✉ SEMBILAN: Perspektif Sederhana

Saya ucapkan selamat datang untuk yang baru berkenalan dengan tulisan saya. Terimakasih sudah membaca dan menemukan saya di sini.

Long time no see, huh?
I miss you too.

...
DELAPAN: Perspektif Sederhana

Melbourne, 2012

Tian sedang menyiapkan makan malam di meja sementara Kean duduk di balkon dengan laptop yang menyala. Mengetahui itu Tian lantas mendekatinya.

"Kamu bilang ini bakal jadi liburan, kan? Lupakan dulu laptopnya."

Dengan cepat Kean menutup laptop yang sedang menampilkan daftar rumah sewa murah di sekitar kampus Tian. "Ini cuma ngecek email saja," jawabnya sambil mengusap kening.

"Ada masalah?"

"Sedikit. Gimana kalau kita makan dulu?"

"Apa masalahnya?" Tian duduk di sebelahnya. Menoleh ke konter, airnya belum masak.

Kean menghela napas berat, "Kayaknya aku udah teliti banget ngerjain semua editannya. Ternyata ada lima foto yang cacat."

"Maksudnya?"

"Beberapa ada yang terlewat. Aku lupa ngilangin kerutan di ekor mata model cewek. Sebenarnya udah, cuman ada segaris aja dan itu tipis banget."

Tian tertawa, terjebak dalam sedikit kebohongan. Keanu tahu kalau gadisnya itu akan sungkan-sungkan kalau tahu sebenarnya apa yang sedang dilakukannya, "Gila banget ya kerjaan kamu. Jadi kamu biasa bikin yang kayak gituan?"

"Ya gitu. Mengedit foto para model yang nyaris telanjang pun aku sudah sangat sering. Profesionalitas kerja, dong."

Tian memutar bola matanya. "Kalau wajah aku perlu banyak diedit nggak?"

Kean pura-pura mempertimbangkan dengan sedikit mengamati wajah Tian. Menyentuh dagu, memiringkan sebentar. "Apaan sih," protes Tian sedikit terkekeh.

"Itu kenapa aku suka kamu."

"Maksudnya?"

"Udah nggak perlu diedit lagi."

"Zzz. Garing."

Mereka terkekeh. Lalu lengang sebentar. Kejadian tadi sore belum benar-benar hilang dari sana. Maksudnya suasana yang masih penuh tanda tanya. Ada banyak yang ingin Kean ajukan. Bagaimana pun ada hak yang perlu dia tahu lebih tentang Tian dan masa lalunya. Orang bilang bahwa masa lalu pasangan tidaklah penting. Tapi Kean tidak setuju dengan hal itu. Karena apa pun yang telah terjadi, baginya sangat perlu untuk tahu kehidupan masa lalu pasangannya. Ya hanya perlu tahu. Selebihnya penilaian akan diputuskan pada masa kini. Sebab masa lalu tidak bisa mutlak untuk menilai seseorang di masa kini.

"Kei," panggil Tian.

"Hm?"

"Apa yang terjadi tadi bikin kamu ngerasa nggak sesenang sebelumnya?"

"Maksudmu?"

"Aku tahu bagaimana rasanya kalau ada di posisimu."

"Apa coba yang aku rasakan?"

"Marah."

"Lalu?"

"Mungkin bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi sebelum aku ketemu kamu."

"Terus kamu mikirnya aku udah nggak betah sama kamu, gitu?"

"Ya kan barang kali aja. Aku bener-bener nggak tahu kalau dia akan datang."

"Udahlah. Aku nggak senang kalau berbicara sama orang yang rikuh padahal aku udah tahu kalau dia nggak salah. Aku tahu itu bukan salah kamu. Aku ngomong gini juga bukan karena aku pacar kamu saja, dan ingin kamu tenang. Tapi dari sudut pandang yang sebenarnya itu bukan salah kamu, kan?"

"Tapi aku nggak bisa."

"Nggak bisa apa lagi?"

"Seberapa lama kamu bisa bertahan sama aku?"

Kean tertegun dengan kalimat itu, "Sayang kita belum genap sebulan jadian dan itu bukan bahasan yang tepat."

"Aku ragu kamu siap dengan semuanya."

"Ragu? Kamu ragu sama aku?"

"Kamu beneran cinta sama aku nggak?" dia menyelam di mata Kean.

Kean memalingkan muka, "Pertanyaan macam apa?" lalu menatap Tian kembali, "Aku sulit menemukan alasan untuk memilih seseorang. Itu kenapa aku bisa kuat sendiri cukup lama. Tapi kamu terlalu mudah membuat aku menyatakan perasaanku. Heran kenapa kamu harus nanya itu lagi."

"Meskipun kita beda keyakinan?"

"Apa yang salah?"

"Pertanyaannya bukan apa yang salah. Tapi apakah ini benar atau nggak."

***

Jakarta, 2016

K

ean mendapatkan fokusnya kembali dari permukaan kopi yang berputar-putar bekas diaduk. Lalu fokus lagi menjawab beberapa pertanyaan di Quora.

"Mau panekuk atau omelet?" tanya Levi yang bergabung di meja makan. Dia sudah memakai celemek dan siap membuat sarapan.

"Kenapa kamu ngasih pilihannya harus kedua makanan itu?" Keanu sembari mengetik jawaban. "Abang kan lagi di Indonesia. Coba perlakukan kayak biasanya, layaknya orang Indonesia"

"Terus maunya apa?"

"Di kolam masih ada gurameh kan?"

"Ada. Besar-besar. Mau itu aja? Nggak cocok. Lebih mantap kalau guramehnya buat makan siang."

"Omelet aja deh."

"Okey."

Sedikit riang Levi melenggang ke arah kulkas. Mengambl lima butir telur dan siap mengolahnya.

"Ayah mana?"

"Paling lagi jalan-jalan sekitar komplek."

"Oh gitu. Nanti siang ada orang yang mau benerin tivi ke sini. Kamu bikin suguhan atau apa gitu, ya, Vi."

"Benerin tivi?" tanya Levi yang sedang memecahkan telur.

"Itu tivi udah nggak lengkap kanalnya. Kasihan Ayah kalau mau nonton itu-itu aja."

"Oh. Itu sebenarnya udah pernah diperbaiki. Tapi gitu lagi. Kayaknya emang perlu diganti juga receiver-nya."

"Harus diganti nih? Kalau harus ya nanti Abang yang cariin."

"Itu sih masalahnya. Aku udah beberapa kali ngundang teknisi, tapi tetap aja kayak gitu."

"Mungkin teknisinya nggak jago. Hehe."

"Ya udah, abis sarapan kamu ganti baju. Kita ke toko elektronik."

"Lah, terus gimana teknisi yang udah ditelepon itu?"

"Halah, paling dia juga belum berangkat ke sini. Batalin aja. Cari yang baru aja sekalian biar nanti minta dipasangin sama ahlinya."

Setelah sarapan mereka langsung pergi bersama mencari toko elektronik di pusat kota. Kean pikir bukan hanya teman saja yang perlu mendapat jatah waktu selama dia pulang. Keluarga tetap yang jadi nomor satu. Terutama Levi. Ayahnya mungkin memang kesepian, tetapi Levi yang paling perlu mendapat perhatian lebih.

Bahkan ketika sampai di mal Keanu tak segan untuk merangkul Levi sambil berjalan.

"Kamu udah tinggi, ya. Di Bandung punya pacar nggak?"

"Ha? Aku nggak punya pacar dan belum pengin punya pacar. But, sometimes I missed my future husband."

Kean terkekeh, "Dih, udah ngomongin suami aja."

"Sudah waktunya."

"Memangnya sudah tahu laki-laki seperti apa yang bisa kamu pilih? Atau setidaknya sosok yang kamu impikan."

Levi tertohok oleh pertanyaan itu. Ada seseoang yang sebenarnya sudah mengusik hatinya. Sosok itu bukan di Bandung, tetapi masih ada di Jakarta dan sangat dekat dengan Keanu.

Itu berjalan cukup lama. Jika ditarik mundur, mungkin kejadiannya bermula saat teman Keanu yang bernama Bara main ke rumah. Saat itu Levi masih kelas tiga SMA dan Keanu sudah berada di Sydney cukup lama. Memperkenalkan dirinya sebagai teman akrab Keanu ketika SMA, Bara mampir ke sana untuk menyapa. Tetapi tidak tahu bahwa Keanu sudah tidak berada di Jakarta lagi. Obrolan sederhana yang terjadi antara Bara dan Levi ternyata bukan hanya sebatas itu saja. Ada sesi tukar nomor yang pada mulanya hanya bermaksud untuk mengabari soal Keanu. Namun perlahan semuanya terasa lain.

Levi tidak pernah bisa berbohong soal perasaan sepinya. Hidupnya benar-benar sepi. Tanpa Keanu di kesehariannya, dan kesunyian lain datang dari Ayah. Lalu Bara datang dan menjadi teman bicara yang tidak terdeteksi sinyal-sinyal ancaman. Bara sosok yang simpel. Di mata Levi itu sudah nyaris menyamai Kean. Dan memang ada foto-foto yang menjadi bukti kedekatan antara Kean dan Bara.

Tidak hanya sekali, Bara sering menjenguk Levi di Bandung. Dan itu tidak ada yang tahu. Maksudnya, Kean bahkan tidak, atau belum tahu kalau adiknya sedang dekat dengan karibnya dulu. Karib rahasia. Teman yang selalu menjadi rekan bicara ketika di perpustakaan. Ellen, Alexa, dan Bondan mungkin memang teman bergila-gila, tetapi Bara adalah teman satu frekuensi yang ada di sana.

"Serius, aku perlu berguru," kata Levi.

"Berguru apa?"

"Aku perlu diajari bagaimana cara menentukan pilihan. Ya, kan Abang harus bertanggungjawab juga di urusan ini. Bagaimana pun, aku nggak mau seolah terlepas dari jangkauan Bang Kean."

Kean tersenyum, "Maksudmu kamu perlu diajarin bagaimana memilih cowok?"

"Terdengar aneh sih kalau Bang Kean bilang begitu. Tapi, iya."

Kean bersiul, "Oke. Kita ke toko elektronik dulu, lalu bicarakan tentang apa saja yang bisa kamu perhatikan soal hati laki-laki. Abang curiga kamu sudah punya seseorang."

...

"Jadi gimana?" tanya Levi. Mereka sedang berada di Chatime dengan beberapa menu yang sudah dipesan. Dia tidak bisa memungkiri ketertarikannya membicarakan sebuah topik yang cukup langka dengan kakak laki-lakinya. Levi bahkan masih ragu apakah Kean benar-benar bisa membicarakan ini. Yang Levi tahu, Keanu tidak cukup berpengalaman soal hati. Dia tidak tahu. Belum.

Urusan alat pemancar sinyal kanal televisi sudah diserahkan pada teknisi toko. Dan akan dipasang nanti sore sekembalinya mereka.

Kean melepas jaketnya menyisakan kaos lama yang dia temukan di lemari tadi pagi.

"Apa yang ingin kamu tahu, hum?"

Levi mendesah, "Katanya tadi mau bicara apa."

"Oh. Apa?"

"Dimulai dari bagaimana kita bisa tahu bahwa seseorang bisa kita percayai untuk dititipi hati."

Tiba-tiba Kean menutup kedua telinganya sambil menyeringai, "Bahasanmu."

"It's my age! Aku bukan anak-anak lagi. Dan kalau Abang mau aku tetap berada di jalur yang aman, nggak usah bikin batasan untuk ngobrolin apa saja termasuk peringatan. Atau semacam rambu-rambu untuk aku kedepannya."

"Oke, oke."

Levi mendengus.

"First thing first, Abang mau tahu perspektifmu tentang laki-laki. Terutama dari cara mereka berafeksi."

"Specifically or generally?"

"Generally, of course."

"Kekanak-kanakan."

"Terus?"

"Itu saja."

"Nggak, kamu belum ngerti. Coba eksplor lebih jauh."

"Aku nggak kenal banyak laki-laki, tapi kalau aku amati dari Bang Kean, kamu itu ..."

"Apa?"

"Nggak tahu deh."

Kean tertawa kecil, "Kamu tahu nggak dalam kosa kata, pemaknaan istilah serupa itu bisa berbeda. 'A boy' and 'a man' are two different types. 'A girl' and 'a woman' as well. Mungkin kalau di Indonesia kita bisa analogikan dengan 'cowok' dan 'pria' atau 'cewek' dan ... 'wanita'? Mungkin? Intinya semacam itu."

"U-hm." Levi mengangguk.

"Pernah dengar lagu yang berjudul Make Him Wait?"

"Belum."

"Dalam lagu itu menjelaskan dengan sangat baik apa dan bagaimana a boy, a man, a girl, a woman. Khususnya bagaimana cara membuat laki-laki mengertimu. Dan itu bagus kalau kamu mau belajar menahan diri. Cinta yang baik di mata aku sendiri, itu yang bisa saling menahan gejolak. Ini bukan seperti posesif. Posesif itu tak terkendali. Tapi ini merupakan cinta yang berdetak dalam kendali yang baik."

"Lagunya siapa sih?"

"Kamu nggak bakal tahu. Karena dia tidak popular. Dia berlian yang tertimbun popularitas konten tidak penting milik orang lain. Underrated. Tapi punya sesuatu yang luar biasa untuk dinikmati."

"Iya siapa?"

"Abby Anderson."

"Lalu?"

"Pelajaran pertama, kamu nggak perlu capek-capek mengesankan seseorang terutama laki-laki. Karena kalau sekali saja 'a man' tertarik padamu, dia akan bertahan pada tumpuan yang membuatnya berfokus pada orbitnya untuk tetap berada di sekitarmu."

Levi menyimak. Seketika teringat Bara yang seperti itu. A man who stand by.

"Kedua, ini dari lagu itu. Make him wait. Buat dia menunggu. Tapi jangan terlalu lama. Misal, nih, ketika dia meneleponmu, jangan cepat-cepat diangkat. Buat dia menunggu beberapa detik. Lalu angkat. Ketika dia sedang berusaha membuat obrolan kecil sebelum nyatain perasaannya, buat dia menunggu, jangan dijawab cepat-cepat. Ketika dia main ke rumah dan yang ada cuma kamu sama Ayah, atau misal Abang pas lagi ada. Jangan buru-buru dibuka pintunya sama kamu. Tapi buat dia menunggu. Biarkan Ayah yang membuka pintunya supaya dia ada waktu untuk berbicara dengan Ayah. Atau Abang."

"Kenapa harus membuat laki-laki menunggu?"

"Karena perempuan lebih rentan dengan menunggu, tetapi laki-laki tidak. Kamu harus bisa membuat laki-laki berada pada detik-detik berdebar. Momen di mana dia merasakan sedikit tantangan. Ya ketika dia meneleponmu terus kamu tidak buru-buru angkat, pasti dia deg-degan. Tapi bukan yang setelah itu kamu jadi judes. No. Itu fatal. Juga yang tadi, biarin dia bertemu sama anggota keluarga terutama Ayah ketika di depan pintu. Itu momennya."

"Kok jadi berkesan kayak menguji gitu ya?"

"Memang. Kamu harus pandai menguji laki-laki pada awal dia ingin mendapatkanmu. Asal jangan kelewatan aja. Lebih baik menguji di awal, dari pada menguji kesetiaan ketika hubungan sudah bertahan lama."

"Noted."

"Make him wait a moment, ya? Jangan kegatelan."

"Apaan sih, nggak lah aku."

"Ye, siapa tahu kamu kalau dapat chat dari sosok idaman balasnya secepat kilat."

"Mana ada!"

Kean mulai curiga Levi mempunyai sesuatu yang tidak ingin dia bicarakan. Dari gelagatnya.

"Ketiga, kamu harus bisa membuat laki-laki tersanjung. Laki-laki punya rasa senang kalau dipandang hebat oleh yang disukainya. Meski kadal-kadalnya dia bakal sok merendah. Terutama kalau dia menyukaimu. Lain lagi kalau yang kamu buat tersanjung itu dia yang tidak menyukaimu sama sekali, nanti segala pujianmu atau sanjungan apa saja tidak ada maknanya bagi dia. Sampah. Diludahin secara halus. Paham? Jadi yang pasti-pasti aja. Maksudnya yang pasti punya potensi."

"I knew that. Jadi maksud Abang yang pantas dipercayai itu mereka yang lulus uji?"

"Mm, not really."

"Dihh, lha terus?"

"Yang bertahan. A boy's gonna run, but a real man's gonna stay. Itu kata Abby Anderson. Make him wait with a simple way, ngerti?. Just to show how mean he is. Itu kata Abangmu."

Levi menghela napas panjang. "Aku masih perlu ngobrol banyak sebenernya tapi biar aku proses satu-satu."

"Ada apa, Vi?"

"Hum?"

"Kayak lagi ngumpetin sesuatu. Siapa dia?"

"Dia siapa?"

"Entah, seseorang yang membuat kamu bertanya ini ke Abang."

Ekspresi Levi sedikit pucat.

"Ada seseorang?" tanya Kean, "Ayolah terbuka saja. Kapan lagi mau ngobrol kayak gini kalau nggak sekarang selagi Abang masih di Jakarta. Santai, oke? Buang batasannya."

Levi menimbang-nimbang. Tapi benar juga. Buat apa dia terus menahan diri kalau itu malah membuatnya berada pada labirin perasaan yang diciptakannya sendiri dengan Bara.

Kemudian Levi mengangguk. Dan meskipun Kean sudah berbicara tentang 'keterbukaan', melihat Levi yang mengangguk perasaannya sedikit aneh. Semacam 'siapa yang berani deketin adek gue?'

"Ada seseorang yang baik," kata Levi. "Bang Kean pasti kenal."

Jantung Kean malah berdebar-debar. Who is that guy?! Pikirnya begitu.

"Penasaran," jawab Kean.

"Bara."

Alis Kean terangkat sebelah, "Bara?"

"Teman satu SMA-mu, kan?"

Nama Bara mencuat dari laci-laci memorinya yang usang, "Oh, ya, Bara!" serunya seolah nyaris lupa nama itu. Tapi nama itu juga mencuat bersama satu memori buruk. Beberapa detik berikutnya wajah Kean seperti membeku, "Bara? Bara yang anak Kemang itu?"

Levi mengangguk.

Tetapi Kean menggeleng dengan cepat, "No. Jangan dia."

***

Get in touch with me on IG:
@sahlil_ge

Terimakasih sudah membaca, memberi bintang, dan berkomentar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top