✉ SATU: Seperti Bukan Kamu

___________________________

Dari Sahlil Ge,

Cerita ini kupersembahkan untuk mereka yang punya luka karena tak pernah dianggap,
mereka yang salah dinilai,
mereka yang disalahpahami,
mereka yang menahan dalam diam,
mereka yang mengendalikan amarah,
mereka yang jatuh cinta pada satu orang,
mereka yang selalu melindungi yang dicintai,
mereka yang tak bisa melepas,
mereka yang takut melukai,
mereka yang takut lebih jatuh cinta dari sekadar teman,
mereka yang ingin meraih,
mereka yang bertahan,
mereka yang berjuang sendiri,
mereka yang selalu punya rindu,
mereka yang selalu suka hujan,
mereka yang benci hujan,
mereka yang selalu suka senja,
mereka yang benci senja,
mereka yang selalu suka puisi,
mereka yang benci puisi,
mereka yang tak bisa mengakui,
mereka yang saling mencari,
mereka yang tidur sendiri,
mereka yang selalu berdoa,
mereka yang berteman dengan Tuhan,

Dan mereka yang selalu percaya bahwa Tuhan menyempurnai beberapa orang dengan kekurangan. Dan mengurangi beberapa yang lain dengan kesempurnaan.

Kalau kamu adalah bagian dari mereka, kemarilah, bertahan di sini, temaniku berkisah.

***

***

Sydney, November 2016

Tatjana (baca; Tatiana) menggantungkan tanda open di pintu kaca. Sedikit terlambat karena harusnya toko buku itu dibuka dua jam yang lalu. Sementara pajangan cake di etalase lain sudah ramai sejak lalu, persis tegak di sebelah toko buku milik Tian. Greta memang sangat ketat soal pembukaan toko cake miliknya. Meski dia hanya bersantai dan operasional toko dijalankan oleh karyawannya, tetapi ia tetap berkunjung ke sana setiap jam buka operasi. Selain untuk mengecek seluruh persiapan di toko, Greta juga bermaksud memastikan siapa pemenang kontes disiplin waktu antara dirinya dan Tian.

"Sekarang ini cukup misterius, kau belakangan tidak tepat waktu membuka toko. Pelangganku kehilangan selera makannya hanya karena aku memajang majalah bisnis bukannya buku-buku roman seperti punyamu. Kau tahu, Tian, pelangganku mengambil pesanan cake atau puding, lalu mereka kabur ke tempatmu. Just because, ... oh, I dunno, apa bedanya makan di kursiku dan milikmu, sih?" Greta berkacak pinggang mengikuti Tian ke balik meja.

"Kau tahu, Greta-," Tian menjeda. "Silakan masuk, Ben!" kepalanya melongok jauh ke arah pelanggan setianya yang baru saja membuat bel di atas pintu berdenting. "Kau sudah sarapan, Ben?" Tian bermaksud menyapa.

Ben menggelengkan kepala dua kali, cemberut lalu berlalu sambil berkata, "Bayu tidak membuatmu kesiangan lagi, kan?" kata remaja laki-laki berambut pirang itu. Keluarganya baru pindah dari Perth ke Sydney setahun ini, dan rupanya Ben cepat menemukan tempat di mana dia bisa menghabiskan sepanjang waktu alih-alih memperbanyak kenalan. Mungkin karena dia harus menenangkan diri dari tragedi perundungan saat masih di Perth. Ibunya kerja di salah satu kantor elit di CBD; central bussines district setelah pindah. Sedangkan ayahnya memegang posisi di perusahaan pengembangan perangkat lunak di Melbourne.

Ben dan Tian bertetangga. Mereka sama-sama tinggal di Pyrmont. Bahkan mereka hanya perlu berjalan kaki untuk sampai di toko buku. Sedikit menghibur mata, sepanjang langkah mereka disambut dengan hiruk pikuk kota yang tak sebising New York jika boleh dibandingkan, pilihan kuliner, dan bonus otomatis melewati Darling Harbour, bahkan Cockle Bay Wharf. Kau akan melihat kapal-kapal berbagai ukuran melintas di kedua perairan biru itu. Sesekali aroma laut menguak terbawa angin, tanpa asin yang mengganggu. Kilauan keping cahaya surya yang bertebaran di riak-riak gelombangnya setiap pagi. Jika kau melewati jembatan Pyrmont itu bahkan ide yang lebih bagus lagi untuk menyaksikan kilau-kilaunya. Itu pilihan yang tak akan pernah membuatmu menyesal.

Pipi Tian memanas untuk dugaan yang Ben lontarkan. Bukan karena kalimatnya itu benar, tapi sejak kapan Ben memperhatikan hal detil antara Tian dan Bayu? Lagipula semalam dia hanya mengobrol di telepon sampai pukul dua pagi. Oh! jelas itu 'misterius' untuk ukuran dirinya yang tak suka begadang. Pukul dua pagi!

"Semalam aku demam, Ben." Jika demam berarti segala situasi di mana suhu tubuh meninggi, dengan kata lain, telinga merah dan termal di atas rata-rata akibat perhatian Bayu yang melampaui kadar manis, boleh dikata semalam Tian demam. Isn't it? Esok adalah hari ulang tahunnya. Dan semalam dua burung cinta itu baru saja membuat wishlist yang berisi apa saja yang Tian ingin lakukan di hari spesialnya.

"Kau tidak demam, Tian," Ben berbalik, tidak setuju dengan jawaban orang yang lebih dewasa darinya itu. Lalu ia berjalan kembali memasuki ruangan berisi rak-rak buku terbaru.

"Adikmu benar," Greta berkata setelah dirinya diabaikan. Bukan, Ben sama sekali bukan adik Tian. Setidaknya Tian mengingat cukup baik bahwa tidak mungkin setelah dia bangun dari koma panjang hampir satu tahun yang lalu, dan ingatannya yang belum kembali sekian banyak persen, sementara dia mustahil melupakan anggota keluarganya. Ben hanya remaja yang sedikit bermasalah dengan sosial dan nyaman sekali menghabiskan sepanjang waktu di toko buku. Lagipula tidak ada potretnya di album foto keluarga. Jadi menurut Tian, Ben bukanlah adiknya. Dia ingat itu.

"Kau harusnya lebih sering membuatku ingat, bukannya mengacak-acak lemari ingatanku, Greta."

"Aku tidak bermaksud melakukannya, tapi kurasa memang ada yang salah dengan jadwal bangun pagimu. Apa aku harus mulai curiga juga seperti Ben?"

"Curiga apa?"

"Bayu membuatmu kurang tidur?"

Tian bersidekap, "Kalau iya? Dia pacarku, tentu kami bebas melakukannya."

"Yes," Greta mengangguk, "Dan kemudian kau melupakan pelangganmu."

"Harusnya kau senang karena menang tepat waktu akhir-akhir ini."

Greta mengerjap mengibaskan tangan, "Hari ini aku terlambat lima belas menit. Kalau kau tepat seperti biasanya kurasa kedudukan akan tetap. Kemenangan mutlak saat kau telat dua jam! Itu tidak lucu."

Bola matanya yang jernih menatap Greta, "Esok hari ulang tahunku yang pertama kali sejak kejadian itu, kau tahu. Bayu ingin melakukan sesuatu yang spesial."

"Jadi, putra duta besar itu akan menjadikanmu ratu sehari?"

Tian menjinjit alis. Rasanya senang sekali kalau ada orang yang bisa mengerti tanpa harus repot-repot menjelaskan. Lalu dia mulai bersemangat untuk menceritakan. Digamitnya tangan Greta untuk duduk di kursi kecil, sambil sesekali menyambut pelanggan yang masuk, dan tengok kanan-kiri barang kali ada yang ingin menguping.

"Mula-mula kami akan sarapan di kafe yang menghadap langsung ke Pantai Cooge. Setelah semuanya mengendap di perut, dia berjanji akan membawaku ke tepiannya, menendang arus, membuat jejak di pasir. Kami akan menonton ombak! Mungkin aku harus memakai sesuatu yang sedikit bernuansa Hawaii. Sebelum melakukan yang lebih keren lagi, aku harus mengantar Bayu bermain Rugby. Setelah itu-."

"Dan setelah itu kalian akan bermain Frisbee atau bumerang," cegat Greta memutar bola matanya. Dia juga dengan cepat menopang dagu.

"Tentu tidak!"

"Kupikir kau akan jadi anjingnya dan Bayu akan jadi pelempar. Saat dia berteriak, catch! Kau akan menjawab guk guk guk. Dan dia akan menggosok punggungmu, yeah, good girl."

"Level pacaranku tak seremeh itu."

"Lalu apa? dia akan membawamu menonton sesuatu di Opera House? Menyusun rencana makan malam mewah di kapal feri? Membuat langit berwarna dengan kembang api?"

"Absolutely, yesssss!"

"Cliché," Greta mencibir.

"Yang kau sebutkan itu hanya rencana untuk pemanasan. Intinya kau tak akan bisa menebak apa selanjutnya."

"Maksudmu masih ada menu utama?"

Tian menatap langit-langit, menahan senyum kemudian melirik Greta yang agaknya mulai kesal. Tian mencondongkan tubuhnya lebih dekat, lalu berbisik, "Akan ada pertemuan khusus antara keluarga kami. Makan malam, lilin menyala, ramah tamah, hidangan khas Indonesia." Tian menarik diri untuk melihat ekspresi Greta yang melongo terkesiap. Lalu membungkuk kembali, "Beberapa orang dari KBRI juga akan datang, dan ... kurasa kau bisa menebaknya."

"Oh, jangan bilang kalau kau-."

"Yesss."

"Bayu akan melamarmu?"

"Dia sudah mempersiapkan semuanya, di hari ulang tahunku."

"Kenapa ini tidak dia jadikan semacam kejutan buatmu?"

"Tadinya dia ingin membuat kejutan, tapi," Tian mengigit bibir, lalu meringis.

"Ah," Greta mengangguk-angguk, "aku tahu kau pasti mengacaukan rencana pria keren itu."

"Aku tidak sengaja mendengarnya sedang menelepon Ibuku. Dia kesal sih awalnya, tapi Bayu tidak bisa marah padaku lebih lama lagi. Aku cukup mencium pipinya, selesai, tak ada kejutan, tapi semuanya tetap istimewa buatku."

Greta mendesah, "Aku heran apa perempuan ini benar-benar masih amnesia. Jadi apa aku juga akan berada di antara kalian?"

"Sure, 8 pm. Aku berniat memberitahumu hari ini. Kau perlu memakai pakaian terbaikmu, parfum tersedapmu, dan mungkin sedikit berdandan. Bayu punya sepupu yang bisa kau lirik."

"Laki-laki dari negara asalnya selalu sangat seksi di mataku, oriental, legit! Katakan kalau sepupunya juga berpendidikan."

"Kalau tidak salah, kudengar dia baru pulang dari Turki."

"Turki?" Greta beringsut membetulkan posisi duduk, "Tunggu, itu berarti dia muslim seperti Bayu?"

"Kurasa."

Greta termenung sesaat, "Apa kau juga akan pindah agama kalau kalian menikah?"

Tian menggeleng sambil tangannya menghalau, "entah."

"Lalu kalau pada akhirnya kau harus memeluk Islam?"

Tian menatap lekat, "Tidak ada agama yang buruk, Greta. Aku tidak lantas menjadi monster hanya dengan berpindah agama."

Sekali lagi terdengar suara dentingan dari pintu. Namun kali ini sosok laki-laki berpostur tinggi dengan setelan semi formal berjalan masuk. Ketukan pantofelnya juga menghentak di dada Tian. Pemilik nama yang bermakna angin itu menebar aroma pinus yang kuat, gentle, bibirnya melengkung cerah. Greta fokus pada rahang kokoh laki-laki itu, atau gelombang kecil di bagian depan rambutnya, atau pesonanya, atau urat-urat yang timbul di kepal tangannya, atau sedikit halusinasi karena Greta juga ingin yang seperti dia. Tapi di mata Tatjana, dia terserap pada pusaran sejuk yang dia bayangkan sebentar lagi akan didapatkan.

Bayu melangkah sampai dekat, "Good morning, love," suara berat itu dibawa saat dia membungkuk untuk sebuah kecupan di kening Tian. Nah, ini dia pusaran itu. "Hai, Greta," dia juga melambaikan tangan.

"Kalian serasi sekali," kata Greta, "Jadi, akhirnya kau gagal membuat kejutan?"

"Mungkin karena Tian terlalu mudah membaca isi hatiku," Bayu memegangi kedua pundak Tian. "Lagi pula, dengan atau tanpa kejutan, dia tetap pantas mendapat semuanya."

"Kau sudah sarapan?" Tian berusaha menyembunyikan getaran suaranya. Punggungnya mulai terasa hangat.

"Aku menundanya untuk-, bukannya kau sudah berjanji akan sarapan denganku?"

"Aku kira kau lupa," Tian terkekeh.

Greta mendengus, "Rasanya aku tidak kuat lagi berlama-lama di depan kalian. Itu menyakiti mataku. Kecuali kalau benar kata Tian, kau punya sepupu yang bisa kulirik."

Bayu tergelak, "Dia dua kali lipat lebih keren dariku."

Greta dan Tian saling tatap, "Siapa tahu?" Tian sedikit memprovokasi. "Asalkan kau tidak terlalu memberi penyerangan. Seperti kejadian waktu kau bertemu Kyle, dia ketakutan melihatmu yang terlalu bersemangat."

Tawanya meledak "Tian! Itu karena dia sama sekali bukan seleraku makanya sengaja kubuat dia terbirit-birit." dia menyeka air matanya yang terbawa keluar saat tertawa. "Bagaimana kalau sekarang kutraktir kalian sesuatu yang enak?"

"Tapi kita-,"

"Bayu, aku tahu yang akan kau katakan. Sudah, anggap saja ini sedikit penyemangat dariku untuk kalian yang akan mempersiapkan sesuatu yang memorable."

Bayu melempar tatapan pada Tian. Menunggu jawaban dari perempuan kesayangannya. "Satu cup puding saja?" jawab Tian.

"Baiklah."

Greta keluar terlebih dahulu. Sementara di ruangan itu masih ada debaran-debaran yang nyaman di dada mereka. Pernah tidak? ketika di malam hari kau asik sekali mengobrol dengan seseorang lewat telepon. Atau berkirim pesan teks dengan tanpa batasan. Dan ketika siangnya bertemu semua kebebasan itu hilang, jantungmu seolah ingin melompat dari ayunannya, karena sosok di depanmu begitu terlihat 'sempurna', meski kenyataannya kalau matamu tidak dibutakan oleh cinta, sebenarnya dia-dia-dia itu biasa saja. Sebab cinta itu meninggikan, bukan merendahkan.

Suhu dada laki-laki akan meninggi ketika sedang jatuh cinta. Itu sebabnya ketika seorang perempuan memeluknya, ia akan merasakan kehangatan yang susah dilupa. Seperti merasa aman. Begitu pun yang dirasakan Bayu, dia ingin melindungi, berada di sana untuk waktu yang lama. Dia akan dengan sabar memintal untaian memori yang terpecah di kepala Tian.

"Entah karena kamu sedang memakai make up, atau memang kamu yang semakin cantik dari sebelum-sebelumnya."

"Aku nggak pakai make up, Bay."

"Kalau gitu berarti kamu memang semakin cantik tiap harinya."

Tian berdecap menepuk perut Bayu. Kebahagiaan mereka adalah ketika bisa berbicara menggunakan bahasa ibu, dan itu hanya bisa mereka lakukan ketika tidak ada orang yang mengerti bahasa Indonesia di sekitarnya. Greta penduduk asli sini. Tatjana sekeluarga menetap di Sydney sejak dia balita, tanah kelahirannya tetap Indonesia, tepatnya Malang. Sementara Bayu, dia wara-wiri untuk periode yang lama dari Yogyakarta ke Sydney. Ayahnya duta besar Indonesia untuk Australia yang sibuk di KBRI. Sekarang Bayu juga bekerja di sana setelah menyelesaikan pendidikannya di Canbera.

"Lebih baik kita sarapan sekarang," Tian memberi anggukan untuk ide itu.

Sebelum keluar Tian menitip tokonya pada Ben. Yep, itu mungkin fungsinya berada di toko ini. Tian juga mulai mempertimbangkan soal permintaan Ben untuk bekerja di sana, bukan karena dia membutuhkan uang tambah, tapi buku sudah menjadi dunianya yang lebih nyaman. Ben dan masalah introvernya.

Bayu berjalan di depan sementara Tian tepat di belakang. Mereka bergandeng tangan saat melewati pintu. Dan seketika sesuatu yang aneh terjadi. Ketika angin berembus menerpa wajahnya, Tian menghentikan langkah. Sebuah kilasan memori yang lebih kuat dari de javu melintas di dalam kepala. Dia menatap tangan yang sedang berpegang itu. Yang seperti ini seolah pernah terjadi entah itu kapan. Hidungnya seakan mengendus satu aroma yang tertinggal di memori. Aroma parfum yang tampaknya tidak begitu asing, tapi sedetik kemudian menjadi sangat asing. Seperti rasa apel atau apa. Kilasan yang begitu cepat dan tabu membuat kepalanya pening.

"Kamu nggak apa-apa?"

"Kepalaku sakit," jawabnya sambil memegangi kepala. Matanya memejam berusaha mengais sesuatu tentang kilasan itu.

Bayu menyingkirkan beberapa juntai rambut yang mengganggu di wajah Tian. "Saya semalam sudah bilang, lebih baik kamu nggak buka toko dulu," katanya lembut. "Kalau mau nanti saya antar pulang, ya? Saya temani di sana. Sekiranya sudah baikan nanti bisa kita lanjutkan pergi. Saya lagi libur kok."

"Kayaknya nggak apa-apa. Ini cuma kilasan aja, mungkin aku sama kamu sudah sering bergandengan tangan seperti ini sebelum tragedi. Makanya yang aku ingat tadi sesuatu tentang itu."

"Kamu selalu meminta saya menggandeng tangan setiap kali kita bejalan bersama."

"Nah, aku rasa itu penyebabnya."

Kala itu sejak Tian terbangun dari koma selama dua minggu. Saat matanya terbuka dan melihat langit-langit rumah sakit yang bercat putih. Tubuhnya terlalu rapuh untuk bergerak. Seorang dokter mendekat langsung menyinari matanya untuk memeriksa.

"Kedipkan matamu kalau kau mendengar suaraku," kata sang dokter waktu itu. Tian tidak mengerti, tapi rasanya dia memang perlu mengikuti perintahnya. "Bagus, seperti itu. Sekarang bisa kau gerakkan tangan kananmu?" Tian melakukannya dengan baik.

Tak lama kemudian ibunya masuk ke ruangan, dia menangis dan memeluk Tian. "Akhirnya kamu bangun, sayang. Mama khawatir sekali." Tetapi keheranan justru menghampiri Tian. Dia merasa bahwa ibunya terlihat lebih tua. Lalu setelah lebih banyak lagi orang yang masuk, dia semakin merasakan suatu keanehan. Kakaknya sedang menggendong bayi dan seseorang di sampingnya itu ternyata adalah suami kakaknya. Kapan mereka menikah? Bahkan mereka terlihat sangat dewasa wajahnya.

Lagi, uban di kepala ayahnya sudah bermunculan. Robi adiknya bahkan sudah terlihat remaja. Cukup lama dia menyimpan keanehan itu, dan dia terpaksa harus mengatakan pada orang tuanya bahwa ada suatu keganjilan setelah Tian masuk kamarnya sendiri dan dekorasi interiornya tampak berbeda total. Yang lebih mengejutkan, kalender digital di nakasnya menunjukkan bahwa hari itu tanggal 13 Januari 2016. Sedangkan dalam kepalanya, yang Tian ingat seharusnya tanggal ... entah, yang jelas wisudanya di Melbourne terasa baru kemarin, dan itu tahun 2013.

Berangkat dari sanalah akhirnya Tian difonis mengalami amnesia parsial. Sebelumnya dokter harus melakukan perbaikan sumsum tulang belakang akibat kecelakaan parah yang bahkan tidak terekam dalam ingatan Tian. Dan memang ada hipotesa kalau itu akan berimbas pada masalah ingatan. Namun Tian tidak berani mengatakan apa-apa sampai dia sendiri yang mulai menyadarinya dengan jelas bahwa mungkinkah memori tiga tahunnya lenyap begitu saja? Apakah ingatannya setelah dia wisuda hilang sia-sia?

Beruntung semua orang di sekitarnya membantu Tian mengurai satu per satu hal penting selama tiga tahun itu. Seperti tentang toko buku, rencana melanjutkan studi, orang-orang baru yang dia kenal selama itu, dan banyak hal.

Di sinilah peran besar Bayu. Selama yang Tian ingat, hubungannya dengan Bayu setelah wisuda sedang diujung masalah karena polemik restu keluarga Bayu, tapi jika sekarang yang dia lihat justru sebaliknya, itu lebih baik bukan? Sekarang mereka sangat menerima Tian dengan baik. Ia mendapat keramah-tamahan keluarga yang berharga. Bagi Tian, Bayu sudah berjasa besar telah mengurai ingatannya. Dia orang yang Tian butuhkan untuk selalu ada. Dan jika saat ini Bayu ingin merencanakan pertunangan untuknya, bukankah itu keren?

Sesuatu terjadi lagi saat Tian melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 11.45 am. Kilasan tentang suara tawa seseorang melintas begitu saja di dalam kepala. Itu seperti suara Bayu. Lantas bibirnya tersenyum, mungkin kilasan-kilasan itu menandakan bahwa otaknya lekas pulih.

Bayu melakukan hal yang sama ketika dia merasa sedang ditatap, "Kenapa kamu menatap saya sambil senyum-senyum begitu?"

Tian menggerakkan jarinya untuk menyeka noda di ujung bibir Bayu. "Ceromot," katanya sambil tersipu.

"Kalau kalian sudah berbicara memakai bahasa Indonesia, aku hanya bisa berasumsi kalau yang sedang kalian bicarakan adalah kalimat-kalimat yang manis," Greta berseru dari sisi ruangan yang lain.

"Kau dengar, honey? Perlakuanmu membuat Greta iri," kata Bayu.

"Bukan iri, tapi kalian menyiksa mataku," jawab Greta terbahak.

"Udahlah, Bay. Nggak usah diurusi. Greta nggak akan mengerti apa yang sedang kita omongin," setelah berkata begitu kilasan baru kembali muncul. Kali ini tayangan sebuah senyum terlihat cukup jelas, ada rumpun jenggot tipis di dagu senyum itu. Tapi ... bukankah Bayu tidak memiliki jenggot?

***

Hi! Pertama-tama kalian bisa masukkan cerita ini ke perpustakaan 📚 supaya bisa mendapat notifikasi bab baru. 👍

Saya mau tahu apa tanggapanmu pada chapter pertama ini? Silakan berkomentar sesukamu. ☺ Jangan lupa kasih bintang ya 😁 Hihihi, biar saya semangat dan kalian berpahala bikin saya senang.

Yang jelas ini seperti halnya Autumn Farewell. Cerita ini bergenre religi yang dikemas dengan begitu kasual dan rasa yang berbeda, yaitu penggunaan banyak bahasa baku. Tapi kalian bisa percayakan pada saya, Sydney Retrouvailles akan menyuguhkan sisi manis dari mencintai seseorang dan bagaimana kita harus memupuk sabar menanti seseorang yang tepat menghampiri kita. Islam begitu indah kalau bisa kita nikmati dari sudut pandang istimewa yang baru.

Cerita ini juga mengangkat tema tentang amnesia. Tentu ini versi fiksi, jadi semua gejala dan deskripsi dalam cerita ini digubah versi penulisnya guna memperkuat alur. Ini sah-sah saja kok ✊ Oh iya, cerita ini akan update setiap:

PLAYLIST:

Trisouls - Isyarat
Camila Cabelo - Consequences
Rusa Militan - Senandung Senja
Some 90's Songs
Winda Viska - Sempurnalah Hidupku
Ed Sheeran - Dive
Ed Sheeran - Perfect
The Greatest Showman . Full Album
Sleeping At Least . Space Album
ThePianoGuy . Youtube Chanel

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top