Chapter 5. Sang Reporter
Senyum terkembang yang seakan natural sangking seringnya Irma Kalia melatihnya, dalam satu detik ikut lenyap bersama padamnya lampu hijau di samping lensa kamera. Begitu sutradara memutuskan liputan siang di pelataran gedung perhelatan besar milik stasiun TV mereka usai, salah seorang kru televisi berlari kecil mendekati sang reporter perempuan.
Irma Kalia seketika terlihat muak dengan segala atribut di tubuhnya. Dengan cekatan, kru televisi berseragam tadi membantu bintang acara liputan siang tersebut melucuti peralatan siar yang terpasang di telinga dan terselip di kemejanya.
Matahari bersinar terik. Dengan tangannya yang berjari lentik, Irma memayungi pandangan matanya. Jarum pendek pada arloji di tangan seorang kru menunjuk di sekitar angka dua belas. Siaran yang mereka ambil langsung ditayangkan pada detik yang sama untuk liputan berita siang. Bibir Irma mencebik. Dia masih marah karena produser eksekutif acara menolak menyerahkan program itu sepenuhnya kepadanya.
Begitu terbebas dari belitan peralatan yang menghambat ruang geraknya, perempuan yang baru mengawali usia 30-annya itu melompat turun dari properti yang sengaja digunakan untuk pijakan kakinya. Langkah-langkahnya terayun cepat dan agresif ke arah perangkat monitor untuk meninjau ulang penampilannya di depan kamera.Usai dua kali memutar ulang beberapa menit terakhir hasil kerjanya, lidahnya mendecap kurang puas.
Samuel, co-producer acara yang kebetulan baru saja selesai berdiskusi dengan tim kreatif, menanggapi reaksi talent pilihannya sambil menyentuh samar bahunya, "Percaya sama gue Ir. Probo maunya juga lu langsung ditendang aja dari GTN (Galaxy TV News) We fight for you. Bajingan tengik itu lama-lama bisa bikin kita kehabisan talent kalau kelakuannya kayak begitu. Anyway, paling enggak, sama kayak kita semua di sini, lu harusnya senang, ini momen cukup penting tahun ini."
Irma menghindari sentuhan Samuel dengan menarik bahunya menjauh.
"Lagipula, gue lebih percaya sama keyakinan lu sebelumnya. Lu masih sangat pantas pegang program itu daripada Magdalena," kata Samuel serius. "Nggak seorang pun di sini sependapat sama bualan Probo. Lu masih sangat cocok buat liputan anak muda."
"Ah tai," maki Irma semakin jengkel. "Kalau kontrak gue akhir bulan ini nggak ada kemajian apa-apa, gue cabut. Ini bukan ancaman. Gue mau pindah. Gue udah beli rumah di luar kota. Siapa tahu... karir di televisi lokal lebih menjanjikan!"
"Come on, Irma... itu artinya lu ngambil langkah mundur.'
"I don't care. Daripada di sini? Karir gue terhambat laki-laki cabul brengsek yang sakit hati karena gue nggak mau ditidurin!"
Sam membuang napas lelah. "Well... kalau gitu, gue nggak bisa ngomong apa-apa. Lu juga tahu... semua hal di industri ini melalui proses. Kadang panjang, kadang nggak tertahankan. Kalau lu mau cepet... lu juga tahu lu harus gimana, kan?"
Sekali lagi, umpatan kasar meluncur enteng dari bibir sensual Irma yang pagi itu dipulas pewarna sewarna bibirnya. Beberapa orang kru yang mendengar obrolan itu berpura-pura tuli, termasuk sang sutradara. Mereka semua tahu Samuel sangat serius dengan ucapannya. Tak peduli Irma sudah mengakhiri masa lajang, orang-orang berkuasa di balik layar mau menerima siapa saja yang bersedia jatuh dalam pelukan mereka demi perjalanan berkarir yang lebih mulus.
Sebelum Irma meninggalkan mereka, Sam menambahkan, "Kalau lu benci banget sama kerjaan di sini, Ir, kenapa lu nggak pakai pengaruh laki lu yang produser kelas kakap itu? Masa dia nggak mau pakai istrinya sendiri buat acara-acaranya yang mendunia? Denger-denger, dia lagi siap-siap buat ke LA lagi, kan?"
Irma hanya menggemeretakkan gigi-giginya. Menahan diri. Tidak ingin menjatuhkan harga diri di depan rekan-rekan kerjanya dengan mengumpat lebih kasar, kaki-kaki jenjangnya melangkah cepat menembus kerumunan kru. Rahangnya mengetat sepanjang perjalanan menuju mini bus berlogo stasiun TV yang membawanya ke venue.
Samuel tidak tahu apa-apa. Dia hanya menerka. Akan tetapi, tidak sulit bagi siapapun mendapatkan gambaran mengenai ketidakharmonisan pernikahannya. Kurang dari dua tahun lalu, Irma mengejutkan rekan-rekannya dengan menikahi seorang produser musik, acara, dan film bertaraf internasional yang beberapa saat sebelumnya terlibat dalam sebuah proyek dengan Galaxy Televisi.
Galaxy Televisi—tempat Irma bekerja beberapa tahun terakhir—mengirimnya sebagai salah satu perwakilan Indonesia ke sebuah event dunia mengenai kelestarian hutan di Brazil. Di sana ia bertemu pria pemikat yang sejak awal sudah mendekatinya demi satu alasan yang jelas, hubungan seksual singkat tanpa kerumitan. Meski Anselimus Jalu sudah sangat jarang menginjakkan kaki di Indonesia, tapi kehadiran Irma di sana seakan mengobati kerinduannya akan sesuatu, atau seseorang. Dengan cepat Irma terpilih menjadi gadis selanjutnya. Namun sejak awal dia tahu, hati lelaki itu bukan untuknya.
Setiap kali mengingatnya, organ-organ dalamnya pedih seperti disayat-sayat. Ia sedang berada dalam puncak kekalutan yang nyaris mendesaknya di sebuah jalan buntu ketika hubungan satu malam dengan pria itu memberinya jalan keluar. Jalan keluar yang penuh tipu daya. Dua bulan kemudian, Irma menyusul ke Filipina untuk memberitakan kehamilannya pada Ansel.
Mendengar Samuel mengungkit-ungkit mengenai pernikahan membuatnya ingin meledak. Kondisi psikologisnya semakin terguncang ketika Probo, produser eksekutif brengsek itu terang-terangan merayu meski tahu dia sudah bersuami. Seolah dengan jelas ia mengatakan bahwa pernikahannya tak lebih dari omong kosong belaka.
Air mata Irma Kalia sudah menggenang di pelupuk ketika pintu minibus diketuk. Wajah Bella, salah seorang kru, melongok di balik jendela kaca yang terbuka. "Ada yang jemput, tuh," beritahunya.
"Siapa? Probo? Suruh pergi ke neraka aja. Gue mau resign. Persetan sama dia!"
Bella meringis. "Ansel," ungkapnya singkat, kemudian menghilang dari balik jendela.
Hanya perlu satu nama untuk mengejutkan Irma Kalia hingga bola mata cokelat beningnya membulat tak percaya. Tanpa mempertanyakan sampai dua kali mengapa Bella tidak mengajak tamunya mendekati minibus, Irma melompat turun.
Sebulan terakhir ini dia kesulitan menghubungi pria itu. Semua cara telah dia coba, menggunakan nama sang ibu yang begitu menyayangi menantu tampannya, sampai rencana Irma pindah ke kota lain di mana sebuah rumah telah menantinya. Tak satu pun mendapat respons dari Ansel. Dia sendiri tak tahu di mana keberadaan suaminya. Apa yang menggerakkannya kemari? Berkas perceraian yang dikirim oleh pengacara Ansel sudah dibuangnya ke tempat sampah, apakah dia berkunjung untuk membujuknya mengakhiri pernikahan?
Tapi Irma tidak bisa menyudahinya sekarang. Semua keputusan itu tidak berada di tangannya.
Perempuan jangkung itu berlari-lari kecil ke arah lahan parkir yang disediakan penyelenggara acara khusus untuk awak media.
Ada getar yang menggerakkan hatinya ketika sosok itu ia temukan. Dengan cepat Irma menganggapnya sebagai sebuah kelegaan alih-alih rasa rindu. Bayangan sang ibu yang tengah terbaring dan pesan terakhirnya sebelum Irma meninggalkan rumah sakit di sore yang basah itu terngiang di telinganya. Hal terakhir yang diinginkannya adalah kebahagiaan putri tunggalnya. Wanita yang semakin rapuh sejak belahan jiwanya pergi, meninggalkannya bersama seorang putri kecil belasan tahun lalu itu bakal hancur kalau sampai ia tahu pernikahan putri kebanggaannya yang cantik tak lebih dari sandiwara konyol.
Langkah-langkah Irma justru melambat ketika tatapan Ansel bertemu dengannya.
Wajah bosan yang selalu diperlihatkan Ansel tak pernah menjadi persoalan bagi perempuan itu. Cinta Ansel tidak pernah menjadi tujuannya.
"Irma," sebut Ansel dingin. "Kita harus bicara."
"Setidaknya kamu bisa nyium pipiku," kata Irma sambil mengulas senyum tipis.
Ansel mengambil kacamata hitam yang bertengger di hidung bangirnya. Alis tebal yang menjadi salah satu daya tarik utama di wajah aristokratnya mengerut di tengah. Tatapannya, seperti biasa, mencemooh perempuan jelita di hadapannya sebelum ia berpaling. Namun, ia tetap melakukan apa yang disarankan Irma. Kecupan di pipi putih Irma nan mulus terasa sedingin es. Ansel bahkan sengaja mendengus di permukaan bak pualam itu. Ekspresi segan tidak ia sembunyikan dari parasnya yang rupawan.
Ansel selalu tahu jabang bayi di perut Irma bukan miliknya, tapi perempuan itu begitu pandai mengelabuhi. Bahkan dirinya yang bergidik mendengar kata komitmen pun akhirnya menyerah, pengaman tidak selalu bekerja dengan baik, bagaimana kalau benar itu anaknya? Sampai kemudian kecurigaannya terbukti.
"Aku menunggu," buka Ansel. "Kenapa pengacaraku nggak kunjung nerima berkas perceraian kita?"
"I need some time, Ansel," desah Irma, tak ingin membuang-buang waktu lagi. "Antar aku pulang dulu, ya?"
Ansel meredam segala emosi yang berkecamuk di dada dengan mengutuki Irma di dalam hati. Tanpa ia sanggupi pun, Irma sudah mengambil keputusan sendiri. Dia mengitari moncong mobil, lalu masuk dan duduk di samping kursi kemudi.
"Sampai kapan?" serang Ansel tak sabar. Menyaksikan Irma mengembuskan napas nyaman saja begitu mengganggu perasaannya. "Apa yang kamu tunggu? Kamu nggak bisa menentukan kapan ibumu wafat, kan?"
Irma hanya membasahi bibirnya.
"Your Mom is calling me, every day, nanyain sekarang aku lagi di mana, kapan aku pulang, katanya aku harus cepat pulang supaya kita bisa punya bayi lagi. Kalau kamu tega nyakitin ibumu dengan kebohongan, aku nggak bisa. Suaranya terngiang di kepalaku, bikin aku susah tidur, bikin kerjaanku nggak beres, ngehantuin aku siang dan malam. Aku yang bakal beneran gila lama-lama kalau begini!"
"Aku sudah bilang ke dia supaya nggak gangguin kamu," keluh Irma.
"I don't want to listen to your excuse anymore," tegas Ansel. "Kamu sudah ngebohongin aku. Perjanjian pranikah itu nggak ada artinya begitu kamu terbukti bohong, Irma. Aku ngikutin permainanmu karena aku masih punya hati. Pertanyaannya... apa kamu masih punya hati?"
Irma meneguk ludah. Ia mulai resah.
" Siapa orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap bayi itu aja kamu nggak mau ngasih tahu aku. This is enough. Pengacaraku nggak akan hanya mengirim berkas ke alamatmu kali ini. Dia bakal neror kamu, dan kalau kamu nggak bisa diajak kerjasama, terpaksa... aku harus pakai cara yang nggak akan kamu sukai."
"Lalu gimana dengan ibuku?"
"It's your business!" Ansel memukul kemudi di depannya. "Kamu yang brengsek. Aku nggak ingin nyakitin ibumu, tapi sorry... aku nggak bisa nyerahin hidupku sebagai gantinya."
"Ansel... dia bisa mati...," ratap Irma sambil meraup mukanya dan menangis tersedu-sedu.
Ansel berdecih, ia tak bisa lagi membedakan antara air mata sesungguhnya dan kepalsuan setelah merasakan sendiri dirinya ditipu mentah-mentah. Irma bisa menangis dengan mudah. Dia pandai mengatur emosinya. Dia lebih hebat dari kebanyakan artis yang pernah Ansel kenal.
"It won't work twice," katanya sambil menggeleng samar. "Ini nggak akan sehat buat kita berdua. Kalau kamu mencintai ibumu, kamu—"
"Tutup mulutmu," potong Irma bosan. "Jalankan mobilnya."
"Apa?" Ansel berseru kaget seolah ia baru saja salah mendengar ucapan Irma. Sebelum detik berganti, pria itu sudah mengubahnya menjadi sengal tawa pendek meremehkan.
"Ada satu tempat yang mau kutunjukin ke kamu," kata Irma. "Tempatnya agak jauh. Cukup jauh dari sini. Kita ke apartemenku dulu supaya aku bisa ganti baju."
"You can't tell me what to do. I am not taking you anywhere."
"Tentu saja aku bisa," tukas Irma, tubuhnya dicondongkan ke depan untuk meraih area kunci di sekitar roda kemudi dan memutarnya. "Sekarang jalan, diam dan dengarkan, aku punya kabar yang akan membuatmu berubah pikiran."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top