Sembilan

Shinta keluar dari ruangan Zahira sambil menghapus air matanya. Hal itu membuat Irsyad dan Lena cemas.

"Apa yang terjadi?" tanya Lena dan Irsyad secara bersamaan.

"Jika kamu bersungguh-sungguh, nikahilah Zahira secepatnya," ucap Shinta pada Irsyad.

"Aku tidak setuju punya menantu miskin seperti dia," sela Lena tak terima.

"Ini bukan masalah miskin dan kaya, Tante." Nada bicara Shinta meninggi, ia geram dengan Lena yang masih sibuk memikirkan hal yang tak penting menurut Shinta.

"Pokonya saya tidak setuju dan suami saya juga pasti tidak akan setuju." Lena masih saja keras kepala.

"Hidup Zahira tidak tau sampai kapan dan sebelum semuanya terlambat, apa salahnya kita turuti permintaan terakhirnya," ujar Shinta.

"Heh, jangan asal bicara kamu! Saya punya banyak uang untuk berobat putri saya, jadi dia tidak akan pernah mati secepat itu." Lena masih saja sombong tentang uang.

"Ketentuan Tuhan tidak bisa di beli dengan uang Anda," timpal Irsyad sembari beristighfar.

"Kalian cerewet sekali. Sudahlah, saya lebih baik masuk." Lena masuk ke ruangan Zahira, meninggalkan Irsyad dan Shinta yang kini beralih menjadi pembicaraan yang lebih serius

"Zahira memintamu untuk menikah dengannya, apa kamu bersedia?"

"Aku bersedia, aku akan menikahi Zahira," jawab Irsyad mantap.

"Kamu yakin dengan keputusan yang kamu ucapkan?"

"Insyaallah."

"Aku rasa, aku tak perlu menceritakan lagi kondisi Zahira seperti apa. Kamu sudah melihatnya sendiri, bukan?"

Irsyad mengangguk. "Ya, aku tau. Aku tulus akan menikahi Zahira. Apapun yang terjadi nanti, biarkan menjadi rahasia Tuhan. Aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhannya saja, tetapi semua sudah di tentukan oleh-Nya saat kita masih dalam rahim. Takdir, jodoh, maut, aku yakin Tuhan akan selalu berikan yang terbaik.

"Zahira pasti sangat senang mendengar ini. Sekarang kamu hanya perlu meminta restu pada orang tua Zahira."

"Pasti aku kan lakukan itu, aku pamit dulu. Nanti aku datang lagi kemari bersama Mas Banu sebagai wakil keluargaku karena gak mungkin menunggu keluargaku datang kemari. Mereka jauh tapi aku tetap memberikan kabar pada mereka semua."

"Iya aku paham. Lakukan secepatnya, lebih baik."

Irsyad mengangguk. "Assalamualaikum," pamitnya.

"Wa'alaikum salam," jawab Shinta.

Irsyad segera pulang, ia akan menemui Banu untuk menjadi wakil keluarganya melamar Zahira.

***
"Apa kamu yakin?" tanya Banu pada Irsyad. Kini mereka tengah duduk di teras rumah Banu.

"Aku yakin, Mas," jawab Irsyad mantap.

"Kamu bisa ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi? Kamu tidak melanggar larangan agama, bukan?"

"Astaghfirullah, tidak. Aku tidak melakukan hal-hal yang di larang oleh agama, Mas."

"Maaf, bukan Mas menuduhmu. Tapi keputusanmu menikahi Zahira secara mendadak, terdengar aneh jika tak ada sesuatu," ujar Banu.

"Aku ingin membahagiakan Zahira, Mas karena dia selama ini selalu menderita."

"Mana mungkin dia menderita, hidupnya saja bergelimang harta," timpal Banu.

"Benar, Mas. Hidupnya memang bergelimang harta, secara fisik dia terlihat baik-baik saja tetapi batinnya tidak Mas karena kebahagiaan fisiknya harus di bayar oleh batinnya."

"Coba jelaskan yang lebih mudah aku pahami, aku tidak mengerti maksud dari ucapan kamu itu."

Irsyad menghela napas berat kemudian menceritakan semua yang terjadi pada Zahira yang ia tahu.

"Astaghfirullah!" seru Banu menahan geram. Ia tak menyangka jika kehidupan Zahira sungguh miris, menyedihkan. "Ayo ke rumah sakit, Mas mau jadi wakil keluargamu untuk melamar Zahira. Kalau keluarganya tidak setuju, kita penjarakan saja." Banu emosi dengan kelakuan Roy yang menurutnya seperti binatang.

"Habis buka saja Mas, sebentar lagi buka puasa."

"Ya sudah, kamu buka puasa bersama kami saja."

"Terima kasih, Mas," ucap Irsyad yang diangguki oleh Banu sambil mengajak Irsyad masuk ke rumahnya.

***
Setelah berbuka puasa, Irsyad dan Banu segera ke rumah sakit. Awalnya mereka datang dulu ke rumah Zahira namun menurut security yang berjaga, majikannya sedang di rumah sakit.

"Assalamualaikum," ucap Banu dan Irsyad masuk ke kamar Zahira.

"Untuk apa kamu kemari lagi!" Lena tak suka dengan kedatangan Irsyad apalagi sekarang dia membawa teman.

"Saya kemari ingin menepati ucapan saya tadi, kalau saya akan melamar Zahira," ucap Irsyad.

"Apa yang kamu katakan!" Roy langsung bangkit dari tempat duduknya. Ia tak mungkin melepaskan Zahira pada pria manapun, ia lebih memilih Zahira jadi wanita pemuas nafsunya dan sumber ladang uangnya.

Zahira menatap Irsyad dengan mata berkaca-kaca, ia berdoa semoga orangtuanya tidak mempersulit keinginannya.

"Mungkin lebih baik, kita berbicara sambil duduk," usul Banu.

"Lebih baik kalian keluar! Lamaran mu saya tolak!" tegas Roy.

"Kalau begitu, saya akan melaporkan Anda," sahut Irsyad.

"Kamu bocah ingusan, mau mengancam ku, heh!" Roy tertawa mengejek.

"Aku tidak mengancam, aku hanya ingin memberikan keadilan untuk Zahira," balas Irsyad sambil melihat ke y Zahira dengan senyum lembut menenangkan. Irsyad berjanji pada dirinya sendiri, akan mengusut tuntas kasus pelecehan yang Roy lakukan pada Zahira. Irsyad ingin Roy mempertanggung jawabkan semua perbuatannya.

"Sudahlah sayang, telpon saja polisi untuk menangkap mereka," ujar Lena.

"Tidak perlu karena aku telah membawa polisi kemari," ucap Shinta yang datang bersama tiga orang anggota polisi.

"Kamu memang pintar, Nak." Roy tersenyum pada Shinta.

"Tangkap dia, Pak!" Shinta menunjuk Roy. Ia memerintahkan polisi untuk menangkapnya.

Polisi itu segera mengamankan Roy. "Maaf, Bapak. Anda kami tangkap."

"Apa yang kalian lakukan pada suamiku!" seru Lena murka.

"Suami Anda, kami tangkap atas tuduhan pelecehan dan perdagangan manusia. Ia juga menjadi germo yang sudah kami incar sejak lama. Beserta bisnis ilegal yang dia punya mungkin akan memberatkannya."

"Ini pasti salah paham, kalian salah orang!" Roy berusaha kabur namun ketiga polisi itu segera memegangi Roy dan memborgolnya. "Lepaskan aku! Ini suatu penghinaan, akan aku tuntut dan pecat kalian!" teriak Roy.

"Lebih baik, Anda hemat tenaga dan jelaskan semuanya di kantor polisi." Polisi itu menyeret Roy untuk ikut namun dihalangi oleh Lena.

"Kalian pasti salah orang, jangan tangkap suamiku." Lena menangis dan memohon agar suaminya tidak di tangkap.

"Untuk apa Anda menangisi pria yang telah merusak hidup anak Anda," cibir Banu.

"Tutup mulutmu! Kamu tak tau apapun dan kamu tidak berhak bicara buruk tentang suamiku!"

"Tanyakan pada putri Anda kalau begitu," Banu seolah tak peduli dengan tatapan marah Lena. Ia geram dengan wanita yang mengaku sebagai seorang ibu namun tidak biasa melihat penderitaan anaknya."

"Suamiku tidak serendah itu, jika memang ada tindakan yang tidak senonoh, itu pasti karena Zahira yang menggodanya." Setelah mengucapkan kata-kata menyakitkan itu, Lena segera keluar mengejar polisi yang membawa Roy.

"Astaghfirullah." Sontak semua beristighfar. Mereka tak habis pikir, bagaimana Lena bisa berbicara seperti itu. Lebih membela suami daripada darah dagingnya sendiri.

Sedangkan Zahira hanya bisa menangis, hatinya perih. Ibu yang harusnya membelanya, justru menuduhnya. Jiwa dan raga Zahira sungguh sudah sangat lelah, ia seakan sudah pasrah. Lagipula ia sudah tak kuat lagi menerima siksaan batin dan lahirnya yang tengah digerogoti oleh penyakit kanker secara bersamaan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top