Chapter 4. Cermin Terbelah




Mia selalu mengira apa yang menimpa keluarganya adalah yang paling buruk. Sampai dia mendengar kisah kelam yang tertutur dari bibir Malik Satya Hod mengenai sang ibu. Masih segar dalam ingatan Mia, sepotong bronis terakhir yang mereka perebutkan malam itu, di tengah hujan deras di dalam mobil Malik. Siapa yang bisa memenangkan kisah paling sedih berhak menyantap sepotong bronis terakhir. Malik menirunya dari adegan film Notting Hill.

Itu seharusnya menjadi permainan yang sangat manis. Percik-percik asmara baru saja mulai meletik di antara keduanya. Pada ujung kencan kedua yang nyaris sempurna, tiba-tiba saja pembersih kaca mobil Malik mengalami gangguan. Hujan besar tak kunjung usai, tidak memungkinkan bagi Malik memaksa mobilnya menembus hujan lebat.

Terpaksa, Mia membuka bungkus makanan penutup yang sengaja dibawanya pulang karena menurutnya sangat lezat. Sepotong demi sepotong kue di dalam kotak itu habis tersantap. Malik sebenarnya tidak keberatan merelakan potongan bronis terakhir pada calon kekasihnya, dia hanya ingin membuat suasana menjadi lebih hangat. Dia berniat menceritakan kisah sedih yang lucu dan membuat Mia tertawa supaya dia bisa pura-pura kecewa, sebelum Mia dengan serius membuka dirinya.

Mia tidak pernah menyangka, Malik mengungguli kisah sedihnya.

Mia berusaha keras tidak menghakimi perbuatan ibunda Malik, sebagaimana Malik berusaha tetap bungkam sambil menggenggam tangan Mia ketika perempuan itu menuturkan kisah sedih yang menimpa kedua orang tuanya. Malik terus menekankan betapa ibunya tidak memiliki pilihan lain kala itu. Ayahnya sudah terlalu keji dan seseorang harus menghentikannya.

Saat menikahi Malik, baik Mia maupun Malik sendiri tak pernah menyangka, sang ibu akan mendapatkan keringanan hukuman cukup banyak dan dibebaskan dari rumah pesakitan jauh lebih awal.

Setiap kali Mia mengerling pada kedua tangan keriput perempuan tua itu, tubuhnya bergidik. Tangan-tangan itu pernah berada di leher seseorang dan mencekiknya hingga tewas.

Hanya satu yang Mia inginkan sejak ibunda Malik tinggal bersamanya. Dia ingin perempuan renta itu keluar dari sana, atau sebaliknya.

Malam ini, Malik berjanji akan memberitahu sang ibu mengenai rencana kepindahan mereka. Mia berdiam di ruang terpisah. Sebagai istri, dia menolak dilibatkan dalam urusan Malik dan ibunya. Mia memilih menunggu dengan hati cemas. Setiap kali suara lengkingan terdengar, jantungnya berdegup amat kencang. Jika suasana terlalu hening, dia justru lebih ketakutan lagi. Beberapa kali Mia nyaris menggigil di atas tempat tidurnya, hanya karena tidak bisa berhenti membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi.

Beberapa saat kemudian, akhirnya perdebatan panjang penuh nada tinggi bersahut-sahutan ribut di luar kamarnya itu mereda.

Mia turun dari tempat tidur, melangkah pelan menuju kamar mandi sambil melepas ikatan rambutnya. Malik pasti akan berdiam sendiri cukup lama di luar setelah terpaksa melukai hati ibunya, dan sejak perempuan itu bertingkah seperti penguasa di tempat tinggal mereka, jarang sekali Mia berkeliaran di luar.

Helai terakhir pakaiannya tercampakkan di tumpukan teratas keranjang baju kotor. Sebelum bak mandi penuh terisi air, perempuan berparas manis itu menyikat rambut indahnya dalam keheningan.

Gemericik air memenuhi isi kepalanya yang kosong, sekosong tatapannya pada pantulan wajah dan tubuh telanjangnya di cermin. Malik belum juga terdengar melangkah masuk ke kamar. Mungkin jika boleh memilih, tentunya dia ingin memboyong ibunya serta. Namun, itu berarti masalah mereka tidak akan pernah usai.

Mia menelan ludah pahit. Benarkah permasalahan rumah tangganya selesai hanya dengan meninggalkan ibunda Malik di sini?

Sebentar lagi ia akan kembali hidup bebas, tapi apakah hubungannya dengan Malik akan membaik? Diam-diam sebuah ketakutan lain merayapi punggungnya. Perlahan, namun pasti. Sebelum wanita yang merasa paling mengerti suaminya itu tinggal seatap dengan mereka pun, pernikahan ini sudah demikian tandus.

Perasaan terhina yang tak bisa dijelaskan itu kembali menyerang hingga rahangnya menggemeretak. Sikat rambut di tangannya melayang membentur cermin sebagai pelampiasan, meninggalkan jejak retakan membelah pantulan wajahnya. Air mata itu sudah lama kering sejak desakan demi desakan terus ditepis oleh sang suami. Terlalu banyak pekerjaan, terlalu banyak pikiran, dan sejak atmosfer tempat itu teracuni oleh kehadiran penghuni baru yang begitu membencinya, Mia ikut-ikutan kehilangan minat.

Pada saat-saat seperti ini, seraut wajah memenuhi kepalanya.

Mia ingin menepisnya.

Dia meninggalkan pantulan dirinya di cermin dan memasukkan kaki-kakinya satu demi satu ke dalam bak mandi.

Berturut-turut, seluruh tubuhnya hingga sebatas leher terbenam dalam kubangan air hangat. Rasa nyaman sedikit menentramkan pikirannya. Matanya memejam. Otot dan syaraf di sekujur tubuhnya perlahan mengendur. Relaks.

Dia tahu, Malik lah pemilik hatinya. Ia mencintai pria yang menikahinya itu dengan sepenuh hati. Namun, perasaan cintanya itu bukan tanpa pamrih. Sebagai seorang perempuan, seorang istri, Mia merasa berhak mendambakan terpenuhinya kebutuhan batiniah dari sang suami. Hasratnya masih menggelora terhadap pria yang dicintainya itu. Dia benci mendapati dirinya merasa frustrasi secara seksual, sementara mereka terikat janji pernikahan. Mia berharap mendapatkan balasan yang sama, memimpikan seluruh jiwa dan raganya didambakan. Diinginkan. Bukankah mereka saling mencinta?

Malik seakan menganggapnya menuntut suatu hal yang mustahil. Sebuah kesempurnaan. Sedangkan menurut Mia, tuntutannya adalah batas minimal. Apa arti cinta tanpa sentuhan? Apakah kasih sayang cukup dibuktikan hanya dengan kesetiaan dan kesediaan Malik menyelamatkannya dari kemungkinan menjadi sinting gara-gara menghadapi ibundanya setiap hari?

Mia memeluk lututnya di dalam kubangan air hangat. Hatinya begitu pedih ketika menyadari bahwa kepuasan badaniahnya justru terpenuhi oleh pria lain. Pria yang ditinggalkannya tanpa berpikir dua kali karena ia percaya kelangsungan hubungan tidak bisa dinilai dari kebutuhan seksual yang terpenuhi.

Punggungnya bersandar di dinding bak mandi. Jemari lentiknya menelusuri lekuk-lekuk tubuhnya, meraba lembut setiap jengkal yang perlahan membangkitkan gairahnya. Mia membiarkan desah sensual lolos dari bibir semerah delimanya. Seseorang harus melakukan sesuatu terhadap hasratnya yang terpendam, meski itu berarti dirinya sendiri, dan angan-angannya tentang lelaki lain. Malik sudah memenuhi ruang nyatanya dan gagal menciptakan sosok yang sepenuhnya berbeda dalam imajinasi Mia. Di dalam kerinduannya yang dalam akan sentuhan penuh gairah, Malik tidak pernah hadir. Dia absen, seabsen dirinya di ruang nyata istrinya sendiri.

Mia mendesah. Mengerang.

Sekali lagi, bersama bayangan Ansel, Mia mencapai pelepasan yang bukan sekadar ilusi. Orgasme itu nyata, berikut getir yang tersisa dan perasaan menyedihkan sebelum sosok khayalan itu menghilang.

Sebelum air yang menenggelamkannya benar-benar menjadi dingin, langkah-langkah kaki dan dengusan yang begitu dikenalnya terdengar mendekat. Malik memanggil, "Mia...?"

Selama sepersekian detik Malik tercenung memandangi pantulan bagian lehernya yang seolah terbelah oleh retakan di cermin.

Dengan napas lebih tertata, Malik menghampiri bilik bertirai dan menyingkapnya. Senyumnya mengembang mahfum mendapati Mia terdiam menekuri permukaan air di depan lututnya yang ditekuk dengan tatapan kosong. Lelaki itu duduk di tepi bak mandi, mengambil jeda beberapa saat untuk menghela napas sebelum menyentuh puncak kepala istrinya.

Mia mendongak menatap suaminya. Ekspresinya datar. Dia sudah tahu usahanya akan kembali berujung sia-sia, tapi dia tetap mengucapkannya.  "Mau bergabung?"

"Mia...," kesah Malik sabar. "Kita akan punya banyak waktu nanti. Semuanya akan segera kembali seperti semula, dan lebih baik."

Dan lebih baik yang diucapkan Malik serta merta menegangkan syaraf-syaraf di leher Mia. Manik matanya menyorot tajam membalas tatapan teduh suaminya. Dia tak pernah ingin menjadi seorang pendamping yang menjengkelkan, tapi ucapan Malik begitu menyayat hatinya. Mia merasa tersinggung karena Malik mengucapkannya seolah-olah kehadiran wanita jahat itu adalah satu-satunya masalah mereka.

Itu hanya kambing hitam, jerit Mia dalam hati.

"Tolong jangan mulai lagi," pinta Malik letih.

"Kamu ngehindarin aku di rumah ini karena ada perempuan itu, tapi sikapmu sama sekali nggak saat kita cuma berdua saja. Apa maksudmu bicara seakan-akan pindah ke rumah baru bakal membuat hubungan kita menjadi lebih baik?"

"Astaga, Mia.... Waktu itu masih ada William di luar!"

"William bisa pergi kapan aja kalau kamu memang punya hasrat sama aku, istrimu. Kalau memang masalahmu cuma nggak enak sama kehadiran ibumu di tempat tinggal kita!"

"Mia... please... stop being irrational. Kamu ingin berbuat di lantai kotor yang berdebu?"

"Bukan masalah rumah itu berdebu, Malik!" Mia nyaris menjerit dan semakin kesal karena Malik memandanginya seolah dia mengada-ada. "Kamu menolakku di manapun, kamu sudah menolakku sebelum perempuan itu datang."

Mia kehilangan kesabaran. Kepalan tangan di dalam air itu diayunnya sekuat tenaga. Malik refleks melompat menghindari cipratan air, sementara Mia bangkit dan melangkah keluar dari bak mandi.

Sebelum ia mencapai pintu, tangan Malik merebut lengannya. Mia mencoba melepaskan diri, tapi kekuatan Malik jauh di atasnya. Mia meringis merasakan nyeri saat punggungnya dihempaskan ke dinding. Kedua tangannya diikat dengan satu tangan Malik di atas kepala.

"Kamu selalu saja memberontak sejak kita menikah," erangan Malik membayangi rahang Mia yang berpaling. "Harus kuapakan istri sepertimu?"

"Aku sudah capek jadi istri yang patuh, Malik," jawab Mia, pita suaranya bergetar lebih kuat dari yang seharusnya. "Harus bagaimana lagi aku memohon?"

"It's just sex, Mia, I have done a lot more for you. For us!"

"It's not enough!"

Malik menggeram. Murka. Hidungnya mendengkus dalam jarak sebuku jari dari puncak hidung istrinya yang mencelangkan mata tanpa rasa takut di hadapannya. Rahangnya mengeras. Dia sudah cukup letih karena harus menyisihkan sang ibu dari kehidupannya, dia hanya berharap Mia sedikit berempati pada kesulitannya. Sedikit saja. Namun, sepertinya Mia juga sudah mulai putus asa menghadapi kekacauannya sendiri.

Saat Mia berusaha memutar pergelangan tangannya yang terkunci di atas kepala, Malik merasakah darahnya menggelegak. Perlawanan Mia sekonyong-konyong membangkitkan hasratnya.

Tubuh Malik merapat, menghimpit dada Mia hingga perempuan itu merintih.

Rintihan Mia yang merana semakin menggelitik gairah Malik, menghasilkan dorongan yang menggebu untuk merampas bibir merah dalam jangkauannya dengan bibirnya. Ia biarkan amarah menguasainya. Tubuh telanjang Mia menggolakkan darah dinginnya, tapi sikap buruknya lah yang membuat gairahnya membara. Hanya setiap kali Mia melawan dan memicu amarahnya, Malik membiarkan sesuatu yang tak bisa ia kendalikan mengambil alih kontrol tubuhnya.

Mia memekik. Malik memelintir lengannya ke balik punggung dan mendorongnya kasar melewati ambang pintu.

Malik merangkak di atas tubuh istrinya yang tergolek menunggu setelah dihempaskan ke atas permukaan tempat tidur. Ia menanggalkan kemejanya dengan cepat dan terburu-buru, berpacu dengan amarah yang ia tahu secepatnya akan padam. Lidah dan sentuhan Malik menjelajahi tubuh perempuan yang seharusnya bisa menggetarkan jiwa pria manapun tanpa ia harus banyak berusaha. Mia menggulatnya, mengambil alih posisi Malik dan menduduki pinggangnya.

Mia bukannya tak memahami bahwa bukan dirinya lah yang mengobarkan gairah Malik saat menyetubuhinya, melainkan pemberontakannya, tapi ia sudah berada di titik di mana ia tak peduli lagi apa alasan pria itu menyentuhnya.

Sayangnya, seperti yang sudah-sudah, segalanya terjadi begitu cepat. Tak lama setelah milik Malik berada di dalam tubuh Mia. Panas. Menggelegak penuh nafsu dan gairah, tapi tersudahi terlalu dini, jauh sebelum Mia mencapai apa yang didambakannya.

Napas Malik masih terengah saat Mia berkata, "Kamu tahu kalau kamu mau, kita bisa membagi masalah ini dengan seseorang. Seseorang yang bisa membantu kita. Menyelamatkan pernikahan kita. Permasalahan seksualmu bukan akhir dari segalanya, Malik, melainkan keenggananmu buat melakukan sesuatu demi kita berdua. Aku nggak sanggup harus terus menerus memberimu alasan untuk sedikit rasa cinta. Kamu mungkin bahkan nggak mencintaiku—"

Malik menyergah, "Aku mencintaimu, kamu tahu itu."

"Aku bukan anak kecil yang bisa kamu kelabuhi. Kamu nggak bisa berkelit dengan sejuta alasanmu lagi. Kamu nggak bisa mengaku mencintai seseorang tanpa menginginkannya...."

"Aku mencintaimu, aku menginginkanmu, dan aku nggak bisa tanpamu," tegas Malik tenang, membantah segala tuduhan Mia.

Bola mata Mia sontak bergerak kasar tak memercayai apa yang didengarnya. Malik demikian enteng mengucapkannya, air mata Mia menetes membasahi dada bidangnya. Tubuh perempuan itu ambruk menimpanya, tersengal-sengal melepaskan kalut jiwanya dalam tangisan.

Malik memeluknya, erat, membisik di telinganya, "Aku mempertahankanmu dengan segala ketidaksempurnaanku justru karena aku sangat mencintaimu. Aku nggak bisa memberikan segala-galanya, Mia.... Aku memiliki keterbatasan..., tapi aku akan menemukan cara...."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top