Chapter 21. Kunjungan Mengejutkan di Pagi Hari

"I would like to check out, please. Thank you."

Seorang resepsionis hotel membantunya dengan cepat, mengucapkan terima kasih, dan membiarkannya pergi dengan senyum paling lebar yang hampir membuat Malik mengernyit silau akan semangatnya.

Malik menyingkap lengan kemejanya. Mencocokkan jarum jam di arlojinya dengan jam digital di mobil. Mia seharusnya sudah bangun. Dia tidak mendengar kabar apapun dari istrinya sejak perempuan itu mengabaikan panggilannya semalam. Cepat sekali lelaki itu bergerak, pikir Malik gusar. Apakah dia mengetuk pintu rumahnya dan mereka berbuat di kamar utama mereka? Di sofa ruang tamunya? Atau di atas preparation table-nya? Membayangkan lelaki lain menyetubuhi istrinya di atas meja yang setiap hari dipakainya bekerja membuat lambungnya bergolak. Mual.

Lampu merah terakhir menuju cluster Permata Indah sesaat lagi berganti hijau. Jumlah kendaraan telah jauh berkurang begitu mobilnya berbelok, kemudian melintasi jalan baru yang membelah hutan jati di kanan kirinya. Malik menekan pelipis di atas batang kacamata hitamnya. Lampu kuning berhenti berkedip, lalu hijau menyala. Lelaki itu mengibaskan kepala, mengerjap-ngerjapkan kelopak mata untuk mengusir kantuk yang selalu kembali menyerang setiap kali ia berdiam.

Mobil yang mengantre di belakangnya membunyikan klakson.

Malik mengumpat sebelum Camry hitam mewahnya melesat seperti peluru.

Semalaman Malik nyaris tidak bisa tidur di sisi Irma Kalia. Lelah meraja. Namun matanya menolak terpejam. Seluruh persendiannya mengerang memprotes, menuntutnya mengistirahatkan diri, tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Otaknya terus bekerja. Sistem dalam tubuhnya enggan padam. Banyak sekali yang terlintas di pikirannya. Mia di bawah tubuh Ansel. Mia dan Ansel dalam keadaan tanpa busana, bersetubuh di hadapannya yang duduk diam di sudut ruangan. Pikiran-pikiran suram. Ayahnya yang terbunuh. Ibunya. Adik perempuannya yang meninggal dunia karena sakit. Segala hal seakan mencekat tenggorokannya.

Dia tak pernah bisa memejamkan mata dengan mudah di sisi perempuan selain Kalamia Modesta. Hal pertama yang membuatnya teryakinkan bahwa seluruh dirinya membutuhkan perempuan itu adalah kemampuannya terlelap dalam sekedipan mata, hanya dengan menghirup aroma rambutnya, atau menyentuh lembut kulitnya.

Beberapa kilometer sebelum mobilnya mencapai cluster, ponselnya berdering.

"Good morning," sapa Malik pada Gia, publisis sekaligus manajernya di dunia kuliner, lewat panggilan video.

"Hai, Malik," seru publisisnya, agak terkejut. "What a surprise. Biasanya kalau aku nelpon jam segini, Mia yang angkat. Kamu sedang menyeduh kopi. What are you doing in the car jam segini? Jemput supplies?"

"Enggak, hanya... pagi yang agak lain dari biasanya," jawab Malik, setengah menggumam. "Ada kabar?"

"Tidak banyak. Kamu pasti sudah menduga mereka menyukai kirimanmu, kan? Kenapa mesti nanya?"

Bibir Malik tersenyum diam-diam saat wajahnya berpaling, tak ingin memperlihatkan perasaan leganya pada Gia lewat panggilan video.

"Aku menghubungi buat nanyain urusan exposure di talk show Galaxy TV," ungkap Gia, mengambil jeda sebentar untuk meneguk kopinya.

"Ada apa dengan itu?" Malik balas bertanya.

"Is it happening?"

"Maybe."

"Hmmm...." Gia mengerutkan alis tebalnya yang terlukis rapi meski wajahnya tampak polos.

"Maybe not," imbuh Malik.

Gia mengesah. "Seriously. Aku harus mengeceknya dengan jadwalmu. Mia nggak pernah suka aku bikin jadwal tanpa sepengetahuannya."

"Mungkin kamu yang harus menghubungi mereka. Buat apa aku bayar mahal ke agensimu, kan?"

"So you said yes?"

"Well... Mia said okay, so...."

"Apa, sih, yang bikin kalian akhirnya setuju sama ide exposure di TV nasional, Malik? Aku penasaran. Kamu tahu produser acaranya sudah ngehubungin aku sejak lama, you keep saying no, and told me not to ask Mia to persuade you. Lalu tahu-tahu, orang yang sama nanyain jadwalmu, katanya salah satu reporter mereka berhasil bujukin kamu. Reporter berita sore. Nggak ada hubungannya sama talk show yang bakal kamu hadiri. Terus terang aja, aku ngerasa gagal nih sebagai publisis. Kamu bikin aku malu di depan produser itu."

"Anggap aja... aku dapat imbalan yang setimpal dengan arrangement itu," kata Malik enteng. "Semuanya balik lagi nguntungin aku, nguntungin kita... dan nguntungin Mia."

Kening Gia mengernyit lebih dalam.

Sambil mencoret-coret buku catatan dan menopang dagu, Gia menyerah dan mulai membacakan tawaran-tawaran pekerjaan yang diterimanya untuk Malik beberapa hari terakhir. Malik mendengarkan dengan saksama, nyaris tak ada kata meluncur dari bibirnya. Hubungan telepon terputus, sambil terus menyetir, Malik memeriksa notifikasi di folder pribadinya. Sejak kemarin, gawainya hanya menerima beberapa pesan pribadi, dan tak satupun dari Mia. Satu-satunya pesan yang menyita perhatiannya adalah pesan singkat dari sang ibu. Apa lagi urusannya kalau bukan soal uang? Malik yakin Mia juga mendapatkannya.

Itu artinya Mia sekarang sudah tahu bahwa Malik tidak bersama perempuan yang melahirkannya.

Semakin dekat mobilnya dengan gerbang cluster, cengkeraman jemari Malik di roda kemudi semakin erat.

Dia gugup.

Dia selalu gugup.

Dia tak pernah berhenti merasa gugup. Dia hanya semakin pandai menyembunyikan segala sesuatu. Berkas-berkas rahasia yang senantiasa meresahkannya menumpuk semakin tinggi, terjejal di dalam sebuah lemari tersembunyi, dan akhir-akhir ini mendesak pintunya yang selalu rapat terkunci.

Mobilnya melintasi gerbang, Malik mengurangi kecepatan tanpa alasan untuk mengulur waktu.

Tirai-tirai di rumahnya telah disingkap.

Alih-alih membunyikan klakson seperti biasa untuk memanggil Mia keluar dan menyambutnya, Malik turun dan membuka pagar rumahnya sendiri. Camry hitam itu menggerung halus saat menanjak masuk halaman, menyerak batu-batu kecil yang dilindasnya. Mesin mobil dimatikan. Pintu garasinya harus dibuka dari dalam.

Kediaman Irma terlihat senyap tanpa kehidupan. Perempuan itu mungkin sedang bergegas menyusulnya, atau langsung pergi ke tempat kerja. Malik memincingkan mata dan mengintip dari balik jendela kaca gelap mobilnya tanpa khawatir seseorang memergokinya. Jendela-jendela rumah Irma sepenuhnya tertutup rapat. Malik menduga-duga resah, apakah Ansel ada di dalam sana? Apakah Mia berada di sana? Apa yang akan ditemukannya di dalam rumah?

Berhasil mengumpulkan segenap kekuatan, Malik akhirnya melangkah keluar dari mobil dan berjalan melintasi halaman menuju teras rumahnya.

"Mia... Sayang... aku pulang," salamnya.

Tak ada sahutan. Namun, Malik bisa mendengar sayup-sayup obrolan dari arah dapur. Jantungnya berdegup kencang. Apakah Mia memutuskan akan terang-terangan menunjukkan apa yang dilakukannya dengan Ansel seperti yang diharapkan Irma? Apakah kali ini, sekali lagi, dia gagal menguji Mia? Kapan sebaiknya mereka duduk bersama, berempat, dan membicarakan segala kesepakatan? Akankah ada waktu yang tepat untuk kegilaan itu?

Ludah Malik terteguk. Getir. Pahit. Asam. Tak keruan.

Obrolan itu terdengar renyah dan penuh canda. Mia tertawa renyah dan manis. Jenis tawanya yang akan mencerahkan hari-hari Malik.

Langkah Malik terhenti di ambang pintu dapur. Kehadirannya yang tiba-tiba menghentikan suara-suara di sana seperti suara televisi yang disenyapkan. Detik itu, Malik mengira dirinya sudah tidak sepenuhnya waras.

Kalimat-kalimat yang meluncur teratur dari suara seorang perempuan dan tawa tertahan dari perempuan lain yang merespons ceritanya sontak terjeda. Mata Malik memindai seluruh sudut. Tidak ada Ansel di sana. Mia dan perempuan hamil dari seberang jalan itu hanya berdua. Mereka saling melirik canggung, menunggu Malik mengatakan sesuatu.

"Malik...?" panggil Mia sambil menegakkan tubuh. Cangkir kopi hangat berada dalam telangkup kedua tangannya. "Malik are you okay? Kamu dengar aku ngomong apa?"

Malik mengesiap dari khusyuknya memikirkan apakah mungkin Ansel melarikan diri dari pintu samping saat mendengar mobilnya masuk. Namun, otaknya tetap bisa menangkap apa yang diserap oleh indra pendengarannya. Dia mengangguk dan tersenyum pada tamunya. "Hai, Tara. Terima kasih sudah datang," katanya singkat, lalu kembali bicara pada istrinya, "Kamu nggak dengar suara mobilku?"

Mia mengangkat kedua alis dan menarik dagunya ke belakang. "Nggak," gelengnya, lalu menoleh pada Tara yang duduk tak jauh darinya di dekat meja persiapan. Sepotong kukis bronis yang ia panggang tadi pagi sebelum bertamu masih tersangkut di giginya. "Kamu dengar?"

Tara membatalkan niatnya menggigit kukis itu. "Oh... siapa yang bisa dengar suara mesin Camry?" kekehnya renyah. Sisa kukis itu diselipkannya di antara permukaan cawan dan cangkir, kemudian dia membersihkan sisa remah kukis dengan menjentikkan ujung-ujung jarinya satu sama lain. "Kalau mobil bobrok suamiku, kita bisa dengar sejak mobil itu masuk ke gerbang cluster."

"Oh, Tara! Ahaha!" seru Mia riang sebelum tergelak cukup kencang. "Kamu dengar dia, Malik? Dia lucu sekali, kan?"

Alis Malik mengerut. Dia tidak terlalu menganggapnya lucu, terutama karena Mia bereaksi cukup keras. Itu bukan gurauan yang akan membuat Mia tertawa kencang. Malik masih terus bergeming di tempatnya berdiri.

"Kenapa, Sayang?" tanya Mia seraya menghampiri suaminya.

Malik membiarkan perempuan itu menempeli dadanya dan mengusapkan tangannya di sana. Ekspresi trenyuh perempuan hamil yang tinggal di depan rumahnya itu membuat Malik menyengir salah tingkah. Ditangkapnya jemari tangan Mia dan diremasnya. Malik menunduk mengontak mata Mia, dia tidak terlalu senang mempertontonkan kemesraan.

"Apa ibumu baik-baik saja?" bisik Mia mengejutkan.

Mata Malik membola.

Mia mengedip lambat padanya, kemudian menelengkan kepala. "What is it?" tanyanya. "Are you okay, Malik? You seems... lost...."

Malik tergeragap. Dia berdeham. "Can you please tell your friend to go home?" cicitnya. "Aku lelah."

"Malik...," seru Mia tertahan. Tangannya merenggut kerah blazer kasual Malik dan memutar tubuhnya. Kini punggung Malik yang lebih tinggi darinya menghalangi pandangan Tara. "Kita harus beramah tamah," Mia mendesis. "Kalau kamu boleh memilih tetangga favoritmu, aku juga boleh pilih satu. Aku senang ngobrol sama Tara—"

Kening Malik mengernyit, dia memotong, "Tetangga favorit?"

"Kamu memenuhi undangan Irma makan malam di rumahnya, kamu menyanggupi ajakan tampil di acara televisinya. Dia tetangga favoritmu," kata Mia tajam. Lalu, dia bahkan mengencangkan volume suaranya. "Kita juga akan makan malam dengan Tara dan suaminya kapan-kapan. Tara sudah setuju. Iya, kan, Tara?"

"Ya, kalian harus!" timpal Tara. "Dengar... kalau senior chef consultant sepertimu nggak bisa makan masakan rumahan, aku bakalan—"

"Malik yang akan memasak! Titik!" seru Mia seraya melompat dari hadapan Malik dan menyongsong Tara seperti seorang sahabat lama. Muka Malik semakin mengerut heran. "Kalian yang akan diundang ke sini. Tolong kasih tahu aku hari apa aja suamimu sepenuhnya bebas, kami juga nggak ingin bikin dia makin capek setelah seharian bekerja."

"Kamu yakin?" tanya Tara tak percaya. Kedua tangannya menyatu menekan dadanya yang membengkak besar karena tubuhnya sedang mengandung. "You are so nice... dengan badan kayak begini... memang sudah sangat sulit buatku merencanakan acara makan malam berkesan buat dua tamu penting. Kalian benar-benar akan mengundang kami makan di sini?"

"Of course," kata Mia.

Tara masih terus mengoceh, "Soalnya... asal kalian tahu... ini sangat mengejutkan. Kalian berdua... tinggal di sini... lalu disusul Irma Kalia.... Kalau aku nggak ketemu kalian di depan kemarin, aku nggak akan tahu suami Irma Kalia itu Anselimus Jalu!  Produser terkenal. Pantas aku kayak pernah lihat mukanya. Antara kita saja, ya? Aku baru ingat siapa dia pagi hari ini. Kalian berempat pasti sudah sangat akrab, kan?"

Mia mengulum senyum. Dia kembali berpaling pada Malik, memastikan pria itu menyaksikan senyumnya. "Iya..., kami cukup akrab. Iya, kan, Malik? Dan kita akan undang Tara dan Fabian makan malam. Mungkin... sekalian sama Irma dan Ansel? Gimana menurutmu, Malik?"

"Ya... yah... tentu saja...," angguk Malik enggan.

"Habisnya... Tara kebingungan, Sayang," Mia menjelaskan. "Dia pikir aku semalaman nggak keluar dari rumah Ansel."

"Oh... kenapa kamu ngasih tahu dia?" pekik Tara malu. "Maaf aku sangat penasaran. Fabian sudah ngelarang aku mencari tahu, tapi... kalian harus memaklumi pikiran-pikiran negatif ibu hamil yang satu ini. Aku kasus khusus. Kalau rasa ingin tahuku terpendam, bisa bahaya... kalian paham, kan?"

"Ya... tentu saja kami paham."

"Aku sama sekali nggak tahu ternyata kalian berempat bersahabat dekat. Tentu saja. Kalau enggak, buat apa orang-orang sekelas kalian tinggal di hunian pinggir kota seperti ini secara bersamaan. Apa kalian memang mencoba menghindari publik? Ya pasti begitu, kan?"

"Ya..., mereka bertiga sebenarnya," kata Mia. "Aku bukan siapa-siapa."

"Oh... jangan bilang begitu! I did my research. Kamu adalah profesional ghostwriter yang selalu berhasil mendeskripsikan karya-karya agung Malik Satya Hod dan membuatnya mudah dipahami semua kalangan! Kamu adalah the woman behind a man's success!"

"Oh... Tara! Kamu berlebihan. Aku nggak yakin soal itu," kelit Mia sambil terang-terangan menatap Malik. "Apa aku benar-benar the woman behind a man's success? Atau aku hanya berpikir begitu?"

Rahang Malik mengetat.

Sementara Tara dan Mia terus saling melempar pujian dan rasa kagum yang terdengar palsu di telinga Malik, lelaki itu menyingkir diam-diam dari dapur.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top