"Amane, aaa~"
Sumire menyuapkan sesendok bubur sumsum kepada Tsukasa yang tengah duduk menyandar pada sandaran brankar bilik kamarnya.
Tsukasa melahap dengan lesu. Nampak sekali bahwa pria itu sedang tidak bersemangat hari ini. Bahkan akhir-akhir ini.
Membuat Sumire selaku suster yang merawat bocah itu merasa cemas akan tingkah laku Tsukasa yang nampak berbeda dari hari-hari biasanya.
Dibelailah lembut surai coklat kepunyaan lelaki itu. Membuat sang empu langsung menolehkan kepala, menatap sedih suster di depan mata.
"Amane? Kenapa? Tidak biasanya kau jadi pendiam seperti ini.." tanya Sumire lembut. Membuat lelaki di sana menundukkan kepala suram.
Nampak sekali bahwa Tsukasa tak berniat untuk membalas pertanyaan Sumire. Pria itu mengabaikan wanita di sana dan lebih memilih untuk diam.
Sumire yang merasa diacuhkan hanya bisa bersabar seraya menyunggingkan seutas senyum lembut. Bahkan tak jarang wanita itu menghembuskan nafas lelah.
"Amane takut?"
Mendengar pertanyaan lembut itu, Tsukasa menggelengkan kepala pelan. Kedua tangannya meremas kuat selimut yang membalut tubuh.
"Ne Sumire-san.."
Mendengar namanya disebut, Sumire langsung menimpalinya dengan lembut.
"Apa operasi itu sakit?"
Ternyata dugaan Sumire benar. Lelaki ini memang tengah ketakutan perkara operasi yang akan dilakukan beberapa hari lagi.
Hal itu membuatnya tersenyum teduh.
Ada perasaan iba yang bergelora dalam hati. Merasa tak tega bocah semuda dirinya harus menjalankan operasi yang bahkan berhasil pun nilainya sangat minim.
"Sekali lagi, apa Amane takut?"
Sumire berusaha bertanya lembut. Satu tangan bergerak pelan mengelus surai lembut kepunyaan Tsukasa.
"Ngga tau, mungkin iya"
Sumire terkekeh kecil.
"Jangan takut.. Amane kan kuat?"
"Sumire-san tidak menjawab pertanyaanku!"
Sumire tersentak kaget kala Tsukasa tiba-tiba meninggikan nada bicaranya.
"Operasi. Apa operasi itu sakit?!"
Wanita ayu itu sedikit tertegun dengan ucapan Tsukasa.
Apa lelaki itu memang setakut ini? Sampai-sampai ia menanyakan hal dengan kedua netra yang mulai berkaca-kaca?.
"Tidak, tidak sakit kok.."
Tsukasa tak membalas. Ia hanya menatap Sumire penuh dengan kehampaan.
"Amane harus yakin, bahwa Amane pasti bisa sembuh."
"Kenapa harus yakin?"
Sumire tersenyum cerah. Ia mengepalkan salah satu tangannya dan meletakkannya di depan dada milik Tsukasa.
"Karena keyakinan itulah yang akan membawa kita keluar dari semua permasalahan yang ada"
Sejenak, Tsukasa dibuat termangu. Menatap Sumire dengan kedua netra yang bergetar kecil.
Lalu pria itu menunduk, meremas selimut yang membalut tubuh dengan kuat. Meredam perasaan bersalah yang selalu menyelimuti hati penuh ilusi.
"Sumire-san, aku selalu yakin."
"Hanya saja.. "
"Keadaan yang sama sekali tidak pernah memihak padaku"
= × 🍩 × =
Tsukasa POV
Entah kenapa, semenjak perdebatan singkat antara aku dan Amane, semangatku untuk terus memperjuangkan tubuh ini mendadak turun.
Perasaan salah terus saja menggerogoti hati.
Merasa sudah gagal menjadi adik yang baik untuk Amane.
Aku memang bodoh. Egois. Dan tidak tahu diri.
Saat Amane sedang mati-matian mempertaruhkan nyawa di dalam bilik ini, aku malah dengan senangnya berlari-larian seolah tak memiliki beban di luar sana.
Egois bukan?.
Aku terlalu bangga dengan diriku sendiri. Lalu mengabaikan fakta bahwa Amane juga pasti menginginkan bagaimana menjadi diriku.
Sedikit saja. Sedikit saja aku ingin merasakan apa yang hati itu rasakan.
Bagaimana perasaannya, bagaimana isi hatinya.
Aku ingin merasakannya.
100 miliar persen aku yakin, bahwa Amane sekarang pasti sudah benar-benar membenci diriku.
Lihat? Bahkan sudah lebih dari tiga hari ia tidak menjengukku kemari.
Dia pasti merasa kesal.
Perkataanku tempo hari memang sudah benar-benar membuatnya hancur.
Egois sekali aku ini!.
Bahkan di saat tubuh kita tertukar, aku masih saja berharap bahwa tubuh ini akan kembali normal.
Tidak heran jika Amane membenciku. Aku juga tidak menyalahkannya.
Jika sudah tau begini, bukankah bagus kalau aku mati saja dengan membawa tubuh ini bersamaku?.
Kupastikan Amane tidak akan pernah merasa sakit-sakitan lagi. Dia tidak perlu meminum obat-obatan dan disuntik jarum di setiap harinya.
Jika itu bisa membuatku menjadi adik yang baik untuk Amane, maka dengan senang hati akan aku lakukan.
Karena apa? Karena aku sangat menyayangi Amane lebih dari diriku sendiri.
Aku tidak akan membiarkan Amane tersakiti lagi.
Tidak akan.
Tsukasa POV end.
= × 🍩 × =
"
Amane.. Ayok, aaa"
Sumire menyodorkan sendok penuh buburnya ke arah mulut Tsukasa. Namun sayangnya pria itu langsung menutup mulut dan memalingkan wajah ke arah lain.
"Sedikit saja Amane.. Kau bahkan belum memakan satu sendok pun buburmu."
Tsukasa nampak sama sekali tak perduli.
Bukannya pura-pura, nafsu makannya untuk hari ini memang benar-benar sedang buruk.
Mencium aromanya saja sudah membuat perutnya mual. Apalagi sampai mencicipi rasanya.
Apa Tsukasa terlalu banyak pikiran dan berakhir stres hingga membuat kondisi tubuhnya mendadak down?.
Ataukah semua ini memang sudah tercatat di atas takdir lelaki itu?.
Entahlah, yang jelas Sumire selaku suster pribadi Tsukasa merasa cemas akan kondisinya yang semakin memburuk.
Tubuh-tubuhnya mulai menirus. Terlihat sekali bahwa ia kekurangan asupan makanan.
Bahkan Tsucigumori pun mengatakan bahwa akhir-akhir ini Tsukasa sering mengalami kejang-kejang ringan. Dan hal itu berdampak serius pada kesehatan jantungnya.
Apakah ini artinya Kamisama menjawab doa-doa Tsukasa untuk segera menjemputnya pulang ke surga?.
Akankah semua itu benar adanya?.
Jikalau memang benar, Tsukasa akan merasa sangat senang mendengar pernyataan itu.
Dia sudah begitu pasrah dengan takdir dan keadaan.
Sangat pasrah.
"Amane beneran tidak mau?"
Sumire bertanya cemas. Dibalas anggukkan kepala lemah dari pemuda di depan sana.
"Amane kenapa..."
Tsukasa nampak berusaha membalas apa yang dikatakan Sumire. Suaranya begitu serak menandakan ia kekurangan minum.
"Tidak apa-apa kok, Sumire-san.."
Sumire menghela nafas lelah. Lalu kemudian membelai lembut pucuk rambut coklat milik Tsukasa.
"Daijoubu.. Jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja.."
Wanita itu tersenyum lembut. Berusaha menyalurkan kehangatan agar pria di depan sana bisa merasa lebih tenang.
Namun, Tsukasa lagi-lagi malah bersikap acuh. Ia lebih memilih menolehkan kepala dengan lemah ke arah jendela.
Cerahnya dunia entah kenapa sedikit membuat hati Tsukasa menjerit iri. Merasa rindu dengan hari-harinya yang penuh kegembiraan serta semangat diri.
Dan yang jelas, semua itu ia lakukan di atas penderitaan sang kakak tersayang.
Kedua netra itu perlahan mulai menitikan air mata. Kristal beningnya mulai berjatuhan membasahi permukaan pipi.
"Aku rindu Amane.."
Batinnya melirih.
"Saat aku akan di operasi nanti, apa Amane akan datang ya?".
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top