✉ ENAM: Tinta Merah Jambu
***
***
Sydney, 2012
Sore di Sydney selalu tampak menenangkan, angin lautnya mengembara sampai ke jendela ruang galeri yang terbuka saat sebuah notifikasi pesan masuk dari Tian.
Tian: Seniman, aku masih di Sydney. Tepatnya tersisa tiga hari lagi sebelum kembali ke Melbourne.
Keanu menatap tanda (...) di layar ponselnya yang menandakan Tian masih mengetik. Lalu ia mengambil lap untuk membersihkan noda cat di tangannya tidak sampai bersih. Dan muncul sebuah pesan baru.
Tian: Ya, kalau aku tidak mengganggu.
Bibir Keanu tertarik sampai melebar.
Keanu: Sudah makan?
Tian: Umm.
Keanu tidak langsung menyusun kalimat balasan karena tanda (...) masih muncul.
Tian: Kamu di mana?
Tidak ada pertanda Tian sedang mengetik, Keanu lantas membalas.
Keanu: Sedang sibuk dengan sesuatu di galeri. Tapi sepertinya tidak masalah kalau diganggu sebentar oleh seseorang.
Keanu: Lebih-lebih dia membawa makanan.
Tambah Keanu.
Ternyata tanda (...) muncul begitu cepat. Seolah lawan bicara di kejauhan sana sedang fokus di layar ponselnya tanpa sungkan.
Tian: Aku punya sesuatu yang bisa dimakan. Bagaimana kalau kamu periksa pesediaan soda di kulkasmu?
Keanu: Aku baru mengisinya semalam.
Tian: Bagus.
Waktu melipat begitu cepat. Pintu galeri yang terbuka diketuk setelah belasan menit sesi perpesanan itu terhenti. Tian masuk setelah Kean menoleh ke arah pintu.
"Ini bukan seperti aku sedang perhatian padamu, ya. Tapi ada banyak makanan di rumah yang bisa dibagi-bagikan ke siapa saja," apa perlu mengatakan itu untuk menganulir sesuatu yang kian terasa? Kenapa perempuan selalu begitu?
Tian menaruh kotak makanan berukuran besar di atas meja. Sementara itu Keanu sudah kembali tenggelam pada detil gedung yang coba ia gurat dengan kuas.
"Oke, istirahatlah dulu. Kamu sedang punya tamu," kata Tian berkacak pinggang.
"Selesai," Kean melepaskan napas tertahannya saat fokus itu. Meletakkan kuas dan palet cat di meja kecil. Memandang lukisan itu dari sudut yang berbeda. Kemudian menghampiri Tian. "Kali ini apa yang kamu bawa?" mengingat ini sudah kesekian kalinya Tian beralasan datang ke galeri dengan membawa sesuatu yang bisa dimakan.
Yeah. Pertemanan yang aneh. Mereka sering menyempatkan waktu berdua. Tidak pernah membicarakan apa yang dirasakan masing-masing. Tapi, untuk ukuran orang dewasa seperti mereka, kadang jatuh cinta sudah terlalu nikmat tanpa perlu saling mengakui. Jelasnya, mereka lebih berani bersikap alih-laih mengatakan aku ini - aku itu. Kalau begitu, sudah tidak ada kata pertemanan lagi. Lalu kapan mereka akan mengakhiri sandiwara hatinya? Pfft, sandiwara hati.
"Brownis."
"Ada yang ulang tahun lagi?"
"Tidak. Kan aku sudah bilang, ada banyak di rumah."
"Oke," Kean mengangguk-angguk. "aku yang potong, atau kamu?"
"Tanganmu kotor. Bersihkan dulu."
"Tidak bisa. Aku akan menyentuh kuas itu lagi."
"Bukannya tadi kamu bilang sudah selesai?"
"Yeah. Maksudku masih ada tahap finishing."
Tian mengerjap. Tanpa banyak bicara lalu mengarsir brownis utuh itu menjadi beberapa pancir. Lalu memindahkan dua pancir brownis berbentuk segitiga padat isi ke piring plastik. Tian juga membawa sendok kecil. Itu susah disangkal kalau dia sudah paham bahwa di galeri tidak ada peralatan makan dan Kean juga tidak mungkin harus mengambilnya sendiri. Sedangkan Kean tidak melakukan apa-apa, atau jika memandang jari-jari lentik yang sedang menyiapkan sepancir brownis untuknya disebut melakukan sesuatu, ya, dia melakukan sesuatu.
"Eumm, enak sekali. Teksturnya sangat lembut. Dan lelehan cokelatnya seperti meniadakan rasa lain di mulutku," decak Tian saat menyuap satu sendok pertama, kedua, sampai ketiga. Sementara Kean masih tak menyentuh brownisnya. Itu artinya dia ketinggalan tiga suap kenikmatan. "Kamu harus nyobain deh."
Kean mengangkat pinggulnya untuk duduk di meja. "Tanganku kotor."
"Itulah fungsinya sendok."
"Dan aku juga masih bisa memotong dengan pisau plastik itu kalau kamu tidak menyebut tanganku kotor tadi."
"Ini bukan seperti kamu sedang ingin mendapat suapan dariku, kan?"
"Aku tidak bilang begitu. Tapi kurasa itu fungsinya kamu datang ke sini."
"Untuk apa?"
"Suapi aku."
"Ha?"
"Jangan seolah sedang keberatan begitu."
Seperti usus-ususnya tertarik. Tian merasa ada yang cara memandangnya agak berbeda, khususnya detik itu. Bukan, tapi beberapa hari ini semuanya terasa berbeda. Sendok yang dipegangnya seolah akan membuat lengannya kram.
"Dan jangan seolah aku akan mau karena kamu bilang begitu," sedikit ketus. "Jangan kayak anak kecil."
Kean terkekeh saat memutuskan untuk mengambil bagiannya.
"Cewek selalu begitu, ya?" ucap Kean tidak benar-benar bertanya saat sudah menikmati satu suapan.
"Begitu, gimana?"
"Rumit."
"Aku belum ngerti maksudmu rumit seperti apa."
"Sebenarnya bukan susah ditebak, tapi kadang perempuan nggak suka kalau ketebak terlalu cepat."
Tian menyeringai sambil menunjuk-nunjuk dengan sendok. "Itu teorimu?"
"Aku sudah sering melihat yang seperti ini."
"Artinya kamu sudah sering berurusan dengan cewek, dong?"
Kean mengangkat bahu. Mengunyah satu suap lagi lalu berkata, "menurutmu begitu? Apa kelihatannya aku ini orang yang sesering itu terlibat sama cewek?"
Tian berlagak sedang mengamati, "Yeah. Kamu cukup pantes sih. Mantan kamu pasti banyak banget ya?"
"Kamu nggak sopan bilang gitu ke orang yang lebih tua," Punggung Kean melengkung dengan tawa, "aku sudah mengencani semua cewek di kelasku waktu SMA."
"Nah."
Masih tertawa, "Ajaib banget sih kalau kamu langsung percaya."
"Kan aku bilang kamu pantes!"
"Aku belum pernah pacaran," terang Kean serius.
"Halah, nggak mungkin seumur hidup nggak pernah naksir orang."
"Jatuh cinta mungkin berkali-kali, tapi untuk memiliki seseorang aku belum sanggup kalau hanya mempertimbangkannya satu kali."
"Terus?" Tian bertanya tanpa mengalihkan wajah dari makanannya. Dia hanya merasa pembicaraan ini mulai terasa aneh. Bukan aneh, tapi ... sesuatu yang membuat suhu di sekitar terasa gerah.
"Apa? Ya aku menikmati hidup sebagaimana jiwa senimanku ingin membawa."
"Berkelana?"
"Tidak juga."
"Pergi ke suatu tempat baru, yang indah, dan nggak ada siapa-siapa lagi yang kenal? Sehingga kamu jadi merasa bebas mengekspresikan jiwamu kapan saja?"
Keanu menoleh, "kamu baca pikiranku, ya?"
"Ih, apaan! Cuma nebak aja. Kan biasanya orang spesies kamu itu suka jaga jarak dari banyak orang. Introver."
"Aku tidak cukup berani menyebut diriku introver. Tapi aku juga nggak yakin kalau aku ekstrover," ekspresinya santai. Pergerakan alisnya selalu menarik untuk diperhatikan.
"Ambiver?"
"Mungkin. Tapi sepertinya lebih condong ke tertutup."
"Tuh kan."
Kean menyeringai. Ia mengambil dua kaleng soda yang tadi disiapkan. Saat menyerahkan satu botol ke Tian dia bilang, "Memang ada masalah apa dengan laki-laki yang 'introver'?" jarinya membuat tanda kutip.
"Ya, kebanyakan mereka punya dunia sendiri di dalam kepala. Dan artis sepertimu sudah pasti punya dunia sendiri. Membuat batas setegas mungkin agar tidak dilalui orang lain."
"Begitu?"
Tian mengangguk. Mencongkel tutup kaleng dan meneguknya.
"Kamu pasti orang yang sangat terbuka," ucap Kean.
"Aku?"
Alis Kean terangkat.
"Aku cukup terbuka. Aku gampang menunjukkan ekspresi perasaanku ke siapa saja yang aku temui. Aku mudah akrab. Aku sering memulai percakapan dengan seseorang. Ya seperti ini."
"Termasuk melewati garis batas kehidupan seseorang?"
"Maksudmu?"
"Ya, aku pikir kamu sudah melewati garis batasku terlalu jauh."
Jantung Tian menjadi sedikit liar.
"Hanya dua minggu kita mulai akrab kamu bahkan sudah hampir tahu separuh cerita hidupku."
"Aku-."
"Itu memang keinginanmu menerobos garis hidupku? Atau karena, ya, barangkali cewek ekstrover tak segan untuk mendekati seseorang?"
"Bukan begitu juga."
"Hati-hati Tian," Keanu berjalan mendekat dan menggeser sebuah kursi tanpa sandaran untuk duduk tepat berhadapan dengan cewek itu. Kini lutut mereka bertautan. "kebanyakan cowok introver justru menyukai cewek ekstrover. Dan yang tipikal sepertimu, termasuk yang akan mudah disukai oleh banyak laki-laki tertutup, termasuk aku barangkali."
Mulut Tian terkunci. Perlahan Keanu mengambil piring di tangan Tian dan memindahkannya ke meja. Tian menggerutu dalam hati untuk jari-jarinya yang bahkan tak berdaya untuk mempererat pegangannya pada piring itu. Desiran-desiran yang selama ini terasa kian memanas.
"Mari kita perjelas," kata Kean. Laki-laki itu benar-benar menodong perasaan seorang perempuan dengan keberaniannya. Kean pikir Tian sudah terlalu berani mengitari hidupnya, berjarak terlalu dekat dengan beranda hati, melampaui jarak terlalu jauh. Dan jangan dikira Kean akan diam saja.
"Kamu mau ngapain sih." Gawat, suaranya mulai serak.
Dengan beraninya Kean hanya tersenyum. Pikirnya menghadapi perempuan yang lebih muda darinya tak akan begitu merepotkan.
"Kapan terakhir kamu menangis karena seseorang melukai perasaanmu?" tanpa disangka Kean menanyakan itu.
"Maksudmu?" jantung yang tadinya meladu, kini melambat seketika.
"Aku yakin kamu sudah tahu arah pembicaraan ini ke mana. Tapi, aku juga perlu tahu beberapa hal."
Tian memutar bola mata hanya untuk memanipulasi gugup. Dia sedikit merutuk karena pada akhirnya terjebak pada situasi yang dibuatnya sendiri. Kenapa? Kenapa rasa ingin membuat pertemuan dengan Kean selalu ada? Lalu ketika dia merasa terjebak begini siapa yang salah?
"Sebenarnya aku pernah melihat kamu bertengkar dengan seseorang di parkiran eksibisi."
Tian membisu.
"Jika dia orang yang penting buatmu. Intensitas pertemuan yang terlalu sering seperti ini akan melukainya dan menjatuhkanku."
Tian masih tidak tahu harus mengatakan apapun. Oke, mungkin saat itu Bayu keterlaluan melahap marahnya di lahan parkir. Tapi yang tidak Tian tahu hanya, ternyata, ada lebih banyak orang yang menyaksikannya, termasuk Kean.
"Kenapa kamu perlu tahu?"
"Hanya ingin memastikan aku tidak sedang akan merebut perempuan milik orang lain. Karena diam-diam aku sedang menyukaimu. Ingin melahapmu. Tapi aku belum berencana mengakuinya," Keanu sengaja mengatakan dengan cara seperti ini. Seperti akibatnya, tak ada kesempatan bagi Tian untuk tidak terbunuh oleh debar jantungnya. Jika harus dikiaskan seperti itu. "Ya, aku belum berencana mengakuinya. Aku ingin memastikan, tidak ada orang yang akan kulangkahi."
"Dia cuma Bayu."
"Dan siapa Bayu bagimu?"
"Seseorang."
"Yang?"
"Dia pernah menjadi pacarku."
"Aku suka caramu menyebut kata 'pernah'."
Tian meletakkan kaleng soda, lalu menyilangkan tangan di dada, "Waw, aku tidak tahu seorang kamu bisa selancang ini, ya."
Kean tergelitik oleh jawaban itu, "agaknya aku bisa melihat kamu menikmati kelancanganku ini."
"Pede banget, sih," Tian memukul dada Kean. Seandainya kalian melihatnya, itu bukanlah sebuah pukulan yang keras.
"Kenapa kalian harus berakhir?"
"Jadi sekarang kamu ingin melewati batasku, nih?"
"Aku memang ingin melewatinya sedari lama. Semua batasmu, Tian."
Napasnya terhela, "sesuatu seperti sudah tidak cocok dan semacamnya."
"Aku pernah mendengar sesuatu yang seperti itu, tentang tidak cocok. Lalu untuk apa kalian bersama sementara ada sandungan yang tidak bisa diteruskan?"
"Manusia berubah, Kean. Egonya seperti ombak, pasang dan surut."
"Oh," kepalanya mengangguk, "bagaimana kalau aku bisa mengatasi ombak milikmu?"
"Ini bukan soal aku, karena kecuali Bayu aku bisa mengatasi ombak orang lain."
"Tahu nggak, entah kenapa aku menyukaimu."
Tian terdiam.
"Udara di sekelilingmu terasa sesuai. Paru-paruku memintaku untuk terus di sekitarmu. Jantungku juga. Mataku juga. Akalku juga. Bibirku juga ingin, tapi aku berhasil memintanya untuk diam."
"Apaan siiih."
Kean menyeringai, "Serius."
"Terus?"
"Kamu kayak nggak pernah ditembak cowok aja deh," pura-pura menyerah.
Tian tertawa sedikit, "ya terus apa? Kamunya juga nggak nembak apa-apa."
"Nembak yang kayak gimana?"
"Ya biasanya kan cowoknya bilang, kamu mau nggak jadi pacar aku."
"Mau! Aku mau jadi pacar kamu."
"Maksudnya kamu yang bilang."
Kean terkekeh, "Kalau aku yang bilang, apa jawabanmu?"
"Kamu beneran nggak punya pengalaman soal ginian, ya?"
"Aku cukup berpengalaman tanpa pengalaman."
"Ha?"
"Aku membaca buku dan menonton film. Perasaan semacam ini mengalir di nadi setiap orang. Tanpa perlu melatih. Jadi, bagaimana?"
Demi waktu yang menurut mereka berdua sedang terhenti, detak-detak itu kian hidup. Sebagaimanapun Tian mengelak, nyatanya seolah apa yang sedang Kean lakukan padanya adalah apa yang dia tunggu selama ini. Hanya saja, apakah jawabannya akan semudah itu?
"Apa yang akan terjadi kalau aku menolakmu?"
Kean melepaskan tatapan lebih dalam lagi, "Tidak masalah. Aku bukan orang yang akan memaksamu melakukan sesuatu. Hanya saja, kalau itu terjadi, aku lebih memilih untuk tidak bertemu denganmu di kesempatan berikutnya."
Tian mengerang dalam hati, "Kamu tidak ingin memperjuangkannya?"
"Memperjuangkan perasaanku sendiri?"
"Seperti di buku atau film yang pernah kamu baca."
"Oh, tidak. Aku tidak menyukai bacaan yang berisi drama. Kadang penulis-penulis itu hanya menyuguhkan hiburan, dan aku lebih senang membaca fiksi yang berisi tentang realita dan kebenaran."
"Bukan romansa?"
"Kamu cuma belum nemuin penulis yang begitu. Aku punya rekomendasi, mau?"
"Tunggu, kenapa kita jadi membahas buku."
Kean memutar bola mata, "Kamu yang memulai."
Mereka berdua terkekeh. Beberapa saat kemudian, kecanggungan terasa. Setidaknya penulis cukup tahu apa yang dirasakan Kean. Yeah, mengakui perasaan adalah salah satu dari kepingan episode dalam kehidupan yang tak akan terlupakan bagi laki-laki. Mungkin kau bisa membayangkannya sebentar, duduk berdua dengan seseorang yang kau sukai lalu berkata terang-terangan, 'Aku mencintaimu. Maukah kau...' jika pun itu terdengar mudah. Kadang orang-orang hanya tak tahu gejolak sebesar apa yang sedang terjadi di dalam dada.
Kean memegangi jemari gadis itu. Membuat gerakan mengayun pelan. Berharap perasaan itu bisa tersalurkan. Mereka hanya terdiam. Dan benar-benar sadar dengan situasi sekarang.
"Aku serius. Bagaimana kalau aku bisa menghadapi ombakmu?" kata Kean.
"Tahu nggak? Kita belum lama akrab seperti ini."
"Aku tahu, tapi menyangkal perasaan terlalu lama hanya akan membuatku gila," jawabnya pelan, "kamu tahu kenapa seandainya kamu menolak dan aku tidak ingin menemuimu lagi?"
Tian menggeleng.
"Aku takut jadi bosan. Dalam perhitungan seperti ini, aku-," sontak dia terhenti saat kedua tangan Tian memegangi pipi Keanu secara tak terduga.
Laki-laki itu terdiam. Berusaha sekuat apa mengendalikan dirinya sendiri untuk tidak memberi serangan. Wajah Tian mendekat sampai bibir lembutnya menyentuh kelopak mata Keanu. Embusan napas dari hidung Tian menggerakkan alis hitamnya. Begitu dekat. Sepi. Tak ada siapapun. Hanya bingkai-bingkai lukisan yang bersaksi dalam bisunya.
"Aku mau," bisik Tian di sisi telinga. "Aku cuma ingin kita bermain-main sebentar."
Bibir Keanu menyungging sambil menyadari sentuhan ajaib yang baru saja dia rasakan.
"Jangan lagi-lagi bermain dengan perasaan. Mungkin menyenangkan, tapi akan menyiksa kalau kamu tidak tahu bagaimana cara menghentikannya."
Mereka berdua tersenyum dengan suara.
"Hey," ucap Keanu.
Tian mengangkat alis. Pita suaranya bisa dipastikan sedang tidak berfungsi dengan normal untuk diajak bicara.
"Kenapa kamu tidak melakukan hal yang seperti tadi saja?"
Tian masih sulit bersuara.
"Your touch is heaven sent."
Meski itu terdengar selumer brownis tadi, akan tetapi Tian berusaha tak semudah itu untuk bersambut. Walaupun kau juga tahu, ini tentang mereka yang saling menyukai.
Hari-hari setelahnya, tinta merah jambu seperti tumpah di mana-mana. Memagut tiap senti rasa sayang. Tian datang hampir tiap sore selama sisa harinya sebelum berangkat ke Melbourne datang ke galeri. Dan sore menjadi satu-satunya waktu di mana mereka bisa bertemu.
Kadang kecocokan bukan karena dua orang memiliki kesamaan dalam menyukai satu hal. Tetapi membenci hal yang sama juga membuat dua orang bisa merasakan kesesuaian yang menyenangkan.
"Kenapa kamu nggak suka hujan?" Tian bertanya di sore terakhir sebelum keesokan harinya dia berangkat. Ombak-ombak kecil berduyun menepuk-nepuk pinggiran pembatas laut. Dia memegangi es krim berwarna merah jambu. Sementara Kean yang berkaus tipis sedang berusaha menaikkan pantatnya pada dudukan pembatas laut itu.
Wajah yang bersorot sinar jingga itu menjawab, "Hujan itu klise. Hanya untuk orang murung yang tak tahu cara bersedih."
"Ha?" Tian menyibak rambut yang tertiup angin. "Padahal biasanya orang-orang sepertimu akan menyukai hujan, senja, atau semacamnya. Ya yang sering ada di buku-buku puisi."
"Sudah kubilang, aku bukan orang-orang itu, Tian. Setiap individu punya bahasa sentimennya sendiri. Aku tidak menyukai hujan atau senja, dan bukan berarti hidupku tanpa kelembutan sentimentil. Aku punya momenku sendiri. Lagian untuk apa kamu memusingkan ketidaksukaanku pada dua hal itu, yang penting aku menyukaimu, itu pun punya sentimen tersendiri."
Tian menyodorkan cone es krimnya sampai Keanu mengambil satu gigitan. Ada sedikit lumeran di bibir Kean yang membuat Tian tanpa canggung mengelapnya dengan telunjuk. "Yeah, aku juga lebih suka hari di mana matahari bersinar cerah dan angin dari samudera menghuyung ke arah daratan."
"Nah, seperti itu."
"Yep."
"Tahu nggak? Aku cukup pandai membuat puisi-puisi."
"Nggak tahu."
"Mau dengar?"
"Kalau aku dengar, apa puisimu bisa membuatku banyak merindu?"
Kean berlagak sedang berpikir, "Mmmmmm."
"Iih."
Tawa laki-laki itu merebak.
"Jadi, pacarku mau berangkat besok nih?" dia memeluk Tian dari belakang. Keduanya menatap laut yang keemasan menjelang petang.
Yang masih sibuk melahap es krim menjawab. "Aku nggak bisa janji bakal sering pulang. Waktu bebasku tiga minggu dari sekarang. Kamu yang harus sering-sering berkunjung ke sana. Itu pun kalau pertemuan denganku masih kamu perhitungkan."
"Nggak masalah, asal aku free saja."
"Berkabar saja kalau mau datang."
"Nggak mau dikejutkan gitu?"
"Kan biar aku bisa beberes apartemen! Ngerapiin tempat tidur. Nyiapin makanan."
"Um, malam ini menginaplah."
"Buat apa?" sedikit manja.
"Biar aku punya alasan kangen lebih berat dan nanti bisa kapan aja main ke sana."
"Ha ha ha," tawanya garing.
Kean menyentuhkan hidung di belakang kepala beraroma wangi itu, "Hati-hati di sana. Telepon aku kapan pun kamu ingin."
"Siap komandan!"
"Jangan main ke tempat gym. Aku nggak akan tenang."
"Kenapa? Kan aku perlu olahraga."
"Olahraga bisa kan lari aja. Kalau di gym, nanti kamu ketemu cowok yang enerjik, badannya bagus, bisepnya gede, lupa deh sama pacar sendiri."
Tatjana tertawa, "Kamu apaan banget sih!"
"Ya karena aku nggak seseksi itu."
"Kamu ingat adegan melukis di film Titanic?"
"Sangat."
"Jangan sekali-kali lakukan itu selama aku pergi!"
Giliran Keanu yang tergelak lepas, "aku berencana menjadikan Bruce sebagai obyeknya."
***
Hari di mana saat itu Tian pergi. Bertepatan dengan kedatangan Merida. Persisnya saat Kean baru pulang dari bandara untuk mengantar, seorang gadis dengan koper besar sedang berdiri di pintu masuk apartemennya.
"Ada yang bisa dibantu?" Kean menyapa pertama kali. Jaket hitamnya masih menyampir di lengan.
"Aku yang memesan sebuah kamar di rumah ini."
"Oh, ya, Merida?"
Gadis berambut cokelat itu seperti tersenyum, "Ya."
"Bruce sudah bercerita tentang kedatanganmu. Biar kubantu bawakan kopernya. Kamarmu ada di lantai atas, berhadapan dengan kamarku hanya berjarak galur lantai kayu."
"Trims."
---o0o---
Terimakasih sudah membaca. Doakan supaya Keanu menang Wattys Award tahun ini.
Chapter 7 sekalian saya umumkan yang dapat novel 'Fantasy'. Tapi setelah chapter ini tembus 100 bintang.
See you next chapter.
☺
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top