Chapter 16. Kita Harus Bicara

"Becareful, Mia...," bisiknya. "You could break this brocoli, the way you break someone's heart...."

Mia tercekat dan sontak berbalik mendapati Ansel berdiri tak sampai selangkah jauhnya dengan senyum tipis terulas di bibir. Selama beberapa detik yang teramat panjang dalam dimensi waktu Mia yang tersihir oleh kehadiran Ansel secara tiba-tiba, perempuan itu menahan napas sepenuhnya.

Ansel menaruh kembali brokoli di tangannya ke dalam pendingin. "Breathe, Mia," katanya seraya mendekat. "Mukamu membiru."

"Jangan—" cegah Mia.

"Aku cuma mau bicara," kata Ansel. "Aku nggak tahu lagi bagaimana caranya ngehubungin kamu, Mia. We need to talk."

Ansel menanti dengan cemas. Entah mengapa perempuan itu menengok ke segala arah seakan takut ada yang melihat kebersamaan mereka. Di ujung lorong, di balik punggung Ansel, ekor mata Mia menangkap sosok Bram yang baru saja masuk dan berbicara dengan atasannya di depan meja kasir. Ansel menangkap tangkapan pupil mata Mia dan turut menoleh. Mendapati seorang pemuda mengerutkan alis ke arah mereka.

"You know him?" Ansel bertanya.

Mia membisu. Mengadu tatapannya dengan Bram yang baru saja kembali dari mengantar pesanan demi pesanan setelah meninggalkan rumahnya beberapa jam yang lalu. Mia menepi ke rak sayur mayur di balik badannya. Menghindari jangkauan tatapan pemuda itu.

"Mia...."

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Mia, teringat kembali pada Ansel di hadapannya. "Kenapa kamu bisa ada di toko ini?"

"Aku ngikutin kamu," jawab Ansel jujur dan tanpa beban. "Kamu nggak ingin membicarakan apa yang terjadi malam itu?"

"It was a mistake!"

"Mia...," sebut Ansel lemah. Pria itu maju selangkah, memaksa Mia mundur lebih jauh, merayap di tepian rak pendingin berisi sayur mayur. Mia tidak memperhatikan langkahnya. Roda-roda troli di belakang Mia membentur tumitnya lumayan keras. Mia mengaduh. Troli dan rak saling membentur dan menimbulkan bunyi lumayan nyaring.

Ansel merentangkan kedua lengannya ke depan, memberi isyarat agar Mia lebih tenang menghadapinya, tapi terlambat. Bram mundur dari meja kasir dan berdiri di ujung lorong di mana Mia dan Ansel berhadapan. Alis tebalnya bertaut. Matanya memincing curiga, melirik pada Ansel, kemudian memandangi Mia.

"Kalian baik-baik saja?" tanyanya.

Ansel menoleh. "Kami baik-baik saja."

Bram mengabaikannya. Dia terus menautkan tatapan hanya pada Kalamia Modesta.

"Sudah terima peti es-ku?" tanya pemuda bertubuh tinggi itu pada perempuan yang rautnya tegang di depan pengunjung pria yang baru pertama kali dilihatnya.

Mia berdeham, mencoba tersenyum wajar dan mengangguk. "Sudah. Thanks."

Jawaban Mia menganggukkan kepala Bram. Bola matanya mencuri pandang singkat ke arah Ansel.

"Butuh bantuan di sini?" tanya Bram lagi, terkesan menawarkan bantuan lain karena menduga Mia sedang menghadapi masalah.

"Aku baik-baik saja," tukas Mia. "Salmonnya segar. Terima kasih, Bram."

"Okay...," angguk Bram. Dia masih berdiri sejenak di sana sebelum akhirnya kembali maju ke meja kasir dan menghilang dari pandangan Mia.

"Menjauh dariku, Ansel," tegas Mia gusar pada Ansel, berusaha keras menyamarkan getar teramat hebat pada nada suaranya.

Patuh, Ansel mundur. Tapi, dia lalu menyeringai. "Sejauh apa aku harus mundur?" tanyanya.

Mia mendengkus. "Kita bicara di tempat lain. Orang-orang di sini kenal Malik. Mereka nggak biasa melihatku bicara dengan orang asing," dusta Mia. Dia bahkan tidak sesering itu berbelanja di sana tanpa suaminya.

"Mia... aku tinggal di sebelah rumahmu," desak Ansel. "Nggak ada yang aneh. Please... aku cuma mau ketemu kamu. Aku harus ketemu kamu. Kamu nggak bisa bersikap seolah nggak ada yang terjadi di antara kita. We need to talk—"

"I know!" hardik Mia seraya menyambar pegangan troli dan memutarnya. Kini jarak mereka berdua memiliki penghalang. "Tapi nggak di sini."

"Di mana?"

Mia menggeleng samar, bahasa tubuhnya mengatakan bahwa Ansel sudah bersikap berlebihan. Dia mendorong kereta belanjanya menjauh. Ansel terus membuntuti.

Tangan Mia dengan lincah menyahut beberapa brokoli dengan sembarangan dan melemparnya bersama brokoli-brokoli lain di dalam keranjang. Bibirnya lantas menggumamkan hitungan dan mengumpat. Terlalu banyak. Mia mengurangi beberapa bongkah kembali ke rak. Jumlahnya kembali sama dengan sebelum brokoli terakhirnya hampir jatuh dan ditangkap oleh Ansel. Dibiarkannya Ansel menghalangi keretanya dan memasukkan brokoli yang ia tangkap tadi ke sana.

"Yang itu bagus," katanya.

Mia menggeram. Seperti kanak-kanak yang saling berebut, Mia mengembalikan brokoli yang sama, kemudian mengambil yang lain. Ansel mengulum senyum.

"Kamu pikir ini lucu?" bentak Mia.

"Sama sekali enggak," jawab Ansel. "Tapi aku senang sekali bisa ketemu kamu lagi."

"Kamu seharusnya malu, Ansel!" Mia mengecam.

Ansel memandanginya.

Mia mengimbuhi dengan tekanan meski suaranya hampir tidak terdengar,"You raped me!"

"Karena itu aku menuntutmu supaya bicara," tukas Ansel serius. "Aku nggak bisa berhenti memikirkannya. Aku minta maaf, Mia. Aku...."

Mia menghela napas kuat, memaksa Ansel kembali diam. Digenggamnya pegangan kereta erat-erat. Dia mencoba mendorong Ansel yang menghalanginya. "Ansel... kita berdua sudah menikah. Apa yang kita lakukan malam itu adalah sebuah kesalahan."

"You just said I raped you," balas Ansel.

Mata Mia mencelang.

Ansel menahan kereta Mia lebih kuat. "Jadi apa yang sebenarnya terjadi? Did I rape you? Or did you also want it?"—Mia mendorong, Ansel mempertahankan—"Aku nggak bisa pura-pura hal itu nggak pernah terjadi. Setidaknya... kita harus bicara."

"Aku nggak ingin bicara."

"Kenapa?"

"Karena aku nggak mau Malik tahu tentang itu. Aku ingin semuanya kembali seperti sedia kala. Malik nggak pernah tahu apapun tentangmu, tentang kita... dan aku ingin tetap seperti itu!"

"Tapi kenapa?!" seru Ansel sambil mengguncang besi kereta yang dipeganginya.

"Kenapa?!" bentak Mia tak percaya. "Aku sudah menikah, Ansel!"

"Lalu kenapa?" tanya Ansel. Bersikeras. Baginya, ucapan Mia sama sekali tidak masuk di akal.  Matanya yang berkilat membuat Mia mengernyit dengan mulut ternganga. Mereka sama-sama terdiam. Lorong itu menjadi terlalu sunyi. Ansel meredam gejolak di dalam dadanya. "Dengar... apa kamu yakin Malik nggak tahu apa-apa?"

Dengkus napas teredam sahut menyahut.

"Mia...." Suara lelaki itu melunak, demikian juga pegangan eratnya di kereta Mia yang ia tahan. "I still remember everything. I still remember how you feel about Malik. And I saw how you look at him that night. Dia masih sama saja. Kamu nggak perlu menyangkal, Mia, aku tahu. He can't make you happy... and yet... dia masih menancapkan kuku-kukunya padamu. Dia hanya ingin kamu tetap bersamanya... dia nggak akan melepasmu meski kebahagiaanmu bukan bersamanya. You deserve to taste a little happiness, Mia."

"A little happiness?" Mia mencicit. "Apa kamu pikir... apa yang kamu lakukan memberiku sedikit kebahagiaan? Kamu menambahkan beban di pundakku, Ansel."

Ansel memejam dan berpaling. Tidak ada yang ingin ia katakan.

"Ansel... bagiku... apapun alasanmu, dan bagaimanapun aku bereaksi malam itu adalah sebuah kesalahan. Titik. Aku pecaya sama Malik. Apa yang dia katakan tentang malam itu... masuk akal bagiku—"

"Apa yang dia katakan?" potong Ansel.

"Kamu nggak perlu tahu dan aku nggak punya kewajiban untuk ngasih tahu apa yang terjadi pada rumah tanggaku ke kamu. Aku juga nggak akan mendesakmu ngasih tahu aku apa yang terjadi di rumah tanggamu sampai kalian berdua tega memperlakukanku seperti itu. Kalian sinting. I was drunk. Istrimu membuatku mabuk. Aku hanya ingin kamu membantuku menjauhkannya dari kami berdua. Kalau kamu masih punya hati."

"Istriku mencoba memberiku sedikit kebahagiaan pada pernikahan kami yang hampa," tukas Ansel mengejutkan. Mia semakin tak tahu apa yang harus dikatakannya. "Setidaknya kami saling jujur terhadap apa yang kami rasakan."

"Dengan menjebakku?"

"Bukan hanya kamu yang merasa terjebak dan aku yakin bukan hanya dia yang menjebakmu."

"Apa yang kalian lakukan sebenarnya?"

"Karena itu kita harus bicara...."

"Apa yang terjadi, Ansel? Apa yang kalian rencanakan? Apa yang kalian lakukan padaku? Jadi benar dia tahu semuanya? Aku melihatnya malam itu. Berdiri di jendela menghadap ke arah rumahku sementara kamu meniduriku. Apapun yang ada di kepalamu, Ansel... hentikan.... Aku akan mengadu pada Malik. Kalian menjebakku!"

"Aku yakin Malik sudah menunggu-nunggu pengaduanmu."

"Apa maksudmu?"

"Apa kamu menceritakan padanya dengan jujur apa yang terjadi malam itu?"

"Malik akan membunuhmu kalau dia sampai tahu."

"Kamu yakin?"

"Kalau kamu masih mau bertanya hal itu berulang-ulang kali, aku benar-benar akan neriakin kamu, Ansel!"

"Aku punya dugaan lain. Aku yakin Malik menyerahkanmu. Laki-laki macam apa yang ninggalin istrinya dalam keadaan mabuk di rumah orang lain seperti suamimu?"

"Malik terpaksa melakukannya," kata Mia.

"Seterpaksa apa dia? Apa menurutmu itu masuk akal?"

"Seseorang yang sangat penting bagi karirnya menelepon malam itu. Malik nggak punya pilihan. Dia mengira aku bakal masih tidur sampai dia kembali."

"Apa dia biasa begitu? Ninggalin kamu begitu aja karena dia terpaksa melakukannya? Sama kayak dua tahun lalu, menyingkirkanmu saat dia tiba-tiba merasakan insekuritas karena dia tahu kamu akan kembali lagi dan lagi tiap kali dia berlutut memohon maaf?"

"Kamu nggak tahu apa-apa tentangku dan Malik," tandas Mia singkat.

"Kalian memang sulit dipahami."

"Yang jelas... Malik nggak mungkin... istrimu yang sudah sinting! Kalian sudah gila!"

"Semua orang gila menyangka orang lain yang gila," tukas Ansel kehilangan kesabaran. "Listen to yourself, apa itu masuk akal? Itu saja. Apa itu masuk akal, Mia?!"

"Menyingkir dari sana, Ansel, atau aku akan menelepon Malik sekarang juga di hadapanmu. Kalian akan membayar apa yang kalian lakukan padaku."

"Then do it," tantang Ansel. "Ask your husband right here... right now, kenapa dia ninggalin kamu malam itu. Aku ada di sana malam itu, Mia. Ask him. Aku juga ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi. Pernikahanku dengan Irma tidak bahagia. Aku menikahinya karena dia berbohong padaku tentang janin yang dikandungnya."

Mia tergemap.

"Kamu pikir aku bisa ngelupain kamu? Kamu bisa ngelupain aku?"

"Ansel... apa yang kita punyai... nggak ada artinya dibanding apa yang kumiliki bersama Malik.... Aku tahu itu sulit buatmu, tapi—"

"Kalau begitu... tanyakan padanya. Katakan padanya apa yang terjadi malam itu."

"Aku sudah menanyakannya!"

"Kamu melewatkan bagian terpentingnya!" bentak Ansel tertahan. "Dia mau kamu mengakuinya!"

"Kamu yang berusaha membuatku mengakuinya di depan Malik supaya pernikahan kami hancur. You're so low, Ansel. Kamu dan istrimu yang menjijikkan itu... aku akan menemuinya. Di mana dia? Di rumahnya?"

Ansel tersenyum miring. Tangannya melepas kereta belanja Mia, lalu dia mengambil satu langkah mundur. "I don't know where she is," kata Ansel sambil menggerakkan bahu. "Atau... kamu mungkin bisa tanyakan di mana istriku ke suamimu. Come on. Ambil ponselmu dan telepon dia. Jangan lupa beritahu dia apa yang terjadi malam itu."

"Stop, please, stop!" pekik Mia panik, suaranya mulai melengking. Dia tak suka mendengar suaranya sendiri melengking sebab dia tahu pasti apa yang akan terjadi kemudian. Dia akan menangis dan menunjukkan kelemahannya.

"Mereka mungkin sedang bersama," bisik Ansel nekat. "Merencanakan sesuatu tentang kita."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top