Chapter 02 : Goresan Tinta Di Atas Kertas
"Ayo bertukar rahasia!"
"Hah?"
Tidak ada angin, tidak ada hujan. Tiba-tiba saja berkata seperti itu. Siapa pula yang tidak akan terkejut?
Lagi pula, bukankah menanyakan rahasia orang itu tidak sopan?
"Apa perlu kuulangi? Ayo bertukar rahasia!" ulang lelaki itu dengan senyum sumringah.
Aku menatap tidak mengerti. "Kenapa pula aku harus melakukannya?"
"Entahlah, tidak ada alasan khusus. Hanya ingin saja," jawabnya sembari mengedikkan kedua bahu.
Hanya ingin saja.
"Sudah selesai. Aku akan pulang duluan." Aku meletakkan tumpukan kertas yang telah disusun rapi ke atas meja guru sejarah.
"Sekarang? Bukankah lebih baik menunggu guru kembali terlebih dahulu?"
"Kamu saja yang menunggu, aku ingin pulang." Sungguh, apakah dia berusaha menahanku? Menyebalkan sekali.
Kevin terdiam beberapa saat, kemudian mengangguk pelan. "Oke, aku mengerti. Kalau begitu aku juga akan pulang. Guru sejarah pasti akan mengerti."
Hm? Aku tidak mengira bahwa dia mengikuti pilihanku. Kupikir dia akan di sini lebih lama karena kegiatan ekstrakulikuler.
"Kegiatan klub sepak bola dibubarkan lebih awal karena kejadian tadi. Kautahu, saat pelatih kami yang baru saja tiba dari kemacetan mendengar berita ini, dia pasti marah besar. Hahaha, lihatlah, bahkan tidak ada yang berani mengirim pesan di group chat." Kevin tertawa pelan seraya menunjukkan layar tipis ponsel pintar miliknya kepadaku.
Aku hanya melirik sekilas, tidak begitu tertarik.
Meraih tas yang tadi kuletakkan di sisi meja guru, aku berjalan keluar dari ruangan tempat para guru berkumpul itu. Beberapa guru sepertinya terlalu larut dengan pekerjaannya sehingga tidak menyadari kehadiran kami.
Kupikir akhirnya aku bisa tenang dengan melangkahkan kaki melewati gerbang sekolah, nyatanya presepsiku runtuh kala mendapati Kevin berjalan di belakangku. Aku menghentikan langkah, menoleh ke arahnya dengan pandangan tak suka. "Kenapa kamu mengikutiku?"
"Siapa pula yang mengikutimu? Arah jalan pulangku memang lewat sini," jawabnya dengan wajah menyebalkan.
Aku mendengkus pelan. Malas berdebat, akhirnya kubiarkan dia berjalan di belakangku. Aku--atau mungkin kami--berlalu dalam keheningan tanpa sepatah kata, hanya terdengar suara klakson mobil bersama kepadatan kota di sore hari. Deretan mobil berbentuk persegi panjang tanpa roda mengantre di langit-langit, menunggu lampu merah berubah menjadi hijau. Orang-orang berjalan kaki di bagian bawah, sedangkan kendaraan berada tepat di atas mereka.
Teknologi mutakhir yang terus menerus berkembang. Hidup serba mudah, namun biaya semakin membengkak. Bagi masyarakat yang hidup terbatas sepertiku, mereka lebih memilih untuk tinggal di rumah normal dan menaiki kendaraan umum dibandingkan tinggal di rumah modern yang serba otomatis serta mobil terbang edisi terbaru.
Sebuah bola berukuran sedang melayang tepat di hadapanku. Ada layar yang menampilkan iklan, serta sepasang tangan mekanik menyerahkan sebuah brosur kepadaku. Tepat ketika aku menerima brosur tersebut, bola itu terbang menjauh.
Aku menatap brosur yang berisi diskon belanja di sebuah mini market. Mungkin saat hari libur aku akan pergi ke sini untuk berbelanja bahan dapur. Kesempatan seperti ini tidak boleh aku lewatkan.
Perempatan, aku berbelok ke kanan, menaiki anak tangga menuju halte bus. Ketika aku menoleh ke belakang, aku masih mendapati sosok Kevin di sana, membuatku refleks mendesis pelan.
"Hey, ada apa dengan wajah itu?" Kevin tertawa, entah apa yang dia tertawakan. Anak ini sering sekali tertawa tidak jelas. Aku mencoba berpikir positif bahwa dia sudah gila. "Rumahku berada di Jalan Silver, dan bus ini selalu berhenti di halte yang ada dekat sana. Jangan terlalu percaya diri bahwa aku sedang mengikutimu."
Aku melirik sinis. Siapa juga yang bertanya dimana tempat dia tinggal? Aku sama sekali tidak peduli. Yang membuat suasana hatiku kurang bagus itu adalah keberadannya yang sangat berisik.
Sebuah benda besar berbentuk bersegi panjang melayang di depan kami. Aku mengantre memasuki benda yang tak lain adalah bus tersebut. Begitu melangkah ke pintu masuk, aku menempelkan sidik jadi di layar hitam yang tersedia. Nantinya uang di rekeningku akan terpotong secara otomatis sesuai dengan tarif bus. Setelah menyelesaikan transaksi singkat tersebut, aku segera melangkah masuk dan duduk di kursi yang tersedia.
Bus ini memiliki dua lantai agar orang-orang mendapatkan tempat untuk duduk, meski tidak dapat dipungkiri jika suasana sedang ramai, tidak semua orang mendapatkan tempat duduk.
Segerombolan mahasiswa yang duduk di hadapanku berbicara mengenai ponsel pintar keluaran terbaru, yang mana ponsel tersebut dapat mengeluarkan sebuah layar proyeksi transparan. Jadi ketika menonton sebuah film, aktifkan saja fitur tersebut, maka sebuah layar tambahan akan muncul keluar dari ponselmu, memudahkanmu untuk menonton film.
Harga? Jangan tanya aku. Aku bahkan tidak memiliki ponsel pintar, karena jelas harganya setinggi langit. Aku hanya mengandalkan telepon rumah jika ingin menghubungi seseorang, itupun hanya untuk memesan makanan atau ketika mendapat tagihan bulanan.
"Anise, lihat! Apa kamu tahu bahwa virtual idol bernama Ferdyne akan mengadakan konser di Balai Kota minggu depan?" Kevin membuka percakapan. Sepertinya dia tipe orang yang tidak tahan diam. Karena sejak jalan kaki hingga bus melaju tadi, kami belum memulai percakapan sepatah kata pun.
Aku menggeleng pelan. Aku memang pernah mendengar namanya, sering sekali menjadi perbincangan anak kelas, tetapi aku tidak mengetahui siapa dia sebenarnya.
Wajah Kevin terlihat terkejut. "Kamu serius tidak tahu? Kupikir semua anak perempuan mengidolakannya."
Mungkin lebih tepatnya, semua anak perempuan yang mempunyai uang.
"Ferdyne itu virtual idol yang memiliki paras serta suara luar biasa! Aku yakin kamu akan suka saat melihatnya!" Kevin mengeluarkan ponsel pintar dari saku jaket, mengetik sesuatu di sana, kemudian memperlihatkan layarnya kepadaku. Sebuah vidio berdurasi sekitar lima menit terputar di sana, menampilkan pertunjukkan seorang lelaki yang sedang bernyanyi sembari menari.
Aku sedikit merasa aneh saat menontonnya. Entahlah, mungkin karena aku tidak terbiasa. Namun tak bisa kupungkiri bahwa paras lelaki di dalam vidio tersebut memang tampan, dan suaranya pun lumayan bagus.
"Bagaimana menurutmu? Bagus, bukan?"
Aku mengangguk pelan.
"Minggu depan, bagaimana jika kita pergi ke konsernya?" Ajakan tiba-tiba dari Kevin membuatku tersentak kecil, tidak menyangka sama sekali bahwa dia akan mengajakku.
Meski aku tidak terlalu peduli, tetapi aku yakin bahwa banyak gadis yang mengantre untuk mengajaknya pergi bersama. Sudah jelas, bukan? Dia ketua klub sepak bola, dan ramah ke semua orang. Aku yakin dia sebenarnya populer, hanya saja aku tidak tahu karena memang itu bukanlah hal yang penting.
"Jadi, bagaimana?"
Lamunanku buyar, melupakan fakta bahwa lelaki itu tengah menunggu respon dariku. Aku menggelengkan kepala. Meskipun memang virtual idol sedang populer dan terlihat menarik, tetapi aku tidak memiliki uang untuk membeli tiketnya. Untuk biaya sehari-hari saja aku harus menghemat uang bulanan dari program beasiswa. Aku tidak memiliki alasan untuk menghamburkannya. Harga tiket pasti mahal. Belum lagi biaya makan dan transportasi.
"Eh, kenapa? Ayolah, pasti akan menyenangkan!" Kevin memasang wajah memohon, mencoba membujukku.
Sekali lagi, aku menggeleng tegas. "Tidak. Pergi saja dengan orang lain."
"Teman-temanku laki-laki, mana mungkin mereka mau pergi ke konser virtual idol yang laki-laki juga."
"Ajak yang perempuan."
"Aku tidak memiliki teman perempuan."
"Kenapa harus aku?"
"Ayolah. Aku yang akan membayar tiketnya, bagaimana?"
Aku terdiam. Dia bilang, dia yang akan membayar tiketnya?
"Aku akan membayar tiket dan mengantarmu pulang. Aku janji!"
Hmm ... sepertinya itu bukanlah tawaran yang buruk.
Setelah berpikir-pikir lagi beberapa saat, akhirnya aku mengangguk pelan. "Baiklah."
Kevin tersenyum lebar. "Terima kasih!"
Kenapa dia berterima kasih?
Meski sebenarnya aku sedikit curiga terhadapnya, aku berusaha menepis seluruh pemikiran negatif tersebut.
Kevin kembali berbicara, entah apa yang sedang dia bicarakan, aku hanya diam, pura-pura mendengar. Bus melaju dengan kecepatan sedang, melewati sebuah gedung restoran empat lantai yang begitu familiar di mataku.
Ah, jika sudah melewati restoran ini, maka lagi sampai di pemberhentian selanjutnya. Hari ini melelahkan sekali, sampai rumah nanti aku akan segera tidur saja.
Terlalu sibuk dengan pikiran, aku terkejut saat bus tiba-tiba saja mengerem mendadak. Aku tidak sempat berpegangan kepada apapun, nyaris terjungkal jika saja Kevin tidak segera menahan lenganku.
"Terima kasih ...." Aku menoleh sekilas ke arah Kevin, mengangguk kecil.
"Bukan masalah besar." Kevin melepaskan cengkeramannya dari lenganku. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Entahlah."
Dapat kulihat penumpang lainnya juga mulai heran tentang bus yang tiba-tiba mengerem mendadak. Jelas ini bukanlah hal yang biasa terjadi. Pada era saat ini, sistem lalu lintas sudah diatur begitu apik sehingga tidak terjadi kecelakaan atau hal yang tidak diinginkan. Lagi pula, seluruh kendaraan telah dilengkapi radar, yang mana ketika jarak antara mobil satu dengan yang lainnya telah mencapai satu meter, maka kendaraan akan berhenti secata otomatis.
Seorang pria berdiri, kemudian berjalan ke sebuah telepon darurat yang terletak di dekat pintu masuk bus. Bus dijalankan secara otomatis, jadi satu-satunya cara untuk melapor adalah melalui panggilan darurat. Pria tersebut menekan angka tujuh sebanyak tiga kali, kemudian mendekatkan kepala telepon ke telinganya. Semua orang menunggu reaksinya, harap-harap cemas. Selang beberapa saat, dia kembali menutup telepon. Wajahnya terlihat masam. "Tidak ada jaringan," ujarnya dengan nada kecewa.
"A-Apa? Tidak ada jaringan?" Seorang wanita mengeluarkan ponsel pintar miliknya, mengecek koneksi internet. "Aku juga tidak ada."
"Aku juga. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Apakah terjadi kesalahan teknis?"
"Apa yang harus kita lakukan? Jika melompat keluar melalui jendela, kurasa itu tidak mungkin."
Jelas, karena jarak dari atas sini ke trotoar adalah tujuh kilometer.
"Tangga darurat! Setiap bus difasilitasi tangga darurat, bukan?" Kevin tiba-tiba saja berceletuk, cukup keras hingga beberapa orang dapat mendengarnya.
"Anak itu benar. Di mana tangga darurat diletakkan?"
Aku menatap Kevin yang kini tersenyum senang seakan baru saja melakukan sebuah kebaikan besar.
Baru saja beberapa orang beranjak berdiri untuk mencari keberadaan tangga tersebut, terasa sebuah guncangan hebat yang mampu membuat jantung hendak meninggalkan tempatnya. Aku berpegangan erat ke tiang kursi yang ada di sampingku.
"A-Apa yang terjadi?!"
Panik.
Suasana sekitar dipenuhi kepanikan.
Anak-anak yang berusia belia mulai menangis. Beberapa menjerit ketakutan. Orang dewasa mencoba menenangkan dan mulai mencari keberadaan tangga darurat meskipun guncangan belum mereda.
Aku menoleh ke arah Kevin. Kupikir lelaki itu akan terlihat khawatir atau apa, tetapi yang kudapati justru sebaliknya. Wajah Kevin begitu serius, seperti sedang berkonsentrasi. Kerutan di antara kedua alisnya begitu dalam.
"Kevin?" panggilku. Seperti yang kuduga, dia sepertinya tidak mendengar panggilanku.
Apa yang sebenarnya sedang dia pikirkan?
***TBC***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top