Chapter 23. Terang Dalam Kelam

Rumah tangga itu seperti biduk yang rapuh, terombang-ambing di tengah lautan.

Kedua awaknya sama-sama tak tahu akan ke mana. Mia menjalani hari-harinya seperti mayat hidup, tak lagi melihat ada yang bisa diselamatkan. Apa yang dikatakan Ansel begitu sulit dipercaya, tapi tak pelak melukai hatinya teramat dalam. Menuduh Malik menghamili Irma sama saja mengoyak harga dirinya sebagai seorang perempuan. Walau hubungan badan mereka tidak pernah memuaskan, tapi benih Malik berulang kali tertampung di mulut rahimnya. Jika Malik sanggup membuat perempuan lain mengandung, kenapa tak sekalipun hal itu pernah terjadi padanya? Terlebih, jika Ansel berani menuduh Malik sejauh itu, selama apa menurutnya Malik dan Irma sudah bersama? Sebelum mereka bertemu? Setelah mereka bertemu? Itukah alasan Malik tak pernah mau menemui seorang dokter? Karena segala sesuatunya tentu akan bermuara ke sana? Lelaki itu berusaha melindungi perasaannya?

Jika semuanya benar, itu adalah kebohongan yang sangat kejam. Bagaimana mungkin Malik berpikir dia akan bisa menerimanya?

Pada malam yang sama, Malik masih berusaha menyentuhnya. Setelah seharian mereka lalui dalam diam, di pekat heningnya malam, lelaki itu meletakkan tangannya samar di pinggul istrinya. Mia masih terjaga. Kali itu, dia tidak merasa bahagia. Yang dirasakannya hanya segumpal dendam yang membara.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Mia dingin, seakan Malik tidak berhak menyentuhnya.

Malik berhenti meraba. Egonya sebagai lelaki tersentak. Hawa panas yang tadi sempat merebakkan pori-porinya kini mengalir lebih cepat hanya ke kepalanya saja.

Mia melanjutkan serangan, tanpa belas kasihan. "Kamu sudah mandi?"

Tak ada jawaban.

"Setelah malam tadi... apa kamu sudah membersihkan diri?"

Dan mereka pun berseteru. Malik meledak. Mia meraung dan menangis. Dia menunggu Malik berbalik menuduhnya supaya dia bisa mencecar, tapi Malik memilih mengangkut bantal dan selimut ke ruang kerjanya. Sampai beberapa hari kemudian, mereka bahkan tidak melewatkan malam di ranjang yang sama.

Ansel benar, pikir Mia.

Jika memang dia sudah menyembunyikan hubungan rahasianya dengan Irma begitu lama, tentu tak butuh keahlian khusus lagi baginya untuk tetap berbohong, bahkan bulat-bulat menyangkal. Perempuan itu terus menanti apa yang akan selanjutnya Malik katakan. Kapan segala kelam yang menyelimuti mereka akan menjadi terang? Kapan Malik akan mengakui bahwa dia sedang menginisiasi sebuah hubungan pernikahan terbuka dengan pasangan suami istri yang ditanamnya di samping rumah?

Ansel terus memintanya menanti. Baru sore ini lelaki itu akan menemuinya. Nomor yang terblokir itu sudah kembali ia buka setelah sebuah informasi berhasil Mia dapatkan. Dari William, pria yang menjual unit hunian pada Malik, Mia tahu suaminya membayar uang muka untuk dua rumah. Mendengar tarikan napas dari ujung lain pesawat teleponnya, William menduga dia sudah salah bicara. Mia meyakinkannya bahwa Malik tidak akan menyalahkannya untuk detail yang ia beberkan. Tentu saja, tidak lama kemudian suaminya akan segera tahu bahwa Mia mencurigainya. Malik tidak akan bisa berkelit lagi.

Lapis demi lapis kebohongan Malik mulai terkuak. Mia hanya mampu meredam gejolak emosinya saat Gia—publisis Malik—semalam menelepon dan mengingatkannya akan janji temu sang suami dengan produser acara Irma hari berikutnya. Hal ini berarti, pada malam yang Mia lewatkan bersama Ansel untuk kedua kalinya, tak ada pertemuan kolega seperti keterangan Malik. Hanya ada Irma Kalia dan suaminya.

Malik bahkan tak mau repot-repot menjelaskan padanya.

"Aku pulang sebelum malam," kata Malik, muncul di dapur sambil membetulkan letak dasi di lehernya. "Yakin kamu nggak mau ikut?"

Mia hanya mengangkat kepalanya sekilas dari semangkuk oatmeal yang sedang ia santap. Menggeleng acuh tak acuh. Jika mereka sedang tidak perang dingin, Malik akan menyodorkan lehernya seperti anak kecil di depan Mia supaya istrinya bisa melakukan hal itu untuknya.

"Mia...."

"Hm?"

"Kamu dengar aku ngomong apa?"

"Kamu akan pulang sebelum malam," ulang Mia, mengaduk bubur dengan perisa madunya. "Hati-hati di jalan."

Malik mengesah. Bahunya jatuh ke bawah. "I can't leave the house like this," keluhnya putus asa. Langkah-langkahnya yang terayun cepat menghampiri Mia terhenti kaku saat dilihatnya perempuan itu bergeming di atas kursi tingginya.

"Mia, please," pelas pria itu.

Mia berharap dirinya bisa menghindar, tapi batinnya yang juga tersiksa selama beberapa hari belakangan membiarkan Malik mencubit dagunya meski enggan. Lelaki itu memaksanya membalas tatapan. Mia menatapnya bulat-bulat. Seperti boneka. Dingin hatinya yang menelan keluhan Malik  tanpa perasaan terpancar dari matanya yang mencelang.

"You can't torment me like this everyday," desah Malik, merana. "Aku tahu saat ini kamu kehilangan kepercayaan padaku, tapi nanti kamu akan paham—"

"Kamu melakukannya untuk kebahagiaanku?" Mia menyambung.

Malik mengangguk tanpa rasa malu.

Rahang Mia mengatup.

Lambat, kehangatan dari embus napas yang menyeruak tertahan menerpa permukaan kulit mereka satu sama lain. Baik Mia, ataupun Malik sama-sama merasakan dorongan yang begitu besar dari dalam diri untuk berbuat lebih intim. Saat-saat emosional seperti ini dengan cepat menggolakkan hasrat Malik, dan Mia tahu benar hal itu.

Mia menunggu-nunggu.

Malik menyatukan kening dengannya dan memutar kepala berporos pada dahinya sambil menggeram tertahan.

"I miss you, Mia...," akunya, bergejolak. "Kamu nggak tahu... pengorbanan apa yang bisa kulakuin supaya kita bisa terus bersama, aku nggak bisa ngejalaninnya kalau di dalam rumah ini seperti neraka. Kamu hidupku, duniaku, jangan siksa aku di duniaku sendiri, Mia...."

Dada Mia sesak. Malik selalu menganggap semua hal yang terjadi hanya tentang dirinya. Dia tidak pernah tahu betapa hal yang sama menyiksa batin istrinya.

Celah kecil di mulut Mia tersumpal daging bibir atas Malik yang memagut erat bibir merah alaminya. Aroma mint dari napas Malik diproses kilat oleh sel syaraf pembau Mia, diteruskan ke otaknya yang dengan cepat menyalakan sensor di sekujur tubuh Mia supaya merasa nyaman, kemudian perlahan meningkatkan suhu tubuhnya.

"I miss your warmth," rayu Malik dalam jarak yang teramat dekat.

Mia terdiam meresapi kehangatan yang merasuk ke dalam rongga mulutnya. Dipasrahkannya bibirnya sepenuhnya ke dalam pagutan. Seluruh indranya berpusat pada rasa nyaman. Kedua tangannya terkulai di atas meja.

Ciuman Malik yang semula lembut kian memanas.

Di tengkuk Mia, Malik memijat lembut tulang lehernya yang mendongak. Tekanan itu terus bertambah seiring Malik memperdalam kulum dan cumbunya. Lelaki itu mulai mengisap dan menggigit samar, menarik bibir bawah Mia yang kenyal hingga perempuan itu merintih, untuk kemudian ia bebaskan dan kembali ia kulumi.

Tangan Malik yang bebas membimbing lengan Mia menggapai pundaknya. Secara refleks, lengan Mia yang lain mengikuti dan kini keduanya merangkul leher Malik. Pria itu merapat, menikmati sececap kemenangan. Bibirnya semakin rakus melahap. Rasa lapar akan absennya kemesraan di antara mereka dengan cepat menggolakkan berahinya. Mia mendesah, merasakan sebelah payudaranya teremas lembut pijatan jemari suaminya.

Tubuh Mia sudah berpindah ke atas meja ketika bel pintu rumah mereka berdentang.

Mia terengah, maju dan merenggut kembali bibir suaminya. Malik berusaha menyambutnya, bahkan meningkahi ciuman Mia dengan menyelinap ke balik rok-nya, membelai kelembaban di balik celana dalam istrinya. Akan tetapi, sebenarnya konsentrasinya sudah lama terpecah. Bel terus berdentang. Semakin cepat dan pendek jarak bunyinya.

Mia mengerang, memisahkan diri dari tubuh Malik dan melompat turun dari atas meja. Kepalanya panas. Gairah yang tak tersalurkan membuatnya meradang.

Sebelum Mia semakin jauh, Malik menahan pergelangan tangannya.

"Please...," pinta Malik serius.

Kepalanya menggeleng saat Mia meredam geram dan berbalik.

Setelah satu tarikan napas panjang, Mia memupus jarak dengan Malik. Perempuan itu menelangkup rahang suaminya dan memberinya kecupan singkat. Sambil membenarkan kembali letak dasi Malik yang miring gara-gara aksi setengah panas mereka tadi, bibir Mia membuat senyum palsu sambil berkata, "Cepat pulang. Aku harus jadi prioritasmu, Malik."

"You always are."

"Pergilah."

"Antar aku sampai ke mobil," pinta Malik.

"I have to do the dishes."

"Please."

"Malik, jangan maksa aku melebihi kemampuanku," balas Mia sungguh-sungguh.

Malik berhenti memaksa, dia tak lagi bisa berkata-kata. Dengan malas dia menyambar jaket dan tas jinjing dari ruang kerjanya, menunggu Mia muncul dari dapur supaya dia bisa mengunci pintu. Baru setelah itu, Malik keluar menyambut Irma yang menunggunya di teras.

Tanpa repot-repot menyapa atau beramah tamah dengan sang tamu, Malik menyongsong mobil yang sudah menanti mereka di balik pagar. Irma bergeming selama beberapa saat. Rautnya kaku, tapi tangannya melambai pada Mia yang menampakkan wajahnya di balik jendela.

Mia bersikeras mengintai. Tak seinchi pun ia menarik wajahnya menjauh dari jendela. Tak seulas senyum pun ia berikan untuk membalas lambaian tangan Irma.

Dia mencari-cari letak kejanggalan pada tingkah keduanya. Irma duduk di kursi kemudi. Malik di sisinya menurunkan kaca dan memandang lurus ke arah bayangan istrinya di balik jendela.

Tak adanya perubahan pada raut Malik yang keruh justru membuat dahi Mia mengerut semakin dalam. Di depan Gia yang sudah bekerja padanya sekian tahun pun, Malik masih sering memalsukan senyum usai bersitegang dengan istrinya. Gia sudah bekerja untuk Malik sebelum kehadirannya. Apapun yang pernah terjadi di antara mereka adalah masa lalu. Apakah perempuan culas di depannya ini sudah ada dalam kehidupan Malik bahkan sebelum Gia?

Kira-kira tak menunggu sampai mobil Malik menghilang dari gerbang cluster, Ansel terlihat berjalan santai melintas, dan membuka pagar rumahnya. Barulah saat itu Mia menarik dirinya dari balik jendela.

Sekonyong-konyong, dada Mia berdebar. Penampilan Ansel pagi ini mengingatkannya pada sosok Ansel yang sering dijumpainya di Tokyo dua tahun lalu, begitu rileks menebar senyum seakan ia sedang dalam perjalanan menjumpai audiens yang begitu mencintainya. Mia bersembunyi di balik pintu, menunggu Ansel membunyikan bel rumahnya. Setelah dentang kedua, Mia masih memberi jeda sekian detik sebelum menyambut kehadiran tamunya.

Saat Mia membuka pintu, Ansel sedang berdiri miring dengan bahu tersandar di dinding dan lengan dilipat di depan dada. Hidung mancungnya mengerut pada Mia, membuat bola mata perempuan itu berputar untuk menyamarkan salah tingkahnya. Mia membuka pintu lebih lebar, bermaksud memberi jalan pada Ansel memasuki rumah, tapi pemuda itu malah merenggut pinggangnya. Mendorongnya masuk ke dalam.

"Oh... God... I miss you...." Ansel mengerang, suaranya berat berlumur hasrat.

"Ansel!" seru Mia memperingatkan.

Ansel tak peduli. Dadanya mengimpit tubuh Mia ke dinding. Dia membungkuk, memendek menyesuaikan tinggi tubuh Mia, kemudian dengan berani membenamkan gigi-giginya samar di lekuk leher perempuan itu. Ansel mengendus, menghirup aroma manis yang menguar di dekat nadi yang berdenyut. Gairahnya semakin terbakar, tubuh Mia begitu hangat. Kulitnya membara saat bersentuhan dengannya.

"Ansel... kita harus bicara dulu," cegah Mia, meskipun dia tidak terlihat cukup keras mencoba. Ansel sudah memburai kancing-kancing piama di dadanya sambil mengecupi sepanjang batang lehernya yang ramping. Mia menggeliat, mengerang. Dadanya terbuka di balik bra hitam, membusung menantang Ansel yang menunduk ke bawah menahan deras air liurnya.

"Ansel!" hardik Mia lagi, menjambak rambut Ansel dan mendongakkan kepala pemuda yang sudah siap ingin menyerbu payudaranya. Mata Mia memelotot galak, Ansel mendengkus meredam nafsunya. Dia melepaskan Mia, terutama saat didengarnya suara klakson yang khas melintas di depan. Seorang penjual sayur yang menjajakan dagangan dengan mengendarai motor bak berhenti tepat di depan pagar rumah Tara.

"Saaayuuuur!" teriaknya.

Perempuan hamil itu tergopoh-gopoh keluar.

Ansel dan Mia menoleh.

"Kita harus hati-hati sama cewek hamil itu," kata Ansel kemudian.

"Harusnya aku yang ngomong begitu!" hardik Mia sambil merenggut bagian depan kemejanya dan meninggalkan ruang tamu. Ansel menutup pintu, mengekori Mia masuk ke sebuah ruangan tepat di balik ruang kerja Malik yang terkunci.

Sambil memeluk dadanya, Mia duduk di sofa.

Ansel naik ke atas sofa dan mendorong tubuh Mia rebah di bawahnya. Wajah Mia merah padam. Tangannya mencoba menutup rok yang tersingkap, sementara Ansel menyeringai, merangkak di antara pahanya. Mia berpaling, duduknya semakin rendah menimpa permukaan sofa yang empuk dengan berat tubuh Ansel menindihnya.

"Kita sudah membuktikan kebohongan Malik," kata Ansel, memandangi bola mata Mia yang menyorot tajam padanya. Dia tahu perempuan itu hanya bersikap defensif semata-mata demi mempertahankan harga dirinya yang tersisa. Di depan Ansel, tanpa sanggup mengakuinya, dia tak bisa mengelak. Rahasia rumah tangganya sudah terkuak. Dari reaksi tubuhnya, Ansel tahu Mia tak pernah mendapatkan kepuasan dari tempat lain dan saat ini ia sedang kehausan. Irma mengganggu momen intimnya dengan Malik dan itu bukan sebuah kebetulan.

"Apa lagi yang mau kamu tahu darinya? Dia membayar uang muka rumah Irma, kamu nggak seharusnya merasa berdosa melakukan ini denganku. Mereka berdua sama saja."

"Aku nggak merasa berdosa," sangkal Mia, menaikkan dagunya tinggi-tinggi. "Aku menunggu pengakuannya."

"He's a coward, pengecut," cemooh Ansel. "Dia mungkin nggak akan mau mengakuinya, dia sedang membuatmu berada di level yang sama dengannya. But you're not a saint, Mia," desak Ansel, tubuhnya semakin rendah menimpa Mia, menyusuri lehernya dan berhenti di belahan payudara Mia yang tampak tetap penuh saat dia berbaring. Ansel mengecup.

Mia mencengkeram tepian sofa. Syaraf-syaraf di sekujur tubuhnya menggelegak tersengat belaian basah lidah Ansel pada kulitnya.

"You're not an angel," imbuh Ansel. Wajahnya dibenamkan dalam kelembutan dada Mia. Lengannya menelangkup punggung perempuan yang dihimpitnya dan berhasil membuka kait bra dari balik busana Mia. Kepadatan dada Mia meluap saat penutup dadanya melonggar. Tangan Ansel menyelinap ke bawah, menuntaskan butir-butir kancing kemeja Mia dan memapar tubuh mulusnya.

Ansel mengangkat berat badannya dengan bertumpu pada satu lengan, memisah lekat kulit mereka supaya leluasa menikmati pemandangan indah di bawahnya. Tubuh mungil Mia menyentak. Jari-jari Ansel membelai bagian paling sensitif di puncak dadanya.

"You're just a human being," pungkas Ansel dalam.

Tatapannya kembali memerangkap Mia, menyihir perempuan itu dalam debar hasrat yang seakan menghipnotisnya. Ansel menekan kedua kakinya di balik paha Mia. Memaksa Mia  membuat jarak cukup lebar di antaranya. Sambil menggigit erat bibir bawahnya sendiri,  jemari Ansel menyelinap ke balik helai busana yang menutupi area pribadi Mia.

"Ah!" pekik Mia. Sentuhan Ansel lagi-lagi menyentaknya.

"A very beautiful human being," desah Ansel berat. Pekik manja Mia membakar gairahnya. Sedetik kemudian, bibirnya merenggut mulut Mia dan memagut erat bibirnya.

Mia menggelinjang kewalahan. Ansel terus menghunjam keras, mengentak-entak tubuhnya dengan perkasa.

"Itu anak Malik," kata Ansel, duduk di tepi sofa di mana Mia berbaring lemas dan tersedu sedan. Keringat masih mengalir di punggungnya, lengannya terulur memijat paha Mia, menenangkan isak tangisnya.

Mia menangis menyadari kelemahannya sebagai perempuan dan bahwa selama ini Malik melindunginya dengan kebohongan.

"I was somewhere else, working, dan baru pulang setelah mendengar kabar. Saat itu aku tahu janinnya jauh lebih tua dari yang diakuinya padaku, jadi aku langsung menyimpulkan itu bukan milikku. Dia sangat kurus waktu itu, dia bahkan belum tampak mengandung pada usia lima bulan. Kurasa dia menanggung segala beban itu sendirian. Aku nggak tahu bagaimana cara Malik meyakinkannya untuk melakukan semua itu...."

Mia perlahan bangkit mengusap air matanya.

Ansel memutar untuk mengawasi reaksinya, "You're living with a monster, Mia," kata Ansel serius.

Isak tangis Mia kembali kencang.

"You have to get out of here... sebelum dia beralih memangsamu. Mia...dengar"—jari-jari Ansel menggamit tangannya—"Aku mungkin nggak sempurna, tapi seenggaknya... aku bukan lelaki berdarah dingin. I will take care of you...."

"Aku nggak bisa... nggak bisa semudah itu."

"Kenapa?"

"Ansel... kamu belum tahu semuanya."

"Kalau begitu berutahu aku!"

"Dia mungkin nggak akan menghancurkanku..., tapi ada orang lain yang pasti akan hancur kalau aku ninggalin Malik."

"Siapa?"

"Aku punya seorang adik dan Malik sangat membencinya...."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top