11 | Mencoba Menerima

FAHIM masih merajuk seharian ini. Tak terima sebab Sabrina tiba-tiba membawanya pulang. Saat membuka mata, Fahim tahu-tahu sudah ada di rumah sakit. Dengan berbagai selang dan kabel yang menempel di sekitar tubuhnya. Kendati sudah terbiasa, tetap saja itu mengganggu dan membuat tak nyaman. Juga yang membuat Fahim kesal, adalah keputusan Umma beberapa jam yang lalu. Wanita itu meminta ia untuk tak kembali ke pondok.

“Terus, sekarang Fahim maunya gimana?” Sabrina meletakkan ponselnya di atas nakas usai membalas pesan seseorang. Ditatapnya wajah pucat Fahim dengan penuh kesabaran.

Fahim tak lantas menjawab. Netranya justru sibuk menatap dinding putih ruang rawatnya kali ini.

Sabrina menghela napas, lalu mengusap lembut rambut Fahim. “Umma bangga pas tahu Fahim minta Kiai dijadiin Tim Keamanan Pondok, berarti Fahim udah berani ngambil tanggung jawab besar. Tapi, harusnya Fahim tanggung jawab dulu sama diri sendiri. Juga sama yang ada di sini.” Wanita berhati lembut itu kemudian menunjuk dada Fahim.

“Iya, saya tahu. Saya ini harusnya tahu diri.” Fahim memalingkan muka ke arah lain, tak berniat bersitatap dengan Sabrina. “Walaupun empat tahun lalu saya udah dapat donor, tetep aja saya ini manusia cacat.”

“Astaghfirullah ...” Sabrina kontan nyebut. Tak percaya kalau Fahim bisa berkata demikian.

“Kamu kok ngomongnya jadi kasar gitu sama Umma?” Wahid, dengan satu kantong plastik berisi dua kotak sterofoam di dalamnya melangkah mendekat. Ia mencium tangan Sabrina sebelum meletakkan barang bawaannya. Lantas mengambil tempat di sisi kosong ranjang Fahim.

Fahim mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Menahan sesuatu yang rasanya ingin meledak dalam dada. Kesal.

“Kamu udah jadi santri, bukannya tambah saleh malah jadi gini. Mau jadi anak durhaka?”

“Abang kok ngomongnya gitu, sih?” Disebut anak durhaka, Fahim jelas tidak terima. Bukan tanpa sebab ia bersikap seperti saat ini. “Lagian, saya emang belum jadi anak saleh, makanya pengen balik ke pondok.”

“Iya, tetapi enggak pake bilang manusia cacat juga. Masih Alhamdulillah kamu bisa hidup sampai sekarang. Malah dikasih bonus istimewa sama Allah.” Wahid melirik Sabrina yang tampak sedih di tempatnya. “Banyak di luar sana yang ibunya enggak sebaik dan sesalihah Umma.”

Fahim tak menyuarakan apa pun lagi. Larut dalam pikirannya sendiri.

“Minta maaf sama Umma,” titah Wahid. Menuntut.

“Maaf ...”

“Yang bener!”

Kontan saja Fahim menutup mata saat tangan Wahid terangkat. Terlihat seperti berniat memukulnya. Fahim tahu, Wahid tidak sesabar Sabrina. Jauh lebih tempramen dibanding Jahid juga.

“Abang! Umma sama Abba enggak pernah ngajarin main tangan, ya?!” Sabrina menegur saat melihat reaksi Wahid. Ia langsung saja membawa Fahim dalam dekapannya.

“Abisan kesel. Ini anak kenapa jadi aneh gini, sih? Biasanya juga nurut-nurut aja sama perintah orang tua.”

Fahim tertunduk. Menahan tangis. Dadanya mendadak terasa penuh. Ia hanya merasa kalau anggota keluarganya tak mengerti apa maunya saat ini. Selama hidupnya, ia tidak pernah memiliki banyak kemauan sebab sadar kalau mungkin saja hidupnya akan berakhir esok hari. Namun, saat ia memiliki sesuatu yang membuatnya semangat untuk hidup berpuluh-puluh tahun lagi, keluarganya justru menahan dirinya.

“Yaudah, terserah kalian. Saya nurut aja!” Fahim melepaskan rangkulan Sabrina. Lantas mengambil posisi untuk tidur menyamping, memunggungi Sabrina dan juga Wahid.

Seandainya tidak diizinkan ke pondok lagi, Fahim tidak masalah. Dari awal ia sudah berjanji tidak akan membuat Sabrina bersedih lagi.

SEMINGGU sudah berlangsung. Sabrina tidak lagi melihat Fahim merajuk. Terlebih merengek. Karena tak berniat masuk ke sekolah umum lagi, Fahim hanya menghabiskan seluruh waktunya untuk berdiam diri di rumah. Sekadar nonton anime atau bermain ponsel. Kadang sesekali membantunya juga di dapur.

Tidak terlihat bentuk protes yang ditunjukan. Fahim terlihat seperti biasanya. Namun,  Sabrina justru begitu mencemaskan hal itu. Terasa tidak normal saat anak seusia Fahim begitu mudah menerima kenyataan yang tak sesuai dengan keinginannya.

“Kata Dokter, sih, ada masalah gitu sama jantung barunya Fahim.

“Iya, Fahimnya pengen balik ke pondok. Tapi, Umma khawatir sama...

“Iya, tapi, kan...

“Coba kalau Abba di sini, di posisi Umma.

“Enggak, bukan gitu. Umma cuma...

“Abba ...”

Fahim menghentikan langkahnya di ambang pintu ruang tengah begitu penggalan kalimat Sabrina bertepi di telinga. Mendung menggantung di balik wajah cantik si Ibu. Membuat Fahim yakin kalau hasil pemeriksaan kesehatannya seminggu yang lalu—yang tak Sabrina beri tahu padanya—pasti buruk. Sesuatu yang memaksa Sabrina menahannya agar tak kembali ke pondok.

Panjang, Fahim menarik napas. Lantas diembuskan dalam sekali hela. Jujur, dalam hati ia tidak ingin mengeluh akan kondisi lahirnya yang lemah. Sebab ia sudah dilatih untuk terbiasa dengan segala sakit yang ada sedari kecil. Namun,  tetap saja rasanya susah untuk bersikap berlapang dada ketika ruang geraknya mesti dibatasi seperti sekarang. Terlebih, ketika ia mulai bisa merasakan kehidupan yang sesungguhnya saat berada di Ulul Ilmi.

Melupakan niatnya untuk menemui Sabrina, Fahim balik kanan. Undur diri dan berjalan menuju dapur. Tiba-tiba saja, ia merasa membutuhkan air minum. Saat langkahnya tiba di dapur, ia melihat Sina tengah berdiri menghadap kompor. Gadis itu tampak sedang sibuk memasak mi instan, selagi mulutnya mengudarakan senandung kecil.

Bunyi suara air dalam galon menarik atensi Sina. Membuat tatapnya dengan Fahim beradu. “Kak Fahim bikin kaget aja,” ujar gadis itu seraya menuang mi ke dalam mangkuk. Lantas berjalan menghampiri Fahim yang sudah duduk di salah satu kursi makan.

Fahim hanya tersenyum kecil. Wangi bumbu mi instan yang Sina masak membuatnya lapar. Namun, suasana hatinya yang tak baik membuat nafsu makannya menjadi buruk.

“Kak Fahim mau?” tawar Sina. Mengarahkan kipas angin portabel ke arah mangkuk. Kata Umma, Rasulullah mengajarkan untuk tidak meniup makanan yang panas, dikipas jauh lebih baik.

Fahim menggeleng. Meneguk kembali air minumnya.

“Lagi enggak happy, ya?”

“Enggak juga, sih.”

Kemudian beberapa saat hening dibiarkan mengambil alih. Fahim sibuk dengan pikirannya sendiri, sementara Sina tampak begitu khidmat dengan makanannya. Sina adalah satu-satunya hal yang membuat Fahim selalu merasa begitu bersalah.

“Maafin Kak Fahim ya, Sin.” Karena kondisinya, Sina dipaksa harus mandiri sejak kecil. Hari-hari yang Sina lalui saat semua keluarga lebih sibuk mengurus dirinya yang penyakitan pasti begitu berat.

“Minta maaf apaan, sih, Kak Fahim ini.” Tawa kecil Sina mengudara. Ia merapikan bekas makannya dan membawanya ke wastafel.

Pandangan Fahim mengikuti tiap gerak-gerik Sina. Memperhatikan bagaimana saudara perempuan satu-satunya itu mencuci piring.

“Sina, tuh, kadang selalu berpikir kalau Kak Fahim itu hebat banget. Sina, sih, belum tentu bisa sekuat itu kalau ada di posisi Kak Fahim.”

Tak lantas merespons kalimat Sina, Fahim mengulur waktu untuk menarik napas sedalam yang ia bisa. Ditatapnya punggung mungil Sina dengan sayu.

“Capek ya, Sin, harus selalu tersenyum di saat keadaan memaksa buat nangis?”

Sesaat gerakan tangan Sina terhenti begitu tanya Fahim bertepi. Kemudian, masih dengan busa sabun di tangannya ia berbalik guna menatap Fahim yang kini tampak menempelkan sebelah sisi wajahnya di atas meja. Raut ceria yang selalu terlukis di balik wajah imut Sina pun sesaat memudar.

Revisi, 19 September 2021

Bonus:

Pernah satu malam, Muhyi diajak Halim menuju sebuah tempat. Lokasinya lumayan jauh dari Ulul Ilmi. Sekitar sepuluh menit jika naik motor. Katanya, tempat itu bagian dari UIul Ilmi juga, tetapi entah kenapa terletak begitu jauh dari pondok.

Jalan menuju tempat itu tak begitu ramai. Ada beberapa rumah warga sebenarnya. Namun, keberadaan pohon-pohon tua yang besar dan tinggi membuat kesan horor begitu kental terasa.  Muhyi itu penakut. Di sepanjang jalan, ia memeluk erat pinggang Halim. Pikirannya membayangkan hal yang tidak-tidak.

“Kang, hantu itu ada, enggak, sih?” Muhyi tiba-tiba bertanya. Mengusik sepi, sebab Halim diam saja sejak tadi. Dia jadi takut kalau yang memboncengnya itu bukan Halim.

“Ada ...” Halim menjawab.

“Serius?”

 Halim tak lagi menjawab. Ia menghentikan motornya di salah satu lahan kosong. Di dekat salah satu rumah tua berdinding bilik bambu. “Di sini lagi rawan curanmor, kamu tunggu di sini dulu.”  Karena harus melewati tangga yang cukup panjang untuk menuju tempat tujuan, jadi ia terpaksa menyimpan motornya di bawah.

“Enggak mau. Ikut aja.” Muhyi memutar bola mata. Menyapu keadaan di sekelilingnya. Suasana sepi, kendati ada beberapa rumah warga, membuat Muhyi tidak yakin kalau situasi di sana aman.

“Nanti kalau motornya ada yang nyuri, kita balik jalan kaki. Mau?”

Muhyi menggeleng kontan. “Tapi, kalau ada hantu, gimana?”

“Ya Allah, Muhyi. Kamu penghafal Al-Qur’an, tetapi kok takut sama hantu, sih?” Kang Halim tertawa kecil, selagi tangannya menyentil jidat Muhyi. Gemas sekali.

“Abisan tadi kata Akang, hantu itu ada.”

“Iya, ada. Di sini.” Laki-laki bertubuh tinggi itu menunjuk kepala Muhyi. “Di pikiran kamu.”

Muhyi hanya nyengir saja. Kemudian dengan berat hati, ia melepas kepergian Halim. Saat tubuh pengurus asrama itu tak lagi terjamah mata, Muhyi tiba-tiba saja merasa bulu kuduknya merinding.

Guna menghilangkan segala pikiran tak jelas dalam kepalanya, ia memilih untuk membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang dihafalnya. Sampai tiba-tiba saja ...

“Assalamualaikum  ...”

“Astaghfirullah!”

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top