✉ SEPULUH: Skandal Terselubung

Hei, there! thanks for all your supports. Terimakasih sudah berkomentar dengan kata-kata yang manis sebagai pujianmu. Terimakasih sudah membanjiri saya dengan pesan-pesan yang sangat berkesan meski tidak bisa saya balas satu-satu.

Have a pleasant reads :)

***

BAB 10: Skandal Terselubung

***


"Seberapa sering kamu ada kontak dengan Bara?" Kean menahan sikunya di pundak kursi. Jemarinya memijit keningnya pelan. Sementara tatapannya menelesik sesuatu yang mulai terlihat mengkhawatirkan di wajah Levi.

"Seberapa sering?" Levi balik bertanya dengan ragu.

Kean hanya mengangguk. Dia masih memikirkan apa yang sedang terjadi di sana. Apa yang sedang Bara rencanakan dengan mendekati Levi sementara ada cincin yang melingkar di jarinya sebagai tanda satu ikatan dengan Alexa? Apakah ada penghianat di sini? Tidak mungkin Levi bermain-main di sana, kan? Masa iya Levi tidak tahu soal pertunangan itu? Lalu kenapa harus Bara?

"Gini saja," kata Kean, "bagaimana pendapatmu tentang Bara?" hanya ingin melihat masalah dari perspektif yang lain.

"Dia baik," jawaban yang bias.

"Baik?"

Levi mengangguk.

"Kamu tahu tentang Alexa dan Bara?"

"Alexa?"

"Bara sudah bertunangan dengan Alexa," kata Kean yang sepertinya tidak berefek apa-apa pada Levi, "Lalu dekat yang kamu maksud itu seperti apa?"

Levi tidak menjawab begitu saja, "Aku tidak tahu ada ... tunangan."

"Pastinya ada undangan atau informasi apa saja ke rumah tentang itu."

"Informasi apa?"

Kean tidak sabar dengan percakapan yang bertele-tele ini, "Vi, Bara sudah punya tunangan. Dan dia adalah Alexa. Temanku sendiri. Kamu pasti tahu Alexa. Dan kenapa Bara bisa dekat sama kamu? Abang bingung kenapa kamu bisa menyebut nama Bara dan bilang dekat dengan dia? Dekat yang seperti apa? Ha? Dekat ... dekat cuma sekadar dekat karena dia teman Abang ... atau dekat dalam arti ... kalian 'dekat'?"

"Aku nggak ngerti sama sekali dengan tunangan yang kamu maksud. Kalau pun mereka tunangan kenapa aku nggak tahu? Kenapa nggak ada kabar apa-apa dari Alexa ke rumah?"

"Mungkin nggak banyak orang yang sebar undangan tunangan, tapi kan Bondan ke rumah hampir tiap minggu." Kean benar-benar tidak sabar dengan percakapan ini. Dia merasa ada satu batasan yang membuat emas dari informasi itu terhalang. Seolah dia harus menggali dengan tajam dan dalam. Tapi rasa untuk tidak menekan Levi selalu menggeser dorongan itu. Kean memang mendugai banyak hal. Dan ... apa maksudnya sih? 'Dekat' yang seperti apa antara mereka ini? "Bondan nggak cerita apa-apa?"

Levi masih hanya menggeleng. Dia pikir tidak ada apa-apa. Maksudnya, hei, Bara itu sangat baik. Benar-benar baik. Bara menggantikan posisi Kean sebagai kakak laki-laki untuk beberapa saat di waktu tertentu. Dan keberadaan yang tidak bisa dia akui secara terang-terangan kepada Kean. Semacarm firasat jika Levi menyebut terlalu jelas tentang Bara yang selalu setia ketika Levi perlu sesuatu, menyempatkan diri menjemputnya bahkan ketika dia tidak meminta, lalu kebenaran dari mana tentang tunangan itu?

"Dekat yang aku maksud ya karena dia teman Bang Kean," Levi hanya mengumpan kulit masalahnya saja.

"Kamu yakin?"

"Iya."

"Nggak ada sesuatu yang kamu sembunyikan?"

Kean mempelajari satu hal tentang seni berbicara. Tentu dia dapat dari obrolan A2A di Quora, bahwa jika ada gap momen pada saat seseorang ditanyai pertanyaan yang mengarah pada satu rahasia yang dipegang, dan meski jawabannya tidak, bisa dipastikan memang ada sesuatu. Dan Kean melihat itu di mata Levi juga bagaimana air mukanya menyiratkan itu.

"Bang Kean nggak mau berspekulasi apa-apa. Abang juga nggak ingin punya dugaan tentang hal jelek di kamu. Ya bukan apa-apa, cuman kalau sampai Levi dekat sama dia dengan arti punya perasaan," sedikit menegaskan, "Abang minta jangan dilanjutkan."

"Kenapa?" oke, itu pertanyaan sederhana yang seolah mengiyakan semuanya. Kean menatap Levi berusaha menahan perasaan ingin mencerca.

"Tidak baik dekat dengan seseorang yang sudah jadi milik orang lain."

"Kalau berteman?"

"Kamu yakin kalian cuma berteman?'

Tidak ada jawaban.

"Vi, Bang Kean nggak mau bilang ini sebenarnya, tapi jangan sama Bara kalau kamu ingin dekat dengan seseorang."

"Karena dia sudah bertunangan? Bang, demi Allah aku nggak tahu soal tunangan itu. dan aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia. Abang tadi nanya, siapa yang lagi dekat dengan aku, ya kujawab. Belakangan bukannya kamu tahu aku di Bandung? Kalau pun Bang Bondan sering main ke rumah yang mungkin saja ngobrolin tentang berita itu sama Ayah, dan misal Ayah nggak cerita ke aku, siapa yang salah? Apa Ayah bisa menceritakan segala hal ke kita?" begitu Levi menjawab.

"Aku nggak mau berkesan jahat bilang gitu," tambah Levi, "tapi kenyataannya memang ketika Abang pergi ke Sydney, aku seperti sudah nggak punya siapa-siapa lagi. Aku butuh bicara dengan siapa saja yang bisa aku ajak bicara tanpa batasan. Seperti aku sama Abang, seperti ini. Bukannya aku menyalahkan Ayah yang kita-tahu. Aku sepi. Sepi di antara keramaian yang ada. Lalu ketika ada Bara yang waktu itu main ke rumah mau ngasih undangan reuni SMA ke Abang, kita kenalan, ngobrol, dan dia bilang kalau butuh apa-apa yang bisa dilakukan Bang Kean, selama Bang Kean masih jauh dari jangkauan, Bara mengajukan diri."

Ada yang menusuk perasaan Keanu saat adiknya mengatakan itu.

"Aku tahu tadi konteks pertanyaan abang udah jelas tentang perasaan. Dan jika memang iya pun, aku nggak ada apa-apa sama dia. Abang pikir jadi aku mudah? Abang pikir aku sebisa itu tanpa Abang? Aku perlu meski nggak pernah mengaku. Aku perlu ditanyain kabarnya tiap saat. Pengin ada yang telepon. Utamanya dari orang-orang terdekat seperti Abang.

Aku nggak menyalahkan Bang Kean yang mungkin memang sibuk di sana. Atau Ayah yang memang tidak bisa membicarakan segala hal lewat pesan teks. I just need someone. Dan jangan Abang pikir aku akan tetap sama Bara kalau akhirnya tahu ada Alexa."

Kean tidak tahu harus menimpali apa. Dia hanya merasa sedang diprotes secara halus. Dan kehalusan itu masih tetap terasa menghunus. Pembicaraan ini tidak seharusnya diperpanjang di tempat terbuka. Kean memberi isyarat supaya mereka menjauh dari sana dan membicarakannya di tempat yang tidak ada banyak telinga.

Di dalam mobil Kean tidak lantas bergegas pergi. Tapi masih berdiam di jok kemudi dan terjebak pada keheningan dengan Levi.

"Vi, apa yang kamu inginkan dari Bang Kean tapi belum pernah Bang Kean berikan?"

"Pertanyaannya berbalik, kapan terakhir aku meminta sesuatu dari Bang Kean yang sifatnya personal?"

Pukulan telak lagi.

"Levi tahu, Bang, di Sydney pekerjaan lagi bagus. Dan aku nggak masalah sebenarnya, hanya saja Bang Kean juga perlu memahami posisiku."

"Maksudnya kamu ingin Bang Kean nggak ke Sydney lagi?"

Levi berdiam untuk mengiyakan. "Aku butuh teman bicara. Dan bicara yang benar-benar bicara. Bukan isyarat tangan saja."

Perasaan Kean semakin getir. Kekhawatirannya selama ini terjadi. Tentang protes-protes yang ditahan oleh adiknya. Kean bukan lupa, tapi memilih untuk tidak memikirkannya sejenak tiap kali dia ingat masih punya seorang adik di Jakarta ketika dirinya jauh. Tapi Sydney sungguh tidak bisa ditinggalkan untuk dua tahun ke depan. Terutama saat-saat ini yang seolah semua kenangan hidup kembali dari pekuburannya. Belum lagi urusan tentang perasaannya entas, rupanya ada luka lain yang harus ditiup pedihnya. Dan bukan Kean namanya kalau akan mengesampingkannya begitu saja. Dia lebih memilih membiarkan lukanya sendiri tetap perih untuk sesaat dari pada mengabaikan luka adiknya yang sangat masuk akal jika memerlukan tiupan darinya.

"Bang Kean udah pernah bilang ke kamu belum?" ujar Keanu.

"Apa?"

"Abang sayang sama kamu."

Levi termenung.

"Kalau bisa pun Abang tidak akan kembali lagi ke Sydney, Vi. Hanya saja, Bang Kean perlu ada di sana untuk kamu dan Ayah."

"Levi nggak sedang menuntut supaya Bang Kean tidak kembali ke Sydney. Itu hanya jika bisa."

"Bang Kean tahu, kok. Di sana pekerjaan sedang bagus. Bang Kean juga sama ingin nggak selamanya kerja di sana. Tapi kan Ayah perlu berobat tiap bulan. Dan kuliahmu harus tetap dilanjutkan tidak peduli bagaimana."

"Iya. Paham." Levi meletakkan tangannya di lutut Kean.

"Bang Kean jarang ngontak kamu, ya?"

"Itu aja sih."

Kean tersenyum lalu berusaha mengeluarkan mobilnya dari lot parkir.

"Tentang Bara jangan khawatir. Tidak ada apa-apa," kata Levi.

"Kamu perlu memahami sebuah seni tentang cinta. Bukan cuma seni tentang estetika," Kean berusaha membuat pembicaraan yang lebih ringan. Dia tidak ingin membuat Levi tidak nyaman kalau terus memaksakan obrolan itu. Yang jelas dia sudah merencanakan pembicaraan khusus antara dirinya dan Bara. Ini bukan urusan yang harus terus melibatkan Levi. Kean harus turun tangan.

"Eleh, kayak yang dirinya udah khatam aja."

"Loh," Kean tertawa kecil.

"Kan?"

"Ya setidakanya Bang Kean pahamlah."

"Omong-omong Bang Kean masih single?"

"Kenapa?"

"Ya aneh aja gitu, pinter ngomongin seni tentang cinta tapi sendirinya masih jomblo."

"Heh."

"Loh, iya, kan? Aneh aja, masa belum pernah punya pacar? Normal, kan?"

"Ya normal lah, Vi!"

Levi tertawa. "Aku nungguin, loh."

"Belum waktunya."

"Classic sh*t."

"Watch your mouth, girl."

"Kenapa beberapa orang memilih tetap single untuk waktu yang lama? Kayak kamu gini, Bang."

"Mm, itu bukan obrolan yang simpel, adek."

"Obrolin ... obrolin ... obrolin...!" sedikit usaha supaya segala tentang Bara teralihkan. Meski merasa bersalah harus menyembunyikan sesuatu dari Kean.

"Oke, oke. Ada alasan kenapa seseorang betah dengan kesendirian dan tetap terlihat bahagia. Pertama, karena ... bisa jadi orang itu sudah terbiasa sejak dulu untuk tidak bermain-main di ranah perasaan, biasanya karena orang itu punya visi tertentu dalam hidupnya sehingga terlalu mudah untuk mengesampingkan apa kata dunia tentang kesendiriannya itu. Yang kedua, luka dan traumatis. Bukan hal yang mudah, dong, kalau seseorang yang perasaannya pernah terluka begitu dalam untuk memulai lagi. Ketiga, standar pasangan impian."

"Kalau Bang Kean yang mana?"

"Menurutmu?"

"Kalau traumatis kayaknya enggak deh. Kan belum pernah pacaran."

Kean terkekeh. Tidak tahu kau, Lev.

"Bukan ketiga-tiganya."

"Ha?"

"I am a hopeless romantic and all the girls I truly liked never returned those same feelings for me," sedikit berbohong.

"What? Cewek mana yang nggak tertarik sama Bang Kean? Kamu itu membalikkan kenyataan tentang lusinan cewek yang pernah naksir kamu pas SMA. Bara pernah cerita."

Kean masih belum nyaman nama itu disebut-sebut, "Loh kan Bang Kean bilangnya cewek yang Abang taksir. Bukan cewek yang naksir Abang."

"Jadi Bang Kean ini kaum yang lebih memilih mencintai dari pada dicintai?"

"Kind of. Bang Kean punya cinta tanpa syarat selama sosok itu benar-benar menarik hati."

"Uuuu. Tapi kan kalau menarik hati artinya ada kriteria tertentu yang membuat Bang Kean akhirnya tertarik. Bukannya itu berarti bersyarat?"

"Bukan soal ketertarikan, Vi. Tapi tentang bagaimana Bang Kean rela mengorbankan sesuatu untuk orang itu."

"Seolah di dunia ini nggak ada satu cewek pun yang menarik hati kalau sampai sekarang Bang Kean masih sendiri."

"Pernah, sih."

Levi menoleh cepat-cepat, "Siapa? Namanya? Orang mana? Dia harus suka seni juga."

"Dia spesial. Ratu di tahta terdalam hati Abang."

"Aaaa, kasih tau ih!"

"Sayangnya, kita hanya 'pernah'."

"Maksudnya?"

"We've broke up. It's been a couple years."

"No! Kenapa putus?" Levi belum pernah sepenasaran itu dalam hidupnya mendengar Keanu pernah dekat dengan seseorang.

Kean mengedikkan bahu. Sebenarnya ada bendungan kenangan yang kian retak tiap kali ingatan itu dimunculkan kembali.

"Aku penasaran wajahnya seperti apa."

"Kamu tidak ada apa-apanya dibanding dia."

"Whatever! Yang penting aku mau tahu dia seperti apa."

Kean masih menahan diri untuk tidak memberitahu bahkan ketika sampai di rumah. Meski sudah berapa kali dan seusaha mungkin supaya tidak menyebut-nyebut tentang Yang-Tak-Pernah-Pergi-nya.

Menjelang sore teknisi dari toko elektronik datang ke rumah dengan semua peralatan dan gawai baru. Kean berusaha menjelaskan pada ayah kenapa dia melakukan itu semua untuknya.

Sementara itu Levi di kamar sedang gugup. Mengunci kamar supaya siapa pun tidak ada yang masuk dan mendengar percakapannya dengan Bara melalui telepon.

"Aku bisa jelasin," suara Bara di seberang sana.

"Basi! Jangan pernah memakai kalimat itu kalau kamu beneran udah tunangan sama Alexa, Kak!"

"Iya, tapi aku nggak bermaksud jahat ke kamu, Vi."

Levi menggigil menahan ketakutan yang menyergap tubuhnya. "Udah deh, Kak."

"Aku nanti yang ngomong sama Kean. Aku yang akan jelasin semuanya."

"Nggak usah! Aku bisa atasin ini tanpa kamu atau siapa pun," katanya sambil mengelap tangis yang meluncur di pipi tanpa kendali.

"Atasin gimana?" cerca Bara yang sama-sama berusaha mencari jalan keluar. "Kamu nggak ada niatan konyol buat aborsi, kan?"

"Aku bilang, aku bisa ngatasin ini sendiri, oke?!"

"Vi!"

"Bang Kean pulang cuma dua minggu. Aku akan bertahan sampai selama itu. Kakak nggak boleh datang ke rumah atau nekat menjelaskan apa saja ke Bang Kean. Aku mau mengakhiri ini setelah Bang Kean berangkat," kata Levi sambil terisak, "Aku nggak mau Bang Kean hancur kalau sampai dia tahu."

"Oke, oke. Aku nggak akan datang selama Kean di rumah. Tapi kamu nggak boleh melewati ini sendirian, oke?"

Levi masih terisak. Berusaha untuk menghentikan tangisnya karena khawatir Kean mencurigai sesuatu apabila tangisnya membuat kedua matanya sembab.

Lalu pintu kamarnya diketuk keras-keras.

"Dek, keluar sebentar!" Kean setengah teriak. "Beliin pisang goreng dong di depan buat jamuan teknisinya."

Panik Levi meraih kotak tisu di meja dan menyomot kertasnya untuk mengelapi wajah. Segera memutuskan panggilan.

"Wait a sec. Ganti baju!"

***

Yah, gimana dong? Kean udah punya niatan mau nemuin Bara, kan? :( Sebenarnya ada apa sih ini?

By the way, guys. I wanna ask you something:

Apa alasanmu kenapa bisa betah bertahan dalam kesendirian?

Mungkin jawabanmu akan menginspirasi mereka yang selalu merana dengan sepinya.

Get in touch with me on IG:

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top