14| Perdebatan yang Panjang
FAHIM sebenarnya enggan keluar dari kamar. Hanya saja, keberadaan Muhyi, Alif, dan Hamzah, membuatnya tak enak jika tidak mengikuti pengajian yang berlangsung. Sebabnya, mau tidak mau Fahim terpaksa keluar dari tempat persembunyiannya. Toh, sebelum acara dimulai, ia sudah mempersiapkan diri untuk tak ambil peduli dengan apa pun yang akan didengarnya.
Bukan apa-apa, kadang ada beberapa anggota keluarga yang sering berkata tak mengenakan tentang dirinya. Itu rasanya jauh lebih mengerikan ketimbang ditindas oleh Lais, sepupunya sendiri.
Saat muncul di ruang tengah, tempat yang biasa dijadikan acara kumpul keluarga, Fahim melihat semua keluarganya sudah hadir. Lais tampak duduk di samping Rohan, kakek dari ayahnya. Tampak tidak terganggu dengan kedatangannya.
Acara sudah dimulai sejak beberapa menit yang lalu. Semua tampak khidmat membaca zikir dan doa munajat. Namun, kehadirannya nyaris mengalihkan seluruh tatap yang ada.
Isyfa yang juga turut hadir—sebab ia dan ayahnya sudah Sabrina anggap keluarga—tampak tersenyum, selagi melambai ringan ke arahnya. Gadis itu tampak cantik dengan jilbab biru langitnya. Ia duduk di antara Sina dan juga Hasni, salah satu anggota keluarga yang paling Fahim hindari jika ada acara keluarga seperti ini.
Mengabaikan tatap sinis Hasni, Fahim mengambil tempat di sisi Muhyi, bersebelahan dengan Dokter Ahmad—Ayah Isyfa, juga dokter yang menangani penyakitnya selama ini.
“Kok, lama?” Muhyi berbisik, menyenggol lengan Fahim dengan pelan.
“Pemantapan hati dulu,” jawab Fahim dengan berbisik pula.
Sebelah alis Muhyi terangkat kontan, tak paham dengan maksud Fahim. Namun, tak ingin terlalu ambil pusing, Muhyi kemudian kembali fokus dengan bacaannya. Fahim pun melakukan hal yang sama.
Saat acara selesai, Fahim hendak buru-buru bangkit. Namun, suara Rohan menahan pergerakannya.
“Kamu mau ke mana, Fahim? Enggak kangen Kakek apa? Salam dulu, sini!”
“Tadinya mau bantu Umma nyiapin makanan.” Alasan Fahim sambil menunjukkan deretan gigi putihnya. Ia menggeser dirinya mendekat ke arah Rohan. Lantas menyalami pria tua itu. Tanggung, ia pun menyalami paman, bibi, om, tante, dan saudara-saudara sepupunya yang lebih tua, tak lupa Dokter Ahmad.
“Seneng Kakek lihat kamu sehat gini.” Rohan menepuk-nepuk punggung Fahim penuh sayang.
Fahim hanya tersenyum saja, seraya mengambil posisi di tempat semula. Sekilas Fahim melirik Lais yang masih anteng di tempatnya. Memang, Lais itu sangat dingin dan irit bicara, terlebih jika di hadapan banyak orang seperti ini. Namun, siapa yang tahu kalau sepupunya itu begitu mengerikan di mata Fahim? Bahkan, bagaimana cara sosok itu menindasnya selama ini tak pernah benar-benar bisa Fahim lupakan.
“Katanya, kemarin-kemarin kamu masuk rumah sakit lagi? Kenapa?” Itu adalah suara Abdul, paman Fahim. Adik bungsu si Ayah.
“Enggak apa-apa. Fahim cuma kontrol rutin aja.” Sabrina menyahut cepat, membuat tatapan Fahim dan Dokter Ahmad, juga Wahid dan Jahid sontak terarah padanya. Jelas kentara wanita itu tengah menyembunyikan kondisi Fahim dari anggota keluarga yang lain.
“Alhamdulillah kalau begitu.”
Kemudian hening beberapa saat. Semuanya sibuk menikmati makanan yang baru saja Sabrina—dibantu Sina dan Isyfa—hidangkan di tengah-tengah ruangan.
“Na, kata Aliya kamu pindahin Fahim ke pesantren? Bener, ya?”
Tak hanya Sabrina, Fahim dan juga yang lain sontak saja menoleh ke arah Hasni.
Fahim mulai menegang di tempatnya. Kalau tantenya itu sudah mulai ambil suara, pasti akan ada kata-kata tajam yang melukai perasaannya. Salah satu alasan kenapa Fahim selalu menghindari kakak dari ayahnya itu.
Sekilas Sabrina melirik Aliya, istri dari Abdul yang juga Ibunda Lais. Benar, Fahim dan Lais berada di sekolah dan kelas yang sama sebelumnya. Wajar seandainya adik ipar suaminya itu tahu kalau Fahim pindah sekolah.
“Bener, Na? Kok Papa enggak tahu?” tanya Rohan. Ia menatap Sabrina dengan intens.
“Aku cuma ta—”
“Kamu tuh, Na, kebiasaan! Suka ambil keputusan sendiri. Harusnya sebelum mutusin apa-apa tuh diskusi dulu sama kita semua.” Hasni memotong kalimat Sabrina dengan cepat.
Seolah sudah begitu memahami karakter tantenya itu, Wahid dan Jahid hanya saling lempar tatap sebelum kemudian menikmati makanan mereka lagi.
“Enggak gitu, Mbak. Aku enggak ambil keputusan sendiri, kok. Aku diskusi dulu sama Wahid, sama Jahid, sama abbanya Fahim juga. Dan mereka setuju, kok.”
“Iya, tetapi kan harusnya kasih tahu kita juga. Papa terlebih. Seenggaknya kita semua bisa kasih kamu rekomendasi sekolah yang baik, kalau emang Fahim mau pindah sekolah. Enggak harus pesantren juga, ‘kan?” Hasni tak tanggung nyerocos, tak memberi kesempatan yang lain untuk menyela. Namun, seolah semua sudah begitu paham, mereka hanya cuek-cuek saja. Lain dengan ketiga teman Fahim. Mereka menatap Hasni dengan kerut heran di kening.
“Memangnya kenapa kalau pesantren?” Wahid melempar tanya saat kalimat terakhir Hasni terdengar begitu ambigu di telinganya. “Menurut aku pesantren juga sekolah yang baik, kok,” sambung si Sulung.
“Adik kamu tuh sakit, Wahid. Dia tuh enggak boleh jauh-jauh dari keluarga. Lagi pula, harusnya Umma kamu tuh belajar dari yang sudah-sudah. Kalian berdua aja lulusan pesantren, tetapi satu pun enggak ada yang bisa membanggakan.”
“Buat aku, mereka membanggakan, kok, Mbak.” Pesat, Sabrina menyela. “Walaupun mereka belum sukses seperti anak-anaknya Mbak, tetapi buat aku mereka jauh lebih segalanya dibandingkan anak mana pun.”
Fahim begitu terharu mendengar kalimat Sabrina. Di sampingnya, Muhyi hanya diam memperhatikan. Kendati mulutnya cukup gatal sebenarnya. Tak tahan ingin membalas kata-kata wanita yang duduk tak jauh dari posisinya itu. Sungguh, Muhyi tidak suka bagaimana cara Hasni berkomentar tentang pesantren. Alif dan Hamzah bahkan sudah mengepalkan tangan kuat-kuat. Mereka lahir dan tumbuh di pesantren, sangat tersinggung saat mendengar kata-kata Hasni yang seolah berpikir kalau pesantren bukan lembaga pendidikan yang baik.
“Kamu sama suami kamu tuh terlalu memanjakan anak-anak, Na. Makanya mereka susah buat sukses. Coba deh lihat Mbak sama Mas Furqon. Anak-anak kami sukses jadi dokter, jadi polisi, jadi PNS, itu karena kami tegas sama mereka. Kamu tuh—”
“Mbak, udahlah!” Aliya menegur. Ia meraih tangan Hasni, bermaksud menghentikan cerocosan kakak iparnya itu. “Tiap orang tua kan punya cara sendiri-sendiri buat mendidik anaknya.”
“Kak Sabrina pasti lebih tahu bagaimana cara mendidik anak-anaknya. Tugasnya cukup berat tanpa Mas Hisyam, tetapi sejauh ini dia bisa besarin anak-anaknya dengan baik.” Abdul menimpali di tempatnya.
“Bibi Aliya sama Paman Abdul bener, loh, Tan. Seorang Ibu itu tuh, yang cerewet kayak Mbak aja punya tempat spesial di hati anak-anaknya. Apalagi yang lembut dan penuh cinta kayak Umma.” Sambil menyeruput kopi hitamnya, Jahid berujar tenang. Kata-katanya sukses membuat raut wajah Hasni berubah dongkol.
“Ya, Mbak kan cuma kasih saran aja. Mbak juga kan pengen masa depannya Fahim tuh cerah kayak anak-anaknya Mbak. Jangan sampai kesempatan hidup yang udah dikasih sama pendonor tuh sia-sia.”
Fahim seperti merasa sesuatu menusuk sadis relung hatinya kala kalimat itu terdengar. Jantungnya tiba-tiba saja berdenyut nyeri. Ia begitu paham kalau sejak dulu hidupnya terlampau sia-sia. Tak punya tujuan yang pasti, seolah hanya hidup untuk menunggu mati saja. Sejak awal, Hasni memang sangat berniat menyinggungnya, di samping ingin membanggakan dirinya sendiri. Seperti biasa.
Tak cuma Fahim, Sina dan Isyfa merasa begitu kesal dengan kata-kata Hasni. Sabrina terlebih. Wanita itu hanya bisa bungkam sebab ia tidak begitu pandai berdebat. Wahid bahkan ingin sekali menyumpal mulut tantenya itu dengan gorengan di hadapannya.
“Hasni, kamu enggak boleh bicara gitu!” Rohan menegur. Sekilas ia melihat Fahim yang murung di tempatnya.
“Papa juga dulu selalu ajarin kita buat tegas sama anak-anak. Sabrina ini terlalu lembek, apalagi sama Fahim. Makanya baru dikasih tahu gitu aja, pundung.”
“Ma, jangan gitu dong sama Fahim. Dia baru aja mau kumpul bareng sama kita, malah ada temen-temennya juga. Kasihan dikomentarin gitu sama Mama.”
“Iya, Mama ini gimana, sih?”
Anak-anak Hasni yang sedari tadi dibangga-banggakan turut protes. Tak nyaman dengan sikap si Ibu.
“Saya ke kamar dulu.” Kalimat Fahim mengalihkan seluruh atensi yang ada. Laki-laki pengidap penyakit jantung itu hendak bangkit. Namun, tangan Muhyi menahannya. Menyuruh sosok itu untuk kembali duduk.
“Sebelumnya, maaf buat semuanya. Saya tidak bermaksud apa-apa.” Muhyi mengambil suara hingga kini seluruh tatap terfokus kepadanya. Bahkan Lais yang semula tidak tertarik dengan perdebatan yang ada, turut menatapnya. “Saya cuma mau tanya, apa kalau Fahim tinggal di pondok itu berarti dia enggak bisa sukses?”
Hasni mendelik tak suka. “Lihat aja kakak-kakaknya. Mereka lulusan pondok pesantren, tetapi satu pun enggak ada yang bisa diandalkan. Kalau dulu kalian enggak sok-sokan nyantri dulu dan langsung kuliah, kalian mungkin udah jadi orang sekarang. Udah bisa bantuin orang tua. Ayah kalian enggak perlu susah-susah kerja di negeri orang.”
“Astagfirullah ...” Sabrina mengelus dada. Matanya berkaca-kaca. Merasa begitu terluka dengan segala racauan kakak iparnya itu.
Di seberang Muhyi dan Fahim, Alif dan Hamzah tampak geram. Mereka ingin buka suara, tetapi Muhyi memberi kode agar mereka tetap diam.
“Saya enggak nanya soal Abang Wahid sama Kak Jahid. Karena setiap orang punya takaran nasib berbeda. Saya tanya soal Fahim. Apa kalau Fahim tinggal di pondok, itu berarti dia enggak bisa sukses?” Suara Muhyi semakin tegas terdengar. Ia sudah tidak peduli lagi kalau di sekelilingnya kini adalah orang-orang yang lebih tua darinya. Baginya, ia harus membuat Fahim kembali percaya pada dirinya sendiri. Juga memberi pelajaran kepada mereka yang seenaknya memandang sebelah mata pondok pesantren.
“Kamu masih bocah, bisa bicara lebih sopan sama istri saya?” Tak terima dengan sikap Muhyi, Furqon—suami Hasni— angkat suara, terkesan membela.
“Iya, kamu ini siapa, hah? Masih kecil udah songong, enggak punya sopan santun!” Merasa ada yang membela, Hasni semakin menjadi.
Muhyi berdecak. Seringainya mendadak muncul. “Saya Muhyi Abdul Aziz. Ganteng. Jago matematika. Pinter kimia. Juara olimpiade fisika. Juara MQK nasional. Punya suara bagus. Qori Internasional. Punya bakat bikin puisi. Hafiz Quran. Dan saya ini seorang SANTRI. Saya belum lulus, tetapi beberapa minggu ke belakang nama saya bahkan masuk dalam kuota penerima beasiswa ke Mesir.”
Apa yang Muhyi paparkan mendadak membuat semuanya membisu. Hasni merengut di tempatnya, selagi merapatkan rahang kuat-kuat. Buku-buku tangannya bahkan tampak memutih saking kuatnya ia mengepalkan tangan.
“Abah saya pemilik pondok pesantren. Beliau hanya lulusan SD, tetapi dia punya puluhan pekerja yang hampir semuanya sarjana. Beliau hanya lulusan SD tapi bolak-balik pergi ke Makkah buat haji. Beliau hanya lulusan SD tapi rejekinya melimpah ruah. Punya pesantren. Punya perkebunan. Punya pertenakan. Punya ribuan santri. Semua orang menghormatinya. Membanggakannya. Jadi, maaf ...”
Jeda. Muhyi menunduk. Lelah juga bicara panjang lebar. “… apa yang Tante miliki saat ini enggak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang Abah saya miliki. Apalagi sama apa yang Allah miliki. Jadi, tante enggak boleh begitu lagi sama Fahim. Karena walau cuma lulusan pondok pesantren, bisa jadi suatu saat dia lebih unggul dari saya, lebih unggul dari anak-anaknya Tante.
“Saat Fahim sudah hafal tiga puluh juz Al-Qur’an dan mengamalkannya dengan baik, maaf aja Tante, di hadapan Allah anak Tante yang polisi, dokter, dan PNS, mungkin enggak lebih baik dari Fahim.”
“Muhyi ...” Fahim memanggil nama itu. Berharap Muhyi menghentikan kata-katanya. Walaupun dalam hati ia puas melihat Hasni diam tak berkutik, tetapi Fahim mulai merasa tak nyaman dengan situasi yang ada.
Suami dan anak-anaknya Hasni bahkan begitu runcing menatap Muhyi dan dirinya. Di samping Sabrina dan ketiga saudaranya, terlebih Sina, yang menatap Muhyi dengan bangga.
“Satu hal lagi, Tante.” Muhyi menyikut lengan Fahim yang terus-menerus menyuruhnya berhenti. “Tante enggak akan tahu seberapa luas alam semesta ini, kalau dalam hati Tante hanya ada dunia.”
Dan, kalimat terakhir Muhyi malam itu berhasil menghentikan perdebatan. Namun, menciptakan kecanggungan yang teramat parah di antara keluarga Hasni dan Sabrina.
“KENAPA, sih? Masih mikirin kata-katanya Tante Hasni, ya?”
Fahim menggeleng. “Aku belum bilang makasih karena kamu udah membelaku malam tadi.” Fahim mendudukkan dirinya di salah satu meja makan, setelah sebelumnya mengambil satu mug besar berisi air panas.
Setelah kejadian semalam, Fahim tiba-tiba saja bersikap aneh. Muhyi sampai bingung dan merasa tak nyaman. Semuanya terasa jadi canggung. Membuat Muhyi berharap waktu bergerak sedikit lebih cepat agar ia bisa segera kembali ke pondok.
Belum lagi, sejak bangun tadi Muhyi merasa tidak enak badan. Pusing. Mual. Ia tahu udara subuh di tempat tinggal Fahim tidak sedingin di pondok, tetapi entah kenapa ia merasa begitu kedinginan. Tenggorokannya juga sakit. Di samping sebelah hidungnya yang terasa tersumbat sesuatu, sepertinya flu.
“Aku enggak membela kamu. Aku cuma enggak suka tante kamu memandang pesantren dengan sebelah mata.” Muhyi menggeser kursi yang lain, duduk tepat di hadapan Fahim.
“Aku ngerasa enggak berguna karena enggak bisa bela Umma waktu dipojokin sama Tante Hasni. Padahal Umma kelihatan sedih banget. Aku lihat matanya berkaca-kaca, tetapi aku beneran enggak bisa berbuat apa-apa buat bela Umma. Harusnya kamu aja yang jadi anaknya Umma.”
“Aku emang anaknya Umma.”
Fahim merengut. Suram semakin menghiasi wajahnya yang manis. “Emang harusnya kayak gitu. Kamu sempurna banget untuk Umma. Orang-orang pasti enggak akan menghina Umma seandainya kamu yang jadi anaknya.”
Muhyi cukup terkejut dengan kata-kata Fahim. Ia bermaksud untuk bercanda, tetapi Fahim tampak begitu terluka dan serius menanggapi ucapannya. “Aku enggak sesempurna itu, Fahim. Aku enggak benar-benar jago matematika, enggak benar-benar juara olimpiade fisika juga.”
“Tapi kamu Hafiz Quran.”
“Belum sempurna. Masih ada delapan juz yang harus kuhafalkan. Kamu mungkin bisa mengejarnya.”
“Enggak mungkin. Kamu bahkan sudah mendapatkan beasiswa ke Mesir.” Fahim membuang muka. Tak berniat membalas tatap Muhyi.
“Tapi aku enggak pergi. Jadi apa artinya?”
“Tetap saja, kamu beratus-ratus tingkat di atasku. Umma pasti lebih bangga punya anak kayak kamu. Aku yang penyakitan ini mana mungkin bisa membanggakan Umma, seperti yang kamu bilang.” Fahim berapi-api. Mendadak begitu emosi.
Memang serentetan bakat dan prestasi gemilang yang sempat Muhyi beberkan cukup membuat Fahim minder. Merasa kalau ia memang tidak ada apa-apanya di hadapan semua orang, terlebih itu Muhyi.
Fahim merasa tidak pantas berteman dengan orang sehebat Muhyi, di samping merasa kecewa sebab tidak bisa seperti Muhyi yang bisa membela Sabrina di tengah-tengah tekanan seperti kemarin.
“Kamu cemburu?” Muhyi memejam. Menghalau pening. Ia tidak mengerti kenapa mendadak Fahim seperti ini. Sama sekali tidak ia sangka, kalau apa yang ia katakan waktu itu justru membuat Fahim seemosional ini.
Niatnya adalah untuk memberi pelajaran kepada tantenya Fahim agar tidak bersikap sombong. Sebab di atas langit masih ada langit. Namun, ia tidak menduga kalau hal itu justru membuat Fahim kehilangan kepercayaan dirinya.
Fahim membisu, tak ingin menjawab tanya Muhyi. Sebab, ia sendiri tidak yakin perasaan apa yang membuatnya sekacau saat ini.
Melihat Fahim bungkam, Muhyi bangkit. “Yaudah, kalau emang kayak gitu. Bersaing secara sehat denganku. Kalau emang ingin buat Umma bangga sama kamu, jadilah beribu-ribu tingkat di atasku. Enggak usah mengasihani diri sendiri karena kamu sakit!“ Nada suara Muhyi naik beberapa oktaf. Tiba-tiba saja ia merasa jengkel dengan sikap Fahim yang seperti ini.
Fahim masih membisu. Matanya tampak berkaca-kaca. Merasa tidak ada yang benar-benar memahaminya.
“Ada banyak orang sakit di dunia ini. Bahkan mungkin lebih parah dari kamu. Tapi, itu bukan berarti kamu berpikir kalau hidup kamu hanya berakhir sampai besok.”
“Aku emang selalu berpikir kayak gitu! Aku bahkan enggak bisa menolak semua kemauan Umma, termasuk kembali ke pondok karena aku berpikir, mungkin besok aku tidak ada lagi di dunia ini. Kamu enggak akan pernah pa—”
“Aku paham, Fahim. Aku bahkan jauh lebih mengerti daripada kamu!” Tahu apa yang hendak Fahim katakan, Muhyi memutus kalimat Fahim. Ia menggebrak meja di hadapannya, membuat Fahim cukup terkejut dengan aksi Muhyi. Fahim lupa kalau Muhyi tak begitu pandai menahan emosi.
“Justru karena kamu lebih mengerti daripada aku, makanya kamu enggak akan pernah tahu apa yang aku rasakan! Muhyi, manusia yang serba segalanya, mana mungkin mengerti perasaan orang serba kekurangan sepertiku.”
Panjang, Muhyi menarik napas. Berusaha mengendalikan diri. “Terserahlah!” Muhyi sadar kalau apa yang mereka permasalahkan saat ini bukan hal yang patut diperdebatkan. Sebabnya ia segera berbalik, hendak keluar dapur dan meninggalkan Fahim.
Akan tetapi ...
“Umma mau bikin sarapan. Kalian mau sarapan apa?”
... Sabrina muncul tiba-tiba.
Baik Fahim maupun Muhyi sama-sama terkejut dengan kedatangan Sabrina. Sesaat mereka saling pandang, sebelum mengalihkan tatap ke arah yang sama. Menatap Sabrina dengan senyum canggung.
“Ini ada apa, ya?” tanya Sabrina lagi. “Kalian ber—”
“Umma punya obat flu, enggak? Aku ngerasa enggak enak badan, deh, ini.” Cepat, Muhyi menyela. Berusaha mengalihkan fokus Sabrina dari kejadian yang baru saja terjadi.
Bersambung,
Publikasi, 11 Juli 2021
Revisi, 21 Oktober 2021
Bonus:
Muhyi: “Ummaaa, maaf. Aku beneran enggak maksud ngomong ngelantur kayak tadi. Hapunten pisan, ya, Umma. Keluarga Tante Hasni pasti marah banget sama keluarga Umma.”
Sabrina: “Enggak apa-apa, Muhyi. Mungkin kali-kali Mbak Hasni perlu digituin juga.”
Sina: “Kak Muhyi hebat banget tadi. Suka deh gayanya.”
Muhyi: “Aku ngerasa keterlaluan banget tadi. Sampai gemeter gini saking enggak nyadar tadi ngomong apa aja. Ya Allah ...”
Sina: “Tante Hasni lebih keterlaluan. Kak Fahim sampai kelihatan banget sedihnya. Sina puas lihat muka piasnya Tante Hasni tadi. Salah sendiri tuh mulut berisik banget kayak kembang api tahun baru.”
Sabrina: “Sina enggak boleh gitu, ya.”
Sina: “Hehe ... iya, Umma. Maaf.”
Muhyi: “Tadinya aku cuma inget kata-katanya Imam Syafi'i: 'bersikaplah sombong kepada orang sombong sebanyak dua kali'. Tapi, kayaknya aku ketelaluan. Aku mungkin harus minta maaf juga sama Tante Hasni dan keluarganya.
Jahid: “Udah, enggak usah terlalu dipikirin juga.”
Alif: “Eh tapi, Muh. Aku baru tahu, loh. Kalau kamu jago matematika. Juara olimpiade fisika juga. Terus beneran, ya, kamu dapet kuota beasiswa ke Mesir?”
Muhyi: “Tahulah, aku mau pingsan aja.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top