Symphonia : Savior (2)
BURAKKU ROKKU SHUUTAA natsukashii kioku tada tanoshikatta ano koro wo
BURAKKU ROKKU SHUUTAA
demo ugoke nai yo
Yami wo kakeru hoshi ni negai wo
Mou ichido dake hashiru kara
(Black Rock Shooter Kenangan indah itu saat dimana kita hanya bersenang-senang)
(Black Rock Shooter,
Tapi aku tidak bisa bergerak)
(Aku akan berharap pada bintang-bintang yang melambung dalam kegelapan)
(Karena aku akan lari lagi sekali ini saja)
Aku membuka mataku. Hanya ada kegelapan yang sesungguhnya di hadapanku. Keputus asaan, kesengsaraan, dan sendirian. Perasaan-perasaan yang membuatku tersiksa.
Aku melihat tubuhku yang ada di sebuah kursi besi. Ikatan tali sudah membuatku tidak bisa bergerak. Kain hitam panjang juga sudah membentuk sebuah ikatan di kepalaku, membuat mulutku tertutup rapat.
Aku memperhatikan di mana aku berada. Ruangan berdinding merah tanpa cahaya. Hanya ada sebuah pintu untuk jalan keluar. Tempat ini lebih mirip sebagai ruangan penyiksaan atau sebuah penjara bernuansa darah.
"Raja Iblis sialan. Ia menculikku!" ucapku kesal.
Aku mencoba menggerakkan tubuhku. Hasilnya adalah sebuah kegagalan yang menyedihkan. Mungkin aku harus sedikit bersabar.
Aku terdiam. Membuat aneka memori terputar jelas di otak. Ingatan di mana dunia hanya diisi kedamaian. Suasana tenang dengan cahaya yang sangat cerah, mencerminkan banyaknya harapan pada saat itu. Saat di mana kau tidak pergi.
"Ini bukanlah saat yang tepat untuk memikirkan hal seperti ini," lirihku.
Aku mulai berpikir bagaimana caraku membebaskan diri dan pulang ke duniaku. Pasti ada sebuah jalan keluar untuk masalah ini dan sepertinya aku sudah mendapatkannya.
Aku mulai mengucap mantra pendek yang hanya bisa digunakan satu kali. Memanggil sebuah senjatanya yang tak lain adalah sebuah pisau. Pisau itu melayang dan memotong tali-tali yang melekat di tubuhku. Setelah itu, piau itu lenyap begitu saja.
Aku bangun dari tempatku. Inilah saatnya untuk berlari. Mungkin ini akan menjadi lari terakhirku.
Aku membuka pintu yang tidak dikunci dengan perlahan. Mengamati sekitarku yang ternyata tidak dijaga oleh prajurit Kerajaan Iblis.
"Mereka itu bodoh atau apa?"
Aku mulai berjalan dengan hati-hati. Salah satu langkah saja nyawaku akan melayang.
Aku berjalan sambil mengingat kembali. Istana ini sudah jauh berbeda sejak terakhir kali aku kemari. Lebih megah, namun lebih suram. Letak pintu-pintu pun sudah jauh berubah.
Aku terus berjalan dan menemukan sebuah pintu besar yang tertutup. Seingatku itu adalah pintu keluar dari tempat terkutuk ini. Aku menyentuh pintu itu.
TENG! TENG! TENG!
Tiba-tiba lonceng berdentang keras. Cukup untuk membuatku terkejut. Sekarang aku menyadari bahwa aku dalam bahaya besar.
Aku berbalik dan mendapati seseorang yang kukenal sedang berdiri dengan angkuh. Sang penguasa kegelapan.
"Kau ingin kabur, Alice?"
Aku hanya diam tanpa jawaban. Kepalaku tertunduk.
"Sekarang ikut aku!"
Ia langsung menarik tanganku dengan kasar. Ia menyeretku. Aku mencoba melawan namun tenagaku kalah telak.
Ia menyeretku ke ruangan yang tadi, tempatku disekap. Ia membuatku duduk di kursi yang sama dan membuat keadaanku sama seperti sebelumnya. Terikat tali dengan mulut tertutup rapat.
"Janganlah mencoba untuk kabur lagi. Aku selalu mengawasimu," ucapnya sambil menutup pintu dan meninggalkanku sendirian.
Sekarang apa lagi yang harus kulakukan?
***
Kowakute furueru koe de tsubuyaku
Watashi no namae wo yonde
Yoake wo idaku sora
Kyoukai sen made no kyori
Ato mou ippon todokanai
(Aku berbisik dengan suara bergetar dan ketakutan)
(Aku membisikkan namaku)
(Langit yang memeluk fajar
Dan jarak ke cakrawala)
(Tidak bisa lagi dicapai dalam satu langkah)
Pagi hari telah tiba namun tempat ini tetap saja dipenuhi kegelapan. Suasananya suram, tak ada perubahan.
Aku mulai berpikir. Kapan aku bisa bebas dari sini? Aku hanya ingin keluar dan melihat cahaya hidupku selanjutnya. Kembali melanjutkan hidup dengan tenang.
Di tempat seperti ini, tidak akan pernah ada cahaya walau hanya sebuah sinar kecil. Tempat ini sudah jatuh dimakan kegelapan hati para makhluk yang menghuninya. Membuatku takut jika nasibku akan sama seperti mereka.
"A-aku sudah tidak tahan lagi!" ucapku bergetar.
Sepertinya memang di sini sangatlah berat. Aku tidak tahan melihat tempat suram seperti ini. Tapi, aku sudah kehilangan caraku untuk pergi. Hanya bisa berharap pada keberuntungan. Menunggu waktunya ia datang. Tapi sampai kapan?
Waktu terus berjalan. Ia tidak juga datang. Aku mulai ragu dengan apa yang kulihat sebelumnya. Apakah itu pertanda? Atau itu hanya sebuah cahaya yang menghiasku saat aku tidak sadar?
Inikah tandanya bahwa aku jatuh ke dalam lubang keputus asaan lagi?
"Pe-penyelamatku, di manakah saat ini kau berada? K-kau tidak melupakanku 'kan? Bukankah kita saling terhubung? Aku ta-tahu bahwa kau sebenarnya melihatku. Mu-mungkinkah kau punya rencana lain yang lebih ba-baik? A-aku hanya mengharapkanmu untuk datang menyelamatkanku, menyelamatkan Alice yang lemah ini."
Kali ini aku menahan tangisku. Sudah cukup. Aku sudah lelah dengan tangisan yang tak berguna. Yang kubutuhkan sekarang bukan air mata, tapi aku butuh kebebasan. Kebebasan untuk bergerak dan jika kau tak datang, aku ingin menyusulmu di sana. Melihat apa yang kau lakukan demi manusia sampai kau buta bahwa duniamu sudah dihancurkan oleh sang kegelapan.
Kebebasanku sangat sulit didapatkan. Waktu untuk menunggu itu terlalu lama, tapi kabur pun sudah tidak bisa.
***
Koraeta namida ga afure sou na no
Ima shita wo mukanaide
tomatte shimau
Mirai wo ikite itainda
Wakatta no omoidashite
Tsuyoku tsuyoku shinjiru no
Sou yo
(Air mata yang aku tahan mengancam akan jatuh)
(Jangan melihat ke bawah sekarang, hentikan air mata itu!)
(Aku ingin merasakan bagaimana hidup di masa depan)
(Aku mengerti itu)
(Dan percaya padanya dengan kuat
Itu benar)
Pintu yang selama ini tertutup akhirnya terbuka. Menampakkan siapa orang yang dapat membukanya dengan leluasa. Sang penguasa kegelapan.
Ia mulai berjalan mendekatiku. Memegang daguku dan menariknya ke atas, membuat mataku bertatapan langsung dengannya.
"Mata yang sayu, penuh keputus asaan. Kau menahan tangismu," ucapnya sambil melihat mukaku dengan matanya yang tajam. Itu membuatku sebal dan aku sangat ingin untuk menghabisinya.
Ia meraih kain yang terikat di kepalaku. Membuka ikatan yang telah dibuatnya. Membuatku bisa bicara dengan bebas.
"Sialan." Itu adalah kata pertama yang aku ucapkan.
"Akhirnya kau bisa bicara lagi Alice."
"Cih."
"Kau memang menarik Alice, tak heran ia memilihmu."
"Jangan banyak bicara. Kau pasti ke sini mempunyai tujuan 'kan? Sekarang katakan apa tujuanmu kemari!"
"Cerdas. Jadi aku di sini akan memberikanmu penawaran."
"Penawaran?" ucapku heran.
Ia mulai berjalan. Berjalan tidak jelas dengan mengelilingi ruangan ini.
"Ya penawaran, tawaran pertama adalah..."
Ia tiba-tiba menghunuskan pedangnya ke arahku. Membuatku meneguk ludah.
"Aku akan membunuhmu," lanjutnya.
Ia menyimpan kembali pedangnya. Mulai berjalan lagi.
"Atau aku akan memberikanmu cahaya dengan satu syarat."
Ia menghentikan langkahnya. Ia menghadapku dengan senyuman liciknya.
"Syarat?"
"Tinggalkan adikku dan menikahlah denganku," ucapnya dengan ekspresi biasa saja, seolah yang ia ucapkan itu tidak mengandung secuil pun kesalahan.
"Apa?!"
"Benar, menikahlah denganku. Aku akan memberikanmu segalanya. Kebebasan, cahaya, dan lainnya."
"Keterlaluan!"
Gigiku bergemelatuk. Aku mengepalkan tanganku dengan kesal. Mataku menatapnya dengan tajam.
"Jadi bagaimana Alice? Apa pilihanmu?"
"Aku lebih memilih mati daripada menjadi sosok yang hina," ucapku tegas.
Ekspresinya berubah drastis. Aura kegelapan yang terpancar dari tubuhnya terasa sangat jelas.
"Pikirkanlah kembali. Aku jauh melebihi dirinya. Aku mempunyai semuanya. Kekayaan, kebebasan, bahkan aku memiliki cinta untukmu. Aku bahkan sudah mencintaimu sejak lama!"
"Tapi kau tidak memiliki apa yang ia miliki!"
"Alice, apa yang kau harapkan lagi darinya?! Ia hanyalah sosok busuk yang membuat dunianya sendiri hancur!"
"Ia memberiku harapan! Tutup mulutmu dan jangan hina dirinya! Kehancuran ini sebenarnya sudah menjadi rencana kalian 'kan?! Kalian, para Iblis menyerang manusia untuk memancingnya keluar dan memanfaatkan kejadian itu!" ucapku marah dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Benar sekali Alice. Dan mungkin aku akan menghancurkan dirinya."
"Kau memang keterlaluan! Tega sekali kau pada adikmu sendiri!"
Yang tertahan selama ini akhirnya jatuh juga. Air mataku mengalir perlahan membasahi pipiku.
"Kami memang sudah ditakdirkan hidup pada dua sisi yang berbeda. Wujud kami pun sudah berbeda. Itu membuatku harus menghabisinya. Sekarang hapuslah air matamu itu, aku tidak suka melihatmu dalam keadaan seperti itu."
"Kejam!"
"Memang."
Aku termenung. Rasanya aku ingin cepat melewati semua ini dan melupakannya.
"Ini pertanyaan terakhirku, apa pilihanmu Alice?" lanjutnya dengan bertanya.
"Mati."
"Kau yakin?"
Aku mengangguk perlahan.
Ah, jika memang takdirku adalah mati di sini aku menerimanya walau sebenarnya aku tidak akan rela meninggalkanmu. Tapi, aku masih percaya padamu bahwa kau akan kembali, Ferdinand.
"Aku akan datang padamu jika kau menyebut namaku."
Sang Raja Iblis mengeluarkan pedangnya. Ia bersiap untuk memenggal kepalaku dengan Demon Sword.
"Sebenarnya aku tidak ingin melakukan ini pada orang yang kucintai. Tapi, prinsipku jika aku tidak dapat memilikimu, maka yang lain juga tidak. Ada kata-kata terakhir?"
"Aku memanggilmu, sang harapan, Ferdinand."
"Kau bahkan masih mengharapkannya walau sudah terlambat."
Tiba-tiba cahaya putih muncul di hadapanku. Silau dan hangat. Cahaya itu perlahan berubah menjadi sesosok laki-laki serba putih yang melambangkan kesuciannya. Matanya menatap dengan tajam. Sebuah pedang sudah di pegangnya. Sang harapan sudah datang.
"Sudah kubila-"
CPRAT!
Satu tebasan tak terduga mengenai leherku. Mataku tertutup. Kesadaranku perlahan-lahan menghilang.
"Kali ini kau benar-benar terlambat, adik sialan." Itulah kata terakhir yang kudengar.
***
.
.
.
.
THE
.
.
.
.
.
.
.
.
(Just a prank. Lagu masih berlanjut. Jangan dianggap serius)
BURAKKU ROKKU SHUUTAA yasashii nioi
Itai yo tsurai yo nomikomu kotoba
BURAKKU ROKKU SHUUTAA ugoite kono ashi!
Sekai wo koete
(Black Rock Shooter, itu aroma lembut)
('Ini menyakitkan', 'Ini keras', menelan kata-kata itu)
(Black Rock Shooter, pindahkan kaki ini!)
(Aku akan melampaui dunia)
Aku tersadar. Aku melihat tubuhku yang sudah berbeda, bisa menembus apa pun dan sedikit transparan. Di sebelahku sudah ada ragaku dengan leher yang dipenuhi darah. Terpenggal namun belum sepenuhnya. Sangat menyedihkan. Jiwaku terpisah dari ragaku yang sudah mati.
Aku melihat apa yang sedang terjadi. Di sana, aku melihat dua kakak beradik yang sangat berbeda sedang saling menatap tajam. Salah satunya memancarkan kepuasan akan kejahatan dan satunya memancarkan sebuah kemarahan yang begitu dahsyat.
Sepertinya hal buruk akan segera terjadi.
"Bagaimana Fer? Bukankah melihat kematian istrimu sangatlah indah? Ah aku tahu, pasti rasanya hancur berkeping-keping. Indah sekali takdir dua makhluk gagal ini, harus dipisahkan kematian."
"Cih, diamlah."
"Itu karena pilihannya sendiri, jangan salahkan kakakmu yang tak berdosa ini."
Sebuah pisau terlempar dengan cepat, nyaris mengenai mata Sang Raja Iblis. Pisau itu mengenai mahkota sang penguasa kegelapan dan menjatuhkannya. Dari sini aku dapat mengerti bahwa ia sangat marah dan bisa berubah menjadi apa yang ia inginkan sewaktu-waktu.
"Wow Ferdinand, berhati-hatilah sedikit dalam menggunakan pisau! Untung ini hanya mengenai mahkotaku! Jika ini sampai mengenai raga Alice kau harus bertanggung jawab!" ucap Raja Iblis dengan nada menghina.
"Sebenarnya siapa yang harus bertanggung jawab? Kau atau aku?"
Sebuah seringaian yang terlihat sangat pedih tiba-tiba terpatri pada Sang Black Rock Shooter. Ia tidak pernah menampilkan ekspresi ini sebelumnya.
"Terima kasih sudah memberiku sebuah penderitaan," lanjutnya sambil memejamkan matanya.
Aku terdiam. Mataku terbelalak. Apa maksud dari ucapannya yang barusan itu?
"Huh? Mengapa kau berterima kasih?"
"Karena dengan itu aku akan menghabisimu. Aku tidak peduli kalau kau kakakku. Kau harus bertanggung jawab dengan nyawamu."
Aura kegelapan bercampur darah keluar dari tubuhnya. Area sekitar matanya yang terpejam menghitam begitu saja. Matanya masih tertutup. Pakaiannya mulai robek. Terbentuk beberapa luka di tubuhnya. Pedang di tangannya sudah digantikan oleh sebilah pisau yang dilapisi darah. Sang harapan sudah berubah. Sungguh menyedihkan untuk dilihat.
"Ah Ferdinand, akhirnya kau mengeluarkan siapa dirimu yang sejatinya," ucap Raja Iblis sambil menyeringai.
"Ini bukan Ferdinand lagi, ia sudah tenang di alam sana."
DEG!
Aku harus menghentikannya sebelum ia menyakiti dirinya sendiri. Bukan, maksudku aku harus menghentikan alter egonya menyakitinya. Waktuku hanya sampai sebelum maniknya melihat dunia. Padahal, mata itu bisa terbuka kapan saja. Tapi, apa yang bisa kulakukan? Bagaimana cara menghentikannya?
Aku mendekati ragaku yang bersimbah darah sambil memperhatikan apa yang sedang terjadi. Terus mengawasi apa yang ia perbuat.
Aku mencoba masuk ke ragaku lagi namun gagal. Aku menjadi panik.
Di sana, ia menghilang dan muncul lagi di hadapan sang kakak. Tanpa aba-aba langsung menendang perut Sang Raja Iblis sampai terpental beberapa meter. Menghilang lagi dan muncul di belakang kakaknya dan mendaratkan pukulan tepat di muka. Memperlakukan sang penguasa kegelapan seperti mainan.
Sang penguasa kegelapan bangkit dari tempatnya. Mengusap mulutnya yang berhiaskan darah.
"Oh, jadi kau tidak main-main? Kalau begitu aku juga akan serius," ucap Raja Iblis dengan mata menyala.
"Hentikan!" teriakku.
Percuma. Tidak akan ada yang menangkap suaraku di telinganya. Jangankan mendengar, merasakan saja tak bisa.
"Aku senang jika kau akan serius."
"Ya, kita lakukan seperti dulu. Aku tidak akan kalah lagi dengan makhluk sepertimu."
"Benarkah?"
Mereka berdua berhadapan. Saling memukul dan menendang. Beradu senjata yang sangat berbeda. Pisau dan pedang.
CPRAT!
Warna merah keluar dari tubuhnya. Pisau itu menembus punggung sang penguasa kegelapan. Sebuah seringaian kepuasan akan sebuah penyiksaan sudah terukir di wajahnya.
Sepertinya aku harus melakukan itu. Tidak ada pilihan lain.
Aku berlari. Berlari dan memeluk tubuhnya dari belakang sambil berbisik di telinganya, "Hentikan."
Ia tidak meresponku. Ia terus menyerang sang penguasa kegelapan tanpa belas kasihan sedikit pun. Hati yang lembut itu seolah sudah mati digantikan oleh semua kegelapan ini.
Aku tidak peduli. Aku akan terus berusaha, melewati batasanku. Melakukan hal yang tak pernah kulakukan dan sebenarnya tidak boleh dilakukan.
***
Saisho kara wakatteita koko ni iru koto wo
Watashi no naka no subete no yuuki ga hi wo tomoshite
Mou nigenai yo
(Aku tahu dari awal, bahwa kamu ada di sini)
(Aku akan menyalakan api dengan keberanian yang ada di dalam diriku)
(Aku tidak akan lari lagi!)
Kosong, tidak ada apa pun. Hanya ada kegelapan walau tempat ini terasa lebih baik. Kumerasa masih ada kehangatan.
Aku melihat sebuah cahaya. Dengan kaki yang berat, kuberanikan diriku untuk menghampirinya. Aku akhirnya menemukannya, jiwa dari sang harapan. Sudah kuduga ia ada di sini. Di dalam raga tanpa kebebasan.
Di hadapanku, seorang laki-laki dengan rambut putih menunduk ke bawah. Tangan dan kakinya diikat dengan rantai besi yang terlihat sangat kuat. Luka-luka tebasan tercetak sangat jelas di tubuhnya.
Di bawahnya, pola-pola terbentuk dari darah yang sudah mengering. Pola-pola itu terukir di atas batu yang menjadi lantai dari tempat ini.
Sungguh pemandangan yang tidak pernah ingin kulihat. Hatiku hancur melihatnya. Tapi, aku akan menghadapinya dan tidak akan kabur dari masalah lagi.
"Ferdinand?"
"A-Alice," ucapnya terbata-bata. Suaranya terdengar lemah, tidak seperti biasanya.
"Apa yang kau lakukan di sini? Kembalilah!"
"Ti-tidak. Tempatku yang seharusnya bukan di sana," ucapnya sambil terus menundukkan kepalanya.
"Apa yang kau maksud?!"
"Aku lebih baik di sini. Aku tidak siap melihat dunia dan kenyataan. Lebih baik ia yang menghadapinya."
"Ia? Maksudmu altermu? Sejak kapan kau selemah ini?! Kau bukan Ferdinand yang kukenal selama ini. Yang kuingat Ferdinand adalah sosok yang berani, sesuai dengan namanya. Ia yang menggentarkan musuhnya hanya dengan menatapnya."
"Itu hanya sebagian sisi dari diriku."
"Jadi kau merasa lemah?"
"Itu kenyataannya. Buktinya aku tidak bisa melindungi dirimu."
Aku melepaskan rantai yang merenggut kebebasannya, membuatnya duduk di lantai batu yang berhiaskan darah dari lukanya.
Aku memegang pundaknya. Menatap mukanya yang masih menunduk sendu.
"Ferdinand, tatap aku! Lihat mataku!"
Dua mata kami saling menatap, sama seperti dulu. Yang berbeda adalah tatapannya yang sendu. Matanya penuh dengan kesedihan.
"Lawan rasa lemahmu! Hilangkan kesedihanmu! Dunia masih membutuhkanmu!"
"Aku tidak ada gunanya di dunia jika kau tak ada. Aku tak berdaya tanpamu."
"Ucapan macam apa itu?! Masih ada yang jauh lebih penting di dunia! Tugasmu belum selesai!"
"Aku telah gagal dalam tugas."
"Kau tidak gagal! Aku yang gagal! Kau jangan menyalahkan dirimu!"
"Kau juga tidak boleh menyalahkan dirimu."
Aku memegang kepalaku yang mulai dipusingkan semua ini. Mataku tertutup beberapa saat.
"Bagaimana caraku untuk meyakinkanmu agar kembali?!" Aku mulai frustasi.
"Jangan frustasi Alice. Kau hanya perlu berjanji kepadaku."
"Berjanji apa?"
"Jika aku kembali, kau juga harus kembali. Berjanjilah kepadaku."
Aku terdiam beberapa saat.
Bagaimana caranya aku kembali sedangkan aku sendiri sudah mati?
"Ta-tapi Fer-"
"Jika kau tidak kembali, aku akan tetap di sini untuk selamanya. Aku tidak akan peduli apa yang terjadi dengan dunia."
"Baiklah, aku berjanji! Aku berjanji untuk kembali dan akan selalu ada di sisimu!"
"Bagus."
Matanya yang sendu berubah. Penuh keberanian dan sangat tajam. Sebuah senyuman terukir di wajahnya. Melihatnya mampu menyejukkan hati orang yang melihatnya.
"Baiklah, ayo kita kembali," ucapku penuh semangat sambil mengulurkan tanganku kepadanya.
"Ayo," ucapnya sambil menutup kedua matanya.
Ia menerima uluran tanganku dengan tangannya yang penuh luka. Aku mulai menariknya ke depan. Kami berda berlari bersama ke arah cahaya. Sebuah sinar yang sangat hangat.
***
BURAKKU ROKKU SHUUTAA hitori janai yo
koe wo age te nai tatte kamawanai
BURAKKU ROKKU SHUUTAA mite ite kureru
ima kara hajimaru no watashi no monogatari
(Black Rock Shooter, kamu tidak sendiri)
(Tidak masalah bahkan jika kau meninggikan suaramu dan berteriak keras)
(Black Rock Shooter, dia akan melihat ini)
(Ceritaku yang dimulai dari sekarang)
Kehangatan. Sekarang aku bisa merasakannya. Aku membuka mataku dan bangkit, tersadar dari kematian. Yang tadi kurasakan seperti mimpi. Ini adalah suatu keajaiban yang tak terduga.
Di sana, aku melihatnya dalam wujudnya yang sesungguhnya. Terlihat tegas dan berani, sedikit angkuh. Ia tengah menghunuskan pedang sucinya ke leher sang kakak sambil menginjak perut sang penguasa kegelapan.
"Sialan!"
"Kebaikan akan selalu menang. Sebelumnya aku akan memberimu dua pilihan."
"Hmm?"
"Kau lebih memilih tinggal di neraka dan kusiksa seumur hidupmu atau..."
"Atau apa, sialan?"
"Lebih baik kita mengadakan perjanjian perdamaian dan kau harus bertanggung jawab atas semua kekacauan ini. Kau harus mengembalikan nyawa mereka yang belum waktunya mati," ucapnya sambil menurunkan kakinya yang menginjak sang raja.
Sang Raja Iblis bangkit dari tempatnya dan mengucapkan, "Kau tidak akan membunuhku?"
Ia hanya tersenyum mendengar perkataan sang raja. Senyumnya terlihat tulus.
"Untuk apa aku membunuhmu? Aku ini masih adik kecilmu. Lagipula jika aku membunuhmu tentunya seluruh rakyatmu akan membenciku dan dendam tidak akan selesai. Yang utama, bagaimana aku bisa memimpin kerajaanku jika ramyatnya sudah tidak ada?"
Sang penguasa kegelapan tertunduk. Malu? Mungkin saja. Aku sama sekali tidak bisa melihat ekspresi di wajahnya.
"Kau baik sekali. Berbeda dari biasanya."
"Aku sudah lelah bermusuhan denganmu dan aku tidak berubah. Kita akan mulai dari awal. Jadi?"
Ia mengulurkan tangannya dengan senyum yang sangat bercahaya. Sang Raja Iblis menerima uluran tangannya dengan senyuman pula.
"Dengan ini kunyatakan Iblis dan Malaikat akan berdamai. Tidak akan ada perang. Kita akan hidup berdampingan walaupun tidak akan menyatu."
Sebuah perjanjian perdamaian sudah terucap dari mulut sang raja. Ini adalah sebuah akhir yang tidak pernah kuduga. Entah mengapa mata ini berkaca-kaca ketika melihatnya.
Mereka berdua melepaskan tangan mereka. Senyum tulus menghias wajah mereka yang hampir mirip satu sama lain.
"Akhirnya perjanjian perdamaian terbentuk. Cahaya dan kegelapan berdamai."
"Baiklah, kita akan berdamai. Aku akan tenang sekarang. Sebelumnya, aku pamit pulang, Kak."
"Kau tidak mau mampir di rumahmu yang dulu?"
"Mungkin lain kali, Kak. Aku tahu di sana ada yang sudah menantiku."
"Baiklah, Fer. Pulanglah dan hati-hati di jalan."
"Ya."
Sang Black Rock Shooter berjalan menghampiriku dengan penuh senyuman. Matanya terisi oleh kebahagiaan. Tanpa noda, terlihat sangat bersih.
"Terima kasih atas semuanya, penyelamatku," ucapnya saat berada di hadapanku.
Tanpa aba-aba aku langsung memeluk tubuhnya. Menatap mukanya yang tulus dan mengecup bibirnya yang lembut. Ia tampak sangat terkejut dengan tindakanku dan tidak dapat menghindar.
Aku melepaskannya setelah beberapa saat. Tampak wajahnya yang sudah memerah, lucu sekali.
"Alice, ini memalukan untuk dilakukan di sini," ucapnya kepadaku.
"Memangnya kenapa?"
"Di sana ada yang iri nanti," ucapnya sambil menunjuk kakaknya yang sepertinya mulai panas.
"Pulang kalian berdua! Jangan bermesraan di depanku!" ucapnya dengan penuh kemarahan. Tampak ia sudah menghunuskan pedangnya kepada kami.
"Baik kami pulang."
Tiba-tiba Black Rock Shooter menggendongku di punggungnya, membuatku sedikit terkejut. Kemudian berlari sebelum bom yang menyala itu meledak. Melewati gerbang istana dan terus berlari.
"Kau tidak berteleportasi saja?" tanyaku padanya yang masih berlari.
"Aku hanya ingin menikmati perjalanan denganmu."
"Oh... eh, boleh aku bertanya?"
"Kau tidak perlu izin untuk melakukannya."
"Mengapa kau tidak muncul saat kupanggil di medan perang?"
"Kau memanggil sebutanku, bukan namaku. Kalau hanya sebutan saja hampir semua orang bisa melakukannya, jadi kuanggap tidak terlalu penting walaupun aku melihat semuanya."
"Menyebalkan! Kau bahkan membuatku putus asa!" ucapku sambil memukul punggungnya beberapa kali.
"Ah sakit!"
"Kau tidak apa-apa?"
"Aku hanya bercanda."
"Apa?!" Aku memukulnya lagi.
"Hentikan Alice, kita sudah hampir sampai."
Di depan sana terlihat beberapa orang yang sudah menyambut kami. Semuanya adalah yang sebelumnya sudah mati. Tampak wajah mereka yang senang setelah melihat kami. Ia menurunkanku dari gendongannya.
"Kami kembali."
"Dari mana saja kalian? Kami khawatir kepadamu," ucap seorang kakek yang tak lain adalah kakek dari Black Rock Shooter.
"Hanya mengurus perdamaian. Bagaimana keadaan di sini, Kakek?" jawab Black Rock Shooter sambil bertanya.
"Semua aman terkendali tapi tetap ada korban."
Aku memandangi mereka satu demi satu. Aku menyadari sesuatu yang kurang di sini.
"Di mana Livia, Kakek?" tanyaku.
"Ia... menjadi satu-satunya yang tewas dalam insiden ini."
"Apa?!"
"Ia sudah dimakamkan."
Aku terdiam. Sangat terkejut. Bagaimana bisa ia tidak selamat? Mengapa harus ia?
"Sudah. Mungkin ini adalah takdir."
"Sebelum ia pergi, ia menitipkan ini kepadaku," ucap kakek itu sambil memberiku sebuah surat.
Aku menerimanya. Melihat semua kata yang tertoreh dengan bola mataku.
***
Hai Alice!
Akhirnya kau menerima surat terakhirku. Untung saja aku masih sempat menulisnya. Ya, aku yakin jika kau sudah membacanya, itu artinya aku sudah tiada.
Sebelumnya, aku ucapkan selamat untukmu. Kau dan 'ia' berhasil mengakhiri perang dengan luar biasa dan menciptakan kehidupan baru bagi Malaikat dan Iblis. Aku sangat senang karena sebenarnya inilah yang kuinginkan. Aku sebenarnya ingin merasakannya, tapi takdir tidak mengizinkanku. Ah, andai saja penyakit itu tidak menyerangku.
Ya, suatu penyakit yang sangat menyebalkan, membuatku sadar hidupku tak akan bertahan lama. Karena itulah aku ingin mati saat melindungimu, bukan mati karena penyakit ini. Tetapi, saat Raja Iblis melakukan tanggung jawabnya, aku hidup kembali dan akhirnya berakhir juga karena penyakit ini. Setidaknya aku sempat melihat cahaya kemenangan walau hanya beberapa saat. Maaf aku merahasiakan ini darimu, aku tidak ingin membuat sahabatku khawatir hanya karena aku sakit.
Ah Alice, lihatlah cahaya-cahaya yang bersinar mengalahkan sang surya itu. Cahaya yang telah lama menghilang juga telah kembali. Akan ada banyak harapan di sana. Kau tidak akan pernah sendirian. Maka dari itu, janganlah kau bersedih dan berputus asa. Simpanlah air matamu untuk kebahagiaan.
Aku akan selalu melihatmu dari sini. Melihat senyuman dari sahabatku yang indah. Melihat harapan yang datang silih berganti.
Ah ya, jangan terlalu cepat untuk menyusulku. Aku masih ingin melihat wajahmu yang bahagia sampai puas. Jangan pernah untuk melupakanku! Aku selalu menantimu walau lamanya lebih dari 10.000 tahun, atau mungkin 20.000? Sampai jumpa!
Livia C. Braveseen
***
DEG!
Aku terkejut setelah membacanya. Mataku terbelalak lebar. Langsung kulipat kertas itu dan kumasukkan ke dalam sakuku. Bersikap seolah tidak ada apa pun dan menyembunyikannya.
Ingin menangis? Ya, sebenarnya aku ingin. Aku menahannya sekuat apa pun yang kubisa. Aku tidak akan menyia-nyiakan air mataku lagi.
"Ada apa, Alice?" terdengar pertanyaan di telingaku yang berasal dari Black Rock Shooter.
"Tidak ada apa-apa."
"Oh, aku mengerti Alice. Kau tidak perlu memberitahukannya. Aku sudah dapat menebaknya."
Ucapnya seraya memberiku pelukan hangat, seakan ia mengerti apa yang aku rasakan. Mencoba untuk menguatkanku.
***
Wasure sou ni nattara kono uta wo utau no
(Jika sepertinya aku akan melupakan cerita ini, aku akan menyanyikan lagu ini!)
Aku berjalan menuju tanah lapang yang dipenuhi batu yang mempunyai ukiran nama dengan bentuk yang indah. Pohon-pohon melambai seakan menyambutku. Langit cerah juga turut mendukungku di sini.
Aku berjalan menuju salah satu batu indah itu dan berjongkok. Kulihat makam sahabatku yang masih bersih. Kutaburkan bunga-bunga dan kupanjatkan doa untuknya.
Kupegang batu nisannya. Mataku terpejam dan aku tersenyum.
"Hai Livia. Tepat seribu tahun setelah kejadian itu. Zaman sudah sangat berkembang dan sayangnya kau tidak dapat melihatnya. Di zaman ini, bumi sudah semakin padat, membuat tugas kami menjadi lebih berat. Iblis memang sudah berdamai dengan kita, tapi rupanya Iblis datang dari hati manusia itu sendiri. Tapi, kehidupan ini semakin menyenangkan. Aku sangat bahagia. Semoga kau bahagia di sana."
"Tentu saja aku bahagia di sini."
"Aku bisa mendengarmu. Aku tidak akan melupakan suaramu yang berani."
"Berjanjilah padaku, karena kau satu-satunya sahabatku."
"Aku berjanji padamu. Jika aku melupakanmu, akan kubuka suratmu dan mengingat kenangan yang kau berikan agar aku selalu ingat dengamu."
THE END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top