Symphonya : Sayonara
Kelopak bunga sakura menari-nari, diiringi dengan tiupan angin yang begitu lembut saat menerpa kulit. Berhembusan kesana kemari, sebelum pada akhirnya mereka akan berjatuhan di atas rerumputan hijau. Nuansa merah muda yang sangat indah, memberikan pemandangan indah di tiap penjuru kota. Begitu pula dengan kenangan-kenangan dahulu kala, yang terus-menerus berputar dalam benakku bagaikan setelan kaset rusak.
Aaaah, bunga sakura terlihat bermekaran dengan sangat indah. Kedamaianpun, bagaikan telah mengisi kekosongan hati setelah melihat pohon sakura di hadapanku ini. Berbagai memori tak terlupakan yang sebelumnya terus terngiang di dalam kepalaku, seakan-akan telah mereda begitu aura ketenangan ini melanda di sekeliling tempatku berdiri. Ah, bukan. Tempat kita dulu bersama. Ya kan, Kapten?
Di sebuah perbukitan yang sangat sepi, dengan sebuah pohon sakura yang tidak akan pernah lupa untuk memekarkan dirinya di kala musim semi telah tiba. Namun entah mengapa, semua kenangan kita di tempat ini, seakan-akan baru saja terjadi kemarin hari.
Kapten, aku merindukanmu.
Aaah..., kau benar-benar orang yang sangat menyebalkan, Kapten. Saking menyebalkannya, aku sampai tidak mampu untuk menjalankan perintah--oh, bukan. Aku belum dapat melaksanakan permintaan yang kau berikan. Permintaan sederhana, namun entah mengapa terasa sangat sulit untuk kulaksanakan.
Aku tidak dapat melupakanmu, Kapten. Setiap aku berusaha untuk melupakanmu, senyum dan tingkah lakumu dahulu seakan-akan langsung muncul begitu saja di dalam kepalaku. Senyuman yang menyebalkan itu..., mengapa aku tidak dapat melupakannya? Mengapa? Bukankah aku membencinya? Lalu kenapa..., kenapa aku tidak dapat melupakannya?
🌸
"Entah mengapa, aku merasa tidak akan pernah mendatangi tempat ini lagi," ujar pria bersurai hitam kelam itu, seraya menatap pohon sakura tanpa bunga di hadapannya. Dari sorotan mata berwarna merah maroon miliknya, terlihat jelas sekali bahwa ia menatap pohon tersebut dengan sendu penuh kesedihan.
Sedangkan aku yang sedari tadi hanya setia terdiam di belakangnya, akhirnya ikut menyahut ucapannya. "Memangnya, apakah kapten hendak pergi ke suatu tempat?"
Kapten melirik kecil padaku, kemudian memasang sebuah senyuman mengejek. Apa-apaan senyuman itu? Benar-benar membuatku kesal. Namun bagaimanapun juga, aku harus tetap berlagak sopan mengingat posisi dan jabatanku yang saat ini berada di bawahnya. "Mengapa kau tersenyum seperti itu, kapten?" tanyaku kembali.
"Ooohhh...," ia memutar balikkan badannya untuk berhadapan wajah denganku, namun senyuman mengejek itu masih tertampang di wajahnya. "Memangnya, kenapa jika aku akan pergi? Kau akan merindukanku?"
"Maaf, kapten. Mungkin, ucapan saya terlalu lancang karena telah menanyakan hal terse---"
"Ahahahaha! Sudah berapa kali aku bilang padamu, Kaede?" dia tertawa. "Jika kita berdua sedang berada berada di luar pekerjaan, bersikaplah biasa saja! Aku tidak akan marah, kok! Jangan terlalu formal!" lanjutnya dengan wajah ceria, bak anak kecil.
"Maaf kapten, tapi aku tidak memiliki hak unt---"
Plok!
Ucapanku kembali terhenti, begitu tangan besar milik kapten mengacak-acak rambut di puncak kepalaku dengan kasar. "Dasar keras kepala!"
Aku hanya terdiam, seraya menunduk malu. Oh, sial. Sikap seperti apa yang harus kulakukan di saat seperti ini? Bersikap formal seperti biasa kah? Tapi, aku harus berbicara apa?
Dan pada akhirnya, aku hanya terdiam membiarkan ia mengejekku sepuasnya.
"Oh ya, Kaede," panggilnya tiba-tiba.
Mendengarnya memanggil namaku, aku langsung mendongak ke atas untuk melihat sosoknya yang lebih tinggi dariku tersebut. "Ya, kapten?"
"Jalan ini, akan membawa kita menuju masa depan."
"Eh?" aku memandangnya, dengan tatapan tanda tidak mengerti. Apa maksudnya? "Maksud kapten, jalanan di bawah sakura ini?"
Tiba-tiba, pria itu kembali tertawa lepas seperti sebelumnya. "Maksudku jalan hidup, Kaede! Tak kusangka, kau bisa melawak juga ya?"
"Hee, eeeh?" semburat merah tipis, muncul di kedua permukaan pipiku. "Ha, habisnya kapten selalu berbicara tidak jelas!"
"Hooo, apa ini?" kapten mendekatkan wajahnya padaku, hingga di antara kedua mata kami hanya berjarak kurang dari 15 senti. "Apa ini? Apa ini?"
"A, apa?" sahutku, mulai kesal dengan perilakunya.
Kapten kembali memasang senyum menyebalkannya. "Ternyata, kau bisa malu-malu begini ya?! Aku benar-benar terkejut! Seorang prajurit dengan wajah datar sepertimu, terny--"
"Kapten!" elakku cepat, sebelum ia selesai menyelesaikan kalimatnya. Setelah itu, ia kembali tertawa lepas, seakan-akan sama sekali tidak ada beban di dalam hidupnya.
"Oh ya, Kaede," panggilnya, seraya kembali menegakkan tubuhnya, untuk melihat pesona pohon sakura tanpa bunga di hadapannya itu. "Apa kau dari tadi menyadari sesuatu?"
"Eh, apa?" jawabku langsung.
"Lihat, ada tunas bunga sakura di sana!" sontak, aku langsung menoleh ke arah yang ditunjuk oleh kapten. Dan, dia benar. Di atas sana, dapat kulihat beberapa tunas bunga sakura, dengan salah satu diantaranya sudah ada yang mekar. Kedua ekor mataku, kembali menatap wajah kapten yang sedang tersenyum bahagia, memandangi bunga sakura tersebut mekar.
Jalan ini, akan membawa kita menuju masa depan.
"Sepertinya begitu," jawabku tanpa sadar dengan suara kecil, seraya tersenyum tipis.
"Eh? Apa?" kapten menoleh ke arahku, dengan wajah sedikit terkejut. "Kau mengatakan sesuatu?"
"Tidak," jawabku singkat, dan datar. Namun di luar yang kuduga, tiba-tiba kapten menarik kedua pipiku sedikit keras. "Ka, kapten, apa yang sedang anda lakukan?"
"Dasar Kaede!" ia melepaskan tangannya dari pipiku, lalu beralih untuk memukul kecil kepalaku. Apa-apaan sih, orang ini? "Sekali-kali, cobalah untuk tersenyum! Aku jarang sekali melihatmu tersenyum, tau!"
"Apakah itu sebuah perintah?" tanyaku, masih dengan wajah datar.
"Tidak! Itu adalah kutukan!" jawab kapten kesal, dengan wajah kekanakan bak anak kecil yang sedang marah. Dasar kapten. Kalau pada saat di luar pekerjaan seperti ini, sifatnya akan berubah 180 derajat.
"Baiklah, aku akan menjalankan kutukan yang kau berikan, kapten."
"Kaede! Kau menyebalkan!"
"...,"
Jujur, aku masih sedikit merasa penasaran dengan apa yang dikatakan kapten sebelumnya.
Dan mungkin saja, memang benar apa yang dikatakannya. Sebentar lagi, kita tidak akan dapat kembali ke tempat ini.
🌸
Cih, Kapten sialan. Karena kau, aku menjadi teringat kejadian di mana kau meninggalkan kami begitu saja. Hei, di mana rasa tanggung jawabmu sebagai seorang kapten? Dasar kapten abal-abal.
Kuraba permukaan pohon sakura di hadapanku itu, dan indra penglihatanku menangkap sebuah goresan kecil bertuliskan, "sakura". Ya, kapten lah yang sedang iseng melakukan aksi menyayatin pohon ini. Kalau boleh kubilang, dia menyakiti pohon ini dengan pisaunya.
Apakah kau tau, kapten? Setiap kali bersamamu, dadaku terasa sesak. Sesak sekali. Aku tidak tau kenapa. Namun, aku tetap selalu menyembunyikan perasaan tersebut, dengan wajah datar yang selalu ku tunjukkan kepada seluruh dunia. Awalnya kupikir, itu hanyalah rasa sesak karena kesal dengan tingkahmu. Namun semakin lama, berbagai perasaan aneh mulai muncul begitu saja. Seperti selalu ingin melindungimu saat peperangan terjadi, berbangga diri karena telah kau angkat menjadi tangan kananmu, bahagia ketika kau memberikan kepercayaan padaku, dan perasaan untuk berada di dekatmu, di manapun kau berada.
Tapi, aku sama sekali tidak mengerti cara mengungkapkan perasaan itu padamu.
Kapten sialan. Kau selalu saja membuatku cemas. Bahkan, setelah semua ini terjadi....
🌸
"Apakah Anda yakin dengan rencana ini, kapten?" tanyaku penuh resah, setelah mendengar rencana penyergapan markas musuh, yang dini hari ia sampaikan.
Ia mengelus puncak kepalaku dengan lembut, seraya tersenyum cerah seperti biasanya. "Kami akan menyergap markas musuh dari arah Utara, dan kau bersama dengan pasukanmu sergaplah musuh dari arah selatan. Aku mempercayaimu, Kaede."
Aku terdiam sejenak dengan wajah datarku, kemudian mengangguk kecil tanda mengerti. "Baiklah, kapten. Akan kulaksanakan misi ini sebaik mungkin."
"Baguslah!" kapten mulai menaiki kudanya, begitu pula dengan pasukan yang akan dibawanya untuk menuju ke medan pertempuran. Sinar mentari yang membelakangi tubuhnya, memberikan kesan siluet dengan pemandangan langit biru di atasnya.
"Kapten," panggilku dengan suara yang terdengar tegas, namun terkesan rapuh. Beliau menoleh kecil padaku, dan saat itulah kuucapkan, "Selamat tinggal."
🌸
Kujatuhkan tubuhku di bawah pohon sakura, seraya menatap langit biru yang tertutup oleh bunga-bunga sakura yang bermekaran. Langit itu, sama birunya dengan hari itu. Pikiranku kembali berkecambuk-aduk, dan dadaku kembali terasa sesak.
Kapten, kau benar-benar menyebalkan. Entah sudah yang keberapa kalinya, kau membuatku merasakan perasaan sesak seperti ini. Sangat menyesakkan..., sangat menyakitkan..., sangat menyedihkan....
Tanpa sadar, sebulir air mata mulai mengalir di atas pipiku.
🌸
Aku bersama dengan pasukanku yang datang dari arah selatan, telah nampak sekali markas musuh dari kejauhan melalui kedua ekor mata kami. Disanalah, kami menunggu tanda dari beberapa prajurit, yang saat ini sedang menyusup ke dalam markas musuh.
Dan itu tandanya! Sebuah ledakan kecil yang ditembakkan ke atas langit, dengan kepulan asap berwarna hitam. Dan bertepatan pada saat itu pula, kami semua berteriak bersemangat seraya langsung berlari menuju markas tersebut.
Suara teriakan, tembakan peluru, tembakan meriam, sabetan pedang, dan derapan langkah kaki. Semua suara tersebut, berpadu satu menjadi melodi peperangan yang akan selalu terngiang di dalam benakku. Kebakaran terjadi di mana-mana, bau anyir darah tercium di tiap penjuru, dan kehancuran markas musuh benar-benar terlihat saat ini juga.
Namun, memang itulah fakta yang terjadi. Kami harus berperang, untuk mendapatkan kemerdekaan yang selama ini telah kami nantikan. Kuposisikan senjata api milikku, dari arah kejauhan. Dan di saat yang menegangkan itu pula, aku menembaki beberapa prajurit musuh secara beruntun. Tanpa ampun, dan melihat pemandangan berdarah yang sudah terbiasa ditangkap oleh kedua mataku.
Namun tiba-tiba, sebuah tendangan mendarat di perutku dengan sangat keras. Panas..., sakit..., sesak..., rasanya, isi perutku telah terkoyak tak beraturan. Sialan.... Bahkan, tubuhku terhempas ke dinding hingga membuat dinding tersebut retak tak beraturan. Kumuntahkan darah dari mulutku, dan sebuah siluet menghampiriku dengan sebuah senyuman licik melihat keadaanku saat ini.
Tanpa sadar dengan perasaan penuh amarah, aku membalas tatapannya dengan tatapan tajam penuh kebencian. Mengapa? Mengapa mereka dengan sangat tega mencuri tempat kami? Mengapa mereka menjajah tempat kami? Mengapa rasa haus akan kekuasaan, membuat mereka semua menjadi buta? Ada apa dengan manusia-manusia ini?!
"Apa-apaan tatapan itu, hah?" pria dihadapanku tersebut, menatapku balik dengan wajah kesal. Lalu selanjutnya, benar-benar sebuah kekerasan yang sudah biasa di terima oleh prajurit sepertiku. Ia menusuk perutku menggunakan ujung tombak yang terpasang di senapannya, hingga membuatku kembali memuntahkan darah, dan bajuku dibasahi oleh darahku sendiri.
"Apa yang sedang dilakukan wanita sepertimu, di medan peperangan seperti ini? Apakah kau sedang mencari muka?" tanyanya, masih dengan seringaian yang tertampang di wajah memuakkannya. Benar-benar memuakkan, sehingga membuatku ingin sekali menghancurkan wajahnya itu!
Menyebalkan! Aku benar-benar membenci penjajah seperti mereka! Aku menggeram kesal, dan tanganku berusaha melepaskan ujung tombak yang masih pria itu tancapkan di perutku. "Memangnya, kenapa kalau aku ini seorang wanita!? Dasar para penjajah negara orang lain!" teriakku sekeras mungkin, seraya menatapnya tajam penuh kedengkian.
"Hah?" dia memasang tatapan marah, seperti yang sedang aku lakukan saat ini. Kemudian, tangannya menekan keras senjata yang ia tusukkan kepadaku.
Sakit.
Sakit sekali
Entah sudah yang ke berapa kalinya, aku memuntahkan darah dari mulutku. Bahkan, darah tidak henti-hentinya mengalir dari luka yang dia buat.
Kaki penjajah itu, menginjak kepalaku dengan sangat keras. "Dari seragam yang kau kenakan, sepertinya kau adalah kapten yang memimpin peperangan ini, ya?" tanyanya tenang, namun terkesan sadis. "Tidak kusangka, negaramu ternyata cukup bodoh dengan memberikan gelar kapten kepada seorang gadis rendahan sepertimu." ia kembali memasang sebuah seringaian menyeramkan padaku. "MATILAH, DASAR WANITA!"
Dan bertepatan saat itu pula, ia semakin menekan senjatanya yang tertancap di perutku.
Kegelapan, mulai merenggut penglihatanku. Kedua mataku benar-benar terasa berat, untuk dapat kembali kugunakan.
Oh, Tuhan. Apakah ini akhir dari hidupku?
"Kapten musuhmu ada di sini, bodoh."
Suara kapten.
Itu suara kapten....
Aku dapat mendengar suaranya.
Namun, mataku terlalu berat untuk melihat apa yang sedang terjadi dihadapanku saat ini. Mungkin saja, ini adalah dampak karena aku sudah terlalu kehilangan banyak darah.
Suara tembakan, terdengar begitu jelas dan begitu dekat di dekat telingaku. Apakah pria tadi menembakku? Ataukah, dia menembak kapten? Jika ya, aku harus segera menolong kapten!
Dari ujung tombak yang tertancap di perutku, sudah tidak terasa lagi tekanan yang diberikan oleh penjajah tadi. Bahkan sebaliknya, senjata tersebut terasa ada yang mencabutnya dari perutku.
"Kaede...,"
Suara lembut milik kapten.
Dengan mata yang sangat sulit untuk di buka, aku berusaha keras untuk melihat apa yang sedang terjadi dihadapanku saat ini.
Dan yang benar saja.... Tepat di hadapanku saat ini, kapten yang berlumur oleh darah sedang menatapku dengan siratan mata penuh kekhawatiran. Tepat di belakang pria itu, juga nampak penjajah tadi dengan kepala yang telah tertembak oleh sebuah peluru.
"Kaede..., kau tidak apa-apa?" tanyanya, masih dengan siratan penuh kecemasan.
Aku benar-benar bersyukur, dapat melihat kehadirannya kembali di hadapan mataku. Bahkan sedari tadi kepalaku di penuhi oleh kecemasan, apabila terjadi sesuatu pada kapten di dalam pertempuran ini.
Aku hanya terdiam menatapnya, hingga setelah perjuangan besar, akhirnya aku mampu mengeluarkan suara meski begitu lirih. "Syukurlah..., kapten baik-baik saja."
"Dasar bodoh!" kali ini, ia menatapku dengan wajah marah, namun tampang sedih tak luput terlihat dari sorotan matanya. "Aku sedang bertanya padamu, tau!"
"... Maaf, kapten..., aku baik-baik saja...."
"Baik-baik saja dari mana, hah? Sudah sangat jelas sekali, kau sama sekali tidak baik-baik saja!"
"Lalu..., mengapa kapten menanyakan hal tersebut padaku, jika sudah tau jawabannya?"
Ia langsung bungkam, lalu menghela nafas berat. Kapten menatap lurus ke arah mataku, seraya tersenyum lembut. Sosoknya nampak berkilau meski penuh dengan darah, dan membuatku sama sekali tidak dapat mengalihkan pandanganku darinya.
"Kaede, tetaplah hidup!" ujarnya tiba-tiba.
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, hingga akhirnya aku menyahut. "... Perintah?"
"Permintaan dariku!" dengan sangat tiba-tiba, ia membopong tubuhku, membawaku pergi dari tempat ini. Mau kemana dia? Aku sangat ingin memberontak dan mengelak, namun hasilnya percuma saja. Karena aku telah kehilangan cukup banyak darah, tubuhku benar-benar bagaikan mati rasa.
🌸
Menyebalkan.
Perasaan yang sama sekali tidak dapat kuungkapkan melalui kata-kata, maupun melalui tulisan.
Aku terus berjalan, bersama dengan perasaan yang sama sekali tidak kupahami itu.
Dan aku pun masih mengingatnya.
Kau yang telah memanggil namaku di kala itu.
Dalam tengah pertempuran, dengan tirai si jago merah yang setia menemani. Bahkan, senyuman cerah di wajahmu yang penuh dengan darah itu...,
Tidak akan pernah kulupakan seumur hidup.
Oh..., mengapa sebuah kenangan itu, terasa sangat menyakitkan? Baik itu kenangan bahagia, maupun kenangan menyedihkan.
Namun, aku tetap akan selalu bersyukur dengan semua kenangan tersebut. Dengan adanya dia, hidupku terasa lebih bearti.
Aku bangkit dari lentanganku di atas rumput, lalu segera berdiri dan menghirup nafas sedalam-dalamnya. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku tersenyum setulus mungkin.
Selamat tinggal kenangan.
Aku bahagia karena telah bertemu denganmu.
Untuk yang kesekian kalinya, indra pandanganku kembali memperhatikan bunga sakura yang menyejukkan hati.
Aaaah...,
Sudah seberapa jauh aku berubah, sejak hari itu, ya?
Entahlah....
🌸
"Hei, kau! Siapa namamu, entahlah. Yang jelas, gadis yang sedang berdiri di sana!" Panggil suara seorang pria, yang sama sekali tidak kukenali. Namun setelah melihat emblem yang tertampang di seragamnya itu, aku langsung dengan spontan berdiri tegak dan memberi hormat padanya. "Apakah Anda memanggil saya?" tanyaku sopan, mengetahui statusku yang kini hanyalah sebagai seorang prajurit baru.
"Bisakah kau membawa berkas-berkas ini ke ruanganku? Aku masih memiliki urusan yang lain." ujarnya sedikit cepat, lalu memberikan setumpuk berkas di hadapanku.
Masalahnya...,
Aku tidak tau dimana ruangannya.
Aku hanya menerima berkas tersebut, lalu menunduk kecil. "Baiklah, akan saya laksanakan."
Dia terdiam memandangi wajahku sejenak, dan kalau boleh jujur, itu sedikit membuatku merasa tidak nyaman.
"Kau prajurit baru?" tanyanya kemudian.
"Ya, saya prajurit baru yang direkrut tahun in--" belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, tiba-tiba pria dihadapanku ini menarik kedua pipiku. Ada apa dengan orang ini? Aku ingin mengelak, namun apa yang akan terjadi nanti, apabila terdapat bawahan yang mengelak atasannya? Masih prajurit baru, pula.
"Ahahahaha! Wajahmu jadi lucu!" tawanya lepas. "Cobalah untuk tersenyum, oke?" ia melepas cubitannya dari pipiku, lalu mengelus puncak kepalaku sebelum akhirnya melenggang pergi.
Apa-apaan dia.
🌸
Tanpa sadar, aku tertawa sendiri mengingat kejadian tersebut. Itulah saat di mana kami berdua pertama kali bertemu. Dan gara-gara dia, aku sampai harus berputar-putar dalam markas untuk mencari ruangannya.
Tidak hanya itu saja, masih banyak kenangan menyenangkan, menyebalkan, maupun menyedihkan, yang telah kami lewati bersama sehari-harinya. Dan juga, tidak lupa ketika kapten menjadikanku orang kepercayaan, sekaligus sebagai tangan kanannya. Aku benar-benar tidak mempercayai hal tersebut.
Entah kenapa, mengingat kenangan-kenangan masa lalu itu..., terasa menyenangkan.... Namun disaat yang sama..., terasa menyakitkan....
"Kaede!"
Suara itu....
Secara sangat spontan, aku langsung menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namaku. Tepat berada di sebrang pohon sakura dari tempatku berdiri, seorang pria setinggi 187 cm, sedang berdiri di sana dengan seulas senyuman hangat.
Sebuah senyuman sederhana, namun sangat kusukai.
Rambut berwarna hitam kelamnya, terhembus lembut oleh angin sepoi-sepoi yang melewati kami berdua. Warna itu mengingatkanku dengan masa lalu kami yang begitu kelam, namun dengan adanya kelopak bunga sakura yang berterbangan, seakan-akan memberikan kesan kebahagiaan di baliknya.
Manik merah maroon miliknya, juga membuatku teringat pada lautan darah yang dulunya selalu menjadi pemandangan lazim bagi kami. Pemandangan berdarah yang mengerikan, namun akan memberikan kebahagiaan sekaligus kesedihan setelahnya.
Pria itu masih tersenyum lembut padaku, lengkap dengan seragam prajurit yang biasa ia kenakan.
"Kaede...," panggilnya sekali lagi, dengan suara yang benar-benar membuatku rindu.
Tanpa sadar, air mata mulai mengalir dari kedua mataku. Sesak. Untuk yang kesekian kalinya, perasaan sesak ini benar-benar membuatku semakin kesal.
Tapi, perasaan sesak kali ini terasa berbeda dari sebelumnya. Rasa senang, bahagia, sedih, marah, kecewa. Semua perasaan itu, berpadu satu menjadi sebuah perasaaan yang sama sekali tidak dapat kuartikan.
"Kapten..., kau tidak menepati janjimu.... Padahal, aku sangat mempercayaimu...." ujarku lirih, dengan air mata yang mengalir semakin deras. Aku sama sekali tidak dapat mengendalikan emosiku saat ini, begitu pula dengan air mata ini.
"Maafkan aku." jawabnya lirih. "Maaf, karena tidak dapat menepati janjiku."
"Kapten benar-benar membuatku kecewa...."
"Maaf.... Aku benar-benar minta maaf. Tolong, janganlah menangis. Wajahmu jadi aneh."
Kapten sialan. "Kapten..., kau adalah orang yang paling menyebalkan, yang pernah kukenal seumur hidupku...."
Kapten kembali tersenyum lembut, seperti senyuman yang biasa ia tunjukkan padaku. "Berhentilah tersenyum...." pintaku pelan, seraya mengusap air mata dari pipiku.
"Kenapa kau melarangku untuk tersenyum?"
"Senyumanmu..., membuatku takut...." aku menunduk. Menunduk sedalam-dalamnya, sama sekali tidak berani menatap wajahnya lagi. "Aku takut, apabila tidak dapat melihat senyumanmu lagi...."
Entah seperti apakah, ekspresi pria itu saat ini. Namun, aku dapat melihat siluet bayangannya yang tengah berjalan menghampiriku. Entah menerima bisikan dari mana, aku kembali memberanikan diri untuk menatap kedepan.
Dan..., yang kulihat pertama kali, adalah sosok kapten yang telah berdiri dengan jarak beberapa senti dari hadapanku. Masih dengan seulas senyuman hangatnya, ia menghapus air mataku. "Kalau begitu, gantikanlah aku untuk tersenyum. Aku tidak ingin melihatmu menangis." ia membelai pipiku, dengan sebelah tangannya.
Tidak terasa. Sama sekali tidak terasa. Meski belaiannya tidak dapat kurasakan oleh indra perasaku, aku masih dapat merasakan bahwa ucapan dan senyumannya itu begitu tulus untuk diungkapkan.
"Kapten..., aku masih tidak dapat memaafkanmu...." ucapku, dan kembali mengeluarkan air mata. "Setelah kejadian di mana perutku tertusuk oleh tombak, kau membawaku ke tempat yang aman untuk menghentikan pendarahanku.... Tapi, apa yang kau katakan saat itu...,"
"Kaede...,"
"Aku sama sekali tidak mengerti!" teriakku, dan tangisanku semakin pecah. "Kau benar-benar telah membuatku kecewa akan janjimu, kapten. Kau berjanji, bahwa kau akan kembali.... Kau berjanji kapten.... Kau telah berjanji padaku...."
"...," kapten masih menatapku, dengan sorotan matanya yang lembut. Kapten..., untuk segalanya tentang dirimu, kau benar-benar terlihat lembut meski dalam penampilan nampak sangat bijaksana....
"Yang kembali..., hanyalah namamu, dan kemerdekaan yang telah kau bawa saja...." tambahku lagi, dengan suara yang lirih....
"Kaede...," panggil kapten lagi, lalu ia memelukku dengan erat, namun terkesan lembut nan menenangkan hati. Kali ini, aku benar-benar dapat merasakannya.... Merasakannya, dari lubuk hatiku yang paling terdalam.
"Beribu maaf, mungkin tidak akan pernah membuatmu dapat melepaskanku." bisik kapten. "Namun, ada satu hal yang aku ingin kau mengetahuinya, Kaede."
Ia memundurkan tubuhnya sedikit, untuk menatap wajahku dengan tatapan penuh kelembutannya.
Dan detik selanjutnya, dunia terasa berhenti berputar.
Ia mencium bibirku dengan sangat lembut, begitu lembut hingga aku benar-benar tidak menyangka bahwa kedua bibir kami saling bersentuhan satu sama lain. Beberapa saat selanjutnya, ia melepaskannya. Senyumannya itu..., dan berkata dengan suara yang setelah ini tidak akan dapat kudengar lagi.
"Kaede, aku mencintaimu."
Kelopak bunga sakura yang menari-nari terhembus oleh angin, menemani kami berdua. Seakan-akan, mereka akan segera melenyapkanmu dari hadapanku, begitu kedua mataku melihat sosokmu yang kian memudar.
Maaf, aku selalu tidak mengerti cara untuk mengatakannya. Apa yang harus kukatakan padamu? Aku juga tidak ingin mengatakan selamat tinggal padamu. Aku masih ingin bersamamu. Aku juga tidak ingin, pertemuan teakhir kita terlihat menyedihkan seperti ini.
Aku harus mengatakannya.
Bahwa aku selalu, selalu, selalu, dan selalu...,
"Aku juga mencintaimu, kapten...."
Bersamaan dengan kelopak bunga sakura yang tertiup oleh angin, sosokmu mulai menghilang dari hadapanku. Hanya menyisakan seulas senyuman tulus, sebelum kau benar-benar meninggalkanku untuk selamanya.
Tidak, itu bukanlah senyuman terakhirnya yang akan kulihat. Aku masih dapat melihat senyumannya, dari dalam hatiku.
Ah, akhirnya, aku benar-benar mengatakannya.
Perasaan yang tidak pernah kupahami, maupun kuungkapkan selama ini.
Aku mencintaimu, kapten.
Selamat tinggal.
Berbahagialah disana.
Dengan begitu, aku juga akan berbahagia disini.
Tunggulah aku, kapten.
Hingga saatku itu tiba.
Dan kita, akan bertemu lagi di tempat lain.
...
Wkwkwkwkwkwkwkwk :V
Ada yang paham sama cerita yang satu ini???
Gaada kan?
Gaada yang paham kan?
Saya sendiri juga gapaham kok :V make prinsip pokoknya nulis :V 😂😂
Jadi, inti ceritanya itu si MC lagi keingat mulu sama kisah masa lalunya sama si "kapten"
Ya gitu lah pokoknya :V
Karena ini songfict, dari liriknya (Sayonara Memories - Supercell) harusnya kisah remaja - romance - slince Of life gitu.
But, bukan Aika namanya, kalau bikin cerita genre slince Of life - romance 😂 jujur, aku kurang suka genre itu.. Kalau sol - romancenya itu ada gregetnya, kayak cinta sama hantu gitu, baru lumayan suka lah.. 👌😂
Udah deh, ga berfaedah amat nih note :V
Terima kasih banyak buat yang udah mampir baca~ 😘😄
Salam author sableng ✌😼
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top