Chapter 24. Imajinasi Rahasia
"I am on my way home."
Malik menunggui layar ponselnya.
Beberapa meter di depan lampu merah saat laju mobil memelan, pria itu membanting ponsel di tangannya ke atas dashboard sambil meraung kesal. Irma melonjak kaget di balik kemudi dan menginjak rem lebih dalam dari yang ia kira. Mobil di belakang mereka membunyikan klakson. Nyaring. Malik semakin geram.
Mereka tiba tepat di depan rumah Malik kurang dari satu jam kemudian.
"Mau kubunyikan klaksonnya?"
Malik menunduk, mengintai halaman rumah Irma. "Dia nggak ada di rumah. Dia ada kerjaan di luar?"
"Dia nggak ambil kerjaan apapun sejak kami pindah ke sini. Dia hanya melamun, keluar entah untuk urusan apa, dan pulang larut malam. Kerjaan LA-nya baru dimulai beberapa bulan ke depan. Aku belum tahu apa rencananya untuk itu. Apa dia rela kehilangan proyek besar dan memilih hubungan yang menyenangkan ini?"
Irma mengakhiri kalimatnya dengan gedikan bahu.
"Hubungan yang menyenangkan," decih Malik pahit.
"Kalau ada satu pihak yang sangat diuntungkan tanpa kerugian sedikit pun...pihak itu adalah Ansel."
"Dia ada di dalam," putus Malik. "Turun bersamaku."
Di hadapan Malik dan Irma, Ansel dan Mia sedang berbagi meja makan di dapur yang lampunya dipadamkan. Lilin-lilin menyala di antara mereka.
Ansel bahkan tidak tampak mengernyit menyambut kedatangan istri dan suami Mia.
"Oh, hai...," sapanya sambil meletakkan gelas anggur di meja dan menyeka mulutnya. "Hey, Babe... I won the LA job."
Yang diajaknya bicara hanya mampu mengerjap dan mengerling pada lelaki lain di sisinya. Mulut Malik masih setengah ternganga.
LA job, batin Irma mengulang ucapan sang suami yang tengah berjalan menghampirinya. Hanya Mia yang berpikir mereka berdua mengelabuhi dirinya dan Malik. Atau, mungkin Mia juga sudah tahu bahwa tak seorang pun di dalam ruang itu yang masih harus dikelabuhi.
"Ansel pulang ke rumah bawa berita bagus, Malik, tapi Irma lagi pergi sama kamu," imbuh Mia seraya bangkit dan menaruh serbet di pangkuannya ke meja. Mata Mia mengikuti arah tatapan Malik. "Oh... maaf... botol anggur barumu kubuka. I thought it deserves a celebration, don't you think? Kerjaan kalian juga pasti lancar, kan? Kami nungguin kalian, tapi aku keburu lapar. I cooked your salmon with your latest recipe. Aku tahu itu masih rahasia, tapi aku terlalu gugup sampai nggak bisa mikirin resep lain. Lagi pula... ini Anselimus Jalu, produser terkenal!"
"Jangan berlebihan," kibas Ansel enteng. "Resepnya luar biasa... atau tukang masaknya yang pintar... yang jelas... aku belum pernah merasa SEPUAS ini dalam hidupku. Thank you so much, Mia."
"Kamu yang jangan berlebihan!" pekik Mia riang.
Setelah tawa manisnya reda, Mia segera menghampiri Malik dengan langkah-langkah gugup di atas sepatu berhak tinggi yang sudah sangat jarang dipakainya. Dia juga berdandan dan mengenakan gaun pendek yang tampak seksi di tubuhnya. Malik mengepalkan kedua tinju di sisi-sisi pinggang saat Mia menggamit lengannya dan membuat mimik mengerut manja yang sama sekali tak dilihatnya beberapa hari belakangan karena mereka terus bersitegang.
Rahang Malik sekeras wajahnya.
"Jangan marah," rayu Mia. Suaranya begitu menggelitik sampai-sampai Irma hampir bergidik mendengarnya. Mia terus bicara, setengah berbisik pada suaminya, "He told me about winning a job, tapi istrinya nggak ada di rumah. Aku kasihan sama dia. Dia bilang, Irma jarang ada di rumah. And I thought... kita harus berhubungan baik sama mereka, mungkin kita juga bisa dapat exposure di salah satu acara yang diproduserinya, kan? Acara internasional!"
Malik menunduk memandang wajah Mia, berusaha keras mengendurkan otot-otot wajahnya yang tegang. Senyumnya ia paksakan, tapi semua kata yang coba ia lontarkan tak pernah meluncur dari bibirnya. Mia sengaja membuatnya kesal.
Menyadari hal itu, Malik justru mampu meredam deru napas dan melempar senyum lebar pada Mia. Lengannya merangkul dan mencengkeram erat bahu istrinya, menariknya mendekat dan mencium bibirnya di depan Ansel.
Ekspresi Ansel sama sekali tidak berubah. Membalas pertunjukan yang jelas-jelas ditujukan padanya, dengan sigap dia merengkuh pinggang ramping Irma yang masih saja bergeming dan mengecup pelipisnya.
"We have to learn a lot from them," bisik Ansel di telinga Irma dengan suara yang bisa didengar semua orang. Akan tetapi, saat pasangannya itu akhirnya terbebas dari sihir yang mengakukan tubuh dan mendongak menatapnya, jangankan tersenyum, Ansel menatapnya dingin. "Shall we go home? Aku butuh mandi. Seharian berkeringat."
Mia tak sempat tercengang, dia meringis gara-gara cengkeraman Malik mengencang di bahunya. Kalimat provokatif Ansel memerahkan telinga Malik, gerahamnya mengetat hingga terasa cukup menyakitkan. Semua orang tahu, Ansel mengatakannya bukan tanpa maksud apa-apa. Karena itu saat Ansel melenggang santai keluar duluan melintasi halaman, Irma tetap tinggal bersama pasangan pemilik rumah dengan ekspresi terganggu di wajahnya.
"Aku minta maaf," ucap Irma segan. "Sikapnya agak buruk."
Semua orang terdiam, Malik melirik Mia dalam dekapan lengannya. Namun, Mia tidak menyangkal atau mengatakan sesuatu. Istrinya hanya tersenyum samar. Kanopi bulu matanya mengerjap sekali seperti boneka tidur yang ditegapkan, menatap satu-satunya perempuan selain dirinya. Rautnya datar, cenderung mengkhawatirkan. Entakan kecil lengan Malik membuatnya berjengit.
"Oh... aku harus mengatakan sesuatu?" tanyanya.
Malik mengedip lambat dan mengangguk.
"Oh, he's fine," tepis Mia. "Ansel sangat menyenangkan. Kami ngomongin banyak hal. Dia sama kayak aku. Agak kesepian sejak pindah ke sini. Kamu harus sering-sering nemenin dia, Irma. Kalau Malik jadi Ansel, sudah lama dia akan minta kamu tinggal di rumah dan bekerja untuknya. Anyway.... Kami sekalian sedikit bernostalgia. Kalau begitu selamat malam, ya, Irma, aku harus beresin dapur. Oh iya, Malik... bola lampu dapur kita padam, bisa kamu menggantinya?"
"Ansel nggak bisa mengganti bola lampu?" tanya Malik.
"Dia pikir justru romantis kalau lampunya padam. Aneh-aneh aja!"
Sesudah tergelak riang, Mia melepas sepatu hak tingginya dan melenggang santai memberesi meja makan. Malik menggiring Irma menuju ruang tamu. Di sana dia menajamkan telinga dan tidak mulai bicara sebelum terdengar kegiatan di dapur.
"Bernostalgia?" cicit Irma. "Malik, dia jelas-jelas ingin menyampaikan sesuatu. Sudah saatnya kamu—"
"Malik!" panggil Mia dari dapur. "Bisa lebih cepat? Aku nggak bisa kerja kalau kurang terang."
"Kamu sebaiknya pergi," desak Malik. "Aku akan bicara dengannya malam ini."
"Tentang semuanya?"
"Akan kuputuskan nanti. Pulang dan urus suamimu baik-baik. Sebaiknya kamu mulai tegas padanya supaya dia mematuhi aturan—"
"Aturan apa? Kita sama sekali nggak jelasin apa-apa ke dia."
"Tapi kamu tahu," Malik menghardik. "Dan kamu sendiri bilang, dia pasti sudah paham. Kasih tahu dia, semuanya harus sepengetahuanku. Bukan berarti dia bisa seenaknya mengunjungi dan meniduri istriku saat aku nggak ada di rumah!"
"You know exactly I can't do that!" Irma membantah. "Kamu masih bermimpi Ansel akan diam saja menikmati semua ini, sekaligus mematuhi aturanmu? Buat apa? Ingat, he wants her. Not just for sex. Dia sekarang pasti sudah menduga apa maumu. Dia nggak mungkin tidak melakukan sesuatu. Kecuali kamu terang-terangan membuat batasan, lama-lama bukan kamu yang membodohi mereka, Malik, tapi sebaliknya!"
"Selamat malam," tukas Malik seraya mendorong tubuh Irma yang hanya selangkah lagi melewati ambang pintu, kemudian menutupnya di depan hidung perempuan itu. Malik mengunci, membiarkan Irma mengentakkan kakinya marah di teras rumahnya.
"Agak susah disuruh pulang, ya?" sindir Mia saat melihat Malik muncul kembali di dapur.
"Ansel bilang begitu ke istri orang lain yang berbaik hati menghiburnya saat istrinya nggak di rumah? Lebih romantis kalau lampunya padam? And you... you have the audacity to tell that in front of his wife?" balas Malik. Hal pertama yang dilakukannya adalah memeriksa saklar lampu. Malik menekan, dan seluruh lampu di dapurnya menyala terang benderang.
"Oh!" seru Mia, berjingkat kecil dari wastafel tempatnya menumpuk piring-piring kotor, lalu berjalan santai ke meja makan. Bibirnya mengerucut di depan api-api kecil yang menyala di meja dan meniupnya satu per satu hingga padam. "Ternyata lampunya nggak kenapa-kenapa."
Malik mendengus, disaksikannya Mia mencabuti lilin-lilin dan mencampakkannya ke tempat sampah, lalu menyimpan pohon lilin di salah satu kabinet. Dia kembali menyibukkan diri dengan piring dan gelasnya.
"Kamu tahu aku butuh salmon-salmon itu buat besok, kan?" buka Malik.
"Ada laki-laki lain di ruang makan rumahmu yang lampunya mati, kamu malah ngebahas salmon-salmon," gerutu Mia.
"Pekerjaanku sudah nunggu-nunggu, Mia, dan anggur-anggur itu... aku bermaksud menggunakannya untuk presentasi."
"Aku cuma pakai beberapa ratus gram, masih banyak yang lain," kata Mia membela diri. "Bram bisa mengirim keperluanmu besok pagi kalau memang salmonnya masih kurang. It's not a big deal, Malik. Aku hanya mencoba menghibur seorang suami yang kesepian karena istrinya melewatkan waktu terlalu banyak dengan suamiku."
"We are working."
"Business meeting sampai dua kali."
"Aku memang nggak bilang Gia waktu meeting pertama kali."
"Oh... begitu? Okay," angguk Mia, meniriskan piring-piringnya. "Waktu tetap saja waktu, mau digunakan untuk apapun. Kenyataannya, dia nggak ada di sana saat suaminya butuh."
"Jadi kamu gantiin istrinya?"
"Malik...," kesah Mia. "Apa yang mau kamu dengar? Ya. Aku cemburu kamu melewatkan waktu bersama Irma. Kalau sekarang kamu kesal, aku berhasil. Soal anggur... ayolah... kamu masih punya banyak simpanan anggur. Masa aku mau merendahkan harga dirimu dengan anggur murah buat menjamu tamu?'
"Masih ada banyak anggur lain di belakang, Mia."
"Sama aja. Lagipula, kamu nggak bisa banyak minum. Ansel tadi sepertinya penasaran banget sama anggur-anggurmu—"
"Kamu bawa dia ke gudangku?" sergah Malik, bersiap untuk lebih murka lagi.
"Oh... enggak, mana aku berani!" Mia mengekeh kecil. "Ansel sih mau lihat, tapi aku nggak kasih. Besok aja kalau kita kumpul-kumpul berempat. Kita akan segera dinner bareng lagi berempat, kan?"
Malik belum sempat menjawab, Mia sudah menyambung, "Oh iya... aku jadi ingat... anggur yang waktu itu kubawain buat Irma... apa namanya? Itu juga diimpor dari Tuscany, kan? Ternyata bukan cuma aku yang ngerasa efeknya sangat dahsyat. Ansel juga sama kayak aku. Kamu nggak minum banyak malam itu, kan? Makanya kamu masih bisa ketemu Timothy dari Burger Stack dan ninggalin aku di rumah mereka. Ansel dan aku ternyata sama mabuknya."
Malik menelan ludah. "Oh ya?"
Mia menyerocos, "Yup. Untung kamu nggak banyak minumnya. Sedikit sekali, kan? Kamu bisa pingsan kalau minum sedikit saja lebih banyak. Aku saja sampai sempat nggak ingat apa-apa waktu itu. Sudah kubilang, tapi kamu nggak pernah mau ngakuin. Aku jelas punya toleransi yang jauh lebih tinggi terhadap alkohol daripada kamu."
Bola mata Malik berputar. "Ya... ya...."
"Herannya...," Mia belum berhenti juga. "Kalau mabuk... biasanya aku enteng bicara begini. Aku minum cukup banyak sambil ngobrol tadi. Kenapa malam itu aku malah tidur, ya?"
"Mungkin... fisikmu sedang nggak fit?"
"Bisa jadi. Apalagi kalau kamu yang minum sebanyak aku, Malik."
"Pasti lebih parah karena aku punya tekanan darah rendah," gumam Malik mendumal.
Mia menoleh, memperlihatkan hidung kecilnya yang mancung mengerut mendengar Malik menggerutu. Gelas anggur terakhir di tangannya ditiriskan. Semua pekerjaannya selesai. Mia memutar, mereka berhadap-hadapan.
"Kalau dipikir-pikir... kami malah cuma ngobrolin anggur itu," imbuh Mia, matanya menerawang seperti mengingat-ingat sesuatu. "Bagiku tetap saja... meski Ansel bilang anggur itu cukup kuat mempengaruhinya, apa yang kurasain saat itu berbeda. Itu bukan seperti mabuk karena alkohol, Malik. Aku seperti... berhalusinasi, dan badanku bergerak mengikuti. Ternyata... apa yang tadinya kupikir hanya terjadi di kepalaku, benar-benar terjadi...."
Jeda.
"Apa yang benar-benar terjadi?" sergah Malik tak sabar. Mia menunda kalimatnya terlalu lama dan menghabiskan beberapa detik menggumam kurang jelas.
"Imajinasiku," jawab Mia singkat.
Malik mendesak, "Apa itu?"
Alih-alih menjawab, Mia malah tersenyum geli dan berpaling. "Bukan hal yang penting."
"Mia... aku mau tahu."
"Semua orang punya imajinasi rahasia, Malik," kelit Mia seraya kembali ke meja makan dan melipat taplak serta serbet-serbet kotornya. "Jadi... giliranmu sekarang. Gimana kerjaanmu sama Irma? Sudah selesai?"
"Mulai syuting minggu-minggu depan," jawab Malik datar, dia masih sangat penasaran. "Aku mungkin akan butuh kamu di set. Menurut Gia, ini akan jadi highlight tambahan pada karirku yang penting untuk ditulis di buku mendatang—"
"Kamu tahu dari dulu aku nggak pernah suka ingar-bingar dunia publisitas seperti itu, apalagi yang ada kaitannya sama televisi.... Aku kerja di balik layar, Malik. Suruh aja Gia."
"This publicity is your idea, Mia," kata Malik mengingatkannya.
"I know... tapi... kamu kan tahu... aku agak... euh... entahlah... sama... Irma... kurasa kami kurang cocok—"
"Tapi kamu cocok dengan suaminya?" balas Malik tajam.
Sama persis seperti yang ditunjukkan Ansel saat Malik sengaja memberinya pertunjukan kemesraan, raut Mia sama sekali tak berkedut. Namun, senyum tipis yang miring lantas terbit di bibir Mia. "Are you jealous?"
"Aku hanya nggak suka... ada laki-laki masuk ke rumahku tanpa izin," tutur Malik tegas.
"Aku yang ngizinin, ini rumahku juga, kan?" kata Mia enteng. "Kamu ngizinin mereka merawatku dalam keadaan mabuk berat di rumah Ansel. Waktu itu kita berempat baru mengenal dalam beberapa jam, sekarang kamu marah karena aku ngajak dia makan malam?"
"Itu bahkan bukan rumahnya," gumam Malik kesal.
"Lalu rumah siapa?" sambar Mia, pura-pura tak menganggap ada yang perlu dirisaukan dari omongan Malik. "Sudahlah... kita nggak perlu ngomongin ini lagi. Aku dan Ansel cuma sedikit mengenang masa lalu."
"Masa lalu apa?"
"Kami pernah ketemu di Jepang dua tahun lalu," kata Mia santai. "Aku nggak pernah cerita karena menurutku itu nggak penting. Kamu ingat, beberapa malam sebelum ultimatum terakhirku untuk menjawab panggilan kerja singkat di Tokyo dua tahun lalu? You break up with me, kamu tiba-tiba bilang kamu nggak bisa nikah sama aku. Kamu ngomongnya di depan Bram. Ingat? That time in Tokyo I met Ansel. Oh... tapi itu cuma masa lalu, tapi karena sekarang kita hidup bertetangga... kurasa nggak ada salahnya kalau aku cerita."
Malik diam seribu bahasa. Dia sepenuhnya membatu.
"Malik, kalau kamu ke atas... tolong matiin lampu-lampu, dan jangan lupa simpan sisa anggurnya," pesan Mia, kemudian menutup mulutnya dengan punggung tangan menahan kuap. "Aku capek sekali, mau tidur, dan butuh mandi."
"Oh!" seru Mia lagi. Tangannya menyambar sehelai kain kecil di sudut meja dapur dan mengibaskannya di depan wajah malik "Ansel yang nemuin."
Warna wajah Malik berubah. Merah padam.
Itu celana dalam Mia yang hilang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top