✉ TIGA BELAS: Liability
I just want to say sorry to all of you who are waiting for this chapter. I'm sorry for take a long time. Thanks for staying.
***
✉ TIGA BELAS: Liability
***
Jakarta, 2016
Di jalanan sepi mobil itu berhenti. Keanu meletakkan keningnya di atas kemudi. Sekujur tubuhnya terasa mendidih. Sarafnya menegang. Seperti baru saja menelan guruh yang memecut dada.
Ellen tak banyak berkata. Hanya memandangi Keanu yang tubuhnya mulai melengkung. Terguncang sesenggukan. Bahkan saat kawannya itu mulai meninju dasbor berkali-kali Ellen tetap diam.
Kean kacau sekali saat di rumah Bara. Buku-buku jarinya melepuh usai berkelahi. Dia meledak kenapa untuk urusan yang harusnya Bara memberitahu sejak awal malah dibiarkan terkunci darinya. Bara bercerita, Levi kenal dengan seseorang bernama Anggito. Bukan mahasiswa. Hanya seorang arsitek yang Levi kerap temui untuk keperluan kuliahnya. Awalnya Levi hanya berniat untuk akrab karena pikirnya ada banyak hal yang bisa dipelajari dari arsitek itu. Semacam guru pengalaman yang harus diserap ilmunya. Levi diajak magang tak serius supaya bisa lebih mudah. Tetapi justru di sana permulaan jerat yang imbasnya tak terelakkan.
"Bajingan!" pekikkan itu terdengar dari mulut Kean. Masih berurai sedu.
"Gue nggak tahu harus nenangin lo dengan cara apa," ujar Ellen.
"Kenapa Bara nggak bilang ke gue sejak awal?" Kean menegakkan punggung.
"Um, kenapa lo jadi nyalahin Bara?"
"Ya siapa lagi, Len? Siapa lagi?"
"Aku lebih berpikir kenapa Levi tidak memberitahumu. Selama ini hubungan kalian baik-baik saja, kan? Ya gue mana tahu."
"Atau ini semua hanya salah gue."
Segalanya akan tak sama. Kemelut terus membentuk susunan emosi yang tak bisa diraba-raba. Keanu berdiri di depan pintu rumahnya. Tidak kuat rasanya untuk memegang kenop pintu dan masuk ke dalam. Tidak kuat rasanya bertemu dengan Levi dan menanyakan hal itu. Tidak kuat rasanya jika harus membayangkan Ayah yang akan berekspresi seperti apa jika tahu.
Malam berbahasa tanpa aksara. Kosa katanya tidak bisa didengar kali ini. Warna-warna hilang dari paletnya. Gelapnya semakin mencekam bahkan ketika kuduk sudah tercabut sempurna oleh takut. Lalu gigil menyampaikan pesan dari malam yang isinya seolah semua yang terjadi adalah tanggung jawabnya.
Keanu mengurungkan masuk ke dalam rumah. Sepertinya mereka sudah tidur. Tidak ada gairahnya kalau dia harus merasa tertekan di kamar atau harus mengerjakan beberapa pesanan desain. Lalu tubuhnya melemas di kursi teras. Ingusnya kembali melumer. Air matanya meleleh begitu pelan dan hangat. Sekali lagi gigil berpesan tentang ada ngarai yang memposisikan dirinya di dasar. Tanpa sekubang air atau sehembus bayu yang menyejukkan. Tiada lazuardi yang menandai cerah akan hadir di ngarai itu. Atau bukan ngarai yang gersang? Bisakah ini lebih baik disebut palung saja? Palung Mariana mungkin saja. Yang terdalam persoalannya. Yang tergelap jalan keluarnya. Yang tak terjamah keberadaannya. Puisinya retak sebelum bersua titik. Ia hilang makna sebelum penyair dalam dirinya menyulam susunan kata jawabannya.
Marah tiada guna. Sekuat apa pun tadi dia memberontak di depan Bara. Atau berapa kali tubi dia menghantam, tetap saja, itu tidak ada guna. Semuanya semakin rumpang saat persangkaan salah ditujukan Bara pada Kean. "Lo kakak yang nggak bener!" Satu kalimat yang memicu pertikaian tadi. Dan Kean kerdilnya malah membenarkan persangkaan itu. "Memang kakak yang nggak bener."
Selama ini apa yang dia lakukan untuk Levi? Uang dan uang? Tidak ada perhatian yang berupa afeksi secara langsung. Dia selalu berpikir Levi aman tanpa harus terus menerus diperhatikan. Levi tidak kesakitan tanpa harus ditanyai. Atau ayah yang tidak akan bisa menonton saluran tv sebanyak sekarang jika Kean tidak pulang.
Apa yang salah di sana? Persoalan siapa yang jauh lebih penting? Levi dan kefatalannya? Ayah dengan segala kekurangannya? Atau persoalan hatinya yang masih tertaut pada Tian; perempuan yang dibuatnya kacau bertahun yang lalu hanya karena dia mandul dan tidak bisa mempercayai cinta kasih Kean? Itu saja? Atau ada salah lain yang tidak berhasil diraba olehnya?
Punggungnya semakin lemas di sandaran kursi. Lalu dia berpikir bahwa dirinya pun sama bejatnya dengan siapa pun itu yang meniduri Levi. Siapa pun itu. Jika menarik mundur waktu ke belakang maka semua ini tak ubah seperti karma.
Baik, sekarang kubawa kalian ke Sydney. Tengah malam yang sepi. Kalian melihat sepasang Kean dan Tian sedang beradu kata di dalam apartemen yang baru. Sengit. Ada vas bunga yang hancur di lantai.
"Dan faktanya itu yang bikin aku ngebatalin pernikahanku dengan Bayu, Kean! Itu!"
"Tapi itu bukan yang akan terjadi kalau kamu berakhir dengan aku," Kean meredakan emosinya.
"Omong kosong! Setiap laki-laki pasti ingin punya generasi yang lahir dari istrinya. Dan aku nggak bisa ngasih itu! Bahkan Bayu nggak pernah tahu alasan sebenarnya kenapa aku memutuskan selesai dengan dia. Sekarang kamu tahu. Ada masalah dengan rahimku sejak dulu. Dan itu nggak akan pernah bisa berhasil."
"Buktikan."
"Buktikan? Kita bercinta selama ini dan kamu nggak bisa menyadari aku baik-baik saja? Itu karena aku nggak akan bisa hamil. Aku sudah tahu hanya saja rasanya terlalu menakutkan untuk diberitahu pada laki-laki yang aku inginkan."
"Selesai. Dan aku nggak akan mempermasalahkan."
Tian mengibas tangan tak percaya. Menutup mulutnya karena kembali menangis. Bersandar pada meja yang kosong tanpa vas bunga yang pecah di lantai itu.
"Salahku memang. Aku mendekatimu karena aku ingin. Mengenyampingkan apa aja."
Ratusan kali Kean meyakinkan bahwa dirinya tak akan masalah jika Tian tidak bisa memberi keturunan bila menikah nanti. Memang buaian kata hati para pencinta. Atau selama apa pun berdua bersama. Tapi kan ... ada sentimen wanita yang tidak bisa diubah dengan mudah pada diri Tian. Dan itu hanya seperti masuk akal bagi Tian, sementara Kean beranggapan tak masalah. Kusut semakin kusut.
Malam itu Kean membujuk agar Tian mau mereda. Mereka berkendara di sepanjang jalur metropolis Sydney. Tanpa bicara. Hanya suara napas yang penuh tekanan dari hidung Tian. Dan seperti gila saja, tiba-tiba Tian mengganggu dengan sengaja kemudi yang ada dalam penguasaan Keanu. Membuat mobil itu berkelok tajam dengan mendadak. Lalu kalap menubruk kendaraan yang lebih besar. Dan itu tepat di tengah kota yang dalam sejarah lalu lintas Sydney jarang ada tragedi seperti itu. Meluap ke media pemberitaan. Tragedi lakalantas yang melibatkan sepasang muda-mudi itu dibicarakan hampir selama sepekan oleh media.
Yang mengenaskan, begitu Kean menyadari dirinya hanya memiliki luka koyak di kepala. Lalu Tian yang seolah tiada. Benar-benar menghilang di sana. Tian tidak ada di rumah sakit yang sama. Atau katakan saja ada pihak yang menjauhkannya dengan Kean. Memindahkannya. Menghapus jejak persoalan yang belum entas. Menghilangkan sebab kenapa kemalangan di jalan raya itu harus terjadi. Bayu dan keluarganya mengambil jalan singkat tanpa panjang pikir. Memisahkan sepasang itu di titik berdarah yang harusnya akan bisa selesai.
Kembali ke teras di mana Kean sedang merengkuh duka. Malam semakin bisu untuk membicarakan makna. Kean tahu dirinya sudah berlutut-lutut memohon apa saja pada Tuhan. Bertahun-tahun. Mengemis pada Yang Maha Raja agar dikembalikan pada jalan yang lebih bermakna. Melupakan luka meski niatnya tak akan pernah berhenti mencari. Menemukan Tian kembali dan menguraikan kekusutan. Namun ketika dia tahu di mana Tian berada, kenyataan lain seolah menahan dirinya di Jakarta untuk tidak kembali ke Sydney. Persoalan pelik yang entah harus diuraikan dengan cara apa. Semakin gelap saja.
Tangannya kerepotan mengelap pipi. Lalu berdiri dan membawa tekad masuk ke dalam rumah. Berjalan pelan di atas tiap petak lantai. Sampai pada batas kamar, Kean mendapati Levi sedang mengukur garis dengan pensil di atas papan triplek. Dia sedang membuat maket lagi. Seperti biasanya. Seolah memang tidak pernah ada sesuatu yang harus ditutupi rapat-rapat.
"Belum tidur?" tanya Kean ragu. Ada selusin pertanyaan yang menggantung di ujung lidahnya. Tapi entah kenapa rasanya tak tega melepaskan tanya-tanya itu. Benar tak tega.
"Lagi ngerjain maket, nih," jawab Levi biasa saja. "Dari mana?"
Kean bingung bagaimana harus menata ekspresi wajahnya. "Keluar sebentar. Cari angin."
"Udah makan?"
Kean menggeleng.
"Itu guramehnya masih. Mau diangetin, nggak?"
Menggeleng lagi, "Nanti saja."
"Oke."
Kean menghela napas yang tertahan saat beranjak. Bagaimana cara membahasnya agar tidak melukai dan terang jawabannya? Apa solusi yang harus dibawa dalam meja percakapan nanti? Kepala Kean semakin berat.
Dia menuju kamarnya. Lesu. Membuka ponsel dan melihat sebaris nama obat yang pernah dia catat setelah dengar dari Ellen. Dan sepertinya itu tiada guna. Selama ini dia mengumpulkan nama-nama obat penawar infertil agar jika suatu hari bertemu Tian, Kean bisa memberi nama-nama obat itu. Benar-benar mengumpulkan banyak informasi. Termasuk membahas topik ini lebih sering di Quora.
Lalu teringat ayah. Dia pergi ke kamar ayah untuk menengok. Begitu sampai di dalam kamar ayah, tak ada pilihan lain selain mengambil posisi tidur di sisinya. Tidur memeluk. Meredam luka. Dan berusaha lupa untuk jernih pada masalah yang ada, di samping ayah.
***
***
Saya sangat berterima kasih untuk segala apresiasinya. Sampai ada yang membuatkan lagu untuk cerita ini dan itu lagu yang bagus sekali.
Bab 14 akan diunggah Senin.
Terimakasih sudah menanti dan mengerti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top