayaknya." Alif juga setuju. Di perjalanan sebelumnya, kendati menggunakan kendaraan umum, Muhyi tidak muntah sampai kepayahan seperti saat ini. Sekarang bahkan sampai beberapa kali mengeluh pusing dan sakit kepala.

"Iya, Kak Hinan kan gak ada, kamu tidur di kamarnya aja." Hamzah menyetujui pendapat Alif.

Jujur, Fahim sangat senang melihat perhatian yang ditujukan Alif dan Hamzah kepada Muhyi. Ia akhirnya berhasil membuat hubungan ketiga saudara itu berangsur membaik.

"Aku istirahat di sini aja." Muhyi membuka resleting ranselnya. Ia ingat kalau sebelum pulang, Sabrina memberikan beberapa obat kepadanya. Niatnya ia akan meminum obat itu sebelum tidur dan istirahat. Tapi, gerakan tangannya tiba-tiba saja terhenti. "Aku kayaknya ketinggalan sesuatu di rumah kamu, Him."

Alis Fahim kontan berkerut. "Apaan?"

"Enggak tau. Tapi, kayaknya ada yang hilang deh."

.Bersambung
Bandung, 18 Juli 2020
Publikasi ulang, 28 November 2021

Bonus:


Sina kecewa sebab saat pulang sekolah, Kak Muhyi yang didambanya tidak lagi terlihat di rumah. Sambil cemberut, ia mengempaskan tubuhnya di atas sofa ruang tengah. Menatap hampa televisi yang gelap. Belum satu hari ditinggal pergi, kerinduan sudah menjamah sanubari.

Kapan bisa ketemu lagi ya?

Sadis gak ya kalo aku berharap Kak Fahim sakit lagi biar Kak Muhyi dateng lagi ke sini?

Kak Fahim sakitnya harus lama, biar Kak Muhyi juga lama di sini. Hehe...

Apaan sih aku ini? Kok kesannya jahat banget ya?

Hm, apa aku minta Umma buat mondok juga aja?

Sambil melipat tangan di dada, dengan ekspresi yang sama, hati Sina terus berceloteh. Sampai sesuatu yang tergeletak asal di atas meja mengalihkan atensinya. Cepat, ia meraih benda itu dan memekik tertahan.

Ini kan buku punya Kak Muhyi? Buat aku aja, ah!

Dengan erat, Sina memeluk buku itu di dadanya. Mendekap kerinduan panjang yang akan tercipta. Tak lama kemudian, gadis berkaos panjang abu-abu itu membuka buku tersebut. Tersenyum kecil kala melihat nama yang tertulis di sudut atas sana. Iseng, ia meraih pena yang selalu tersedia di samping telepon rumah. Lantas menulis sesuatu di bawah nama yang ada di buku itu.

Puas dengan hasil coretannya, Sina membuka halaman buku itu dengan asal. Karena ia memang tidak berniat membacanya. Sampai, sebuah tulisan di halaman terakhir buku itu menarik perhatiannya.

Kak Muhyi beneran bisa bikin puisi? Hebat!

....
Keisengan Sina 😂

....

Puisi Karya Muhyi

.....

Ada yang baca buku yang sama kayak Kak Muhyi?

....

Kesibukan duniawi ini terasa tiada habisnya, sampai-sampai tiap mau revisi beberapa cerita termasuk Syubbanul Yaum ini selalu enggak sempet.

Jadi, ini sebenarnya lebih ke publikasi ulang aja. Aku enggak revisi apa-apa. Buat tulisan yang lebih rapi, kalian bisa baca di versi cetak aja, ya... 😊

Btw, Follow IG aku @naesu13.

....
 
Novel bisa dipesan lewat peberbit orinami di 0878 8558 0860
Atau, sekalian kenalan, lewat kontak penulis di 0813 9846 3367 juga boleh, kok.

Ada diskon 10% untuk pemesanan, loh.

Untuk info lebih lanjut, boleh colek instagramnya @orinamipublisher.

Makasih...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top