Bagian V : Wizarding Star Station
Jihyo langsung menghempaskan tubuhnya saat Twinkle sudah meninggalkannya seorang diri di dalam kamar. Lagipula, hari sudah larut—waktunya untuk beristirahat. Ia pun telah mengenakan gaun tidur menjuntai hingga lantai berwarna putih. Seperti yang sudah pikirkan, ia tidak akan menemukan celana panjang atau pendek. Jangan mengharapkan hal yang sama ketika berada di dunia yang normal.
"Sangat melelahkan." Ia bergumam seraya meregangkan tubuh. Pasalnya, hari ini begitu melelahkan. Twinkle membawa dari satu tempat ke tempat yang lain. Memang mengagumkan, tetapi dampaknya membuang begitu banyak tenaga. Akan tetapi, Jihyo tidak bisa bohong jika hari ini cukup menyenangkan. Walau ada sedikit drama.
Lelaki misterius yang langsung pergi. Jihyo dibuat penasaran dengan lelaki itu. Sungguh, walau Jihyo kesal dengan sikapnya yang begitu dingin dan juga cuek, Jihyo tetap tidak bisa membohongi diri jika lelaki itu begitu tampan. Ia jadi mengingat, aura lelaki itu begitu kuat dan mendominasi. Perkataan Twinkle langsung terlintas mengenai penyihir kegelapan.
"Apa lelaki itu penyihir kegelapan? Pakaiannya juga serba hitam. Bukankah itu mungkin?" tanya lagi, entah pada siapa karena ia seorang diri. Lagipula, tidak mungkin pada Twinkle. Peri kediaman itu pasti akan memberikan begitu banyak wejangan jika ia mengatakan hal yang merujuk pada penyihir kegelapan.
Ada banyak pantangan yang ada di Magrinio. Mendadak, ia memikirkan soal kedua orangtuanya. Apa ayahnya adalah penyihir kegelapan? Apa dia masih hidup? Di mana dan siapa dia? Sungguh, Jihyo ingin tahu walau kemungkinan akan merasakan sakit seperti ketika mengetahui fakta sang ibu yang sudah tiada.
"Aku memang berharap sekalian tidak mengetahuinya, tetapi kenyataan yang terjadi sudah berbalik. Masih ada kemungkinan ayahku masih hidup. Hanya saja, jika semua orang, bahkan nenek saja tidak tahu, lantas dari mana aku bisa tahu sosok ayahku?" Jihyo bergumam. Terlebih, sampai sekarang, ia belum melihat potret ibunya, pun Madam Lyn juga begitu sulit untuk ditemui. Kata Twinkle, Madam Lyn tengah mengurus bisnis keluarga yang berpusat pada tambang perak.
Jihyo lantas memilih untuk memejamkan mata. Cukup pusing memikirkan semua hal yang tampak abu-abu. Walau terkadang, tidur pun tidak akan memberikan dampak apapun. Itu hanya sebagai pelarian sementara yang bahkan biasanya tidak berguna.
***
Hampir sebulan Jihyo berada di kediaman bak istana ini. Jihyo merasa begitu bahagia, seakan sudah menyatu dengan keluarga Chevalier. Twinkle selalu melakukan banyak hal agar dirinya benar-benar nyaman kala Madam Lyn begitu jarang berada di kediaman. Jika pun ada, ia hanya akan menyapa lalu kembali menghilang. Dalam hal ini, Jihyo tidak terlalu memusingkan diri karena apa yang ia rasakan juga, semua berkat Madam Lyn, sang nenek—satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Hanya saja, hari ini, Jihyo akan meninggalkan kediaman untuk bertolak ke sekolah asrama. Bahkan, Jihyo saat ini sudah berada di depan Stasiun Wizarding Star. Hanya mengenakan gaun dengan renda lengan panjang krem tetapi bawahan berbahan tile menjuntai hingga ke tumit berwarna peach. Ia memegang buku kuno berwarna hitam—buku berjudul Magical of Academy. Saat ini, Jihyo tengah mengamati apa yang ada di hadapannya—Madam Lyn dan Twinkle yang tersenyum.
"Hari ini, kau harus menuntaskan sesuatu, cucuku. Kelak, kau akan menemukan cerita yang manis diasrama nanti. Jika ada sesuatu yang menyulitkanmu di sana, jangan sungkan untuk menghubungi nenek, karena nenek adalah keluargamu. Kau paham?" Kata Madam Lyn begitu berwibawa.
Kalimat itu, membuatnya tersentuh. Tentu saja, bagi dirinya yang selama ini tidak tahu asal-usul siapa dirinya, seketika tahu adalah sebuah keajaiban. Memang, ia pernah berpikiran lebih baik tidak perlu tahu jika nyatanya serumit ini, tetapi kembali ke fakta, Jihyo mencoba untuk menerima apa yang saat ini ia lalui.
Rasanya ingin memeluk, tetapi itu tidak etis kepada pemimpin keluarga di tengah keramaian. Sehingga, Jihyo memilih menundukkan sedikit tubuh dan kepala dengan anggun. "Terima kasih atas kemurahan hati Nenek. Aku akan mengingat pesan nenek." Jihyo berujar yang beriringan mendapatkan usapan hangat di kepala juga suara kereta api yang menggema.
Madan Lyn menarik tangan dan terkekeh. "Pergilah, cucuku. Selesaikan urusanmu. Kereta untuk ke sekolah tidak lama lagi akan sampai dan kau harus mengambil barang bawaanmu di loket magic shop," ucap Madam Lyn yang kembali mengingatkan.
Sungguh, Jihyo baru menyadari hal demikian. Alhasil, setelah dirinya berpamitan, Jihyo yang membawa sebuah koper kecil dan buku dalam genggamannya melenggang—masuk lebih dalam ke area stasiun. Baru berada di antara pintu masuk, Jihyo dibuat terkejut dengan keadaan yang cukup ramai. Mereka mengenakan seragam sekolah yang akan Jihyo tuju—sepertinya seorang senior karena para junior yang belum menerima seragam tersebut. Jelas saja, karena mereka belum tahu akan ditempatkan di mana.
Mereka semua keren. Jihyo tidak bisa berbohong. Apa yang mereka kenakan menampilkan betapa berwibawanya mereka. Nyatanya, para perempuan tetap menggunakan gaun, tetapi didesain cukup santai dengan terusan gaun berwarna krem dan rompi yang menjadi pembeda—hijau, biru dan merah maroon. Sementara untuk lelaki, mereka mengenakan setelan pakaian era bangsawan dengan atasan yang menjadi pembeda mereka—sesuai warna asrama. Bahkan, mereka memegang tongkat sihir dan membuat Jihyo mengerjapkan mata.
Hei, ia tidak memiliki hal yang sama. Akan tetapi, ia langsung teringat satu hal. "Aku harus segera ke sana." Sembari ia mengedarkan pandangan. Tidak berselang lama, ia melihat sebuah pintu yang dimaksud Mr. Guerin waktu itu. Terdapat dua pintu dan kebetulan tidak begitu ramai. Kemungkinan murid yang lain sudah mengambil miliknya karena waktu yang memang cukup mendesak. Beberapa kali, suara kereta api terdengar, sehingga Jihyo mempercepat kegiatannya.
Walau dibuat kebingungan saat berada di depan pintu, karena sudah mendesak, Jihyo mencoba melakukan apapun yang dianggapnya waras seperti langsung memasukkan kunci yang menjadi pegangannya. Kunci yang semula sudah diputar, langsung saja mengeluarkan sebuah cahaya dan secara otomatis, pintu tersebut terbuka. Jihyo mengamati dengan tatapan begitu takjub hingga ia melihat sebuah koper yang berbahan dasar dari kayu. Lantas, di dekat koper itu terdapat meja yang di atas terdapat sebuah tongkat sihir yang bercahaya.
Jihyo sudah menduga jika benda itu jelas adalah miliknya. Tongkat sihir dengan ukiran lambang Chevalier tetapi terdapat sedikit variasi. Kuda yang memiliki ekor seperti binatang lain, tetapi Jihyo tidak terlalu paham. Ia juga tidak ingin mengambil pusing yang menurutnya sepele kala suara klakson kereta berbunyi. Kali ini, kereta berhenti dan satu persatu murid masuk ke dalam sana.
"Ah, ini terjadi karena aku terlalu banyak berpikir." Lekas ia juga masuk. Kali ini, persetanan dengan etika. Hei, ia tidak ingin ketinggalan kereta. Alhasil, Jihyo secara tidak sengaja menabrak sekitar.
"Gadis sialan! Perhatikan langkahmu!"
"Ada apa ini? Penyihir cahaya memang menyusahkan!"
"Hei, mana etikamu? Kau kira ini jalan milik nenek moyangmu?"
"Aku minta maaf. Aku minta maaf." Hanya itu yang dikatakan oleh Jihyo. Ia sudah membuat beberapa orang kesal, tetapi ia tidak ingin ketinggalan. Jihyo pun berharap tidak ada yang melihatnya rupanya dengan jelas.
Ia akan mencoreng nama baik keluarga kala etika di Magrinio memang menjadi nomor satu. Akan tetapi, sesekali melanggar juga tidak masalah, bukan? Lagipula, Jihyo juga memiliki alasan penting dalam hal ini. Dengan gerakan langkah dan sorot mata yang cepat, Jihyo mencari kursi yang sesuai dengan kunci magic shop. Sedikit aneh kala mengandalkan sebuah kunci, tetapi Jihyo memilih untuk melakukannya. Ia sungguh tidak tahan dengan menenteng dua koper di tangannya. Belum lagi, tongkatnya yang harus ia jaga. Tidak memiliki waktu itu menyimpan disuatu tempat.
Hingga ia menemukan ke mana ia akan duduk. "Syukurlah," ucap Jihyo yang langsung mendorong ke samping pintu kereta api tersebut sembari ia mengamati dengan fokus barang-barang miliknya hingga sebuah suara mengejutkan Jihyo.
"Halo, teman baru!" Suara itu, Jihyo langsung mengangkat kepala dan mendapati seorang perempuan berambut cokelat bata pendek seraya melambaikan tangan. Senyumnya merekah, hingga menampilkan satu lesung pipi di bagian kanan.
"Hei, Nona! Menyingkirlah dari jalanan! Kau kira ini milikmu?"
Jihyo belum mengubris gadis yang akan satu kursi dengan dirinya. Terlebih dahulu, Jihyo membawa semua barangnya ke area ruangan yang begitu kecil dengan dua kursi yang saling berhadapan dan Jihyo bisa menebak, ruangan ini bisa muak sekitar empat orang.
"Biar aku bantu," ucap gadis asing itu. Jihyo ingin menolak, tetapi gadis itu langsung mengambil alih dan membawanya ke bagian atas mereka, tempat khusus untuk menyimpan barang. Jihyo mengamatinya dengan mata mengerjap. Semuanya begitu tiba-tiba, hingga gadis itu menutup pintu hingga yang tersisa hanya mereka.
"Pasti melelahkan membawa dua koper seperti itu. Kenapa kau tidak menjadikannya satu? Kopermu itu pasti muat di koper sekolah," ucap gadis itu lagi kala mereka berdua saat ini saling berhadapan. Ia begitu ramah, tetapi Jihyo menunjukkan sisi yang tak terduga—sampai sekarang belum membalas sapaan dan bahkan belum berterima kasih.
Jihyo langsung tersadar. Alhasil, ia sontak menundukkan sedikit badan dan kepalanya. "Halo, Nona. Sebelumnya aku meminta maaf karena begitu tidak sopan dan aku juga ingin berterima kasih." Jihyo berujar seperti apa yang diajarkan oleh Twinkle.
Gadis itu terlihat menaikkan sebelah alis, pun langsung menepuk pundak Jihyo. "Santai saja. Jika kita bersama seperti ini, tidak perlu formal dan terlalu menggunakan etika yang sangat menyebalkan," katanya yang berhasil membuat Jihyo meluruskan tubuh. Tidak mengerti maksud dari perkataan itu.
"Kenapa harus?"
Gadis itu langsung tersenyum. "Soalnya kita teman. Oh iya, namaku Zhuang Mercier. Kau bisa memanggilku Zhu," katanya lagi tetapi tangan kanan gadis itu kini terulur.
Teman? Jihyo sangat terkejut. Mereka baru bertemu. Sangat tidak masuk akal langsung berteman, tetapi gadis bernama Zhu itu lantas meraih tangan Jihyo untuk membalas uluran tangan yang ia ciptakan. Jihyo jadi gelagapan sendiri. "Aku, aku Jihyo Chevalier." Kalimat itu langsung saja keluar dari bibirnya dengan pergulatan hati yang menurutnya terasa menyebalkan.
"Wah, kau dari keluarga Chevalier. Itu keren sekali. Senang menjadi temanmu."
Ya, Jihyo kehabisan kata-kata. Ia pun bahkan tidak membuat sebuah penolakan saat mereka saat ini duduk saling berhadapan, hanya berdua saja dengan kereta api yang sudah melaju. Twinkle mengatakan, perkiraan waktu tempuh mereka sekitar lima jam. Bagi para calon atau murid Magical Of Academy, mereka wajib menggunakan kereta api yang sudah disediakan walau teleportasi bisa digunakan. Hanya saja, untuk bilik telepon, nyatanya benda itu tidak bisa mengakses Magical of Academy karena ketentuan yang pihak sekolah buat. Itulah yang Jihyo baca di buku.
"Menyenangkan sekali, akhirnya aku bisa bersekolah di Magical of Academy. Sungguh, ini akan sangat mengagumkan, Jihyo," ucapnya begitu informal. Jihyo memang lebih terbiasa untuk berbicara dengan santai, tetapi mengingat peraturan etika yang dijelaskan Twinkle selama sebulan ini sangat membuat perutnya kram.
Jihyo hanya mengangguk sekilas. "Aku harap begitu."
"Tentu saja. Kita akan belajar meningkatkan sihir. Kau sudah bisa menggunakan sihir apa, Jihyo?" Jihyo langsung menggelengkan kepala, membuat sebelah alis Zhu terangkat. "Kau sama sekali tidak tahu?"
Kembali, Jihyo mengangguk. Respon yang Zhu berikan di luar dari dugaannya, seakan Jihyo melakukan kesalahan. "Astaga, itu kabar buruk. Akan tetapi, tenang saja. Aku akan mengajarimu banyak hal. Aku itu bisa diandalkan dan seorang teman memang harus saling membantu," ucapnya dengan berseru.
Jihyo benar-benar terpaku. Ia tidak menyangka saja akan sifat terbuka yang diberikan oleh Zhu pada orang asing yang baru ia temui. " Seorang teman, ya," gumamnya, memaknai kata itu, tetapi Zhu langsung membuyarkan lamunan Jihyo.
"Dan kau harus tahu satu hal, Jihyo. Selain karena kita akan meningkatkan sihir kita di sana, kita juga akan dihadapkan dengan para lelaki tampan. Sial, mereka semua tampan. Apalagi yang mengisi majalah harian olahraga. Aku tidak bisa bohong, walau asrama Sanctuary begitu menjengkelkan karena arogan, mereka nomor satu soal paras."
"Entah kau juga sudah tahu soal ini, tetapi kita akan satu angkatan dengan Jung Koch dan kurasa dia memang akan berada di Sanctuary karena hampir semua penyihir kegelapan berada di dalam sana," jelas Zhu yang begitu semangat.
Jihyo lantas memiringkan kepala. Marga Koch, ia seperti pernah mendengarnya tetapi Jihyo tidak ingat. Ekspresi wajah yang Jihyo pancarkan pun membuat Zhu beranjak dari kursinya dan mendekat pada Jihyo. "Tunggu dulu, jangan bilang kau tidak tahu soal Jung Koch?"
"Jung Kook?"
"Koch, Jihyo. Jung Koch! Astaga, dia itu yang paling keren dan tampan di Magrinio. Tunggu dan lihat saja nanti. Kau pasti setuju dengan apa yang kukatakan!"
Hola, aku update🦋
Semoga nggak nemu tipo🤣 Tandain aja, krn asli sih, nulis di bulan puasa beda banget vibesnya pas kemarin², hehehe.
See u pokoknya. Kita bakalan ketemu di MOA🦋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top