Chapter 7. Siapa yang Membuka Tirai?
Kelopak mata Mia terbuka.
Perlahan.
Dia lantas meneguk ludah tak kentara.
Tengkuknya terasa hangat oleh napas Malik yang berbaring demikian rapat di punggungnya. Sejenak ia terdiam dalam posisi yang sama, membiarkan jemari suaminya menggerayangi puncak payudara di balik gaun tidur satinnya.
Ia benar-benar terjaga oleh rangsangan sentuhan Malik yang meraba-raba permukaan kulitnya. Pijatan lembut yang meremas daging padat di dada Mia menggeliatkan gairahnya, mendesirkan aliran darah, dan mendorong lebih kuat kerja jantungnya. Mia menahan desau napas yang memberat. Jari-jari Malik mulai memilin, menegaskan keinginannya.
Hatinya berbunga-bunga.
Mia mendesah.
Geliat sensual tubuh perempuan itu membuat embus napas Malik di tengkuknya tertahan. Malik menangkap reaksi yang merespons stimulusnya. Gesekan pinggul Mia pada bagian depan pinggangnya serta merta merebakkan pori-pori di sekujur tubuhnya. Sesuatu yang panas menguap dari sana, kulitnya terasa membara.
Tubuh Malik mendesak Mia semakin rapat. Bibir basah dan uap panas napas yang mengusap kulit bahu Mia, bersama pijatan tangannya yang semakin intens pada payudara istrinya, menyengat bagaikan aliran listrik, dan dengan cepat mengalirkan sensasi berdebar yang sangat menyenangkan di tubuh perempuan itu. Getaran-getaran kecil terjadi pada tubuh Mia. Dari ujung rambut hingga kaki. Menggelenyarkan sesuatu di dalam dirinya, dan lama kelamaan segalanya berpusat pada satu titik.
Mia tak kuasa. Dia hampir menggelinjang.
Malik mengisap kulitnya semakin kencang. Tangan Mia merengkuh rambutnya, menekannya semakin dalam ke lekuk lehernya.
Sentuhan lembut Malik berubah menjadi rengkuhan tegas yang membuat Mia merintih. Putingnya mengeras di sela jari-jari Malik. Sensasi nyeri menjalar, memacu deras jauh ke bawah, melembabkan kewanitaan Mia yang turut terbelai pada saat yang sama.
Ketika desah nyaman Mia berubah menjadi erangan, Malik menerimanya sebagai sambutan yang sama tegasnya. Sang istri menerima dengan senang hati rayuan yang sudah lama ia nantikan. Malik mengangkat tubuhnya, berguling di atas Mia dan membalik tubuh mungil itu telentang. Terimpit berat badannya.
Apa yang membuat Malik begitu terbakar oleh gairah? Mia terus bertanya-tanya. Wajah di atasnya itu merah padam. Pembuluh darahnya melebar. Malik meyongsong paras Mia yang menanti, memupus jarak secepat kilat, menyatukan bibir mereka dalam pagutan panas. Mia mengikuti ritme ciuman itu. Lidah Malik menyeruak ke dalam rongga mulutnya, membelit erat lidahnya. Mia tergugah oleh rasa lapar Malik dan tanpa pikir panjang meningkahi ayunan pinggulnya.
Apa yang dipikirkannya? Mia mendongak agar Malik leluasa menyasar leher jenjangnya. Apa yang dilakukannya hingga Malik tak bisa menunggu?
Pembicaraan terakhir mereka sebelum Mia tanpa sadar terlelap hanya sekilas mengenai tetangga baru mereka yang ramah dan jelita, sang reporter yang lumayan terkenal itu. Untuk membuktikan pada Malik bahwa ia bukan manusia dengan kemampuan bersosialisasi buruk, Mia menyapa tetangga baru mereka dengan salah satu botol anggur koleksi suaminya. Janji makan malam terucap, sayangnya Mia belum bisa berjumpa dengan pasangan sang reporter gara-gara lelaki itu sedang sibuk bekerja di kota lain.
Malik dengan lahap menjilat dan mengunyah payudara istrinya, menggelinjangkan tubuh Mia dan membuatnya menggelepar oleh pecutan gairah. Bersama kecupannya yang terus menyasar semakin ke bawah, membasahi perut pipih Mia dan menyusur sepanjang tulang kemaluan perempuan itu, Malik melucuti helai terakhir yang menempel di tubuh istrinya. Di antara paha Mia, Malik membenamkan kepalanya. Lidahnya menjelajah.
Panggul Mia bergetar.
Gairahnya membuncah bagai peluru yang dilesatkan. Gerakan tubuhnya di bawah pengaruh cumbuan menjadi tak terkendali. Tangan-tangan Malik menggagapinya, membelai sepasang payudara indah yang semakin merona terhasut rangsangannya. Mia begitu bahagia hingga bibir ranumnya meracau tak keruan. Lidah Malik membawanya terbang ke langit.
Jantungnya bertalu kencang. Dia tahu, semuanya akan segera berakhir setelah Malik memelorotkan celana piama hingga lutut dan menjejaknya lucut. Namun, Mia tak kuasa menahan gejolak asanya membumbung. Segalanya berjalan jauh lebih baik dari sebelumnya, melampaui harapannya, siapa tahu malam ini Malik mampu mempertahankannya sedikit lebih lama?
Malik mengaum buas di telinga Mia. Tubuh mereka menyatu. Kepasrahan dan penerimaan diri Mia melingkupi Malik. Dorongan yang kuat untuk mendengar bibir kecil itu merintih tiba-tiba hadir menguasainya. Malik meraup senggenggam rambut istrinya dan mengentaknya kuat ke belakang.
"Malik!" seru Mia terkejut. "Hentikan... sakit."
"I am sorry, I am sorry," engah Malik.
"It's okay, Malik... it's okay...."
"No... I am sorry... maafkan aku, Mia...."
Lengannya yang erat memeluk Malik perlahan mengendur, terkulai di permukaan tempat tidur.
Permohonan maaf Malik terucap bukan lantaran dia menyakiti Mia, melainkan untuk pelepasannya yang terjadi dengan tiba-tiba. Seiring robohnya tubuh pria yang menyetubuhinya itu, Mia membuang napas berat tanpa kentara. Terpaksa ia kembali menelan bulat-bulat kekecewaan sementara Malik menyarangkan kepala di atas dada telanjangnya dan tidur seperti bayi kekenyangan.
Di sana Mia tercenung.
Matanya bersirobok dengan tatapan seseorang yang dengan cepat melintas dan lenyap ditelan kegelapan.
***
"Malik... apa kamu yang buka tirainya semalam?" tanyanya pada Malik di dapur.
Malik menoleh dengan alis menukik, ia tengah memasang penyaring pada mesin pembuat kopi.
"Maksudmu pagi ini?" tanyanya. "Sorry, aku belum sempat buka tirainya, langsung ke bawah. Kamu tidur nyenyak sekali, Sayang, selamat pagi, aku nggak mau ngebangunin kamu."
"Maksudku semalam," kata Mia singkat.
Malik semakin tampak bingung.
"Rasanya aku sudah nutup tirai sebelum naik ke tempat tidur," imbuh Mia, berdiri di sisi Malik dan meletakkan cangkir kedua di sisi cangkir suaminya. "Aku harus menutupnya lagi sebelum tidur. Bukan kamu yang buka?"
"Mungkin kamu lupa," kata Malik santai seraya menuang beberapa sendok bubuk kopi ke dalam penyaring.
Mia enggan mendebat dan memilih menyibukkan diri menyiapkan beberapa lembar roti untuk sarapan. Malik bukan tipe pria yang menutup tirai sebelum tidur, atau pintu kamar mandi. Semua itu tugas Mia sebagai pendamping. Lelaki itu akan menggosok hingga mengilap permukaan island table-nya, tapi dia tidak akan peduli pada pintu depan yang belum dikunci kecuali Mia mengingatkannya.
Mia sendiri tidak ingat secara spesifik apakah ia benar-benar sudah menutup tirai sebelum tidur. Itu sudah rutinitasnya bertahun-tahun, kadang ia melakukannya tanpa sadar dan tak bisa mengingatnya. Persis seperti semalam saat ia sengaja turun dari ranjang hanya karena melihat tirai jendela masih terbuka lebar. Pikirannya kosong dan hanya tergerak karena melihat jendela kaca menelanjangi seluruh aktivitas di dalam kamar itu.
Sosok perempuan itu begitu mengganggu. Lebih mengganggu lagi karena gaun satin yang hampir serupa di tubuhnya tampak jauh lebih memikat di badan Irma Kalia. Penampilannya begitu mengintimidasi. Dia sempurna dari ujung rambut hingga kaki. Rambutnya, parasnya, bahkan kuku-kukunya yang berhias. Kalau bukan karena tantangan Malik, Mia mungkin tidak akan pernah mengetuk pintu rumah itu tanpa kehadiran ibu-ibu lain mendukungnya.
"Sekarang kita punya tetangga sebelah," katanya, dingin. "Dia bisa melihat ke dalam kamar kalau tirai tidak ditutup."
"Dari jendelanya?" tanya Malik ragu. "Entahlah... jaraknya cukup jauh."
"Aku bisa ngelihat dia jelas dari jendela kita, itu berarti mereka juga bisa melakukan hal yang sama dari sana."
"Kalau begitu... mungkin mereka yang perlu mencemaskanmu, Mia," kekeh Malik sambil lalu.
Tapi, Mia menatapnya serius. "Dia berdiri dekat di jendelanya."
"Mungkin dia cuma melintas buat menutup tirai? Kamu curiga dia mengintai kegiatan kita sebelum tidur? Yang benar saja, Mia."
Kepala Mia menggeleng samar, tak tahan setiap kali Malik meremehkannya.
"Okay. Aku nggak pernah membuka dan menutup tirai," tandas Malik, tak ingin memperpanjang masalah, tapi juga tak sudi disalahkan.
"Kalau begitu, lain kali, karena kita sekarang punya tetangga sebelah, mungkin kamu bisa mulai membiasakan diri menutup tirai kalau-kalau aku lupa."
"What makes you so upset?" sambung Malik saat menuang air panas ke dalam mesin.
Ia sendiri tak tahu mengapa. Tirai yang terbuka itu begitu mengganggunya. Ia merasa ada satu bagian dirinya yang tidak terima dianggap belum menunaikan satu kewajiban yang bagaikan bernapas baginya sampai-sampai ia melakukannya tanpa berpikir. Lalu bagaimana tirai itu kembali terbuka jika bukan Malik yang membukanya? Jika Malik yang melakukannya dan tak ingin disalahkan, untuk apa dia melakukannya?
"Gia sudah menunggu tulisan pengantarmu untuk Shiozake-ku," kata Malik. Omelan Mia mengenai tirai membuatnya tak ingin menuangkan cangkir kedua. "Salted baked salmon with shirataki rice and bean paste. Lalu hari ini aku menunggu Bram mengantar daging burung dara dan sayur-sayuran. Suruh dia mengganti sayuran yang lama dengan yang baru di ruang penyimpanan. I want you to submit the script before lunch in my office. Aku nggak ingin sarapan."
Itu berarti Malik benar-benar kesal.
"Apa kamu mau diberitahu kalau Bram sudah datang?"
"Kalau dia sudah selesai mengurus ruang penyimpanan."
Punggung Malik menjauhi dapur dan menghilang di balik pintu ruang sebelah. Di sana lelaki itu akan menghabiskan waktu mengonsep hidangan dan plating dengan kertas-kertas sketsa dan pensil, berkorespondensi, serta membaca. Ruang kerja Mia terpisah darinya, terhalang partisi yang dipasang beberapa waktu sebelum mereka menempati rumah baru. Malik suka dibiarkan sendirian di sana. Bahkan, dia tidak memberi Mia duplikat kunci ruangan tersebut.
Biarpun Malik dengan tegas mengatakan bahwa ia tidak menginginkan apapun untuk sarapan, Mia tetap menyiapkan semangkuk bubur oats dengan biji-bjian dan berries. Karena berbicara dengan Malik saat suasana hatinya sedang buruk akan lebih runyam dibanding jika ia sendiri yang mengalaminya, Mia hanya meletakkan baki makanan di meja tanpa mengatakan sesuatu.
"Kubilang aku nggak mau sarapan," kata Malik tanpa mengangkat kepalanya dari selembar sketsa yang tengah ia kerjakan. "Kenapa kamu terus mendapatkan masalah baru?"
"Aku yakin, aku sudah menutup tirainya," kata Mia, bersikeras.
"Aku nggak membukanya!" seru Malik sama tegangnya.
"Okay. Kalau begitu tirai itu membuka sendiri."
Malik menggeram. Sebelum Mia beranjak, dia meletakkan pensil di tangannya dengan kasar. "What do you want from me?" tanyanya. Volume suaranya berkurang. "You always said, sesekali, kamu ingin aku menginisiasi sesuatu. Bukannya semalam aku ngelakuin hal yang kamu mau? I just want to be a better husband, Mia. Di rumah ini. Di kehidupan kita yang baru."
Barulah Mia mendesah, tersentuh.
"Apa ini karena aku selesai lebih cepat?" Malik menyecar. "Kamu terus mendesak, kenapa aku nggak pernah menyentuhmu, tapi ketika aku melakukannya... kamu nggak mau nerima kondisiku. Setelah ini, aku tahu kemana arah pembicaraan kita. Kamu akan menuntutku membeberkan permasalahan pribadiku di depan orang lain yang belum tentu bisa menyelesaikan masalah. Ke dokter, Malik. Ke psikolog. Kenapa sulit bagimu menerimaku apa adanya?"
Mia membuka bibir kecilnya, tuduhan Malik yang bertubi-tubi membuatnya kesulitan mengatakan sesuatu. Bagi Malik, dokter termasuk orang lain yang tidak bisa menyelesaikan permasalahan seksualnya. Mia memiliki sejuta argumen untuk mendebat itu, tapi ia tahu ini bukan saatnya.
"Aku menerimamu apa adanya," kata Mia pelan. "Aku cuma nanya soal tirai itu. Apa kamu nggak keberatan orang lain melihat kegiatan kita di atas tempat tidur? Nggak adakah kelonggaran sedikit saja buatku? Kamu bisa turun dari tempat tidur, menutup tirai itu untukku."
"You didn't sound like that waktu menuduhku di dapur. Kamu bicara seolah aku sengaja membukanya setelah kamu menutupnya sebelum tidur. Apa kamu berpikir aku melakukannya karena menurutmu... selain dalam keadaan marah, aku segila itu mendapatkan gairah seksual dari orang yang menontonku?"
"Malik!" seru Mia tak tahan lagi.
Malik mengetatkan rahang.
Sedetik sebelum Mia yakin mereka berdua akan terlibat dalam perdebatan panjang yang melelahkan, ia nyaris meloncat dari ketegangannya menghadapi Malik ketika suara bel pintu depan berdentang.
Mereka berdua sama-sama menarik napas panjang.
Dari dalam, Mia langsung bisa melihat siapa yang berdiri di balik kaca depan pintu rumah mereka. Langkahnya sempat terhambat gara-gara sekilas kejadian semalam kembali menyergap ingatannya. Irma yang pagi ini tampil sangat cantik dengan gaya rambut ikal berkilau kecokelatan dan rias wajah tebal tampak jauh berbeda dengan Irma dalam baju tidur di seberang jendelanya.
Perempuan itu melambai.
Mia mempercepat langkahnya mencapai pintu.
"Selamat pagi, Mia," sapa tamunya renyah begitu pintu di depan hidungnya terbuka. "Dengar... suamiku sudah ada di rumah."
"Oh... ya?" celetuk Mia bingung. "Lalu... ada yang bisa kubantu?"
"Terus terang saja... waktu suamiku ngelihat anggur produksi 1994 yang kamu kasih kemarin, dia tertarik sekali ingin cepat-cepat ketemu sama suamimu. Dia mau aku ngundang kalian makan malam duluan sebelum Tara dan suaminya. Aku tahu Malik sibuk, tapi aku akan sangat senang kalau kalian bisa ngeluangin waktu."
Malik?
Kening Mia berkerut. Dia bahkan belum mengenalkan keduanya secara langsung.
"Tara memanggilnya begitu," imbuh Irma terburu-buru. "Maaf. Aku nggak terlalu pandai beramah tamah. Maksudku suamimu... apa kalian bisa datang ke rumah kami untuk makan malam?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top