10 | Agen Rahasia
JADI, di Ulul Ilmi itu terdapat delapan kompleks. A sampai G. Beda gerbang dan beda bangunan. Kompleks A itu area Kelas Madrasah. Dari kelas I sampai kelas VII. Kompleks B adalah area asrama putra. Komplek C untuk area sekolah, dari Diniyyah sampai Aliyyah. D adalah tempat berkumpulnya ruang-ruang khusus. Kantor guru, Aula Pesantren, perpustakaan, laboratorium IPA, puskentren, ruang berbagai macam ekskul, dan lain sebagainya. F itu asrama santri putri, jaraknya cukup jauh dari kompleks yang lain. G adalah kompleks paling barat, tempat Kiai memelihara beberapa hewan ternak. H kompleks yang paling sering dikunjungi. Lapangan olahraga dan upacara, kantin, kopasad (Koperasi Para Ustaz), dan dapur pesantren pun ada di sana.
Kebayang seberapa luas Pesantren Ulul Ilmi ini, ‘kan?
Saking luasnya, Kiai membentuk delapan Tim Keamanan yang setiap tim berisi empat anggota. Semua disebar luas ke tiap kompleks.
Fahim, Muhyi, Alif, dan Hamzah entah apes atau bagaimana, kebagian tugas patroli di kompleks G. Bukan sebab area itu tempat berkumpulnya hewan-hewan ternak, bau, dan kotor. Hanya saja, kompleks G itu tempat yang paling rawan maling. Sering kali beberapa hewan peliharaan Kiai Muhsin hilang entah ke mana.
Dan juga, tak jauh dari kompleks G tersebut, ada bangunan tua tak terpakai—bekas vila mewah—yang konon tempat berkumpulnya para jin dan makhluk halus. Mang Jali, petugas peternakan, katanya pernah beberapa kali diteror hantu berambut pirang dengan wajah rata.
“Padahal, ngarep banget bisa patroli di kompleks F,” keluh Hamzah.
“Iya, tadi siang enggak sempet lihat neng geulis Asna,” imbuh Alif.
“Palingan Asna juga sekarang ada di lapangan. Gabung sama jemaah pengajian,” celetuk Muhyi
Sekarang, mereka—Tim Keamanan Pondok 7—tengah duduk-duduk santai di salah satu bangku tak jauh dari kandang ayam. Sayup suara Udin yang menggantikan Muhyi jadi vokal terdengar. Muhyi sedikit sedih mendengarnya. Harusnya ia ada di atas panggung saat ini. Tak perlu bersusah-susah kedinginan, terseok-seok melewati jalan-jalan penuh rumput di sekitarnya.
“Penasaran, deh. Di vila itu beneran ada hantunya enggak, sih?” Alif berujar setelah hening beberapa saat. Membuat seluruh atensi yang ada turut mengikuti arah pandangnya.
“Lihat ke sana, yuk!” ajak Hamzah.
“Jangan mikir macem-macem bisa, enggak? Bukan area yang harus kita awasi juga kan.” Muhyi protes. Ia melirik Fahim yang diam saja sejak tadi. Kiai sempat mewanti-wanti agar tak mengunjungi vila itu.
“Dih, bilang aja penakut!”
“Kalau kalian mau ke sana yaudah! Tapi, jangan seret aku sama Fahim kalau kena sidang karena pergi lewat batas.” Muhyi melepas sorban yang ia kenakan, lantas melilitkannya di leher Fahim. Laki-laki itu tampak kedinginan kendati seragam Ulul Ilmi-nya sudah dibalut jaket super tebal.
Dalam diam, Fahim memperhatikan Muhyi. Sempat menolak, takut Muhyi juga kedinginan, tetapi tatapan mengancam Muhyi membuatnya tak berkutik. Pasrah saja, walau dalam hati ia bahagia lantaran memilik sahabat sepeka laki-laki penghafal Al-Qur’an itu.
“Makanya, aku bilang satu tim sama kamu tuh, enggak asyik.” Alif mendengkus. “Sok berani, tetapi aslinya chicken. Ya, enggak, Zah?” sambung Alif mencela. Ia berusaha menggapai-gapai anak ayam di dalam kandang.
Hamzah mengangguk. “Manusia itu makhluk paling mulia. Enggak harus takut sama hantu.”
“Kalau kalian emang berani, yaudah pergi aja berdua sana.” Di samping itu memang sebenarnya Muhyi ini penakut, ia juga tidak bisa membayangkan sidang berat yang akan dihadapi. Seandainya melanggar ketentuan yang sudah ditetapkan.
“Fahim, ayo ikut ki—”
“Fahim sama aku aja!” Dengan protektif, Muhyi langsung merangkul Fahim. Tidak mengizinkan siapa pun membawanya pergi.
“Enggak kompak, nih.” Alif yang sudah bangkit, kembali duduk. “Enggak seru ...” putra bungsu pemilik pesantren itu merenggut, cemberut. Di mata Fahim ekspresinya sungguh terlihat lucu.
“Eh, tadi itu yang lari-larian siapa, ya?” Ini adalah suara pertama Fahim. Laki-laki kelas tiga Madrasah itu baru saja melihat beberapa orang berlari melewati kandang sapi, sebelum menghilang di balik gudang tempat menyimpan pakan ternak.
“Bener! Aku juga lihat. Pake seragam Ulul Ilmi juga, ‘kan, ya?” sahut Hamzah.
“Susulin, ayo!” Alif kembali bangkit, disusul oleh Hamzah dan Fahim.
“Kamu mau di sini?” Fahim bertanya pada Muhyi yang hanya diam saja.
“Beneran kamu lihat orang-orang itu?” tanya Muhyi memastikan. Perasaannya tak enak. Ia kalau kebetulan nonton film horor saja, hantunya terbayang-bayang hingga satu minggu lebih. Apalagi dihadapkan dalam situasi nyata seperti saat ini.
WALLAHI, baik Fahim maupun yang lain, tak ada yang memercayai pemandangan di depan mereka. Semuanya sama-sama menahan napas kala reka adegan di dalam vila—yang katanya—angker itu berkumpul orang-orang yang tengah asyik merokok, ditemani beberapa botol minuman keras. Beberapa dari mereka mengenakan seragam Ulul Ilmi. Juga salah satunya Fahim kenal jelas.
“UDIN!”
Fahim dan Muhyi hanya bisa mematung saat Hamzah meneriakkan nama itu. Orang-orang itu berjumlah sembilan orang. Tiga di antaranya santri Ulul Ilmi termasuk Udin. Rata-rata masih seusia Fahim dan yang lain. Ada juga yang masih terlihat seperti anak SMP. Mereka semua kontan menoleh ke arah Hamzah dan yang lain.
Udin yang pertama bangkit, ia tampak terkejut dan melirik kedua santri Ulul Ilmi lainnya. Burhan dan Zaki. Satu anak kamar Shuhaib bin Sinan, dan satu lagi anak kamar Abu Bakar.
“Wiiss, anak-anak Kiai, Bro!” Burhan. Muhyi kenal ia sebab sama-sama personel hadrah. Dia satu tingkat di atasnya. Muhyi pikir Burhan orang yang baik sebab selalu terlihat ramah kepada siapa pun. Terlebih dia pernah satu tim bersama Hinan di TKP. Namun, ternyata—
“Munafik!”
—Fahim menoleh ke arah Muhyi. Kecewa jelas tergurat di balik wajah tampan itu.
“Jangan ngomong seenaknya kalau enggak tahu apa-apa?!” Udin adalah orang yang paling membuat Fahim kecewa. Laki-laki itu sangat baik padanya. Namun, di malam yang diagungkan oleh seluruh warga Ulul Ilmi, teman sekamarnya itu justru melakukan hal tercela.
“Kalian ini apa-apaan?! Ayo, balik!” Alif berniat meraih tangan Udin untuk mengikutinya. Namun, Burhan justru menepis kasar tangan itu. “Kita enggak bakal aduin ini ke Abah dan Ketua TKP. Jadi, ayo balik ke pondok!”
“Kalian balik aja. Enggak usah ikut campur urusan kita. Kalau mau ngadu, yaudah ngadu aja sana!” Masih di posisi yang sama, Zaki berujar santai. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Muhyi dan kawan-kawan.
Mata Muhyi menyipit, curiga dengan situasi di hadapannya. Intens ia menatap Burhan, Udin, dan Zaki silih ganti. Ada yang ketiga orang ini sembunyikan.
“Kalau kalian mau di sini, yaudah! Tapi, biar Udin balik sama kita. Kalau mau berbuat dosa jangan ajak-ajak temen kita, dong!” Hamzah berusaha meraih tangan Udin.
“Jangan sok suci, Anj**g. Mentang-mentang anak Kiai, terus ngerasa paling bener. Padahal aslinya sama-sama absurd. Munafik!” Salah satu dari pemuda mabuk di sana maju. Berdiri di hadapan Hamzah.
Fahim benar-benar membungkam mulutnya. Dadanya berdebar-debar tanpa irama yang jelas. Sesak. Ia sama sekali tidak mengerti kejadian apa yang sesungguhnya sedang terjadi di depan matanya saat ini. Fahim pikir, ia tidak akan menemukan hal segila ini di lingkungan pesantren.
“Diem, Gob**k!” Hamzah tak tahan. Ia melayangkan tinjunya ke arah pemuda di hadapannya. “Jangan bawa-bawa nama Kiai. Kita memang bukan anak baik, tetapi kita enggak sampai bertindak sejauh ini. Terlebih nyicip barang haram kayak kalian!”
Tak terima dipukul seperti itu, pemuda itu balik memukul. Alif berniat memisahkan, tetapi beberapa pemuda lain di sana malah turut menyerangnya. Alhasil, dia turut terlibat perkelahian.
“Muhyi. Ayo, balik ke pondok!” Suara Fahim menyadarkan Muhyi yang sejak tadi hanya diam. Tiba-tiba saja dadanya sakit. Ia terlalu terkejut dengan apa yang tengah terjadi saat ini.
Di tempatnya Muhyi dirundung bingung. Dalam hati ia mengutuk sikap tempramen Hamzah yang gampang main tonjok. Padahal semuanya bisa selesai tanpa harus berkelahi. Terlebih mereka kalah jumlah saat ini.
“Fahim, kamu pergi duluan, oke?! Aku mau misahin dulu mereka.”
Fahim menggeleng. Beberapa dari mereka sudah mabuk berat. Fahim khawatir karena pengaruh minuman keras, mereka melakukan hal-hal nekat pada teman-temannya.
Tanpa memedulikan Fahim yang mulai ketakutan dan nyaris menangis, Muhyi masuk ke area perkelahian. Menarik tubuh Alif menjauh dari lawannya terlebih dahulu sebelum—
“HAMZAH, AWAS!”
—merengkuh tubuh Hamzah. Melindungi sosok itu dari hantaman balok kayu yang nyaris melayang ke arahnya. Hamzah langsung berbalik, setelah sebelumnya menonjok pemuda pengecut yang baru saja menggunakan alat untuk menyerangnya—di saat ia hanya menggunakan kepalan tangan.
Sesaat, Muhyi merasa telinganya berdenging kala belakang kepalanya menjadi sasaran pukul. Matanya kehilangan fokus. Jeritan Fahim dan Alif sempat tak terdengar.
“Muhyi ...”
Muhyi berusaha menahan sadarnya untuk tak tenggelam sebab usahanya untuk menghentikan perkelahian akan sia-sia. Karenanya ketika Hamzah mulai kembali mengamuk, ia berusaha menahan gerak laki-laki itu.
“Udah cukup! Kalian balik, please!” Udin membantu Muhyi bangkit dan menarik Hamzah mundur. Sekilas ia melihat Burhan dan Zaki menahan amukan anak-anak berandalan di sana.
Hamzah hendak protes, tetapi ekor matanya kemudian menangkap gerak-gerik Fahim yang tampak kesakitan. Laki-laki itu membungkuk dalam, selagi meremas kuat dadanya. Alif berusaha menenangkan Fahim di sana.
“Demi Allah, balik sekarang. Buruan!” Udin berbisik di telinga Muhyi dan Hamzah. “Nanti aku jelasin semuanya.”
Meski bingung, Muhyi dan Hamzah melangkah mundur. Meninggalkan vila yang ternyata tak seangker yang digunjingkan orang. Malah tempat kosong itu dijadikan tempat untuk bermaksiat oleh beberapa orang yang tak bertanggung jawab.
Saat langkah mereka akhirnya berhasil menjauhi tempat itu dan mulai kembali masuk ke area pesantren, Fahim merasa tulang-tulang dalam tubuhnya seperti meleleh. Ia kehilangan oksigen. Dadanya semakin sesak seolah sesuatu tiba-tiba menyumbat sistem pernapasannya. Keringat dingin bercucuran hampir di seluruh pori tubuhnya. Sebelum tubuhnya ambruk, ia melihat tubuh Muhyi lebih dulu oleng sebelum akhirnya jatuh tersungkur.
“YA ALLAH!”
Kemudian, pekikan Alif dan Hamzah adalah hal terakhir yang Fahim dengar.
“KALIAN, gagalin misi kita.” Dengkusan kasar lepas dari mulut Burhan. Di sampingnya, Udin hanya menatap ketiga temannya tak enak. Terlebih Muhyi yang bahkan sempat pingsan. Zaki sebagai ketua—yang katanya—agen rahasia, hanya menatap datar ketiga orang di hadapannya.
“Ya, ‘kan, kita enggak tahu kalau itu misi rahasia.” Hamzah mendengkus, melirik Muhyi yang kini berdiri di sampingnya. “Iya, enggak, Muh?”
Muhyi cukup terkejut saat tangan Hamzah tiba-tiba merangkul pundaknya. Namun, kemudian ia mengangguk mengiyakan.
Memang, sejak awal ia sudah menaruh curiga terhadap ketiga orang di hadapannya. Pasalnya, mereka termasuk santri kepercayaan Kiai. Rasanya tidak mungkin mereka turut terjerumus ke dalam perbuatan tercela seperti kemarin. Meskipun Muhyi juga tidak tahu misi apa yang sebenarnya sedang mereka jalankan. Sehingga harus berbaur dengan pemuda-pemuda tukang mabuk seperti kemarin.
“Kalian harus tanggung jawab!” tukas Burhan, seraya melipat tangan di dada.
Mata Alif membulat. Lantas dengan bersungut-sungut ia menolak keputusan kakak tingkatnya itu. “Tanggung jawab apaan? Kalian yang harusnya tanggung jawab. Fahim sama Muhyi sampai pingsan gara-gara siapa coba? Fahim bahkan sampai dibawa pulang gara-gara penyakitnya kambuh.”
“Ya, salah siapa ngikutin kita? Inget, ya. Batas Ulul Ilmi itu enggak sampai vila.”
“Tapi, kan, kita itu pen—”
“Sudahlah! Jadi kalian pengennya kita ngapain?” Muhyi memotong kalimat Hamzah. Pusing sebab nyaris satu jam ini mereka larut dalam perdebatan tentang siapa yang harus mempertanggungjawabkan masalah yang terjadi kemarin.
“Kalian bertiga, berempat sama Fahim. Wajib jadi anggota Syubbanul Yaum.”
“Syubbanul Yaum?”
Revisi, 18 September 2021
Order versi cetaknya di shopee orinami.official.
Mampir juga ke sini yaa, siapa tahu betah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top