✉ TIGA: Apa Kabar Luka?

***

"I traveled fifteen hundred miles to see you. I begged you to want me, but you didn’t want to"

Piece by Piece: Kelly Clarkson

***
✉TIGA

___

Jakarta, 2016

"Nanti malam ada Stars and Rabbit di mal deket rumah gue. Lo ada waktu kan?" kepulan asap mengembus dari bibir Ellen yang langsung tertiup keluar jendela kemudi. Keanu menemukan sobat tomboinya itu sedang membawa papan karton bertuliskan namanya di area kedatangan bandara Soetta. Dan sekarang dalam waktu singkat cewek serampangan itu sudah merasa keren sekali berkuasa di kursi kemudi. "Alexa juga mau nongol di sana katanya. Gue juga udah ngontak Bondan biar bisa ikutan dateng."

"Memangnya Bondan lagi di Jakarta? Tidak jadi boyong ke Denpasar?" Kean menjawab sambil menutup mata di kursi penumpang. Menyeimbangkan tubuh setelah terbangun dari tidur yang tidak lebih dari dua puluh menit.

"Jadi pindah sih. Cuman sekarang dia kerja di sini. Gue nggak ngerti aja, mungkin dia pengin ngerasain mudik. Makanya lebih milih kerja di Jakarta sementara bininya di Denpasar. Heran, kenapa bisa kuat banget jarak jauhan seperti itu."

"Nggak bisa janji."

"Lo harus bisa, gue maksa!"

"Len, gue lelah."

"Ya makanya gue mau jemput lo panas terik gini supaya setibanya nanti lo di rumah bisa langsung ngorok. Kangen-kangenan sama orang rumah bentaran aja, nanti malam gue jemput deh sama Bondan, ya?"

"Alexa nggak bareng lo?"

"Nggak bakalan, dia pasti berangkat sama Bara."

"Bara siapa?"

"Tunangannya dia lah."

"Ha?"

"Kean, lo itu cuma kerja di Sydney bukan di Uranus. Ngeselin tahu nggak kalau mau komunikasi susah banget. Jarang aktif, nomor gonta-ganti, email jarang dibuka. Iya kalau lo pulang tiap weekend. Ini udah 2016, dan lo kenapa bisa kuat nggak pake gadget yang lebih canggih dikit?"

"Gue juga pake ponsel pintar kali."

"Terus kenapa bisa sampai nggak tahu kalau temen lo sendiri si Alexa udah tunangan? Padahal dia-," Ellen memutar bola matanya sambil mengembuskan asap tembakau, "alay banget ngunggah prosesi tukar cincinnya di semua lini masa medsos dia. Ewh!"

"Gue kerja, Len. Kadang gue pacaran sama kanvas, kalau akhir pekan gue biasa bikin pesenan mural di mana. Ya, walaupun gue hampir tiap hari melek di depan komputer dan terkoneksi sama internet, bukan berarti gue bakal online terus-terusan."

"Sampai nggak inget buat ngobrol sama temen?"

"Gue nggak suka medsos, kecuali Quora. Gue inget kalian kok, tenang saja. Ya lo kayak yang nggak tahu gue aja."

"Iya, iya, terserah. Yang penting lo mau dateng ya?"

"Ini maksa beneran. Lo misal kangen sama gue bilang aja, Len."

"Ya memang gue kangen sama lo. Bukan cuma gue, tapi kita semua. Bondan, Alexa. Gue perlu di-charge sama kelakar kalian."

"Dan?"

"Nggak ada lo, kita sepi banget. Ya gue sadar sih, kita udah dewasa, sibuk kerja, cuman kan gue pengin kita sering kumpul lagi."

"Akhirnya."

"Kenapa?"

"Gue berhasil bikin kalian kangen."

"Not really."

"Really yes. Kalian semua pasti rindu sama gue."

Ellen tetawa lebar, "Eh, cunguk. Nggak jadi deh, sana lo balik lagi aja ke negaranya Tuan Koala."

Kelakar pun kembali hidup di dalam mobil itu. Gedung-gedung yang rabung seolah bergerak mundur, semakin akrab jarak semakin terlihat tinggi pula ukurannya. Lansekap metropolitan yang dia tinggalkan sewarsa ini sedang terperangkap dalam pandangannya. Jelaga rindu menguak bersama distorsi molekul di atas aspal ibu kota. Ah, aroma itu menarik segalanya yang terbendung dalam belanga rasa.

Baiklah, kata pergi dan pulang rupanya menjadi sepasang kekasih yang sangat akrab dalam kehidupan Keanu. Seperti suara yang saling bersahutan. Seperti tangan kiri dan tangan kanan yang tak lekang bermesra membantu tuannya. Seperti kedua bola mata yang selalu menangis bersama. Pulang menjelma sedingin rintik, sementara pergi mengirim geretak pada kuali rindu sebengis panah kelodan.

"Lo nggak kangen Jakarta?" suara Ellen melunak.

"Kangennya cuma ke kalian dan orang rumah saja."

"Pasti betah banget ya di Sydney?"

"Betah nggak betah."

Ellen menghela napas, membuang puntung rokok sembarangan ke luar jendela. "Coba aja gue bisa sekolah tinggi dan cerdas kayak lo. Mungkin gue nggak akan jadi kurir kargo."

"Jangan bilang gitu, semua udah ada jatahnya sama Yang di atas."

"Tuhan nggak adil dong kalau jatahnya kayak gitu."

"Adil. Sangat adil. Semua yang Tuhan titipkan pada ciptaan-Nya selalu sesuai dengan takaran. Lo di SMA aja masuk seminggu cuma tiga kali, diajak belajar sama gue malah ngempot rokok di kantin sama cowok-cowok. Lantas kalau lo gue seret-seret lebih lagi buat belajar supaya bisa kuliah, memangnya mau? Gue sih nggak bakal yakin lo mau."

Ellen menertawakan dirinya sendiri.

"Dan sekarang tampilan lo yang kayak gini, lebih lakik dari gue malah."

"Wow, wow, wow, ini style, pakaian gue nggak boleh lo komentarin."

Keanu menoleh, "Ya sudah, kalau gue nggak boleh komentar, seandainya ada tombol dislike yang bisa jadi opsi buat gue. I'll push it thousand times."

"Kok lo jadi aneh gini ya?" tatapannya picing. "Lo mau jadi ustaz? Kalau iya kayaknya perkumpulan kita bakal nggak serenyah dulu. Ceramah di mana-mana."

"Siapa yang mau jadi ustaz? Gue?" jiwa gersangnya berkata jujur. "Cuma ngingetin. Sekarang gue mau bilang dan lo nggak boleh tersinggung."

"Go on."

"Cewek seusia lo belum punya kampret, itu parah."

Ellen tergelak, "Lagian gue juga nggak bakal nyari kampret. Biar kampret yang menemukan gue."

"Bukan gitu sistemnya."

"Jadi?"

"Gue kenal seseorang yang-."

"Plis, Kean," tangannya sedikit menyentak. "Kalau lo mau mulai nyomblangin gue sama seseorang, mending berhenti sampai situ aja. Gue nggak perlu."

"Lo masih normal kan?"

"One hundred percent gue masih ngiler lihat cowok buka baju. But, ini bukan zamannya Hayati."

"Nah, justru karena ini bukan zamannya Hayati maka nggak ada jaminan kalau lo usia segini bakal lebih mulus kalau nggak dikenalin sama seseorang."

"Udah deh, gini aja. Kalau lo kenal seseorang, yang kira-kira bisa nerima gue dengan tampang yang kayak gini, cepak, satu-satunya cewek yang jadi supir truk ekspedisi kargo, yang gemar pake tang top everywhere, ngerokok ... dan nggak bisa ngasih keturunan. Malam ini juga gue mau nikah sama dia."

Itu membuat Keanu terperanjat. Kalimat terakhirnya seperti tak asing di telinganya. Dia pernah mendengar itu dan rasanya informasi serupa juga pernah berhasil menghancurkan sebuah ikatan perasaan. Tetapi, Ellen? Apa yang terjadi?

"Len?"

"Nggak ada kan? Bahkan kalau akhirnya datang cowok yang ngaku bisa menerima gue dengan alasan peduli, lebih biak gue mengusirnya jauh-jauh dari pada bikin seseorang menggadaikan masa depan generasinya ke cewek yang nggak perlu dikasihani seperti gue ini."

"Ini bercandamu nggak lucu banget tahu."

"Kean." Yang dipanggil masih menyudutkan alis. "It's true. Dan dari sekian juta ketidakmungkinan itu, gue salah satu orang yang nggak akan pernah bisa mendapatkan romansa."

Dari sana Kean langsung meminta Ellen untuk menepi dan menghentikan mobilnya. "Bagaimana bisa?"

"Nggak mungkin kan gue obrolin di sini?"

Keanu memegang pundak sahabat perempuannya yang malang itu, "Maafin gue."

"Buat apa? Memangnya lo yang bikin gue mandul?"

"Bukan gitu. Gue nggak tahu kalau selama ini lo-. Intinya gue minta maaf untuk apa yang nggak bisa gue lakuin selama lo seperti ini."

"Ya ini kan bukan salah lo."

"Tapi gue nggak ada di sana waktu lo nerima semuanya."

Ellen menggeleng, dia merasa tidak perlu lagi menjelaskan apapun. Ya untuk apa? mungkin jika dia lebih terkendali dalam menyikapi hidupnya, segalanya tidak akan seburuk itu.

"Oke, nanti malam gue bakal datang."

"Jangan bilang karena lo mulai kasihan sama gue, duh temen cewek gue ini mandul ternyatai."

"Ya! gue kasihan! Kasihan sama lo yang bahkan nggak bisa mikir lebih jernih setiap saat. Dan, jadi orang itu jangan kayak gini. Setiap orang memerlukan orang lain bukan karena lemah. Tapi kita memang nggak bisa hidup sendiri. Sendirian itu sepi, dingin, nggak ada teman bicara, nggak ada pundak buat nyender sambil curhat. Gue pulang dari Sydney selain buat memenuhi keinginan Ayah dan Levi, juga buat nemuin kalian. Bener kan, ternyata banyak sesuatu yang terjadi selama gue pergi."

"Kean."

"Dan gue butuh kalian. Sama, gue juga butuh di-charge dengan kelakar. Gue juga kesakitan."

Ellen berusaha mencari-cari apa kesakitan yang dialami Kean. Karena selama mereka mendefinisikan persahabatan bersama, laki-laki di depannya itu memang pandai sekali menenggelamkan kesakitan di segala bentuk ekspresi. Tetapi kali ini begitu jelas di wajahnya. Ellen melihat mata yang sayu seperti kehilangan malam-malam tanpa terlelap, lingkaran matanya yang seperti lebam, lesu, dan seolah kehilangan sesuatu yang besar.

"Kita nggak boleh terluka sendirian, Len."

***

Mobil itu berhenti di depan rumah bercat ungu pastel. Kean menduga pasti itu perbuatan adik perempuannya. Levi memang memiliki selera feminis yang tinggi untuk hampir pada segala hal. Adik satu-satunya yang paling dia sayang. Salah satu alibi kenapa mencari receh di negara orang jadi cukup beralasan. Apa lagi? Jelas itu demi Levi yang harus bisa lulus jadi desainer interior di ITB. Kapan gadis itu akan pulang? Oh, dia sudah pulang. Sekarang sedang menyiapkan sesuatu di dapur bersama ayahnya. Satu minggu cuti kuliah tidak masalah bukan? Hanya demi kepulangan Sang Kakak.

"Gue nggak bisa ikut masuk. Salam aja buat keluarga," kata Ellen sebelum berpisah.

Keanu berdiri di pelataran rumah cukup lama. Dia ingin menyerap sebanyak mungkin energi positif di sekitar bangunan terkeren sepanjang hayatnya itu. Kastel penuh cinta.

Pohon mangga di sembir rumah sudah tumbuh besar dan berbuah lebat. Beberapa ada yang berserakan di tanah, busuk, lupa belum dibereskan. Gazebo yang dibangun dari bambu juga sangat asri bertahta di pinggir kolam ikan. Di pinggir kolam itu ada pukat kecil, sepertinya Levi menangkap beberapa ekor ikan mas untuk menyambutnya, atau mungkin ayah yang melakukannya.

Pekerjaan ayah terlihat sangat rapi, maksudnya taman bunga di sisi lain rumah. Mereka dirawat dengan baik. Kelopaknya membintik bilur-bilur air bekas siraman. Ada kepik yang mengitar di pot buttercup, atau kumbang, atau serangga apa itu Keanu tidak tahu namanya.

Seorang lelaki yang seperti baru dibuat tertawa keluar dari rumah sambil membawa sapu gelagah. Dia ingin menyapu tangga di teras untuk menyambut kepulangan anak laki-lakinya yang dia pikir masih beberapa jam lagi. Namun benda itu dijatuhkan ke lantai saat kedua matanya menangkap sosok laki-laki muda yang tampan berdiri di pelataran rumahnya, punggungnya berisi ransel gendut, koper di sampingnya, dan ada dua kardus yang ditumpuk di tepi jalan.

"Aku pulang," tangan Kean membahasakan.

Ayah berjalan buru-buru mendatangi anaknya. Dunia seakan menjadi sangat meriah di telinganya yang sepi untuk sekian lama. Yang keluar dari mulutnya hanya suara-suara tak jelas yang diikuti sambutan hangat dari air matanya. Lalu seperti dua kutub magnet yang dipertemukan, mereka tarik menarik dalam pelukan. Ayahnya menangis haru. Seperti anaknya itu baru pulang bermain di tempat yang jauh. Dia khawatir apakah anakanya pulang dengan luka? Dia terjatuh? Mana yang lecet? Mana luka memar yang harus ditiup dengan napas ajaibnya? Ah, tidak perlu begitu. Ayah pikir anaknya sudah besar dan dewasa. Dia punya caranya sendiri untuk tidak terluka.

Ayah memegangi kedua pundak Kean, lalu tangannya berkata, "Kenapa kau kurus sekali?"

"Diet."

"Kamu belum mencapai usia untuk diet! Cepat masuk, ada adikmu di dalam sedang memasak sambal tomat kesukaanmu."

"Kalian tidak perlu melakukan itu."

Ayah menabok pundak anak laki-lakinya. "Cepat masuk, berikan dia sedikit kejutan. Ayah rasa dia belum tahu kalau kamu sudah pulang."

"Apa aku boleh membuatnya menangis dengan sedikit kejutan, Yah?"

"Jangan berani-berani."

"Kesenangannya akan hilang kalau tidak membuatnya menangis."

"Kalian bukan anak kecil lagi."

Bibir Keanu melengkung. "Tapi aku masih suka menyimpan Totoro di kamarku."

"Dasar bocah besar!" ayahnya tertawa.

Itu Totoro dari Ibu. Keanu tidak mungkin meletakkannya di sembarang tempat. Terutama menjadikan Totoro sebagai penunggu nakas kamarnya membuat Kean merasa ada semua keluarganya selama di Sydney. Tapi tidak tahu kepulangannya ini akan berjalan baik atau tidak, dia melupakan Totoro. Tertinggal di Sydney.

Ayah berjalan di belakang. Dia juga tidak sabar ingin melihat reaksi Levi.

Gadis itu sedang mengulen adonan tepung di baskom alumunium. Suara Kelly Clarkson mengalun keras dari ipod yang tergeletak di atas konter. Posisinya yang membelakangi membuatnya tidak tahu kalau Kean sudah bersandar di ambang pintu sembari memperhatikannya bergumam.

"Mentang-mentang nggak ada aku di rumah, dan Ayah nggak bisa dengerin kegaduhanmu, terus kamu bisa bebas nyetel musik sampai sekeras ini?"

Levi menoleh sigap. Wajah itu, rambutnya, cara dia tersenyum, persis mewarisi milik ibu. Kean kadang berpikir kenapa dua perempuan itu sangat cantik di matanya.

"Aaa!" Levi berseru dan langsung berlari ke arah Kean. Tidak peduli tangannya yang masih ceromot oleh terigu, dia cepat-cepat menggunakannya untuk memeluk. "Kenapa tiba-tiba banget sih? Bukannya kakak bilang nanti malam sampai?"

"Kejutan kalau gitu."

"Iih, apaan sih. Ayah mana? Udah lihat?"

"Dia yang pertama kali menyambut."

Saat mereka menoleh ke belakang. Di sana ayah sedang kerepotan mengelap air matanya. "Ayah hanya teringat betapa kalian dulu sangat tidak akur ketika kecil."

Levi yang hatinya mudah tersentuh langsung beralih memeluk ayah. Sementara Kean masih ingin merampok waktu beberapa menit lebih lama lagi untuk menikmati pemandangan terindah di depannya, tetapi dua orang istimewa itu memaksanya untuk duduk dan biarkan mereka yang mengerjakan sisanya. Mengangkat koper, memindahkan kardus, dan apa lagi selain makan bersama?

Sambil makan, Levi begitu antusias menjelaskan perubahan dekorasi interior rumah yang berhasil dia kerjakan. Hampir semua ruangan sudah disentuh oleh jiwa seninya, tak lepas dari kamar Kean. Dan harus diakui, adiknya itu mengerjakan hobinya dengan sangat sempurna. Itu karena Levi tahu persis bahwa warna jeruk adalah kesukaan Kean, dan pengaplikasian pada kamar laki-laki itu terlihat lebih hangat dari sentuhan seharusnya. Tak berlebihan.

Pukul delapan malam suara klakson mobil terdengar dari tepi jalan depan. Kali ini Bondan yang menyetir. Dan untuk sekian lama, pembicaraan dengan Kean berhasil membuat Ellen menutupi dirinya lebih banyak. Kemeja cowok lengan panjang, dan jins, juga sedikit semprotan parfum.

"Gue udah nggak sabar pengin ketemu Kean. Lebih tepatnya wajah terluka yang lo katakan tadi, Len," kata Bondan yang sedang bersandar di pintu mobil. Mereka berdua menghadap ke arah rumah.

"Tepat. Gue juga heran kenapa-, intinya untuk sekian lama gue baru kali ini lihat Kean nggak menyenangkan sama sekali raut wajahnya. Meski lo tahu kan, dia bakal berusaha kayak apa supaya tetap bersikap baik-baik saja."

"Serius dia kurus?"

"Lo lihat sendiri aja nanti."

"Apa jangan-jangan dia korban kekerasan TKI di sana?"

"Ngaco! Kean kan pekerja eksekutif di kantornya, ya nggak mungkin lah. Dia juga artis, maksudnya seniman. Sayangnya dia ngadain eksibisi lukisannya di Sydney bukan di Jakarta, jadi kita nggak bisa lihat. Dan, seniman pasti banyak yang sayang."

"Terus kenapa dong dia?"

"Soal hati deh kayaknya."

"Dia punya cewek?"

"Nggak tahu juga sih. Dia kan nggak pernah terbuka soal itu."

"Bikin khawatir aja tuh anak."

Pintu rumah terbuka. Keanu keluar memakai setelan yang seadanya. Tadinya dia ingin memakai sesuatu yang lebih terlihat elit, tetapi artis di dalam dirinya ingin menunjukkan sesuatu yang apa adanya sesuai karakter. Kaos polo ungu gelap, celana chino, dan coat panjang yang didesain khusus seperti Tintin.

Saat mendekat ke mobil, Bondan langusng mendorongnya ke belakang. "Sialan lo pulang nggak bilang-bilang."

"Udahlah nggak perlu basa-basi. Sudah telat kan?" balas Keanu.

Bondan merasa kikuk karena candaannya terasa hambar. Ellen menyemburkan tawa tertahannya. "Lagian lo lebay banget sih, Ndan."

Saat Ellen dan Keanu masuk ke mobil, Bondan masih tertegun di luar. "Sialan."

***

Folk menjadi sajian musik terlezat bagi kaum dewasa muda. Tidak ada penonton yang berdiri dengan sorakan hiperbolis ataupun kamera yang merekam. Semuanya duduk santai di meja bundar untuk empat atau lima orang. Suguhan kopi menjadi menu favorit mereka. Benar-benar menikmati momen. Meresapi lirik. Menguntai obrolan santai. Dan membuat gerakan santai di pundak mengikuti irama. Beberapa ada yang ikut bernyanyi, berusaha mengiringi suara vokal Elda yang tak ada duanya.

Keanu duduk menyilangkan kaki. Tangan kanannya menjemba secangkir arabika dengan sedadu gula jagung. Pahit nanggung. Sementara jemari kirinya membuat ketukan ritmis pada lutut. Lampu sorot berfrekuensi redup mengelilingi area mal yang dijadikan tempat penampilan Stars and Rabbit. Panggung yang terletak di antara eskalator membuatnya terlihat kasual dan nyaman. Irama penuh makna itu menyelimuti detak waktu yang semakin larut bersama gelap. Malam dingin, obrolan hangat, orang-orang terdekat, dan sejumput kenangan pada tiap adukan kopi. Sempurna. Jikapun ada yang sedang terluka di antara mereka, rasanya tetap sempurna!

I build the high fortress
You take polaroid
I watch the halo moon
You slow down the road

Selalu ada cerita yang dikisahkan dalam lirik musik folk. Seperti seni dan Keanu.

"Are you okay?" Bondan bertanya.

Keanu hanya mengangkat cangkirnya. "So far."

"Tapi mata lo berkata lain."

"Begitu?"

"Ayolah, Sob. Mumpung di rumah."

"Bukan tempat yang tepat buat ngobrol."

"Come on! lihat deh sekitar. Mereka pada sibuk menikmati musik, nggak ada yang peduli kita mau ngobrol."

"Jangan pikirkan gue dulu. Tapi gue masih ingin tahu soal Ellen."

"Lo serius mau tahu soal gue?" Ellen menyahut dari kursi seberang.

"Tentu. Gue yang menjauh dari kalian, dan sudah pasti gue ketinggalan banyak episode. Sementara kalian cuma perlu sedikit waktu buat tahu tentang gue selama di Sydney."

Semuanya diam kalau Kean sudah membuat kebijakan. Ellen pelan-pelan mengumpulkan tekad. "Ini salah gue sendiri sih. Lo tahu kan rokok buruk banget pengaruhnya buat cewek."

"Iya, dan gue penasaran kenapa akhirnya lo tahu bahwa lo..., ya."

"Gue kenal cowok, akrab sebulan lewat, dicekokin, gue tepar, dan berakhir di kamar. Gue panik selama berminggu-minggu sampai akhirnya gue datang ke dokter cuma mau ngetes apakah gue lagi isi atau nggak. Dan ternyata dokter malah menemukan sesuatu yang lain," dia menjeda untuk tarikan napas. "Gue punya kelainan ovulasi."

"Pasti ada obatnya," sela Keanu yang terlanjur khawatir.

"Gue udah ngonsumsi clomiphene, repronex juga. Tapi kemungkinannya tujuh puluh persen bisa sih."

"Tujuh puluh persen itu kemungkinan yang besar. Dan hasilnya?"

"Ya mana gue tahu! Kan ngetesnya gue harus tidur lagi sama cowok. Memangnya kalian mau jadi pengujinya? Gue sih ogah."

"Anjir!" Bondan terbahak.

"Makanya lo harus menikah, Len. Cari kampret cepet-cepet."

"Males ngomongin ini lah. Udah deh ganti topik. Intinya, Kean, gue baik-baik aja. Oke? Sekarang giliran lo. Muka lo dari semenjak gue jemput di bandara kelihatan kacau banget."

Keanu meringis kecil, sedikit lega dengan kabar Ellen, dan dia sudah menyimpan baik-baik nama obat yang tadi disebutkan Ellen. Penting.

"Gue-," dia terhenti saat ponselnya bergetar berkali-kali. Sebuah missed call dari Tobias. Ternyata itu hanya kode supaya Keanu membuka ponselnya.

Ada pesan whatsapp dari Tobias ternyata. Itu berisi sebuah foto dan catatan.

Bro, gue takut salah lihat. Itu Tatjana bukan? Gue ambil foto ini nyuruh orang karena gue harus stay di kabin. Cuman, tadi waktu perkenalan kru gue merasa aneh, klien malam ini kok mirip Tatjana? Coba lo perhatiin. Tapi kayaknya bukan, dia nggak ngenalin gue sama sekali.

Jantung Kean seperti dirajam. Mulutnya mendadak kemarau.

***

😕

Just comment bellow. And keep vote  this chapter.

Semoga kamu yang menang bukunya.

________________________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top