✉ DUA BELAS: Gwen Sydney
Here we go again!
***
Sydney, 2016
Seorang perempuan muda berjalan ritmis menyesuaikan terompet pengiring lagu-lagu milik Frank Sinatra di lajur setapak Surry Hills. Itu bukan dari sebuah orkes keliling atau gelaran musik jalanan, hanya gelombang menyenangkan dari sepasang earphone yang tercantel di telingan sejak perjalanan kaki dari kampus. Ia selalu membayangkan bahwa dirinya adalah pemeran utama dalam sebuah opera. Jika bisa dilempar kembali pada gerbong-gerbong masa lalu, maka gadis berambut sebahu itu rela mengorbankan sepasang sepatu hak tinggi yang kini ditentengnya itu demi mendapat beberapa potong episode pengalaman di Paris tempo dulu, atau London, atau pada sebuah era di mana saja ketika musik adalah benar-benar musik. Hanya hak tinggi? Yang lain terlalu berharga.
Seseorang yang dia kenal dari Quora itu sedikit banyak mengubah dirinya. Entahlah, seseorang kenapa bisa semudah itu berubah hanya karena sebuah percakapan dengan sosok asing di balik nama akun Josh Marine. Sudah setahun dia mengenal akun itu, dan selalu terkagum. Sosok tanpa wujud itu memiliki rasa yang berbeda. Ya, rasa. Gadis itu berani menyebut rasa karena segalanya memang sebegitu adanya jika dibahasakan.
Gadis itu berpikir berulang kali untuk tidak mengaku jatuh cinta pada sosok yang tak pernah ditemuinya itu. Josh Marine sedang pulang ke negaranya. Akunya. Tapi itu menarik karena sosok itu masih meluangkan waktu untuk sekadar membuka Quora dan membahas beberapa A2A. Jika rasa itu diurai seperti rumbai benang-benang, maka akan sampai pada pertanyaan, apakah mungkin seseorang bisa jatuh cinta dengan sosok laki-laki yang belum pernah ditemui? Namun kata-kata yang dibahasakan dalam setiap komunikasi singkat pada unggahannya bisa menyentuh perasaan dan mengubahnya? Susunan kalimat yang singkat, begitu maskulin, tanpa emoji, dan pemilihan kata yang kadang sembrono namun menjadi kesan tersendiri.
Sampai di depan sebuah apartemen dia berhenti. Seorang tuna rungu, pemilik apartemen itu sedang bersama pacarnya hendak pergi. Tinggal satu atap dengan pemilik apartemen seperti Bruce mungkin bisa sedikit toleransi, tapi penghuni satu lagi yang namanya Keanu itu rasanya sangat menjengkelkan kalau hanya mendengar namanya saja. Baginya Keanu itu jutek! Si kepiting hermit!
"Kau mau pergi?"
"Merida, aku dan pacarku mau menonton di bioskop."
Merida bingung karena tidak pernah begitu paham dengan percakapan bahasa isyarat.
Lalu pacar Bruce yang menjawab, "Hei, Mer. Ya, kita mau pergi."
"Oh, oke."
"Bruce sempat khawatir meninggalkan apartemen ini karena tidak ada siapa-siapa di dalam. Tapi baguslah kau pulang."
"Tidak ada siapa-siapa?"
"Ya. Keanu tidak ada di sini untuk beberapa hari kedepan. Kau tidak tahu?"
Merida menggeleng, "Dan tidak ingin mencari tahu."
Eliza terkekeh, "Oh, ya. Bruce bilang kau pandai merancang busana. Mungkin aku perlu berbicara denganmu lain kali, untuk, ya, mendiskusikan sesuatu yang cocok dipakai untuk pernikahanku. Maksudku, kau tahu, kau bisa merancangnya."
Untuk pertama kali sejak menggeluti dunia desain busana, ada seseorang yang memintanya untuk merancang, "Kau serius?"
"Bruce sangat yakin kau bisa. Dia bilang kau pernah menunjukkan salah satu sketsa rancanganmu."
"Oh, terimakasih! Aku senang sekali, kau tahu. Ya, aku ... bisa. Kapan kita bisa membicarakannya? Maaf, aku jarang turun kalau kau sedang di sini. Aku selalu senang di kamar dan menggambar beberapa rancangan. Hanya tahu kau pacarnya Bruce saja. Bukan berarti aku tidak ingin menemuimu, sungguh."
"Aku Eliza. Panggil Liz saja."
"Memalukan aku tidak tahu namamu tapi kau tahu namaku. Maaf."
"Lupakan," Eliza mengibas dengan senyum. "Kau tidak apa-apa sendiri di apartemen?"
"Ayolah, buat malam yang indah untuk kalian berdua. Aku baik-baik saja. Lagi pula itu membuat tempat ini seperti istanaku sendiri."
Liz tertawa, "Dia bilang tidak apa-apa kalau ditinggal sendiri."
"Aku rasa karena Kean tidak ada di sini."
"Kalau begitu, kita pergi dulu."
"Ya, silakan. Jangan tunggu sampai terlalu larut."
Bruce dan Elize kemudian pergi. Merida masih berdiri di depan pintu dan tak tahan untuk segera mengadu tentang ini pada semua teman-temannya bahwa ada seseorang yang ingin dirinya merancang sesuatu. Gaun pernikahan? Ayolah! Itu spesialisnya. Um, berlebihan kalau disebut spesialis. Itu hanya satu dari sekian model yang Merida kuasai selain dres panjang atau pakaian pesta, semacam itu. Mimpinya untuk memiliki sebuah label bridal belum hilang dari kepalanya.
Dia masuk ke dalam apartemen itu. Sepi. Tak ada Bruce. Tak ada juga si Tuan Judes yang senang bertapa di dalam galeri atau griya tawangnya itu. Keanu! Menjengkelkan. Merida masih ingat bagaiamana laki-laki itu bahkan tidak tersenyum sama sekali saat berpapasan di tangga. Bukannya seniman punya jiwa yang eksentrik? Ya ada beberapa memang yang terlalu tekun. Tapi apa akan sebegitunya bahkan pada teman seatapnya? Teman? Tidak! Merida menegaskan itu dalam pikirannya.
Galeri Keanu tepat berada di seberang kamar Merida. Sangat berseberangan di lantai kedua tepat sebelum tangga menuju griya tawang.
Ia segera membersihkan diri. Tak sabar untuk segera menggurat di buku sketsanya atau menelepon Paul. Intinya siapa saja harus tahu kalau dia akan merancang sebuah gaun pernikahan. Sesuatu yang akan menjadi sorotan mata banyak orang. Siapa tahu itu akan menjadi batu loncatan untuk pesanan desain berikutnya. Merida sangat membutuhkan itu. Setidaknya dia harus punya sebuah prototipe untuk maha karya perdananya yang akan dipakai oleh sepasang pengantin. Kepalanya mendadak dipenuhi lalu lalang ide. Bayangan gaun ala royal wedding sudah melintas ratusan kali. Sesuatu yang klasik. Berkesan. Spesial. Sebuah perdana dari kesempatan-kesempatan berikutnya.
Kini dia sudah mengenakan short pants dan kemeja longgar yang menutupi sampai atas lutut. Rambutnya masih basah beraroma persik. Ia sudah menggamit buku sketsa dan satu set pensil. Kakinya melenggang hendak menuruni tangga. Minuman hangat mungkin cocok untuk menemaninya menggambar. Dan hanya di dapur dia bisa menemukannya.
Satu mug cokelat panas sudah di lengannya. Ia hendak kembali ke kamarnya saat sebuah suara gedebuk terdengar dari ruang galeri. Jantungnya melompat menyadari tidak ada siapa pun di bangunan itu.
"Halo?" serunya. "Siapa?"
Lalu terdengar lagi. Bukankah tidak ada siapapun? Benaknya. Masa iya dia harus masuk ke ruang galeri si Petapa itu.
Kakinya berjalan pelan. Kalau rupanya orang itu sudah pulang tanpa Bruce memberi tahu. Merida akan memarahi dirinya sendiri jika itu benar.
Tangannya mulai meraih kenop pintu. Terpaksa harus meletakkan peralatan sketsanya di lantai karena tidak mungkin mugnya. Tidak dikunci?
Sesuatu yang tak pernah diniatkan, dia masuk ke ruangan yang menurutnya penuh dengan benda-benda menakjubkan. Sepetak surga yang dia kira tidak akan pernah ada di rumah itu. Ia terkesiap. Seekor kucing sedang mengoyak kepala hamster yang diculiknya entah dari mana. Dan Merida meyakini itu satu-satunya sumber suara tadi. Dia begidik. Tanpa perlu mengusir kucing itu segera melesat ke jendela yang terbuka. Gerakannya yang gesit menyenggol sebuah kanvas polos yang tersandar di sisi jendela. Jatuh di atas palet cat yang belum terlalu kering.
"Tidak, tidak, jangan itu," Merida menaruh mug di meja dan segera menjemput kanvas itu. Mengangkatnya. Membekas sebuah cap palet. "Ini bukan salahku," gumamnya.
Setelah mengembalikan pada posisi semula. Merida kembali terkesiap dan menyapu pandang pada seisi ruangan. Ada gramofon di salah satu sudut empat dinding itu. Di sebelahnya ada sekardus piringan vinyl lagu-lagu lama. Bekas-bekas kaleng pastel yang berantakan. Lukisan-lukisan yang sudah selesai. Ada yang masih setengah selesai. Ada yang hanya guratan pensil. Anehnya, dia mendapati selembar kertas pada setiap sisi belakang kanvas itu.
... Berharap pada saatnya nanti engkau masih sendiri, aku masih sendiri, dan ketika kita ingat untuk saling kembali, entah aku atau engkau, kita sama-sama siap memulai lagi ...
Sepotong puisi.
Merida lalu mencari lembaran lainnya di tiap kanvas.
... Aku satu-satunya cerita yang belum manusia baca. Sepenggal puisi rumpang yang hanya lengkap saat bersamamu. Sebuah lukisan tanpa tinta yang hanya bisa dirupa oleh hadirmu. Segetar suara tanpa frekuensi yang hanya terdengar olehmu ...
Kedua alisnya terangkat. Dia ingin berhenti sampai sana. Tidak pernah dia bermaksud menggeledah ruang pribadi orang lain. Tapi sesuatu mendorongnya untuk mencari selembar lagi. Lalu yang dia hampiri berikutnya sebuah lukisan matahari yang separuh tenggelam. Yang kalau ditebak itu dilukis dari pesisir teluk.
... Jangan bertanya kapan harusku menyerah. Menunggumu kembali sebuah keharusan. Melepasmu pergi setampuk kesalahan.
Waktu boleh semakin jauh. Tapi tak akan sejauh itu jika keyakinan duduk bersamaku.
Menunggumu.
Mencintai dalam bayang.
Kans yang semakin surup. Rasa takut yang hanya dangkal. Dan segenggam tabah yang tenggelam dalam-dalam ...
Merida merasakan duka yang begitu mendalam pada penulis puisi itu. Seperti luka yang ditiup sendiri. Sayatan yang dibebat sendiri. Dan derita yang tak bisa dibagi.
Oke, mungkin satu lembar lagi. "Terkutuklah aku kalau masih ingin lagi!"
... Hari ini aku berbicara pada pelikan yang mencuri ikan teri Sang Nelayan. Kutanya padanya tentang senja, juga hujan, juga kopi, juga petikan gitar, juga rajutan puisi. Dan pelikan itu menjawab dengan sekecrot kotoran di atas kanvasku. Tak pernah kudapati jawaban sebijak itu! Seperti yang kudapat saat kutanya kapan kau kembali ke pangkuanku. Dan realita melempar taiknya ke wajahku! Mengerti! Dijawab itu!...
"Tuhan jangan kutuk aku."
Merida lalu mencari lagi. Namun yang lebih menarik dia malah menemukan lembar-lembar kertas yang dijepit klip.
... Seno Gumira tak pernah berhasil membawa sepotong senja untuk pacarnya. Itu hanya senja imitasi. Yang asli sudah kuambil sehari sebelum ia. Kupasang di konstelasimu. Kujadikan itu satu navigasi pasti yang akan memandumu pulang padaku ...
Cukup. Tidak akan satu lembar lagi. Ia merasa sudah kelewatan menggeledah galeri orang. Tapi kenapa galeri ini tidak dikunci? Kenapa orang itu membiarkan ruangan ini bisa dibuka siapa pun? Lalu Merida mendadak panik saat mendapati sebuah cctv terpasang di atas pintu sedang mengawasinya.
Sial! Ini tidak seperti yang kamera pengintai itu laporkan nantinya. Kamera itu akan melapor seperti adanya yang dia rekam. Seorang perempuan diam-diam masuk ke galeri dan menggeledah barang pribadinya. Merida mendengus. Merutuk. Bersungut-sungut pada kecerobohannya sendiri.
Buru-buru Ia keluar dari sana dan melesat ke kamar.
"Oke, setidaknya cctv itu merekam seekor kucing menjatuhkan lukisan dan aku membetulkan posisinya. Itu wajar!" gumamnya. "Tapi aku tadi menggeledah banyak catatan!" lalu dia menjatuhkan diri di atas kasur sambil terus merutuk.
"Halo, Paul," dia memutuskan menelepon Paul. Teman sekelas. Bukan. Dia bukan pacarnya. Paul tidak menyukai perempuan. Dan tampilannya bukan seperti laki-laki tulen.
"Yes, hunneh?" jawab Paul kontan heboh, "Kenapa napasmu seperti orang yang baru selesai bercinta?"
"Astaga apa kau tahu cara mematikan cctv? Maksudku bagaimana cara menghapus rekamannya?"
"Apa masalahmu, hunneh?"
"Aku melakukan hal bodoh," jawabnya menghela napas.
"Sudah kubilang jangan bercinta di bawah pengawasan cctv, hunneh. Kau akan jadi popular di banyak situs tanpa kau tahu."
"Aku tidak!" bentaknya.
"Oke. Apa yang salah?"
Dia menahan diri untuk tidak menceritakannya. Paul sangat ember dan akan memperlebar topik ke mana-mana. "Lupakan."
"Jangan ada rahasia di antara kita! Kita sudah berbagi kutek kuku, itu sumpah merah jambu agar kau tak perlu merahasiakan apapun dariku, hunneh."
"Ini bukan rahasia penting. Tapi aku punya berita penting lainnya."
"Apa?"
"Kau tidak akan percaya," katanya mulai antusias.
"Whateva, aku lebih tidak percaya kalau kau mulai berani mengajak kencan Josh Marine."
"Aku. Akan. Merancang. Gaun. Pernikahaaaan!" soraknya.
"Whaaat? Hamster siapa yang akan menikah?"
"Ini orang!"
"Kau jelas sedang bercanda."
"Pemilik apartemenku, dia ingin aku merancang outfit pernikahan merekaaa!"
"Si Tak-Bicara itu?"
"Bruce."
"Whateva."
"Ya. Oh. My. God!"
"Kau butuh asisten. Rekrut aku."
"Kecuali kau punya referensi tempat untuk membeli bahan tekstil terbaik."
"Beeeetch, kau tahu aku sudah pernah menyusuri semua pasar di Sydney."
"Ya!"
"Aku ingin ke sana malam ini. Tapi ibuku sedang marah seperti neraka."
"Besok saja."
"Jangan bilang kau masih mendengarkan lagu-lagu yang disarankan Josh Marine sampai ke apartemen."
Bibirnya tersenyum, "Kenapa?"
"Oh, hunneh. Kau benar-benar harus bilang padanya kalau kau naksir. Maksudku, ayolah, ajak dia bertemu kalau kembali nanti."
"Entahlah, Paul, aku takut dia menganggap aku bercanda. Kau tahu aku terhadapnya sudah terjebak dalam sosok Gwen Sydney. Dia hanya akan menganggapku gila kalau meminta bertemu. Aku sudah pernah mencobanya!"
"Dia mau kan?"
"Aku yang tiba-tiba tidak siap! Dia pasti menganggap aku gila."
"Itu tidak gila. Kecuali kau mengajaknya bercinta saat bertemu nanti, beeetch."
"Plis!"
"Jadi apa rencanamu? Josh Marine untukmu, dan kau perkenalkan aku dengan Keanu. Dia pria yang manis, yum yum."
Merida masih bisa begidik setiap kali mendengar Paul meracau seperti itu. Menjijikan. Tapi bagaimana lagi, dia adalah temannya. "Kurasa kau salah. Orang itu sepertinya sudah punya kekasih. Keanu atau siapalah namanya itu melukis beberapa wajah perempuan. Dan ... dia cukup berbakat. Kau meleset."
"Ayolah."
"No, aku tidak mau terlibat apapun dengan Keanu," dia teringat kejadian galeri tadi.
"Plis."
"Jangan memohon atau kau tidak akan jadi asistenku."
"Hughh."
"Aku benar-benar tak mau terlibat dengan orang itu, oke?" dia mengatakannya. Meski dalam kepalanya sedang bergelut memikir bagaimana cara menghadapi aduan cctv itu.
Saat dia hendak menggurat di buku sketsa. Fokusnya teralihkan lagi. Dia meraih macbook-nya dan masuk ke Quora dengan akun Gwen Sydney. Lalu mengetik di ruang obrolannya dengan Josh Marine.
"Hei, bagaimana perkembangan adikmu? Berhasil?"
Lalu dia membuka beberapa A2A tentang bagaimana cara menyadap cctv.
***
Hei, saya tahu unggahnya lama. Tapi itu ada alasannya. :) Saya sedang sibuk dengan penelitian skripsi dan persiapan dua buku saya yang akan terbit. Jadi fokusnya harus terbagi. Saya mohon supaya kalian bisa bijak menyikapi jangka waktu ini dan memberi saya ruang. Cerita ini akan tetap saya unggah selagi sempat.
Terimakasih sudah setia menanti! Sampai jumpa di bab berikutnya.
PS: Sebelum ada yang bertanya atau memprotes. Karakter Paul hanya pelengkap dan untuk memperkuat cerita. Bukan berarti saya mendukung kaum LGBTQ+. Saya sudah bekerja keras untuk membentuk karakter Paul supaya tergambar di imajinasimu. Jadi cukup hargai usaha saya dan tak perlu beranggapan negatif. Terimakasih :) I am totally normal, clean, and sober. I just want to explore my skill by experiencing various characters in my book. Thank you in advance for understanding! :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top