Chapter 3. Renjana

After The Marriage

Some people said, life begins at forty.

Pada usia empat puluh, seseorang mulai menyadari ada hal yang hilang. Ada bagian dari diri mereka yang semakin kosong dan menjerit ingin ditemukan, sementara bagian lain terisi penuh. Oleh karenanya, ungkapan lain mengatakan, empat puluh adalah usia dua puluh lima yang baru. Waktu di mana seorang manusia menjadi sepenuhnya dewasa.

Mereka mulai menanyakan pertanyaan-pertanyaan esensial dalam hidup.

Apa yang mereka cari selama ini?

Sebagian yang beruntung akhirnya menemukan jawaban, bahwa hal terpenting yang mereka cari dan kejar selama ini letaknya ada di dalam diri sendiri.

Malik Satya Hod memegang erat kemudi dengan senyum merekah yang nyaris tak bisa ia kendalikan. Bola matanya menggulir ke samping, ke tempat istrinya, Kalamia Modesta, duduk tenang dengan sabuk pengaman membelit kencang tubuh mungilnya.

Kabar gembira yang datang bertubi-tubi merangsang otak Malik menghasilkan dopamin berlebih. Membuat tubuhnya tidak bisa diam. Bahunya bergerak-gerak, pegangannya pada kemudi adalah pengendalinya. Dia mungkin akan menari jika berita baik yang didengarnya barusan tidak ia dapatkan saat berkendara.

"Okay," kata Mia, menyerah.

Malik melipat bibirnya sedetik, tapi kemudian tak bisa menahan semburan tawa kecilnya.

"Apa kata Gia?"

Hanya ada sangat sedikit hal yang mampu membuat Malik sebahagia itu, yakni hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan, ambisi, dan dirinya sendiri. Jika bagi Malik kesuksesan adalah salah satu bagian dari apa yang dicarinya selama ini, maka bagi Mia, itu adalah Malik yang ia hadapi sehari-hari.

"Kamu memang pembawa keberuntungan," seru Malik alih-alih, tapi kemudian senyum lebar kembali menguasainya.

Mia menggeleng samar sambil tersenyum miring mendengar pujian itu. Ia tidak berpikir pujian tersebut mengada-ada. Dia tahu Malik serius. Sudah lama sekali sejak akhirnya Mia berhenti menampik anggapan sang suami tentang dirinya. Malik Satya Hod memang memercayai hal-hal semacam itu.

Dengan getir Mia menerima kenyataan bahwa dirinya dinikahi oleh pria yang tak pernah siap menikah hanya karena kepercayaan tolol tersebut. Ironisnya, karir Malik menanjak drastis sejak mereka menikah. Buku-bukunya terjual habis, dipasarkan ke mancanegara, namanya mulai dikenal di dunia kuliner seantero negeri. Banyak pengusaha besar mulai berani menawar harga yang sangat tinggi untuk jasanya.

Apa itu berarti Malik tidak mencintainya? Mia tidak pernah tahu. Dia tidak bisa membaca pikiran orang lain, terlebih isi kepala Malik Satya Hod.

Malik selalu tampak pelik dan menyembunyikan sejuta misteri, tapi sepanjang pengetahuan Mia, itu karena suaminya adalah seorang pemikir. Dia bisa berkutat sepanjang hari di dalam bilik kerjanya, mengunci pintu, dan baru keluar untuk menuangkan ide-ide yang sudah ia geluti seharian.

Menurut klaim Malik, tentu saja dia mencintai Kalamia. Lebih dari apapun.

Mia belum pernah berpikir untuk membuktikannya. Dia hanya melirik Malik, berpikir alangkah sempit hatinya karena merasa cemburu pada kebahagiaan sang suami. Dia juga menginginkan kebahagiaan seperti itu, setidaknya di dalam rumah tangga mereka.

Akhir-akhir ini, Malik semakin jarang menyentuhnya. Alasan Malik hanya satu. Tenpat tinggal mereka.

Walaupun apartemen yang mereka tempati tergolong luas, tapi semua pekerjaan Malik, mulai dari proses kreatif, studio foto, dan ruang penyimpanan menyita sebagian besar ruang di sana. Belum lagi, sejak ibunda Malik dibebaskan dari rumah pesakitan, Malik menampungnya. Kini Mia paham mengapa seorang menantu perempuan akan menganggap hunian seluas apapun akan terlalu sempit untuk didiami tiga orang. Jika orang ketiga itu adalah perempuan yang melahirkan kepala keluarga dalam rumah tangganya.

"Setidaknya ada tiga klien besar menanti keputusanku, mereka menawarkan kontrak dengan harga yang—menurut Gia—agak nggak masuk akal untuk meal plan dan resep-resep yang bahkan belum pernah mereka lihat sama sekali," ungkap Malik dengan dada membusung, tanpa berusaha menyembunyikan rasa bangga yang meluap-luap dari caranya membagikan informasi kepada rekan kerja, sekaligus istrinya.

Mia berdecak kagum. Senyumnya hanya terkulum.

"Thanks to you, Sweetheart," imbuh Malik sambil meraih jemari Mia.

Ucapan itu bukan sekadar basa-basi—Mia menatap jemarinya yang kini berada dalam genggaman Malik—ada impian orang lain dalam keberhasilan Malik yang sayangnya semakin mengaburkan nama Mia seiring semakin besarnya panggung sang suami.

Setiap kata yang tertuang di buku-buku Malik yang terjual habis, deskripsi-deskripsi filosofis dari karya-karyanya yang menarik minat para pelaku bisnis, ada keringat dan jerih payah Mia yang tak kasat mata. Semua pujian dan penghargaan itu tertuang kepada satu nama, dan yang Mia dapatkan hanyalah sebaris dua baris kalimat setelah senyum pahitnya terkulum, serta sebuah pernikahan yang menurutnya tidak didasari dengan cinta yang tulus.

Mia mengambil kembali tangannya.

Lagi-lagi Mia menunjukkan kekerdilan itu. Dia tidak pernah mengungkapkannya, tapi Malik cukup bisa membaca bahasa tubuhnya. Mereka sudah bersama cukup lama untuk saling memahami hal-hal kecil yang dirasakan satu sama lain. Sayangnya, Malik tidak terlalu paham mengapa Mia selalu merasa dirinya tidak cukup dihargai. Bukankah dia sudah menikahinya? Bukankah kesuksesannya sebagai suami berarti kesuksesannya juga sebagai pasangan hidup? Mengapa dia selalu merasa dirinya tak cukup teraktualisasi?

"Kuharap kamu ikut merasakan kebahagiaanku sebab di dalamnya juga ada jerih payahmu," Malik menyambung.

"Aku bahagia untukmu," tanggap Mia cepat dan pendek, tapi senyum tipis yang menyertai kalimat tersebut terkesan sangat dipaksakan. "Aku cuma sedang banyak pikiran. Kuharap kita bisa segera menyelesaikan masalah dengan ibumu."

Malik tak bisa kembali tersenyum karena bukan kalimat tersebut yang ingin ia dengar. Ia ingin Mia juga berbahagia sebagai bagian dari kesuksesan itu, bukan hanya berbahagia untuknya. Namun, kata-kata bukanlah keahlian Malik, dan mengonfrontasi, atau menjelaskan dirinya sendiri sama sekali bukan kegemaran Mia.

Dalam keheningan, mobil yang dikendarai Malik menempuh mil demi mil tanpa hambatan. Mia yang menghabiskan waktu hanyut dalam jalan cerita sebuah novel terhenyak menyadari ke arah mana laju mobil melambat. Perempuan mungil itu menunduk untuk melihat satu papan nama megah di atas gerbang masuk sebuah pemukiman baru sewaktu Malik berhenti untuk berbicara dengan petugas keamanan.

CLUSTER PERMATA INDAH dengan simbol batu berlian besar pada kedua ujungnya.

"Malik, ngapain kita ke sini?" tanya Mia penasaran.

Malik mengedip lambat. Kepalanya menoleh kepada Mia yang menatapnya bingung. Rasa kecewa yang sempat melukai perasaannya sedikit tertepis menyaksikan wajah cantik Mia yang penuh harap. Di sinilah kehidupannya akan dimulai, batin Malik, bukan pada saat ia berusia empat puluh. Di sini dia akan memiliki segalanya.

Sekaligus.

"Malik...!" Mia mengguncang lengannya. "Apa kita akan menemui calon klien-mu?"

Gelengan kepala Malik membuat mata Mia membola. Jelas sekali, itu adalah jawaban yang diharapkannya. Antusiasmenya akan langsung lenyap jika ternyata mereka berada di sana—lagi-lagi—hanya demi urusan pekerjaan Malik.

"Lalu? Siapa yang kita temui di sini?" cecar Mia.

Pengelola cluster? Seorang penghubung?

Rumah baru?

Malik membeli rumah baru untuk mereka berdua! Hanya berdua!

Terkabulnya harapan itu begitu besar artinya bagi Mia. Dia merasakan sesuatu mengaduk lambungnya, tapi tanpa mual yang mengikuti. Rasa melilit itu menambah kecepatan pacu jantungnya. Excitement. Semangat. Harapan yang menggebu-gebu.

Mia menyerah. Dadanya terus berdebar penuh harap hingga pipinya bersemu. Kedua telapak tangannya terasa dingin. Mia mengusapnya di pangkuan. Kepalanya menengok ke sana kemari, menerka-nerka rumah mana yang akan mereka pilih.

Meskipun Malik masih enggan menjelaskan secara rinci alasan mereka berada di sana, tapi Mia sudah bisa menduga. Lagi pula, semuanya masuk akal. Pundi-pundi Malik baru saja terisi penuh oleh hasil penjualan buku dan kontraknya dengan beberapa perusahaan besar. Kondisi ekonomi mereka meningkat drastis.

Bulan lalu, Malik membeli satu unit mobil keluaran paling baru. Nissan Juke merah yang selama ini menemaninya kini diserahkan pada Mia.

Malik juga sudah cukup lama mengeluhkan apartemennya, dengan alasan yang agak berbeda dari Mia. Sudah tidak memungkinkan bagi Malik untuk menyimpan cukup bahan makanan yang dibutuhkannya dalam menciptakan karya-karya baru di sana. Dia membutuhkan tempat yang jauh lebih luas untuk dapur dan simpanan anggurnya.

Mia setuju, meski baginya, alasan yang paling utama adalah hadirnya permasalahan baru dalam rumah tangga mereka beberapa bulan terakhir ini. Siapa lagi kalau bukan ibunda Malik?

Mobil berhenti.

"Kita baru akan melihatnya, kan?" tanya Mia.

Malik balas bertanya, "Kenapa? Kamu kurang cocok sama lingkungan tempat tinggal ini?"

Mia tergeragap. Mulutnya membuka, tapi tak ada yang terucap. Baginya, di mana saja sebenarnya lebih baik. Dia terlalu gugup untuk mengatakan sesuatu.

"Daripada di tengah kota besar, kamu selalu lebih suka tempat yang tenang, kan?" tanya Malik lembut. "Naik-turun lift setiap hari, basement apartemen, polusi tinggi, dan lalu lintas kota... hanya cocok jika kita tidak punya banyak pilihan. Kalau kita bisa bekerja dari mana saja, kenapa kita tidak memilih tempat yang jauh lebih ramah?"

Mia menatap Malik bulat-bulat. Tenggorokannya tercekat. Dia tidak pernah setuju pada pendapat Malik lebih dari ini.

"Kamu bisa mulai menata rumah, selain dapur dan area kerjaku tentu saja," kata Malik seraya membelai rambut istrinya. Sentuhannya mendarat di tengkuk Mia, memejamkan kedua kelopak mata perempuan manis itu saat satu pijatan pelan menyapa pundaknya. "Kamu bisa menanam bunga, atau berteman dengan istri-istri yang tinggal di dalam cluster. Hanya ada dua puluh rumah, halaman belakang kita akan cukup kalau kamu dapat giliran jamuan minum teh, atau arisan mingguan—"

"Mingguan?" ulang Mia. "Kamu yakin?"

Malik mengulas senyum tipis. "Bulanan, please... jangan sering-sering mengundang orang ke rumah kita."

"Malik... kamu bicara seolah kita sudah pasti membelinya...."

"Bagaimana kalau aku memang sudah membelinya?"

Mia meneguk ludah.

Begitu Malik menunjuk satu di antara dua rumah yang tipe-nya seragam, Mia melompat turun dari mobil yang mesinnya bahkan belum dimatikan. Dengan senyum merekah dan hati berbunga-bunga, Mia membuka gerbang setinggi perutnya saat seorang laki-laki paruh baya dalam busana resmi muncul dari dalam rumah.

Lelaki itu menyambut mereka dengan gembira. Senyumnya bahkah jauh lebih cemerlang dibanding senyum Mia dan Malik digabungkan menjadi satu. Penjelasan demi penjelasan meluncur dari bibirnya, tapi sebagian besar sama sekali tak terdengar oleh Mia, tertelan suara degup jantung dan pekikan bahagia dari dalam kepalanya sendiri.

Malik terlibat pembicaraan serius dengan pria paruh baya yang memperkenalkan dirinya dengan nama William di dapur, sementara Mia yang merasa sudah cukup puas mengamati area paling luas di rumah itu mengulang sekali lagi penjelajahannya ke setiap sudut rumah. Dari area dapur yang jelas sekali sudah diatur sedemikian rupa sesuai keinginan Malik, Mia tahu mereka akan menempatinya tidak lama lagi.

Mia memasuki kamar ketiga di rumah itu dan tertegun tepat di tengah ruangan.

Selama ini Mia merasa aneh kepada dirinya sendiri. Kenapa dia tidak pernah mencurigai Malik akan hadirnya orang ketiga meski pria itu jarang menyentuhnya, meski hubungan seksual mereka terlalu dingin untuk disebut normal?

  Jadi instingnya tidak tumpul?

Memang tidak pernah ada kehadiran orang ketiga di antara mereka.

Diam-diam hatinya sempat menghangat. Malik mungkin tidak sepenuhnya meletakkan hatinya pada pernikahan mereka, tapi dia suami yang jujur. Mia lebih memilih memiliki insting yang tumpul selama pasangannya setia, dibanding tajam jika ternyata kecurigaannya benar.

Sebelum perempuan itu membalik badan untuk menyambutnya, Malik lebih dulu tiba di balik punggung Mia, dan melingkari pinggang sang istri dengan lengannya. Ia mendekap tubuh ramping itu dalam pelukan, dan mengecup pipinya. Dengan pasrah, Mia menyerahkan punggungnya di dada Malik.

"Sejak kapan kamu merencanakan ini?"

"Segera setelah aku hampir melakukan hal terbodoh dengan menendangmu dari hidupku. Aku cuma punya tabungan untuk uang mukanya waktu itu, tanpa bayangan akan melunasinya dengan cara apa."

Mia menoleh cepat, tapi Malik menahannya. "Instingku tepat, semuanya berubah setelah kita menikah. Mungkin selama ini kamu bertanya-tanya, di mana aku menyimpan uang penjualan buku, dan nilai-nilai tinggi yang tertera dalam kontrak kerjaku. Aku nggak pernah menemui wanita lain seperti yang mungkin kamu duga, Mia. Aku hanya... terlalu sibuk memikirkan masa depan kita..."

"Ibumu nggak akan menyukai ini," Mia berkata pelan.

"Ibu bisa mengambil alih apartemen kita, itu yang dibutuhkannya. Harus kuakui, kehadirannya membuat hubungan kita semakin nggak menentu. Aku nggak bisa menundanya lagi, aku nggak ingin kehilanganmu."

"Nggak ingin kehilangan jimat keberuntunganmu?" Mia melepaskan lengan Malik dari pinggangnya dan berbalik.

Malik menyambut bibir ranum yang seakan mengundangnya itu dengan ciuman, "I don't know how it offends you," bisiknya saat bibir mereka tidak lagi tertaut, hanya tatapannya yang tak ingin lepas mengagumi bibir kecil merekah di hadapannya.

"Bagaiamana kalau keberuntunganku habis?"

"Aku belum pernah mendengarmu begitu pesimis, kamu yang selalu menguatkanku dengan harapan-harapanmu, sampai aku berada di titik ini,"—Malik buru-buru meralat—"Kita berada di titik ini."

Akan tetapi bagi Mia, diralat sebanyak apapun, itu hanya kata-kata.

Dia hanyalah objek pelengkap dalam hidup Malik Satya Hod.

Mia membusungkan dada, mengisinya penuh dengan tarikan napas sebelum mengetatkan lingkar lengannya di leher Malik. Perempuan itu mengibas angan dalam benaknya. Dia sudah membuat pilihan. Bersama Malik adalah keputusan yang ia ambil mengikuti kata hati dan cintanya.

Malik mengikuti dorongan tubuh Mia yang membawanya mundur. Mereka berhenti saat pinggul Malik menabrak tepi kabinet. Bibir Malik tersenyum menyaksikan halimun hasrat yang melumur pekat menyelimuti tatapan Mia padanya.

"Ada William di luar," bisiknya, tapi lengannya yang semula membelit pinggang Mia kini meraba samar lekuk-lekuk tubuh perempuan itu. Menyusuri pinggulnya, membuat gerakan naik turun yang dia tahu akan memancing hasrat istrinya.

Kehangatan sentuhannya dengan cepat menimbulkan gelenyar panas di balik kulit Mia. Malik tersenyum penuh kemenangan. Dia menunduk, menggodai celah bibir yang sengaja Mia buat untuk mengundangnya. Namun, hanya embus napas hangatnya yang menyapa bibir Mia hingga akhirnya perempuan itu meneguk ludah dan mengatupkan kembali celah di bibirnya.

"Calm yourself, Wild Beast," kata Malik geli.

"Mmmh, no," desah Mia seraya nekat maju hendak merangsek bibir Malik dengan bibirnya, mencoba menyalurkan hasratnya yang terpendam. Sudah terlalu lama dia menunggu, dan menurutnya ini adalah saat yang tepat. Saat mereka sama-sama merasakan luapan gairah dari harapan menempuh hidup baru di rumah itu. Mia merenggut di antara paha Malik, meraba alat kelaminnya. Sayangnya, tidak ada tanda-tanda gairah yang sama dengannya di sana. Milik Malik masih teraba empuk.

"Mia...," erang Malik, memundurkan pinggang menghindari sentuhan Mia.

Mia terus meremas, mencoba merangsang suaminya. "Kita harus mencoba dapur ini dulu sebelum kamu benar-benar membayarnya, Malik...," rayunya.

"Sayang... aku sudah membayarnya," kekeh Malik seraya mencekal pergelangan tangan Mia.

Mia mengabaikannya, bibirnya sudah semakin dekat dengan bibir Malik. Seujung kuku lagi, mereka akan berciuman. Akan tetapi, pada saat yang sama, Malik justru mendongak mengecup dahinya.

"Ayo kita pulang," katanya, dengan cengkeraman lebih kuat pada tangan Mia yang kemudian ditepisnya. "Sudah hampir malam."

Tubuh Mia bergetar.

Tak ada yang lebih menyakitkan daripada perasaan tak lagi diinginkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top