Symphonya : Hated by Life Itself I
Ning ning ning!
"Selamat datang!"
Duk!
Sebuah keranjang terletak di meja kasir. Seseorang langsung mengeluarkan barang yang berada di dalam keranjang, lalu men-scan barcode ke scanner yang berada ditangan kirinya. Setelah men-scan dia melihat harga di layar komputer dan menoleh ke arah pelanggan.
"Totalnya 2.700 yen."
Pelanggan tersebut pun mengambil uang dari dompetnya dan mengeluarkan tiga lembar uang 1000 yen. Si pelanggan menyerahkan uangnya kepada sang kasir. Sang kasir pun menerimanya dan mengetik nominal di komputer. Setelah selesai sang kasir pun memberikan kantong belanjaan dan uang kembalian kepada pelanggan.
"Silahkan datang kembali!"
Puk!
Sang kasir melihat dompet pelanggan tadi terjatuh di depan meja kasir. Tanpa menunggu lagi sang kasir mengambilnya dan mengejar pelanggan.
"Anu, nona dompet anda terjatuh!" ujar sang kasir sambil mengejar pelanggan. Sang pelanggan yang merasa pun menoleh kebelakang dan mengecek saku jas sekolahnya. Dia tak menemukan dompetnya.
"Ah, terimakasih."
"Sama-sama kalau begitu saya pergi dulu, lain kali hati-hati nona tidak semua orang baik sepertiku."
Sang kasir pun berlari menuju ke supermarket, untuk melanjutkan pekerjaannya. Saat dia masuk ke supermarket, ada seseorang yang keluar dari sebuah ruangan.
"Kouki-kun, sudah waktunya ganti shift. Kau boleh pulang sekarang. Terimakasih atas kerja kerasmu hari ini."
"Ah, baiklah paman. Kalau begitu aku akan bersiap-siap." Lelaki bernama Kouki pun pergi ke ruang ganti.
Setelah selesai mengganti pakaiannya dia membawa satu kantung belanjaan lalu pergi dari supermarket tadi. Dengan bersenandung kecil ia berjalan pulang. Walaupun hari sudah mulai gelap dia tetap berjalan santai menuju rumahnya.
Setelah berjalan selama beberapa menit akhirnya dia sampai di depan rumahnya. Dia membuka pintu gerbang dan mulai berjalan masuk ke rumah.
Kriettt
"Aku pu-"
Belum selesai dia mengucapkan kata-kata terdengar suara keras dari dapur.
Prank!
Lalu suara pun mulai bersautan.
"KAU ITU ADALAH ISTRIKU. JELAS SAJA JIKA AKU MELARANGMU UNTUK KELUAR!"
"AKU LELAH DENGAN KEKANGANMU! AKU HANYA INGIN PERGI BERTEMU TEMAN LAMA!"
"TEMAN LAMA KATAMU?! LALU KAU BERCIUMAN BERSAMA PRIA LAIN, APA ITU YANG KAU MAKSUD TEMAN?!"
"ARGH, AKU LELAH KAU ATUR. MALAM INI AKU TIDAK AKAN PULANG! AKU TIDAK PEDULI LAGI DENGANMU!"
BRAK!
Pintu yang terbuka secara kasar menampakkan seorang wanita dengan pakaian seksi. Wanita itu berjalan menuju anaknya yang sedang terdiam akibat pertengkaran orang tuanya yang kesekian kalinya.
Sadar Ibunya berjalan keluar dia pun bertanya, "Ibu mau kemana?" seraya tangannya terulur untuk menyentuh lengan ibunya.
Dengan kasar Ibunya menepis tangan itu dan mengatakan, "Bukan urusanmu!"
Brak!
Wanita itu menutup pintu terlalu keras sehingga membuat anak lelaki tadi sadar dari kagetnya. Dia pun melihat kearah ruang makan. Ada Ayahnya yang sedang duduk di kursi dengan kepala di taruh diatas tangan.
Lelaki itu pun menghampiri Ayahnya.
"Ayah sebaiknya ganti baju dulu. Aku akan menyiapkan makan malam. Ayah belum makan malam kan?" tanya lelaki itu.
Jawaban Ayahnya hanya mengangguk lalu pergi dari ruang makan.
Lelaki tadi pun membereskan pecahan kaca terlebih dahulu. Dia mengambil pecahan paling besar dan mengarahkan ke wajahnya. Dia berusaha melihat dirinya yang memalukan.
———————
Symphonya: Hated by Life Itself.
By: ShiotaSumi
Song: Inochi ni kirawarete iru.
Genre: Drama, Romance.
G.O.D Project
.
.
.
.
.
.
Start!
Ken POV
Perkenalkan namaku Ken Kouki, aku hanya siswa SMA kelas 1. Hari ini adalah hari yang paling dinanti oleh kakak kelasku, yaitu kelulusan. Saat ini aku sedang berjalan menuju ke sekolah.
"Hahh, salju mulai turun ya...," gumamku.
Aku menghentikan langkah dan menengadah melihat salju yang turun dari langit.
Aku jadi mengingat pertengkaran orang tuaku tadi malam. Aku masih kepikiran dengan Ibu yang belum pulang sejak pertengkaran itu. Sepertinya pertengkaran Ayah dan Ibu tak ada habisnya.
Aku pun melanjutkan perjalanan ku yang sempat tertunda.
-0-
Saat aku pulang ke rumah, aku sudah disambut dengan teriakan orang tuaku lagi. Aku yang tak berani melerai pertengkaran mereka pun hanya pura-pura tak mendengar apapun dan langsung menuju ke kamarku.
Sesampainya di kamar, aku melepas seragam dan menggantinya dengan kaus. Aku langsung merebahkan diri dan menutup telinga ku dengan headphone.
Sesaat aku hampir tertidur, tetapi aku dikagetkan oleh suara bantingan pintu.
Brak!!
"Ken kemasi barangmu dan kita pergi dari sini!" ujar Ibu setengah membentakku.
Aku yang sedikit takut melihat Ibu seperti itu hanya menurutinya. Aku mengemasi barang-barang ke dalam koper dan menutupnya. Lalu aku mengambil tas ransel dan memasukkan semua buku pelajaran ku kedalam tas. Aku juga memasukkan laptop, headphone, dan juga handphoneku.
Drap! Drap!
"JIKA KAU INGIN PERGI, PERGI SAJA TANPA DIA! AKU TIDAK AKAN MEMBERIKANNYA KEPADAMU," ujar Ayahku yang tiba-tiba datang.
"POKOKNYA AKU AKAN MEMBAWANYA!" Ibuku berkata seraya membawa koperku keluar. Aku pun mengikutinya dengan membawa ranselku.
Saat aku sedang menggunakan sepatu, di depan rumahku sudah terlihat sebuah taxi. Melihat aku selesai menggunakan sepatu ibu langsung menyeretku keluar dan menyuruhku masuk ke dalam taxi. Setelah aku dan Ibu masuk, Ibu menutup pintunya dan memberikan selembar kertas kepada supir taxi. Supir taxi pun menjalankan mobil. Aku menoleh ke belakang dan melihat ayahku yg terduduk.
Aku membenarkan dudukku dan hanya melihat keluar jendela. Aku tak berniat untuk menanyakan apapaun pada Ibu atau situasinya akan menjadi lebih tegang.
"Mulai besok kau tak usah pergi ke sekolahmu. Aku akan menyekolahkanmu di sekolah lain. Jadi untuk besok kau lebih baik menata barang-barangmu," ujar Ibu memecah keheningan.
"Hm."
-0-
Sesampainya kami di tempat tujuan akupun keluar terlebih dahulu dan mengeluarkan koper dari bagasi taxi. Setelah Ibu membayar taxi, ia keluar dan menuju sebuah bangunan apartemen.
Aku mengikutinya di belakang. Kami memasuki lift, lalu ibu menekan tombol 6.
Ting!
Setelah mendengar bunyi tersebut akupun bersiap keluar. Saat aku berada di luar aku berhenti berjalan dan menunggu Ibuku berjalan di depan sebagai penunjuk. Kami berjalan cukup jauh dari lift.
Setelah beberapa menit kami berjalan akhirnya kami sampai di depan kamar nomor 608. Ibu pun membuka pintunya menggunakan sebuah kartu.
Kami berjalan masuk setelah pintu dibuka. Aku melihat dalamnya sungguh mewah. Ini pasti apartemen orang kaya.
"Mulai sekarang, kita akan tinggal di sini. Kau tak boleh membantahku. Kau tak boleh bertemu dengan pria itu lagi. Mengerti?" Tanya Ibu.
"Hm, aku paham," ujarku seraya mengangguk.
"Kalau begitu Ibu akan keluar dulu, kau bereskan barang-barangmu. Kamarmu dua pintu setelah pintu masuk."
Akupun berjalan ke kamarku sambil menarik koper yang kubawa. Aku membuka knop pintu dan dihadapkan dengan pemandangan yang mewah lagi. Di dalam kamarku yang baru ini sudah ada kasur berukuran sedang, juga lemari, komputer, dan meja belajar. Akupun mulai mengeluarkan barangku dari koper dan ransel lalu menatanya di kamar ini.
Kruyuk~
'Kalau tidak salah sejak aku pulang sekolah aku belum makan ya? Yasudahlah, waktunya makan.'
Akupun berjalan keluar kamar menuju dapur. Aku membuka kulkas dan mendapati beberapa bahan makanan. Kuputuskan untuk hanya mengambil buah apel dan pisang. Aku sedang tidak mood untuk memasak. Setelah aku mengupas dan memotong apel aku bawa apel dan pisang itu menuju ruang keluarga. Kududukkan diriku di sofa sambil memakan apel yang telah kukupas.
Setelah aku selesai memakan buah, kuletakkan piringnya di tempat cuci piring. Akupun masuk ke kamar untuk tidur. Ketika aku berbaring entah kenapa aku jadi kepikiran oleh Ayah. Apa Ayah akan baik-baik saja? Apa Ayah akan makan?
Tanpa sadar semakin lama kesadaranku mulai menghilang.
"Maafkan aku Ayah."
-0-
Sinar mentari yang memasuki kamarku lewat celah gorden jendela membuatku terbangun dari tidur. Aku pun melihat sekeliling dan baru ingat bahwa ini bukan kamarku yang lama.
Aku beringsut turun dari kasur, lalu keluar kamar. Aku melihat ke pintu sebelah ruanganku. Kurasa Ibu belum pulang. Aku pun tidak terlalu memikirkannya dan langsung membuka kulkas untuk membuat sarapan. Aku hanya membuat omelet.
Selesai makan aku menaruhnya di tempat cuci piring dan mencucinya bersama piring buahku semalam. Setelah mencuci piring aku pun berjalan ke kamar. Saat itu pula pintunya terbuka dan menampakkan seorang wanita yang tak lain adalah Ibuku.
Ibu tanpa menyapaku langsung masuk menuju kamarnya dan menguncinya. Akupun mencoba tidak terlalu memikirkannya dan menuju kamarku.
Baru saja aku rebahan, aku mendengar pintuku diketuk.
Dok dok dok!
"Ada yang mau aku bicarakan jadi keluarlah!" ujar Ibu dari luar.
Aku berjalan keluar dan melihat Ibu duduk di sofa. Akupun mengikutinya.
"Ada apa bu?"
"Mulai musim semi tahun ini kau akan Ibu sekolahkan di sekolah dekat sini jadi kau cukup jalan kaki untuk berangkat dan pulang. Ini seragamnya. Kau boleh kembali ke kamarmu!" ujar Ibu dingin.
"Baik bu."
Aku berjalan menuju kamar dengan membawa bungkusan yang berisi seragam. Aku mengeluarkan seragam itu dan menggantungnya di gantungan agar rapi.
--0--
Sekarang sudah mulai musim semi. Dimana aku akan berada di sekolah baru dan lingkungan baru.
Aku berangkat sekolah dengan jalan kaki. Aku menikmati dimana saat bunga sakura berjatuhan. Itu sangat indah.
Setelah beberapa menit aku berjalan, akhirnya aku sampai di sekolah ku yang baru. Banyak orang berlalu lalang disini, tetapi aku tak peduli. Aku hanya berjalan menuju papan pengumuman dan mencari namaku ada di kelas mana. Setelah kucari-cari aku menemukan namaku berada di kelas 2-1.
'Oh, jika aku masuk kelas 2-1 berarti nilai ujianku kemarin bagus? Syukurlah setidaknya aku tidak memalukan untuk urusan nilai,' batinku.
Aku berjalan memasuki gedung untuk menuju ke kelasku. Setelah di lantai 3 aku baru menemukannya.
Srek!
Saat aku membuka pintu, seisi kelas mendadak diam. Akupun berjalan masuk tanpa memperdulikan mereka yang membicarankanku. Aku mencari tempat duduk yang masih kosong. Aku menemukan tempat favoritku di kelas masih kosong akhirnya aku mendudukinya. Tempat itu adalah barisan paling belakang dekat jendela.
Aku menaruh tasku diatas meja lalu, aku berdiri keluar meninggalkan kelas. Aku berjalan menuju aula untuk mengikuti upacara pembukaan.
-0-
Teng! Teng! Teng!
Bel pertanda pulang sekolah berbunyi. Ken langsung membereskan mejanya dan pergi dari kelas. Ia hendak pergi menuju atap untuk menghilangkan bosan. Ia tahu, jika pulang sekarang Ibunya pasti belum pulang dan dia akan menganggur di rumah. Jadi, lebih baik waktunya habiskan di sekolah.
Saat ia berada di lantai 4, terdengar suara piano. Dia melihat sekitar dan tak menemukan seorang pun disana. Hal itu membuatnya merinding.
'Jangan-jangan itu hantu? Ah, gak mungkin,' batinnya.
Akhirnya dia memberanikan diri berjalan menuju pintu ruang musik dengan mengendap-endap. Mencari tahu siapa yang memainkan piano ruang musik.
Sesampainya di depan pintu ruang musik. Ia mencoba melihat kedalam dengan melihatnya dari kaca yang berada di pintu. Saat dia mulai mengintip, dia terpana dengan orang yang memainkan piano. Bukan soal yang memainkan piano adalah hantu, tetapi orang yang memainkannya adalah ketua osis sekolah barunya. Ketua osis yang terkenal jahil dan banyak tingkah, menjadi tenang dan kalem saat memainkan piano.
Lagu yang dibawakannya entah kenapa terasa sedih tetapi disaat bersamaan Ken merasa ada sesuatu. Lagu ini, lagu yang Ken belum pernah dengar, begitu membekas dihatinya.
-0-
Sudah 3 bulan aku pindah dengan Ibu dan 3 bulan itu kulalui dengan kesengsaran. Ibu selalu menyuruhku ini dan itu, lalu jika aku menurutinya tetapi tidak tepat waktu aku akan dipukul. Bukan hanya itu, jika aku membantah sedikit perkataannya pipiku langsung ditampar. Pernah sekali aku periksa ke rumah sakit dan untungnya tidak ada luka serius.
Saat di sekolah pun aku tak memiliki teman. Mereka yang terkadang melihat ujung bibir ku atau ujung mataku yang kututup plester pasti mengira bahwa aku suka berkelahi. Makanya mereka menjauhiku.
Aku merasa bahwa itu tak masalah. Lagipula aku ke sekolah bukan untuk mencari teman, tetapi belajar.
Sekarang pukul 07.30 pagi yang artinya sebentar lagi aku berangkat sekolah. Saat aku sedang memakai dasi ada yang mendobrak pintu ku.
Brak!
"Hari ini kau tidak usah sekolah. Kau diam saja di rumah. Kamarmu akan kukunci jadi lakukanlah semaumu. Tapi jika kau ketahuan akan kabur, siap-siap terima hukumannya."
Brak!
Click!
Ibu ternyata benar mengunci pintu. Jadi, apa yang akan kulakukan?
5 jam berlalu
'Ahhh aku bosan!'
Aku sudah bosan menunggu disini tanpa sebab. Aku sudah membaca novel, light novel, bermain game, dan lain lain, tetap saja aku bosan. Apa yang harus kulakukan?
Saat aku sedang meratapi kebosananku, aku mendengar ibu sedang bertelfon dengan seseorang.
Tidak biasanya ibu menelepon dengan suara yang kecil. Aku pun memutuskan untuk mendengarnya sedikit.
"Hm, aku sudah mendapatkannya. Tenang saja, dia sepenuhnya sehat dan tidak ada bekas luka. Dia juga cukup terampil..."
Dia? Aku tidak tahu apa yang sedang ibu bicarakan tapi sepertinya ibu ingin menjual sesuatu. Kurasa tanpa sepengatuhanku ibu menjual hewan seperti anjing.
"Besok? Tentu saja. Asalkan uangnya sudah siap kapanpun aku bisa. Ya! Ya! Xx juta!"
Bruk!
Tanpa sengaja aku menyenggol lemari hingga menyebabkan suara gaduh. Perasaanku kini tidak enak.
"Xx juta?! Apa yang dijualnya?" Bisikku penasaran.
Aku kemudian kembali mendengarkan pembicaraan ibu. Namun kali ini aku tidak mendengar apapun. Tidak lama kemudian aku mendengar langkah kaki mendekat.
'Gawat!'
Click!
Srett...
"Kau sedang apa Ken?" Ujar ibu dengan tatapan curiga.
"Ah, maaf. Novelku jatuh ke bawah meja dan kepalaku terbentur saat mengambilnya. Apa aku mengganggu?"
Aku menunjukkan buku novel yang baru saja kubaca. Untung saja aku segera berpindah posisi, kalau tidak mungkin ibu sudah memergokiku dan memberiku hukuman.
Tanpa mengatakan apapun ibu langsung pergi keluar dan kembali mengunci pintu. Karena penasaran, lagi lagi aku berusaha untuk mendengarkannya.
"Jangan dipikirkan, itu bukan apa - apa. Hmm namanya? Apa anda tidak berniat memberinya nama sendiri?"
Kali ini mereka membicarakan nama, kurasa aku benar. Seharusnya aku tidak berpikiran yang buruk pada ibu.
"Ken Kouki"
Deg!
Aku berusaha untuk tidak membuat kegaduhan lagi dengan menutup mulutku. Yang baru saja ibu sebutkan bukannya.... aku?
"Itu namanya. Untuk marga tentu saya berharap anda mau menggantinya" lanjut ibu. Suaranya sama sekali tidak ragu.
Aku tidak percaya ini. Ternyata ibu membawaku bukan karena dia ingin tinggal denganku. Melainkan dia ingin menjualku.
Aku sudah terlanjur mendengar semuanya. Tidak ada pilihan lain selain mempercayainya. Sekarang apa yang harus kulakukan? Aku tidak ingin dijual.
Aku harus memikirkan cara untuk kabur dari tempat ini. Aku melihat sekeliling kamarku.
'Tidak ada yang bisa kugunakan untuk kabur.'
Aku berpikir keras hingga membuat kerutan alis di dahiku. Hingga aku terpikirkan sesuatu. Aku mengambil telepon genggam milikku lalu mengetik sesuatu untuk seseorang. Selesai mengetik aku menekan tombol 'Send'. Aku berharap cemas semoga dia mengecek telepon nya dan membalas pesanku.
Ting!
Dia membalasnya!
Dia mau membantuku. Aku menjelaskan apa yang ingin kulakukan lalu kukirim kepadanya. Beberapa menit kutunggu dan akhirnya dia menjawab. Jawaban yang diberikan adalah---
---Ya.
Aku begitu senang mengetahui aku memiliki kesempatan untuk kabur dari sini. Akupun menunggu hingga ibu keluar dari apartemen baru aku akan menjalankan rencana. Lalu aku mendengar suara dari luar, "ya, di tempat biasa 'kan? Baiklah. Sampai jumpa."
Setelah itu kurasa ibu menutup teleponnya dan beranjak dari tempat duduknya.
"Ken, ibu akan keluar. Jangan kau coba-coba untuk kabur mengerti?"
"Baik, bu."
Ceklek
Blam!
Pintu pun tertutup dan ibu sudah keluar. Akhirnya aku dapat melakukan rencanaku. Aku mengetik sesuatu di telepon genggamku dan kukirim kepada orang yang akan membantuku.
Jawaban yang kudapat sama seperti tadi. Aku pun mendekati pintu kamarku untuk memastikan bahwa ibu sudah keluar. Suara pintu yang tertutup sudah cukup menjadi jawabannya.
Aku pun segera membuka pintu balkon dan menoleh ke kiri. Di sana ada balkon milik tetanggaku yang berjarak 1 meter dari milikku. Sebuah tangan muncul dari balik pintu balkon itu memberiku sebuah tanda.
Aku menarik napas, menahan rasa ragu yang bisa saja membuatku gagal. Tanganku mulai meraih dinding yang berguna sebagai batas agar aku tidak jatuh. Aku pun menaikinya dan berusaha untuk tidak melihat ke bawah.
'Jangan ragu, ini apartemen lantai 6. Jika aku jatuh tamat sudah'
Hup!
Kakiku terpleset begitu mendarat di atas balkon tetanggaku. Untungnya di depanku sudah ada kasur kecil yang empuk. Rasanya sangat melegakan.
"Selamat datang, setelah ini kau mau kemana?"
Seorang gadis berumur 19 tahun duduk di sebelahku dan menyambutku dengan kekhawatiran. Meskipun kami belum kenal begitu lama tapi aku hanya bisa minta bantuan padanya.
Aku bangkit dan merapikan bajuku kemudian berjalan menuju pintu keluar. Begitu aku menggenggam gagang pintunya aku menoleh padanya dan berusaha membuat sebuah senyuman.
"Terima kasih"
Aku pun pergi keluar tanpa menunggu jawabannya. Meskipun aku tidak ingin membuatnya khawatir tapi aku sendiri tidak punya tujuan yang jelas.
Aku hanya bisa berlari dan mengambil jalan yang berlawanan dari ibu. Berharap kami tidak bertemu dan aku kembali menerima hukuman.
Napasku terasa berat seiring lamanya aku berlari. Aku pun berhenti dan mendongak untuk melihat dimana aku saat ini. Tempat yang tidak asing bahkan hampir setiap hari kukunjungi. Satu - satunya tempat dimana aku bisa terbebas dari teriakan sekaligus tempatku menyendiri.
"Sekolah...."
Entah kenapa aku merasa lega. Aku menyusuri lorongnya mencari tangga yang jarang dilewati. Terdengar suara bising dari ruang kelas yang kadang membuatku sedikit iri.
Satu persatu kunaiki anak tangga itu hingga aku sampai di lantai teratas yang seharusnya dilarang untuk murid. Kutatap pintu besi yang sedikit berkarat di hadapanku dan membukanya perlahan.
Tanpa kusangka dicuaca yang terik ini anginnya sangat sejuk. Aku sampai tidak menyangka tidak ada orang yang datang ke sini.
Kututup pintunya dan berjalan ke tepi untuk menikmati angin yang berhembus. Aku melirik ke bawah, rasanya aku sudah tidak takut lagi seperti saat di balkon tadi. Mungkin karena jumlah lantainya berbeda.
Sempat terlintas di pikiranku bagaimana jika aku melakukan bunuh diri? Apa penyiksaan yang selalu menghantuiku akan hilang? Apa orang disekitarku seperti Ibu akan sedih? Mungkin jika aku bunuh diri akan membuat Ibu menjadi menyayangiku? Ah, itu tidak mungkin ya? Jika aku bunuh diri di sini bukankah aku akan mendapat luka. Lompat dari gedung berlantai 4, resiko paling kecilnya adalah patah tulang. Resiko paling besarnya adalah––
--mati.
Jika aku lompat dari sini dan aku mendapatkan resiko paling besar, bukankah tidak berguna? Aku memang terbebas dari penderitaan tetapi tetap saja aku akan menghilang, bahkan aku belum pernah pacaran ataupun jatuh cinta. Apa aku bisa menerima akhir yang seperti itu?
"Ah, apa yang kupikirkan sih."
Akupun menengadah ke langit seraya menutup mata. Aku membuka mata dan melihat pijakan di luar pagar pembatas. Entah kenapa aku ingin nberdiri di situ. Akhirnya kuberanikan diri melewati pagar pembatas dan berdiri tegap di pijakan. Merentangkan tangan dan menutup mata, berusaha menikmati angin yang berhembus.
Saat aku menutup mataku, sayup-sayup aku mulai mendengar suara ribut dari bawah, tapi kuabaikan. Aku masih ingin menikmati hembusan angin.
"——ambil jaring dan matras dari gudang olahraga! Cepat!"
"Hei kau, kalau ingin bunuh diri jangan disini! Segera turun dan tenangkan pikiranmu!"
"..."
Aku tetap tak memperdulikan teriakan mereka. Sampai tiba-tiba,
Citt! Brak!
"Apa yang kau lakukan?! Apa kau kehilangan akal sehat?! Kuperintahkan kau cepat menepi!" ujar seseorang di belakangku.
'Hm, Ketua Osis?'
"Hei! Kau mendengarku tidak? Hoi!"
Maafkan aku ketua Osis mohon jangan ganggu aku untuk saat ini.
——
Beberapa menit yang lalu.
'Oi!! Turun!'
'Apa yang kau lakukan?!'
'bla bla bla...'
"Oi Ketua Osis! Ada anak yang mau bunuh diri di atap!"
Aku yang mendengarnya dari teman sekelasku langsung terpaku. Tanpa berpikir panjang akupun menaiki tangga sambil berlari menuju atap.
"Sebenearnya apa yang dipikirkannya sih sampai mau bunuh diri di sekolah. Kalau begini bisa bisa reputasi sekolah menurun."
Ciit! Brak!
Aku membuka pintu atap dengan sedikit kasar. Setelah pintunya kubuka aku langsung melihat anak yang mau bunuh diri itu berdiri di belakang pagar pembatas atap.
"Apa yang kau lakukan?! Apa kau kehilangan akal sehat?! Kuperintahkan kau cepat menepi!" aku berujar dengan sedikit bentakan, tetapi dia sama sekali tak bergeming.
"Hei! Kau mendengarku tidak? Hoi!" lanjutku.
Dia tetap tidak menoleh padaku. Apa yng harus kulakukan agar dia tidak bunuh diri? Ayolah kau termasuk 5 besar orang terpintar di sekolahmu, bagaiman mungkin kau tidak bisa memikirkan cara untuk memotivasi orang.
Baru kuingat kalau aku tak bisa memberi diriku sendiri motivasi, jadi bagaimana mungkin aku bisa memberi orang lain motivasi.
—Ohh ada satu. Aku tak yakin ini akan bekerja, tapi tak ada salahnya mencoba.
Akupun mengeluarkan mp3 player milikku dan nelepas earphone yang terpasang. Akupun mencara lagu yang kubutuhkan. Setelah menemukannya aku mencoba menenangkan diri dan menghembuskan nafas. Ku putar lagu yang telah kupilih.
(silahkan putar lagu yang di mulmed)
Akupun mulai mendengar bagian intro dari lagu yang kumainkan. Saat mendekati waktu untuk bernyanyi akupun menarik nafas panjang panjang dan mulai mengeluarkan suara.
"shinitai nante iu na yo.
akiramenai de ikiro yo."
sonna uta ga tadashii nante
bakageteru yo na.
jissai jibun wa shinde mo yokute
mawari ga shindara kanashikute
"sore ga iyadakara" tte iu ego nan desu
tanin ga ikitemo dou demo yokute
dareka o kirau koto mo fasshon de
soredemo "heiwa ni ikiyou"nante
suteki na koto deshou
gamen no saki de wa dareka ga shinde
sore o nageite dareka ga utatte
sore ni kanka sareta shounen ga
naifu o motte hashitta.
bokura wa inochi ni kirawarete iru
kachikan mo ego mo oshitsukete
itsumo dareka o koroshitai uta
kantan ni denpa de nagashita
bokura wa inochi ni kirawarete iru.
karugarushiku shinitai dato ka
karugarushiku inochi o miteru
bokura wa inochi ni kirawarete iru
Aku menyanyikan lagu itu. Padahal aku tak ingin ada yang tahu lagu itu. Lagu yang kubuat sendiri.
Untuk menyemangati diriku.
———
Lagu itu.
Lagu yang kudengar saat menuju atap sekolah. Tidak kusangka lagu itu artinya begitu dalam. Siapa pun yang membuatnya itu pasti membawa semua emosi nya kedalam lagu itu. Aku—
—ingin mendengar lagu itu lagi.
Aku pun menoleh ke belakang dan mendapati ketua osis yang sedang menunduk. Aku berjalan ke arahnya dan berhenti saat jarakku dan dia tinggal beberapa langkah. Dengan segenep keingin tahuanku. Akupun hendak bertanya.
Sebelum aku mengeluarkan sebuah kata dari mulutku, dia berkata,
"Apa yang ada di kepalamu? Apa yang membuatmu ingin bunuh diri? Jika ada masalah bukankah seharusnya diselesaikan dengan baik! Bukan malah membuatnya menjadi rumit!"
"T-tapi aku tak ada niat bunuh diri kok. Aku hanya ingin melarikan diri dan entah kenapa aku malah kesini. Hanya itu," ujarku menjelaskan.
"H-ha??? Terus kenapa kau berdiri di dekat pagar seperti orang yang mau bunuh diri?"
"Aku hanya ingin menikmati hembusan angin. Tapi sebenarnya, tadi sempat terlintas di otakku untuk bunuh di—," ujarku terpotong karena tiba-tiba dia menyahut.
"Tuhkan! Kau berniat bunuh diri!"
"T-tapi pemikiran itu ku urungkan, karena aku merasa itu tidak ada gunanya. Jadi intinya aku tidak ingin bunuh diri." ujarku.
"..."
Sekarang keadaan mulai canggung. Sampai suara sepatu hak tinggi terdengar sangat keras. Dan tak lama kemudian keluarlah seseorang yang ingin kuhindari—
"I-ibu...."
"BUKANKAH SUDAH KUBILANG UNTUK JANGAN KABUR! KENAPA MALAH MEMBANGKANG!" Ujar Ibu sambil mendekat dan menarik pergelangan tanganku. Aku berusaha mati-matian untuk tidak bergerak dari posisi sekarang.
"Tentu saja aku kabur! Ibu akan menjualku kan?! Jadi untuk apa aku tetap disana?! Aku tidak mau dijual! Aku ingin sekolah! Aku ingin hi—."
PLAK!
Perkataanku terhenti karena tiba-tiba Ibu menamparku.
"DIAM KAU! DASAR ORANG TUA DAN ANAK TIDAK ADA BEDANYA! SEHARUSNYA KAU BERSYUKUR AKU MASIH MAU MERAWATMU!"
Setelah mengatakan itu Ibu hendak menamparku. Akupun menutup mata dan bersiap merasakan sakit di pipiku lagi. Tapi setelah selang beberapa detik aku tidak merasakan sakit apapun. Akupun membuka mata secara perlahan dan kaget saat ada yang menahan tangan ibuku. Aku melihat yang melakukan hal berani tersebut dan ternyata, ketua osis!
Ibu yang merasa aksinya ditahan, berusaha melepaskan tanganya dari cengkraman ketua osis. Ibu pun menghempaskan tangannya dengan keras, membuat ketua osis terlempar. Akupun yang melihat itu tidak diam saja, aku melepas cengkraman itu dan berusaha menyelamatkan ketua osis.
Duk!
Bruk!
Ah, kepala ku sakit.
——
Duk!
Bruk!
K-kenapa badanku rasanya tidak terlalu sakit. Aku menoleh kebelakang dan mendapati anak tadi berada di bawah tubuhku.
Akupun bangkit dari tubuhnya dan menanyakan kondisinya.
"Oi! Kau baik-baik saja? Oi!" ujarku seraya menepuk-nepuk pipinya.
"Ketua!"
Aku menoleh ke belakang dan mendapati salah satu anggota osis kepercayaanku bersama seorang pria setengah baya. Pria itu melihat ke arahku dan ke anak tadi, lalu dia melihat orang yang berada dekat dengan pagar pembatas—Ibu anak tadi—.
"Kau! Apa yang kau lakukan pada Ken! Kau—!" ujar pria setengah paruh baya itu terpotong karna kepanikanku.
"Bisakah kalian bertengkar nanti saja! Dia sekarang pingsan! Siapapun telefon ambulan!" ujarku memerintah seraya berusaha membangunkan anak ini.
--0--
Aku menatap kasur yang berisi Ken. Aku merasa bersalah. Andai saja dia tak menyelamatkanku, mungkin yang akan terbaring di kasur ini adalah aku.
Pria setengah paruh baya yang tadi ke sekolah itu ternyata adalah Ayahnya Ken. Dia di telepon oleh salah satu guru. Ternyata guru itu adalah teman Ayahnya Ken.
Sekarang aku bertugas untuk menjaga Ken karena Ayahnya sedang sibuk mengurus hak asuh Ken dan juga mengurus Ibunya Ken yang akan dimasukkan ke penjara akibat perlakuannya yang ingin menjual anak.
Srek!
Tiba-tiba ada orang yang membuka pintu ruangan ini dan ternyata dokter yang tadi memeriksa Ken. Dia sangat cantik. Rambutnya yang digulung agar tidak merepotkannya saat melakukan tugas, kacamata hitam yang bertengger di pangkal hidung menambah kesan kedewasaan. Dia benar-benar wanita sempurna!
"Kau masih merasa bersalah?" tanya dokter Aya. Aku hanya mengangguk sebagai balasannya.
"Kurasa Ken tidak akan senang jika kau terus merasa bersalah. Orang yang dia selamatkan hingga masuk rumah sakit malah menyesal kepadanya. Ken tidak akan suka. Daripada kau menyesal, bukankah lebih baik memberinya hadiah karena dia sudah menyelamatkanmu? Dia pasti akan senang."
"Kau sudah boleh pulang kok. Biar Ken aku yang jaga," ujarnya lagi.
"Ano... Kenapa kau tau kalau dia akan lebih suka dikasih hadiah?" tanyaku.
Dokter yang mendengar perkataanku pun tersenyum. Dia menjawab,
"Itu karena aku sudah mengenalnya sejak lama. Dulu... aku juga pernah diselamatkannya. Pada saat itu dia juga seperti ini. Terbaring di rumah sakit. Aku sangat menyesal saat kejadian itu. Aku bahkan hanya disini tanpa makan dan mandi."
"Lalu, saat dia bangun akupun sangat bahagia. Aku saat itu berucap dalam hati 'Terimakasih Kau telah menyelamatkannya, terimakasih'. Lalu dia memperhatikanku dan bertanya apa yang terjadi denganku. Ryuu—Ayah Ken— menjelaskan ke Ken bahwa aku tidak makan dan tidak minum. Ken pun langsung memarahiku," ujarnya sambil tertawa kecil.
"Dia bilang 'Seharusnya Tante jaga diri! Tante kan calon dokter!' akupun saat itu langsung tersadar. Akhirnya berkat ceramahan Ken perasaan menyesal itu hilang. Akupun berfikir bagaimana caranya balas budi. Tiba-tiba terlintas difikiranku saat dia ingin game. Akhirnya aku memberi dia hadiah game. Dia sangat senang saat itu. Jadi, bagaimana? Masih mau menyesal? Lalu mendengarkan ceramahan Ken yang sangat panjang? " ujarnya diselingi tertawa.
"Ah, terimaksaih Dokter. Sekarang aku tahu apa yng harus kulakukan untuk menebusnya," ujarku.
Aku melihat jam yng berada di ruangan ini. Sekarang jam menunjukkan pukul 5, berarti sudah sekitar 2 jam aku menemaninya disini. Sudah waktunya untuk pulang.
"Baiklah kalau begitu saya izin pulang dulu Dokter. Tolong jaga dia ya. Lalu...," ujarku menggantung.
"Hm?" tanya Dokter penasaran.
"Jadilah calon Ibu yang baik untuk Ken," ujarku sambil tersenyum. Kulihat pipi Dokter sedikit memerah.
Akupun berjalan keluar dari ruangan ini. Saat aku ingin membuka pintu, kulihat wajah Ken yang mungkin tidak akan kulihat lagi. Akupun berjalan keluar.
"Terimakasih telah menyelamatkanku."
————–––————————————
PART 1 END!!!!
Keknya aku yang paling lama bikin songfict deh... Ya pokoknya maafkan keterlambatanku ini😭😭😭
By: ShiotaSumi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top