1 | Keinginan yang Kuat
"UMMA, saya mau mondok."
Gerakan tangan wanita yang tengah mengocek air jahe itu sesaat terhenti. Netra indah yang dibingkai kacamata minus itu kontan berputar, menatap rinci sosok yang kini tengah terduduk kaku di hadapannya."Kok tiba-tiba minta mondok? Kenapa?" Kemudian tanya itu terlempar, selagi tangannya menyodorkan gelas berisi air jahe itu ke hadapan putranya.
Fahim tak lantas menjawab. Sibuk menyeruput isian gelas dengan perlahan. Masih panas. "Saya enggak suka sekolah di sini."
Jawaban Fahim jelas mengundang kerutan di dahi si Ibu. "Lagi ada masalah, ya?" Tangan lembut wanita berjilbab marun itu kemudian terulur, meraih tangan putra ketiganya itu untuk ia bawa dalam sebuah genggaman hangat.
Fahim tertunduk. Menatap air di dalam gelas yang tampak tenang, lain dengan jiwanya yang selalu dihantui gundah gulana. "Saya di-bully teman-teman, Umma."
Mendengar hal itu, mata Sabrina sedikit melebar. "Di-bully? Sejak kapan?" tanyanya dengan tak sabar.
Lama Fahim terdiam. Kemudian menggeleng lesu. "Enggak inget."
"Astaghfirullah, kenapa kamu baru bilang sama Umma, hm? Umma kan bisa dateng ke sekolah kamu. Ngomong baik-baik sama guru—"
"Saya mau mondok, Umma. Tolong bilangin ke Abba, boleh apa enggak."
Melihat Fahim menyela cepat kata-katanya, Sabrina paham kalau si Anak tidak ingin ia membahas lebih jauh soal bullying itu, apa pun alasan Fahim, Sabrina tidak suka memaksa anak-anaknya untuk menceritakan sesuatu yang memang tidak ingin mereka ceritakan. Ia akan mencobanya pelan-pelan nanti.
"Umma, coba telepon Abba nanti, ya? Tapi, Fahim coba pikirin dulu baik-baik keputusannya."
Fahim hanya mengangguk saja. Toh, ia sudah memikirkan keputusan yang akan diambilnya berulang kali. Tekadnya sudah kuat untuk pindah sekolah ke pondok pesantren.
"KATANYA sih pengen mondok."
"Yasudah."
"Kok, yasudah, sih?" Wanita berkacamata itu sontak merengut kala kalimat singkat di balik headset bluetooth itu terdengar.
"Ya, terus?"
"Abba enggak pengen nanyain dulu kenapa gitu sama anaknya? Katanya dia di-bully loh di sekolah." Selagi tangannya sibuk memilah-milah pakaian kotor, gemas wanita itu melempar tanya.
"Bujuk anak masuk pondok itu susah, loh, Umma. Lah, ini anaknya yang mau, kenapa Umma harus mikir dua kali?" Sesimpel itu memang suaminya.
"Tapi, Abba tahu kan Fahim itu gimana?"
"Emang Fahim gimana?"
"Abba ini ..." Sabrina lagi-lagi merengut, cemberut. Jika berhadapan dengan suaminya ia selalu lupa kalau sudah memiliki empat anak yang mulai tumbuh dewasa.
"Ah, iya, Abba lupa. Fahim itu kan anak Abba yang baik, dewasa, pinter, paling kuat, paling hebat, dan paling tangguh. Makasih karena Umma udah ingetin Abba."
Sabrina tak lantas menanggapi. Mulai sibuk memasukkan beberapa pakaian kotor ke dalam mesin cuci untuk digilas.
"Memercayakan segalanya kepada Fahim pasti sulit. Namun, memercayakan segala urusan kepada Allah itu sebuah keharusan. Umma paham, 'kan?"
Sabrina menggumam dan mengangguk kendati suaminya tak mungkin melihat hal itu di seberang sana. Berputarnya mesin cuci seolah turut memutar ingatannya pada masa-masa yang telah lalu.
Ia tahu bahwasanya Fahim sudah menjadi anak yang normal setelah mendapat donor empat tahun lalu. Dia tumbuh sehat meskipun masih harus check up rutin. Namun, sampai saat ini Sabrina belum bisa memercayai segala sesuatunya kepada Fahim, terlebih untuk urusan seperti saat ini. Kadang, ketika harus meninggalkan Fahim sendiri saja di rumah ia selalu merasa cemas, apalagi jika harus meninggalkan Fahim di pesantren.
"YAKIN emangnya? Di sana enggak bisa hapean loh, Dek. Enggak bisa main PS. Enggak bisa nonton anime. Makan enak juga paling cuma kalau ada acara-acara besar aja." Tetap fokus dengan drawing tablet-nya, Wahid berujar. Berusaha meyakinkan si Adik.
Melupakan game online yang tengah diaksesnya, Fahim lantas menatap kakak sulungnya itu dengan datar.
"Nanti Sina sedih loh Kak, kalau Kakak pergi." Di sampingnya, Sina turut menimpali. Si Adik perempuan itu menyandarkan kepalanya di bahu Fahim dengan manja, tanpa niat mengalihkan tatap dari televisi yang menyala. Fahim mengacak rambut Sina dengan gemas.
"Emang mau mondok di pesantren mana?" Masih dengan rambut basah, Jahid duduk di sebelah Sina. Si Nomor Dua ini baru saja selesai mandi.
"Kak Jahid emang setuju saya mondok?" Di antara yang lain, respons Jahid terdengar berbeda rasanya.
Jahid mengangkat bahu. "Emangnya yang lain enggak setuju, ya?"
Hela napas Fahim mengudara. "Enggak tahu," jawabnya lesu. Di saat ia punya keinginan kuat, keluarganya justru tampak tidak mendukungnya.
Publikasi, 03 Pebruari 2020
Revisi, 23 Juli 2021
Cerita ini, sudah diterbitkan oleh penerbit Orinamipublisher.
Hubungi kontak di atas untuk order versi cetaknya, yaaa...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top