Chapter 2,5
Ratu sudah lama mengidap suatu penyakit aneh. Semua tabib dari penjuru negeri didatangkan untuk mengobati beliau, namun hanya upaya sia-sia yang didapat. Puncaknya, beliau meninggal tak lama setelah melahirkan anaknya. Seolah-olah dia bertahan hidup demi buah hatinya itu.
Ini menjadi pukulan sendiri baginya. Menurutnya, menjaga istrinya sendiri saja tidak becus. Apalagi menjadi ratusan orang di negerinya.
Saat itu Rakuzan mendekati ambang kehancuran akibat seluruh serangan musuh. Bahkan, Nijimura hampir pernah menegak racun yang dipegangnya. Namun, hal itu terhenti saat tangan mungil itu mencegat tangan Nijimura.
Tangan putranya.
Meskipun istrinya telah tiada. Ia harus tetap hidup, demi putranya dan rakyatnya. Harusnya ia berpikir demikian. Anaknya saja tahu kalau kelakuannya itu salah.
Maka sejak kejadian itu. Nijimura melempar racunnya dan memanggil semua menteri untuk membenahi semua departemen miliknya dan meningkatkan kekuatan Rakuzan. Beruntung saat itu belum benar-benar terlambat sehingga Rakuzan terselamatkan.
Oleh karena itu Nijimura sangat menyayangi anaknya itu. Karena semua yang dilakukan dia itu benar.
Akashi Seijurou, itulah namanya
----
"Terima kasih makanannya Nyonya."
Tidak rugi memang Akashi keluar dari istana. Bahkan ia mendapat manisan gratis dari penduduk sekitar. Katanya mereka sedang berbahagia. Maka sesuai adat setempat. Setiap orang yang sedang menerima berkat, mereka harus memberikan makanan kepada orang yang mereka temui, meski hanya sepotong roti.
Akashi beruntung mendapatkan sekantung sedang penuh manisan. Meski dirinya tidak menyukai makanan berglukosa. Paling tidak, ia bisa memberikannya kepada teman (merangkap budak) di istananya.
"Rasanya aku tidak ingin pulang," Akashi melihat sekeliling kotanya itu. Damai dan tidak ada aksi kriminal apapun. Sepertinya ia dan Ayahnya benar-benar berhasil memajukan Rakuzan.
Bahkan beberapa wilayah berhasil mereka taklukkan seperti Yosen dan Fukuda. Prestasi gemilang didapat oleh kerajaannya yang memiliki daerah kekuasaan terluas. Semua takluk dan sejahtera di bawah pimpinan mereka.
"Semuanya baik-baik saja," batin Akashi.
BRUKK!!!
"Aduh. Maafkan saya!"
Entah Akashi yang terbengong atau gadis itu yang berlari tak melihat jalan hingga membuat mereka berdua terjatuh.
Akashi memungut barang-barangnya yang terjatuh. Ia lalu menatap orang di depannya itu. "Apa kau baik--"
Ucapannya terhenti saat melihat kepingan Azure itu. Gadis itu memegang kepalanya yang nyeri. Mungkin karena kepalanya sempat terbentur dengan kepala Akashi juga.
"Maafkan, saya!" gadis itu menunduk dan langsung memasang menutupi kepalanya menggunakan selendang. Setelahnya ia berlari dari tempat itu. Meninggalkan Akashi yang masih terbengong.
"Cantik."
Sepatah kata yang Akashi tidak pernah ngungkapkan kepada seseorang, terutama saat sedang dilemma seperti ini. Jantungnya berdegup kencang, ia menyunggingkan bibirnya tanpa sadar. Entah apa penyebabnya, apa gadis itu adalah sebuah virus yang membuat gila.
"Permisi Tuan. Apa Anda melihat pencuri lewat di sini?"
Tingkah langka Akashi tak berlangsung lama. Beruntung ia sempat mengubah raut wajahnya tanpa sempat terlihat pada pria di depannya. Dalam hati ia ingin mengutuk orang yang bertanya itu karena sudah menghancurkan imajinasinya, "Tidak, saya tidak melihatnya."
"Baiklah. Terima kasih Tuan. Awas saja tikus itu kalau sampai ketemu...."
Sepeninggal orang itu. Akashi memegang dadanya. Jantungnya terpompa lebih normal sekarang. Namun, setelah mengingat gadis itu, malah kembali berdetak kencang.
"Apa, aku kena serangan jantung? Atau diriku terkena kutukkan dari seseorang?! Tapi tidak mungkin Pangeran sepertiku dikutuk," batin Akashi dengan segala praduganya.
"Kalau benar dikutuk. Kau mau apa?"
Pria bersurai belah tengah itu kembali muncul. Orang itu menatap mengejek sambil memakan buah pisang. "Sudah aku bilang bukan. Takdirmu akan berubah saat melewati jalan itu."
"Tapi memang sih perkataan orang gila sepertiku lebih baik jangan dipercaya," ucapnya tiba-tiba. Orang misterius itu dengan berani merangkul Akashi yang notabenenya orang paling dihormati itu. "Asal kau tahu. Kau dan Ayahmu akan dikutuk oleh musuh dibalik selimut suatu saat nanti. Itu yang Shin-chan ramalkan."
Akashi sebenarnya tidak ingin percaya pada ramalan apapun. Namun, entah kenapa dia malah tertarik pada ocehan pria di sampingnya. "Lalu, aku akan mati setelahnya begitu?"
"Tepat sekali," jawab pemuda itu dengan riang tanpa menyadari aura pembunuh dari Akashi. Melihat itu, ia langsung terkekeh canggung. "Tunggu-tunggu kau tak akan mati semudah itu."
"Tapi melihat hal tadi, kau memilih pilihan yang tepat," orang itu melepaskan rangkulannya kemudian tersenyum. "Kau memang dikutuk tapi dengan hal lain."
"Hah?!" pertama kalinya otak cerdas Akashi tidak bisa berjalan dengan semestinya. "Apa maksudmu?!"
"Cinta," jawab orang itu. Ia berkacak pinggang, "kau tak perlu berpikir keras. Tapi yang jelas kau merasa nyaman bukan?"
Akashi ingin menjawab 'tidak'. Namun kepalanya otomatis mengangguk dan tanpa sadar ia tersenyum bodoh lagi. Ia tak bisa bohong, kalau ada perasaan nyaman di hatinya.
"Kutukan yang manis," pria tak menyebutkan namanya itu tertawa geli. Kemudian ia perlahan menjauh dari Akashi. "Setelah ini, Tuhan akan menakdirkan kalian. Tapi kau dan dia harus berusaha mencapai takdir itu."
Pemuda itu akhirnya pergi. Tapi tak lama kemudian ia berbalik lagi, "Ngomong-ngomong, apa kau tak merasa kehilangan sesuatu?"
Setelah Mibuchi. Akashi yang menjadi penyebab menghilangkan cincin kerajaan.
-----
Sementara itu di tempat lain.
Gadis bersurai itu melepas atribut penyamarannya. Benar firasatnya, pusat Rakuzan banyak sekali orang-orang yang memiliki uang. Hebatnya dia tidak mudah ketahuan.
Walau sempat ketahuan sekali. Tapi mereka berbeda tidak keras kepala mengejarnya layaknya orang di pinggiran kota. Apa warga di sini hidup sangat kaya atau cepat lelah. Itu yang dia dipikirkan. Masa bodohlah, yang terpenting Ayame mendapat barang lebih banyak hari ini. "Aku belum pernah mencopet hingga sebanyak ini."
"Uu aa."
"Oh, Aomine," monyet legam itu tiba-tiba muncul di sampingnya sembari melihat jarahan tuannya. "Bagaimana menurutmu? Banyak bukan?"
Monyet itu langsung bersorak riang. Ia langsung memegang kedua coin emas itu dengan kedua tangannya, tanda ia puas dengan jarahan tuannya. "Uu aa."
"Kau saja senang. Apalagi aku, dengan begini kita tidak perlu mencopet seminggu ini," ucapnya pada monyetnya itu. Namun, netra biru terfokus pada sesuatu, sebuah cincin.
Ayame mengambil cincin itu, cincin dengan lambang unik. Ah, ia ingat, Ayame mencurinya dari pria yang ditabrak waktu itu. Memikirkannya saja membuat Ayame terkekeh pelan. Meskipun penampilannya buruk, tapi menurut Ayame dia pria paling tampan yang pernah ditemui.
"Apa yang kau pikirkan Ayame." Ayame memukul pelan kepalanya. Mengusir semua pikiran di kepalanya itu. Ia akui tak sengaja melihat benda berkilau itu pada gelandangan tadi dan sengaja mencurinya sebagai kenang-kenangan dari pria itu.
"Apa ini namanya jatuh cinta. Tidak! Aku tidak butuh itu! Aku butuh uang bukan perasan bodoh!" gadis itu menggelengkan kepalanya keras sampai Aomine hanya menatap tuannya heran. "Apa tuanku ini kerasukan arwah Izuki?"
"DEMI DEWA!!! AYAME APA SEMUA INI!!!"
Tidak-tidak, itu hanya suara imaginer. Aida tak sebodoh itu berteriak seperti itu. Ia masih sayang pada nyawa kawannya itu.
Gadis bersurai pendek melotot. Ia melangkah keras untuk melihat semua benda itu. "Ka-kau mencuri di Rakuzan?!"
Temannya itu hanya mengangguk polos, berbanding terbalik dengan yang dia perilaku yang dia lakukan. Membuat Aida hanya bisa menatap dengan ekspresi sulit dijelaskan. "Kau sampai kapan akan--"
Perkataan terputus saat melihat cincin di tangan Ayame. Bukan karena ia kagum dengan ornamennya, bukan pula karena cincin terlihat mahal. Tapi ukiran cincin itu. Aida mengenalinya. "I-ini cincin kerajaan! Darimana kau mendapatkannya?!"
Ayame hanya memiringkan kepalanya bingung. Tapi kemudian ia langsung menjawab. "Dari gelandang--"
"Mustahil itu Gelandangan, Ayameku Sayang!" Aida tidak bisa menyembunyikan kepanikannya. Ia langsung memegang pundak Ayame seraya menggoyangkannya. "Itu pasti keluarga kerajaan yang menyamar dan kau mencuri harta terpenting mereka!!"
"Kau bisa dikutuk dengan semua leluhur mereka!" pekik Aida tak tertahan. Beruntung kawasan sekitar mereka termasuk sepi hingga tidak ada orang melihat dan mendengar kelakuan OOC ini. "Aku tahu kau barbar. Tapi jangan seperti ini juga, aku masih menyayangimu Ayame."
"Sekarang kau kembalikan cincin itu."
Ayame terdiam ia menunduk dan menatap lekat perhiasan itu. "Tapi aku menyukai--"
"Kau bisa mencuri benda yang lebih bagus dari itu," tukas Aida. "Lebih baik kembalikan segera atau 7 keturunanmu akan sial. Sekedar informasi, itu adalah cincin yang digunakan oleh pasangan kerajaan."
Meskipun Aida tidak pernah mengeyam pendidikkan tinggi. Bukan berarti dia bodoh. Ia tidak sekolah karena tak beruntung itu saja. "Ini adalah kepercayaan rakyat Rakuzan. Sudah banyak catatan sejarah orang tertimpa kesialan Ayame."
"Kau tak akan mengerti!" kini berbalik Ayame yang memekik. "Aku mengambil cincin ini bukan karena harganya ... tapi--"
"Aku tak mau tahu," pungkas Aida. Cincin pengantin Rakuzan bukan sebuah tahayul. Cepat atau lambat Ayame pasti akan terkena kutukan. "Ayame, kau percaya padaku bukan?"
Tidak ada lagi orang yang bisa Ayame percaya selain Aida (Aomine tidak termasuk karena dia monyet). Sebab hanya gadis itu yang paham akan dirinya, satu-satunya sahabat ia punya sedari kecil, di mana saat itu Ayame tak punya siapa-siapa. Berkat Aida pula Ayame selamat saat itu.
"Sekarang, kembalikan cincin itu ke kerajaan. Tak perlu memberinya pada penjaga karena pasti kau akan ditangkap," jelas Aida sambil menatap lekat mata sahabatnya. "Siapapun yang memegang cincin itu selain keturunan kerajaan akan tertimpal kesialan. Kau akan terkena sial, tapi mungkin hanya sebentar."
"Jadi tolong. Dengarkan perkataanku. Mizuko."
Aida akhirnya melangkah pergi meninggalkan Ayame yang dari tadi bungkam. Mata biru itu bergulir ke arah kera yang menyaksikan adegan drama itu sembari memakan pisang entah didapat dari mana.
Ayame diam. Tanpa ia sadari setetes air mata jatuh begitu saja ke tanah.
"Lalu, apa jatuh cinta juga sebuah kutukkan?
Maaf upadate dan penyampaian makin amburadul. Diriku sibuk menggambar akhir2 ini:"(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top