SYMPHONYA : Sanctuary [2]
Aku hanya ingin bersama Theodore...
🍁 🍁 🍁
---
---
---
Aka
Merah
Ao
Biru
Ai
Indigo
Mizu
Air
Niji
Pelangi
Sora Iro
Warna langit...
---
---
---
Theodore...
Aku berlari sekuat tenaga sejak tadi, namun mengapa seberapa jauh aku berlari masih tidak dapat mencapai kapal laut pasukan Seraphim. Rasanya sangat jauh padahal kulihat terasa dekat.
Pasukan Alexandria sedang bertarung, entah berapa orang yang gugur dibelakang sana.
Invidia mengamuk, ia marah karena sebagian lautan yang ia kuasai telah membeku karena sihirku. Aku dapat melihatnya, ia menggeliat menghantam balok es di lautan, sementara pasukan Seraphim menembakinya dengan peluru meriam.
Sesekali aku melihat pantulan diriku pada balok es sebening kaca---balok es sedikit demi sedikit telah retak akibat amukan Invidia. Tidak terlalu parah, namun jika Invidia mengeluarkan seluruh kekuatannya aku yakin lapisan es yang kubuat akan hancur, lalu pasukan yang sedang bertarung diatas lapisan es akan tenggelam kedasar laut.
Aku menoleh ke kanan-kiri, berusaha mencari sosok Theodore diantara kumpulan pasukan yang sedang berperang. Namun ia belum saja kutemukan.
---
---
----Bruk!
Aku terjatuh akibat tersandung bongkahan es yang mencuat karena retak, ujung balok es yang runcing sedikit melukai pergelangan kakiku sekalipun aku telah menggunakan sepatu boots sebagai alas kaki---cairan merah kemudian keluar dari luka tersebut.
Darah...
Mengapa disaat seperti ini!
Segera kusentuh bagian yang terluka dengan sebelah tanganku, kurobek sebagian pakaianku untuk membalut luka tersebut agar darah tidak keluar lebih banyak.
---
---
---
Watashi wa megami ni narenai
Dareka ni inori mo sasagenai
Tanin ni nani iwarete mo ii
Taisetsu na mono ga
Nanika wa wakatteru
Aku tak'kan bisa menjadi sang dewi
Aku juga tak'kan memanjatkan doa pada siapapun
Tak peduli apa yang orang lain katakan
Aku sudah tahu
Apa sebenarnya hal yang berharga itu
---
---
---
Rasa yang mengangguku semakin menjadi-jadi, aku tidak tahan dengan apa yang aku rasakan.
Kilatan cahaya berwarna emas---
Theodore, itu Theodore. Dia tidak berada jauh dari tempat ini. Kucoba untuk berdiri, aku berlari secara tertatih karena nyeri di kakiku masih terasa.
Retakan es semakin parah dibeberapa bagian, aku khawatir lapisan es yang melingkupi lautan tidak akan bertahan lebih lama. Kupercepat langkahku menuju tempat Theodore.
"Theodore!!"
Syukurlah ia menoleh, aku sangat lega---
Dia langsung berlari ke arahku dengan ekspresi yang tidak dapat kubaca, dia seperti khawatir, marah dan terburu-buru.
Eh?
"ELAINE, AWAS!"
---
----aku menoleh kearah kiriku, disana seseorang telah mengunciku sebagai target sasaran anak panahnya.
Aku, ditembak?
Bruk!
---
---
---
Hitam. Pandanganku hitam, kurasakan seseorang tengah memelukku dengan erat. Apakah itu Theodore? Jika Theodore yang melindungiku dari anak panah itu, aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.
"Syukurlah... masih... sempat..."
Tunggu...
Suara ini...
"Ed...mond..."
Aku memaksakan tubuhku untuk dalam posisi terduduk, dihadapanku kini ada tubuh seorang lelaki yang ambruk. Dia memelukku dengan erat, kulihat anak panah tertancap tepat di punggungnya---nyaris dekat dengan jantungnya.
Kupegang anak panah tersebut lalu mencabutnya dengan hati-hati, darah segera mengalir dari sela-sela jari tanganku.
"Edmond!"
Lelaki itu, Edmond---penciptaku---dia menjadikan tubuhnya sendiri sebagai perisai untuk melindungiku dari anak panah tadi.
Apa maksudnya?
"Ayah!" seru Theodore dari kejauhan, ia segera memburu kami dengan tergesa-gesa.
Theodore membalikkan tubuh Edmond dengan gemetaran, ia juga meracau tidak jelas melihat kondisi Edmond. Sementara diriku, kebingungan dengan apa yang kulihat. Aku masih bertanya-tanya mengapa Edmond melindungiku, bukankah aku dianggap sebagai alat olehnya? Namun mengapa ia melakukan ini untukku.
"Edmond, kenapa kau..."
Edmond dibiarkan bersandar pada sebelah lengan Theodore sementara sebagian tubuhnya terkapar diatas lapisan es. Ia menoleh kearahku dan tersenyum---senyuman itu sangat berbeda dari senyuman Edmond yang biasa ia perlihatkan.
Mengapa ia tersenyum puas?
"Syukurlah, kau selamat, homunculus..." ucapnya dengan lirih.
"Mengapa ayah---"
Edmond menyentuh pipi Theodore, membuat ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Edmond menatap lekat-lekat wajah Theodore dalam waktu yang cukup lama, memperhatikan detil-detil struktur wajah Theodore yang telah berubah dan menunjukkan rasa sedih.
"Kau sudah besar ya, Theo..."
Satu ucapan, sukses membuat kedua manik Theodore berkaca-kaca, berbagai emosi tampaknya telah bercampur aduk dalam pikiran Theodore.
"Maafkan aku... karena tidak bisa membesarkanmu dengan baik..." lanjut Edmond.
Aku dan Theodore tidak dapat mengatakan apapun, seakan Edmond telah mencuri suara kami saat itu.
"Kapan ya, terakhir kali aku menatapmu sedekat ini, Theo?"
"..."
Edmond tersenyum, "Mungkin saat kita merayakan ulang tahunmu yang ke dua belas, tepat satu minggu sebelum perang terakhir ibumu."
"Sudah lama sekali ya, sejak hari itu..."
Aku dan Theodore tetap diam, membiarkan Edmond berbicara sesuka hatinya. Kami bisa saja membawanya ke tempat medis, namun Edmond seakan melarang kami untuk melakukannya. Seakan ia hanya ingin memandang wajah Theodore untuk terakhir kalinya---Edmond terus mengeluarkan segala penyesalan yang ia kubur sejak sepuluh tahun yang lalu.
"Kau tahu Theodore, walau kau mewarisi mata merah dan rambut pirang milikku, tapi kau memiliki wajah ibumu. Aku bisa melihatnya saat aku menatapmu, seakan aku melihat Haydee ada disini..."
Ah, aku baru menyadarinya, Edmond memang memiliki rambut pirang yang sama seperti Theodore, namun karena ia terlalu sering melakukan percobaan alkemi, rambutnya memutih seperti saat ini.
Theodore mengeratkan pegangan pada tubuh Edmond, "..."
"Kau tahu, bukan keinginanku melihat Haydee mati saat itu, aku sangat menyesal karena tidak dapat menyelamatkannya dengan ilmu alkemi-ku..."
Jadi?
"...setelah ibumu mati, aku mulai meneliti ilmu Necromancy---bagaimana cara untuk membangkitkan orang yang telah mati. Berkali-kali kulakukan namun hasilnya tetap gagal. Hingga akhirnya tubuh ibumu yang kugunakan untuk percobaan necromancy hancur. Dan yang tersisa hanya jantungnya saja yang masih utuh---"
Edmond terbatuk keras, darah keluar dari mulutnya, membuat aku dan Theodore semakin khawatir akan keadaan Edmond, namun saat kami akan berbicara, Edmond segera memberi kami isyarat untuk diam. Mendengarkan apa yang akan selanjutnya ia katakan.
"---ya, aku bawa jantungnya, lalu kubuat percobaan lain untuk membangkitkan ibumu kembali. Pada akhirnya aku menemukan cara untuk membuat manusia buatan..."
Jadi, untuk apa aku sebenarnya dibuat?
"Percobaan yang kulakukan tidak bisa satu kali, aku meneliti tentang homunculus hingga dua tahun lamanya. Sangat sulit untuk membuat tubuh yang sesuai dengan jantung itu, beberapa kali percobaanku gagal karena model yang kubuat tidak ada yang cocok."
Edmond menoleh kearahku---aku seakan tahu apa yang akan dikatakan oleh Edmond selanjutnya.
"Akhirnya, percobaan terakhirku sempurna---disanalah kau lahir." Edmond tersenyum padaku, jantung ini seakan ingin melompat keluar saat ia mengatakannya.
"Ayah, jangan banyak bicara, lukamu..."
"Theodore, biarkan aku seperti ini, aku ingin disisa hidupku, aku dapat melihat kalian berdua dari dekat."
Edmond memegang tanganku dengan sebelah tangannya yang gemetar, dingin itulah yang kurasakan saat jemari edmond menyentuh tanganku.
"Homunculus..."
Aku menatap Edmond, dia masih tersenyum padaku.
"Kau bertanya tentang perasaanmu yang tidak menentu saat kau berada jauh dari Theodore kan?"
Aku mengangguk, jujur aku ingin tahu sebenarnya apa arti dari perasaan itu.
"Perasaan yang membuat dadamu sesak jika berada jauh dari orang yang kau sayangi, jika terus kau biarkan maka perasaan itu akan terus menghantui hingga menghancurkanmu dari dalam..." Edmond menghela nafas berat, "...perasaan itu disebut dengan kesepian."
Kesepian---mataku terbelalak, "Aku... kesepian..."
Edmond mengangguk mengiyakan kata-kataku, "Itulah perasaan yang menghancurkanku, perasaan yang sama saat aku kehilangan Haydee..."
Bohong jika Edmond tidak merasakan sesuatu saat orang yang dicintainya pergi meninggalkannya---hari ini Theodore mengetahuinya, ia terlihat menyesal karena satu hal yang tidak dapat digambarkan.
Edmond kemudian menatap keatas langit, seolah melihat sesuatu diatas sana, "Aku sangat mencintai Haydee, bahkan ketika ia mati, akupun sempat ingin segera menyusulnya."
"Karena aku yang gila ini telah ditelan oleh keputusasaan, aku ingin lari dari kenyataan. Disanalah aku tersesat, lalu mencoba berbagai penelitian untuk membangkitkan Haydee kembali."
Edmond ternyata memendam banyak hal selama ini, namun ia tidak mampu mengatakannya pada Theodore.
"Satu hal yang salah, aku terus percaya jika Haydee dapat kembali ke dunia ini. Namun, kau tidak dapat mengembalikan apa yang telah mati," Edmond memejamkan matanya.
"Theodore..." Edmond membuka matanya perlahan.
"Aku sadar akan sesuatu ketika melihatmu bersama dengan homunculus buatanku, ternyata aku salah telah membuat sebuah alat perang yang memiliki perasaan sepertinya," Edmond tersenyum, "tujuanku membuat homunculus adalah untuk membalaskan dendamku pada Invidia yang telah merenggut nyawa orang yang kusayangi. Aku sangat menyesal karena memakai jasad istriku sendiri untuk dijadikan objek penelitianku..."
Edmond menangis, ia terisak pelan, begitupula Theodore. Theodore seolah merasakan apa yang Edmond rasakan, mereka berbagi rasa sakit yang sama. Edmond tidaklah sedingin yang kupikirkan, ia hanya mencoba untuk menekan segala jenis emosi yang mungkin jika ia tunjukkan akan membuatnya semakin gila. Oleh karena itu, Edmond berubah, tidak sehangat dulu.
Aku sadar, aku juga tengah merasakan apa itu kesepian. Aku tidak mau berpisah dengan Theodore, aku ingin selalu bersamanya---mungkin ini sama seperti yang dikatakan oleh Edmond, sebuah perasaan yang mampu membuat dadamu terasa sesak.
"Homun... culus..."
Nafas Edmond mulai tidak teratur, dadanya naik-turun dengan cepat.
"?"
"Aku ingin katakan ini padamu," jeda sejenak, "aku yakin kau berbeda dari homunculus lainnya."
"Maksud...mu?"
"Aku tidak tahu pasti, namun aku menemukan sebuah fakta dari hasil pemeriksaan rutinmu. Kau akan mempunyai rentang hidup yang lebih lama, mungkin sama seperti manusia normal lainnya."
"Tidak mungkin..."
Theodore menatapku tak percaya.
"Kau memiliki jantung istriku, aku yakin jantung itulah yang dapat membuat kehidupanmu berbeda dari homunculus lainnya. Sirkuit sihirmu terawat dengan baik, bahkan tidak ada gangguan sama sekali. Belum lagi..." Edmond terbatuk, "jantung seorang penyihir memiliki kekuatan misterius yang dapat memanggil kejaiban."
Aku dapat hidup lebih lama?---"Edmond..."
"Hidupmu, adalah milikmu. Bukan karena aku yang memberimu kehidupan, bukan pula karena Haydee yang membuat jantungmu terus berdetak. Kau terlahir karena anugerah Tuhan---kau dapat hidup dengan normal adalah suatu keajaiban."
---
---
----air mataku mengalir. Kenapa?
Edmond terbatuk lagi, kali ini lebih parah. Setelah ia batuk, darahnya semakin banyak yang keluar, wajahnya semakin pucat---ia kemudian menepuk puncak kepala Theodore.
"Theodore, aku dan Haydee sangat menyayangimu... teruslah hidup... jangan pernah menatap hal yang telah lalu..."
Theodore semakin berkaca-kaca sampai akhirnya ia tidak dapat menahan luapan air mata yang sejak tadi ia tahan, "Ayah, ada banyak yang ingin kukatakan padamu..."
"Waktuku... ham... pir... habis..."
Edmond menoleh kearahku, "Homu---... Elaine, jagalah... Theo... untukku..."
Sakit! Pedih, mengapa rasanya aku ingin menjerit.
Pertamakalinya Edmond memanggil namaku, tapi mengapa aku tidak menyukainya---rasanya sakit. Aku sampai harus memegangi dadaku yang terasa sesak.
"Edmond..."
"Ayah..."
Detik terakhir sebelum Edmond pergi, ia sempat tersenyum bahagia pada kami.
🍁 🍁 🍁
---
---
---
Kore ijou nozomu koto wa
Nan ni mo nai
Watashi ga hoshii mirai wa
Koko ni aru
Hajimete sabishisa wo kureta hito
Tada no kodoku ni
Kachi wo ataete kureta no
Hingga detik ini,
Sudah tak ada hal yang kuharapkan lagi
Masa depan yang kuinginkan sudah ada di sini
Kau, yang pertama kali membuatku merasa sepi
Kau, yang memberikan nilai pada sebatas sepi
---
---
---
Dihadapanku kini Invidia mengamuk semakin parah, suara erangan monster tersebut membuat telingaku sakit. Kutatap keadaan sekitar, banyak pasukan yang tewas dari kedua kubu. Aroma kematian terasa semakin pekat ditempat ini.
"Elaine."
Theodore memegang tanganku dengan erat, "ayo."
Aku mengangguk.
---
---
----seluruh peristiwa yang pernah aku alami seakan kembali berputar didalam ingatanku. Aku semakin mengerti apa yang benar-benar aku inginkan dikehidupanku.
Sama seperti Edmond---aku tidak membutuhkan harta, jabatan, atau materi lainnya.
Aku hanya ingin terus bersama dengan orang yang kusayangi---hal itu sudah lebih dari sekedar cukup.
Dan orang itu, ada disampingku. Tengah menggenggam tanganku erat tanpa ingin melepaskannya.
Saatnya membalaskan dendam bagi iblis bernama Invidia---
"Kette des Himmels."
Penyerangan akhir pada Invidia kulakukan dengan mengerahkan seluruh sihirku yang tersisa. Kubuat rantai-rantai yang membatasi pergerakan Invidia, kupakai sihir penguat tubuh dan menyerangnya dari dekat.
Sementara Theodore menggunakan pedangnya untuk menyerang langsung Invidia. Membuat luka yang sangat banyak hingga Invidia terus mengerang hebat. Pasukan Alexandria seakan tidak mau kalah, mereka terbakar oleh api semangat dan terus memojokkan pasukan Dark Valley.
Aku tidak berhenti sampai disini. Aku menggunakan darahku sebagai media penghantar sihir, yang akan kulakukan adalah membekukan Invidia agar dia tidak dapat dibangkitkan kembali. Untuk itu aku membutuhkan darahku sebagai segel penguat agar monster tersebut tidak dapat melepaskan diri.
"Ini untuk Edmond dan Haydee..." gumamku, "Eisfesseln!"
Sihir yang kugunakan dengan darahku bekerja dengan baik. Seluruh tubuh Invidia kini dipenuhi oleh segel bertuliskan huruf rune kuno. Tubuhnya menggeliat berusaha melarikan diri. Segera kurapal mantra susulan---tidak mau membuang kesempatan ini.
Kuhela nafas panjang, mantra ini paling berat, aku tidak yakin dapat menggunakannya dengan sisa sihirku.
"Elaine..." Theodore menyentuh pundakku, "kita lakukan bersama."
---
---
----ya, sekarang aku tidak sendiri. Ada Theodore bersamaku.
Aku dan Theodore meneriakkan mantra dengan lantang.
"Den Teufel versiegeln!"
Aku mengeratkan penganganku pada Theodore, sadar akan sihirku terkuras habis. Kelima indera ku terasa lumpuh, sampai akhirnya pandanganku menggelap.
Disaat terakhir, Invidia masih dapat mengamuk. Ia menghancurkan lapisan es yang melingkupi lautan dengan ekornya yang kuat.
---
---
----aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi selanjutnya. Yang dapat kurasakan hanyalah tubuhku yang seperti diserap oleh lautan.
Invidia berhasil dimusnahkan dan terkubur di lautan yang paling dalam.
Perang berakhir.
Theodore---
---aku bisa merasakannya.
Saat aku tenggelam kehilangan kesadaran, dia menyelamatkanku.
Memelukku dengan erat.
🍁 🍁 🍁
---
---
---
Watashi ga miteru mirai wa
Hitotsu dake
Eien nado sukoshi mo
Hoshiku wa nai
Ichibyou isshun ga
Itooshii
Anata ga iru sekai ni
Watashi mo ikiteru
Hanya ada satu, masa depan yang tengah kupandangi
Barang sedikit pun, aku tak menginginkan keabadian
Setiap detik, setiap momen ini begitu berharga
Dunia dimana ada dirimu,
Di sanalah aku juga hidup
---
---
---
Desa Lilium---sebelah utara kerajaan Alexandria...
Hm, baiklah.
Mungkin ini adalah akhir dari kisah seorang homunculus bernama Elaine---
---tidak, bukan berarti aku mati.
Jika kalian lihat, saat ini aku dalam keadaan sehat. Sudah tujuh tahun berlalu sejak perang seribu tahun berakhir. Dark Valley berhasil diruntuhkan, monster-monster aneh tidak ada yang kembali menyentuh daratan Grand Heaven. Intinya, kedamaian yang didambakan oleh Grand Heaven sejak berabad-abad yang lalu akhirnya mereka dapatkan.
Aku sendiri hidup bahagia.
Bukan sebagai homunculus, tapi sebagai manusia.
Keadaan Theodore?
Dia masih disini, bersamaku.
---
---
---
Kusatukan kedua telapak tanganku dengan khidmat, berdoa didepan dua batu nisan bertuliskan Edmond Auristella dan Haydee Auristella.
Ya, hari ini adalah peringatan kematian mereka berdua.
Kami menyempatkan untuk datang kemari dan berdoa untuk mereka.
Setelah berdoa, aku meletakkan setangkai bunga mawar putih diatas kedua batu nisan tersebut, entah mengapa hal tersebut membuat senyuman dibibirku.
"Sudah selesai?"
Aku menoleh kearah suara, diasana Theodore telah menungguku.
Aku mengangguk, menyunggingkan senyuman manisku padanya, "Ayo pulang, Theo..."
Theodore balas tersenyum padaku, ia kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat, "Mereka berdua pasti bahagia."
"Ya, aku tahu itu."
"Rasanya seperti baru kemarin, ya..." gumam Theodore, "aku masih ingat kepuasan apa yang aku rasakan setelah perang berakhir."
Elaine mengangguk setuju, "Ya, aku juga berpikir seperti itu. Aku senang karena Grand Heaven akhirnya dapat terbebas dari peperangan."
Aku dan Theodore saling bertatapan, menyelami tatapan masing-masing. Aku menatap tepat pada manik ruby milik Theodore, begitupula Theodore yang menatap manik mataku yang berwarna perak. Ia kemudian merapikan helaian rambut hitamku yang berantakan karena tiupan angin.
Sampai jarak kami hampir saja terhapus, dua suara malaikat menginterupsi---
"Ayah! Ibu! Ayo pulang, aku sudah lapar!!
"Aku ingin bermain dengan tuan Leo dirumah!!"
---dasar anak-anak.
Tampaknya Audie dan Arthur sudah bosan karena terlalu lama menghabiskan waktu di makam kakek dan neneknya.
---
---
----beginilah cerita dari seorang homunculus bernama Elaine berakhir.
Mungkin nanti akan ada cerita lain yang akan kalian ketahui.
Kisah tentang petualangan keluarga Auristella.
Kedengaran bagus 'kan?
🍁 🍁 🍁
S a n c t u a r y
--END--
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top