Chapter 26. Jerat

I will come over.

Malik membalas pesan Irma.

Dia mencuci tangannya di wastafel setelah mengembalikan bebek-bebek bersihnya ke dalam lemari pembeku. Daging bebek segar adalah kunci hidangan terbaik, biasanya dia tak akan meninggalkan unggas yang perutnya telah bersih untuk urusan apapun, tapi kali ini dadanya sudah hampir meledak. Dia tahu apa yang akan dikatakan Irma begitu mereka bertemu nanti, bahwa seharusnya dia bisa menahan diri, bahwa semua ini adalah bagian dari rencananya, bahwa seharusnya ia justru bisa mengendalikan semua permainan jika ia mau sedikit merendahkan ego dan mengutarakan maksud sebenarnya pada Mia dan Ansel. Namun, Mia bukan Irma. Sekian tahun bersama, Malik masih khawatir istrinya terlalu konservatif untuk menerima gagasannya. Atau lebih buruk lagi, Mia akan memberontak.

Perempuan itu tidak akan diam menerima keputusannya. Dia akan bertanya, mencecar, dan segalanya tak akan berhenti sampai di sana. Kenapa harus ada orang lain? Kenapa jika Malik bisa melakukannya dengan perempuan lain, dia tidak bisa melakukannya dengan istrinya sendiri? Semuanya akan mengerucut pada satu sebab yang Malik tidak ingin Mia ketahui.

Saat lelaki itu tiba di depan pintu rumah Irma, darah sudah naik ke kepalanya. Dia merah padam. Memandangi Irma membukakan pintu dengan raut prihatin membuat Malik ingin meninju wajahnya sendiri. Dia menyerobot masuk dan melangkah cepat seperti akan menyerbu dan memaki-maki seseorang di dalam rumah. Saat menyadari bahwa dia tak akan menemukan siapapun untuk melampiaskan kemarahan, dia hanya berputar-putar di ruang tamu rumah Irma sambil memuaskan dengkus napasnya yang memburu.

"Jangan," cegah Irma.

Rahang Malik mengetat. Kulit wajah hingga lehernya merebak merah membara. Tinjunya melayang di udara, terhenti beberapa jengkal di depan bingkai foto berlapis kaca di mana Ansel tersenyum lebar di baliknya.

Malik menggeram, tinjunya bergetar, "Kalau aku bicara sekarang, Mia akan menuntut sebuah alasan. Dia tidak akan diam menerima usulan pernikahan terbuka tanpa sebab yang jelas. Aku harus ngomong apa sama dia? Bahwa aku nggak bisa mencekik lehernya, meninju perutnya, meyetubuhinya seperti aku menyetubuhi perempuan-perempuan yang nggak berarti buatku?!"

Irma menahan napasnya yang siap terbuang.

"Bagaimana kalau aku salah perhitungan?" imbuh Malik gusar.

"Tenang saja," kata Irma. "Bukannya kamu bilang... kamu memegang kartunya? Dia nggak akan meninggalkanmu kalau dia masih ingin adik tirinya melenggang bebas."

"Aku nggak menyangka dia menerimanya dengan senang hati. I saw her face. She's making fun of me."

"Jangan pernah lupa kamu memasangkannya dengan siapa. Sejak awal sudah kubilang, Ansel hanya masuk perangkap karena dia sedang bingung. Saat dia mulai mendapatkan kewarasannya kembali, dia hanya akan jadi masalah buat kita. Aku pasti sudah menceraikannya kalau bukan karena kamu—"

"But this will never happen without Ansel. Mia bukan perempuan yang bisa nyaman dengan pria yang tiba-tiba kamu datangkan ke samping rumahnya. Dia harus punya alasan. Mereka harus punya latar belakang."

Irma menghela napas. "Lihat, kan? Kamu sudah punya semua jawabannya, Malik. Yang harus kamu lakukan sekarang adalah menguasai dirimu. Ini yang kamu inginkan. Ini satu-satunya cara supaya kamu nggak kehilangan Mia dan kita bisa terus bersama. Mia akan bertahan dalam dua pernikahan ini dan Ansel nggak akan pergi ke mana-mana selama ada Mia di sisinya—"

"Bagaimana kalau mereka memutuskan buat lari bersama dari kita, Irma?"

"Terakhir kali kita bicara, kamu terdengar yakin dia nggak akan ninggalin kamu demi Ansel."

"Sebelum aku melihatnya beberapa hari belakangan ini, bersenang-senang di depanku seolah nggak terjadi apa-apa!"

"Apa yang kamu harapkan?"

"Keresahan!" seru Malik berang, mengakuinya dengan lantang. Tanpa sedikit pun rasa malu. "Aku berharap dia merasa resah, merasa bersalah."

"Oh... Malik...," decih Irma sambil menghempas tubuhnya di atas sofa. "Kupikir semua ini tentang bagaimana membuat Kalamia merasa bahagia, mendapatkan apa yang nggak bisa dia dapatkan dari kamu. You expect her to feel as guilty as you are? Is this what it's all about?!"

Malik meredam napasnya yang memburu. Dia terus berputar-putar resah, menyingkap tirai, menutupnya kembali. Pada satu titik, ia seperti ingin menjambret dan merobeknya.

"Kamu nggak berniat mengungkapkan maksudmu secara terang-terangan di depan mereka berdua, kan?" terka Irma hati-hati.

"Dia akan menuntut lebih banyak."

"Kamu nggak ingin tampak buruk. Kamu nggak mau Mia tahu apa yang sebenarnya bisa memuaskanmu. Kamu khawatir kalau suatu hari dia tahu, dia mau kamu menunjukkan hal itu padanya. Pertanyaannya... bagaimana kalau dia ternyata bisa? Apa kamu mampu? Kamu bisa mencekik lehernya? Menempatkannya di batas antara hidup dan mati seperti kamu melakukannya padaku? Kamu tahu... nggak semua orang bisa menerima hal itu. Kamu benar, Malik. Bukan Ansel yang bisa menarik pelatuknya... kamu yang bisa! Bukan orang yang ada dalam genggamanmu, tapi kamu sendiri!"

Malik menjilat bibirnya yang kering, menatap nyalang Irma yang bicara berapi-api tanpa rasa takut. "Dia akan meninggalkanku...," gumamnya. "Dia akan meninggalkanku...?"

"Malik...," kata Irma iba setelah beberapa saat ia menekuri wajah Malik dan hampir tak percaya pada apa yang dilihatnya. "Tanyakan itu pada dirimu, bukan padaku. Kamu yang mencintai perempuan itu, bukan aku. All of us stay here for a reason. Ansel stays for Mia. Mia akan kembali padamu setiap saat kamu menyuruhnya, persis seperti bagaimana kamu melakukannya dulu. No one is leaving this circle of hell. Kamu memegang kartunya."

"Jadi Mia... dia nggak mencintaiku?"

"Dia mencintaimu, Malik. It's the root of everything, tapi cinta saja kadang nggak cukup. Kamu selalu tahu dia mencintaimu, tapi lain denganku... lain denganmu... dia bisa tanpamu... bukankah karena itu kamu nggak melaporkannya ke polisi, dan menyimpan rekaman videonya?"

Mulut Malik diam membisu. Hanya bola matanya yang mengikuti langkah kaki Irma meninggalkan ruang tamu.

Malik menyeret langkahnya lebih jauh ke dalam rumah, mendapati dapur dan ruang utama kosong, kemudian menjajaki anak-anak tangga dengan cepat. Dia mengayun pintu kamar yang letaknya tepat berseberangan dengan kamar utama di rumahnya. Irma tengah membuka jubah tidurnya ketika Malik muncul. Jubah tidur panjang itu disampirkan di sandaran sebuah kursi. Irma bertelanjang bulat, tak menghiraukan Malik.

Jantung Malik berdebar. Tubuh Irma sangat sempurna. Lekuk-lekuk tubuhnya demikian pas, menyempit dan membulat pada bagian-bagian yang tepat. Buah dadanya sintal terangkat tanpa penyangga, dengan dua puncak berwarna merah tua. Pinggul dan bagian belakangnya bulat dan padat, kontras dengan ukuran pinggangnya yang sempit dan perutnya yang pipih. Kenapa dia tidak bisa lebih menginginkan kesempurnaan di hadapannya itu dibanding Kalamia Modesta?

Pintu di balik tubuh Malik tertutup.

Tatapan Malik berlabuh ada jari-jari Irma yang membelai sepanjang paha dan berhenti samar di pinggulnya sendiri. Gerakan erotis perempuan itu lantas mengalihkan bola mata Malik ke manik matanya.

"Are you still mine?" tanya Malik tanpa menghampiri kemolekan yang menantinya.

"Malik... you have no idea what I feel," tutur Irma. Ekspresi wajahnya meneduh. "Selama ini... hanya itu yang ingin kurasakan. Bahwa kamu menganggap aku adalah milikmu. Seharusnya aku yang menanyakan hal itu padamu. Apa aku pernah memilikimu?"

"Kamu nggak akan mengubah keberpihakanmu dariku, Irma?" tanya Malik lagi.

Irma menatapnya pedih. "Satu kali saja selama kita bersama sekian lama... apa kamu nggak akan menjawab pertanyaanku barusan?"

"I own you, yes or no?"

"Yes."

"Apa saja yang sudah kamu katakan pada Ansel tentang kita berdua?"

"Lagi? Kamu masih merasa harus mempertanyakan hal itu, Malik?"

Malik bergeming. Sedikit pun, tak ada niatnya untuk meringankan beban perasaan Irma yang terlukis jelas pada keruh rautnya.

"Malik... aku sama sekali nggak membocorkan apapun pada Ansel. Mulutku terkunci. Dia hanya mengira kamu laki-laki gila yang tega menyerahkan istrimu."

"Menurutmu... bagaimana dia bisa tahu sesuatu tentang kita dan menduga-duga mengenai keterlibatanku dengan rencana kita di rumahmu malam itu? Aku sudah bilang, pura-pura tidur saja malam itu. Jangan tunjukkan dirimu. Aku ingin mereka berdua berpikir mereka melakukannya atas kehendak mereka sendiri."

"Aku nggak mungkin bisa begitu," bantah Irma. "Bagaimana aku bisa ngeyakinin dia buat menyusulnya ke kamar tanpa melibatkan diri? Gimana aku bisa ngeyakinin dia supaya nggak melayangkan gugatan cerai dan pindah ke sini? Dia nggak bodoh, Malik. Kalau aku nggak pernah menyebut nama Mia, dia bahkan nggak akan sudi menginjakkan kaki di rumah ini. Sejak itu Ansel tahu. Dia tahu, selain pertemuannya dengan Mia dua tahun lalu, semuanya sudah diperhitungkan oleh seseorang. Aku. Atau kamu. Kita berdua!"

"Apa saja yang dia katakan?"

"Tuduhan demi tuduhan."

"Apa saja?"

Irma mendesah ragu. "Bahwa janin itu milikmu. Bahwa kita sudah bersama jauh sebelum kamu dan Mia bertemu—"

"Itu nggak benar."

"Aku nggak bisa meluruskan apapun jika kamu minta aku menyangkal semuanya, kan? Kamu pikir... kalau terus menerus menyangkal, apa yang akan dilakukannya? Dia akan mencari tahu, tapi bukan dengan mengorekku. Akhir-akhir ini dia nggak banyak bicara. Mungkin dia mencari cara lain... atau... dia mulai membicarakannya dengan orang lain...."

"Orang lain?"

"Mia."

Malik tertegun. Segalanya menjadi masuk akal. Perubahan sikap Mia yang drastis tentunya bukan tanpa alasan. Saat pertama kali mereka berhasil menjebaknya dengan obat-obatan di dasar gelas anggur, Mia masih Mia yang dulu. Rasa bersalah terlukis jelas di raut wajahnya meski Malik bisa merasakan tuduhannya. Namun sekarang dia berubah. Hanya dalam semalam. Pada pagi hari setelah ibunya tanpa sengaja membocorkan rahasianya, Mia menjadi terlalu relaks.

Relaks bukanlah sifat Mia. Dia bisa mendeskripsikan perempuan itu dengan ratusan kata lain—naif, pengambil risiko sekaligus penakut, lemah lembut, tertutup, tegang, gugup, pelamun, pemikir, apa saja—kecuali satu kata itu, relaks.

Dan kini, nyali Malik makin menciut. Mungkin jikapun Mia masih akan lebih memilih bersamanya, Ansel tak akan pergi begitu saja atau memilih gadis lain dan diajaknya bersenang-senang.

Dia sudah memilih lawan yang salah.

"Kamu harus mengambil risiko," kata Irma. "You can only play with someone like Ansel if you told him the whole story. Bekerja sama dengannya, bukan melawannya. Kalau kamu terus-terusan begini... mungkin saja... dia benar-benar akan mencuri Mia darimu seperti yang kamu takutkan." 

Malik terdiam.

Perlahan, Irma mengundurkan diri dan menghilang di balik pintu kamar mandi.

Selama Irma berada di dalam bilik, Malik menghampiri jendela. Mencoba membayangkan bagaimana dia dan Mia terlihat dari ruangan ini, tanpa terhalang tirai tipis yang sengaja ia singkap pada malam saat Mia sudah tidur supaya Irma bisa menunjukkan pada Ansel bahwa mereka membicarakan perempuan yang sama. Irma tidur di ranjang yang terlalu besar di dalam kamar itu sementara Ansel duduk di kursi mengarahkan teropong ke wajah tidur istrinya sampai pagi.

Ketika pintu kamar mandi terdengar membuka dan menutup, Malik memutar tubuhnya. Lagi-lagi, dia tidak tampak mengernyit atau terkesan meski tubuh Irma masih membuat jantungnya berdebar kencang.

Peraduan itu bergelombang pelan saking empuknya saat berat tubuh Irma menimpa permukaanya. Malik meneguk ludah menyaksikan bahan kulit imitasi yang melekat di kulit Irma menekan bagian-bagian tubuhnya yang menonjol. Napasnya terembus pendek dan dengan cepat tak mampu menyesuaikan ritme degup jantungnya sendiri. Malik merasakan miliknya menggeliat meski ia terus mempertahankan ekspresi datar di wajahnya.

Otaknya sibuk membayangkan betapa menggairahkannya jika ia bisa merobek gaster belt yang menghubungkan tank top kecil berbelahan dada rendah dengan stocking jaring di kaki Irma, atau membelai segitiga mungil yang menutup area pribadinya.

"Come here, Malik," ajak Irma lembut.

Irma membelai di antara pahanya sendiri dan memaku gerakan Malik. Malik bergeming, menanti apa yang akan Irma lakukan selanjutnya.

"Come on..., you can hurt me," bisik Irma, darah Malik bergolak mendengarnya.

Dengan keji, Irma menarik bahan kulit hitam menyerupai ikat pinggang yang membelit ketat lehernya dengan tangannya sendiri hingga kerongkongannya menghasilkan bunyi tercekik yang terdengar sangat menyakitkan. Darah berhenti terpompa ke kepalanya, tercekat di batang lehernya.

Napas Malik sontak menggebu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top