- 𝕋𝕨𝕖𝕝𝕧𝕖

Pagi ini entah kenapa sulit sekali bagi Tsukasa untuk membuka mata.

Tubuhnya benar-benar sakit dan juga lemas. Rasa pusing di kepala membuatnya tak dapat tidur juga enggan untuk membuka mata. Semakin tubuhnya meronta untuk dipaksakan bergerak, semakin sakit pula pompaan jantung yang berdenyut dengan frekuensi sangat cepat.

Ia selalu membatin, mungkin ini sudah saatnya jiwa ini lepas dari raga.

Terasa dari ujung kaki, kemudian menjalar ke seluruh tubuh dan berakhir di pangkal ubun-ubun.

Sakitnya bukan main jika di bandingkan dengan sakit yang timbul akibat terserempet mobil di jalanan raya.

Tak dapat dipungkiri, Tsukasa menderita. Namun enggan untuk mengeluh dan lebih memilih untuk pasrah dan putus asa.

Ini memang balasan yang setimpal dari kamisama atas perbuatannya kepada sang kakak selama ini.

Bahkan bagi Tsukasa pun, semua ini belum cukup dibandingkan dengan penderitaan yang selama ini Amane rasakan.

Ahh, bahkan di detik-detik terakhirnya, ia masih saja memikirkan Amane.

Sedang apa dia sekarang? Bagaimana keadaannya? Bagaimana kehidupannya?

Tsukasa tidak bohong. Ia benar-benar merindukan sosok sang kakak. Ia merindukan senyum hangat yang kadang kala pria itu utarakan padanya.

Tsu benar-benar merindukannya.

Besok adalah hari dimana tubuh ini akan dioperasi.

Entah berhasil atau tidak, Tsu benar-benar tidak peduli selagi ialah yang berada di tubuh ini.

Bahkan kalau bisa, batalkan saja proses operasinya.

Tinggal menunggu sang Thanatos menjemput maka Tsukasa akan hidup tanpa harus menjadi beban seperti sekarang.

"Amane..."

Bibirnya terbuka kecil. Didominasi dengan lirihan pelan nan serak yang keluar dari dalam pita suaranya.

Tsukasa menangis. Tanpa isak, air matanya mengalir pelan membasahi gumpalan bantal yang tengah ia tiduri.

Terasa hangat kala alirannya menyapu lembut kulit pucat pasi miliknya. Nampak tenang, namun menyakitkan.

Berbaring tak berdaya dengan selang-selang di tubuh membuat dirinya terlihat seperti sesosok pemuda yang mengenaskan di usia dirinya.

Samar-samar, telinga itu mendengar pintu bilik dibuka pelan.

Ia yang tengah memejamkan netra tidak berniat untuk membukanya hanya sekadar untuk melihat sesiapa orang yang tengah datang ke dalam kamar ini.

Namun walaupun begiu, telinga itu menajam.

Menangkap sebuah percakapan yang ia tahu betul itu adalah sang dokter dengan seorang pria yang hampir setengah bulan ini tidak menengok dirinya.

"Kondisinya benar-benar buruk."

Tsucigumori melirih. Terdengar dari nada bicaranya yang melembut dan tulus.

"Padahal sebelum ini keadaannya sangat jauh dari kata itu. Ia menjadi sosok yang ceria dan penuh semangat. Tapi entah kenapa, tiba-tiba saja kondisinya jadi drop seperti ini"

Sambungnya lagi berusaha mejelaskan.

Kemudian, terdengar helaan nafas lelah dari sang lawan bicara.

"Aku selalu berdoa, putraku bisa sembuh dari penyakitnya. Aku tidak pernah sanggup untuk melihat kondisinya yang selalu seperti ini,"

Balas pria itu. Nadanya terdengar parau. Seperti menahan tangis yang seakan ingin bertumpah ruah keluar dari tempatnya.

"Otou-san.."

Tsucigumori menepuk pelan pundak sang tuan. Tersenyum lembut, berusaha menenangkan kegundahan di dalam hatinya.

"Jangan khawatir. Amane anak yang kuat. Dia pasti bisa melewati cobaan ini."

Mendengar pernyataan itu, sang empu turut tersenyum lembut. Tersirat harapan dalam dari sepasang netra coklat miliknya.

Tsucigumori melihat itu. Ia tahu itu.

"Tolong, selamatkan putraku.."

"Berdoa saja yang terbaik. Aku akan berusaha semaksimal mungkin besok."

Lalu kembali hening.

Tsukasa hanya dapat mendengar pintu bilik kembali ditutup dibarengi dengan derapan langkah kaki yang perlahan mulai menjauh dari sana.

Tsukasa hanya dapat diam.

Dibalik keinginan besar untuk berlari dan memeluk sosok sang ayah, Tsu hanya bisa menangis.

Ia begitu merindukannya.

Ia merindukan keluarga kecilnya.

Ibu yang dengan lembut memberikan kasih sayang, dan kadang kala mengomelinya saat ia mendapat nilai buruk namun kembali di sayang, Tsukasa merindukannya.

Ayah yang dengan kuat menggendong dirinya kala masih berumur lima tahun, dan dengan tegasnya mendidik dirinya untuk menjadi sosok yang kuat, Tsukasa merindukannya.

Tak dapat dipungkiri, ia begitu ingin bercanda ria dengan keluarga lengkapnya itu. Tentu saja ada Amane di dalamnya.

Namun takdir lagi-lagi selalu membuatnya harus membuka mata.

Ia dengan segala kejahatannya membuat hidup sebuah keluarga yang seharusnya damai itu menjadi kacau seperti ini.

Lihat? Bahkan Tsukasa tidak mengeluh untuk dirinya. Ia hanya mengeluh untuk takdir keluarganya.

Bibir bawah yang pucat di gigit erat. Tangis yang tenang kini semakin terasa menyakitkan.

Hati Tsukasa teramat sangat sesak untuk ini.

Seolah diremuk, hingga membuatnya rapuh dan terpecah belah menjadi abu yang kotor.

Ingin sekali ia berteriak. Namun tidak ada satu kata pun yang dapat mewakili isi hatinya. Toh sekalipun ada, ia harus ingat bahwa kondisi raganya sangat tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu.

Dan berakhir hanya bisa menangis pilu sembari menggumamkan kalimat kecil yang penuh arti dan juga makna.

"Tsu rindu Tou-san.."

"Tsu rindu Kaa-san.."

"Tsu rindu Amane.."

"Tsu ingin peluk Tou-san.."

"Kaa-san..Tsu ingin dipeluk Kaa-san.."

"Amane.. Asobo.."

"Minna.. Tsu ingin pulang.."

= × 🍩 × =

Masih teringat jelas suara parau sang bunda yang menangisi kepergiannya. Genggaman tangan terlepas pelan seiring kasur dorong itu masuk ke dalam bilik khusus operasi.

Masih teringat jelas wajah sembab sang bunda yang menatap penuh tak tega kepada putra sulungnya. Helaan nafas pasrah terdengar pelan, Tsukasa sangat tau, ini akan terasa menyakitkan.

Kedua wajah yang mulai menua itu masih terukir jelas di dalam benaknya. Tsukasa bahagia, didetik-detik terakhir hembusan nafasnya, ia masih dapat melihat lekuk wajah rupawan nan anggun itu.

Walaupun isak tangis menjadi pengiring, walau raga yang ingin direngkuh nampak rapuh, Tsukasa bahagia.

Setidaknya ia tidak menyesal. Karena kedua wajah itulah yang akan menjadi hal terakhir yang ia lihat sebelum jiwa itu bertemu sapa dengan ajalnya.

Tidak ada Amane.

Tsu tau betul bahwa sang kakak tidak akan datang untuk melihat dirinya. Hanya gadis bermarga Yashiro yang berusaha mati-matian menahan isak tangis dan lebih memilih menenangkan kegelisahan sang nyonya Yugi.

Tsukasa tersenyum getir.

"Akhirnya..."

Lalu bergumam dengan pelan.

Raganya nampak mati rasa. Perasaan kalut kian menggerogoti hati.

Tsukasa menangis. Air matanya mengalir pelan membasahi wajah seiring obat bius itu menembus kulit dan berakhir menghilangkan kesadarannya.

"Tou-san, Kaa-san, Amane, Tsu sayang kalian..."

Adalah ucapan terakhir nan pelan sebelum kemudian kedua netra itu tertutup dengan sempurna.

Menyisakan buliran kristal bening yang terjatuh pelan, lalu tenggelam dalam lautan kesakitan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top