Chapter 13. Kamelia
"Mia," Malik memanggil pelan, datar dan dingin, disertai sentuhan samar di lengan istrinya. "Belnya. Ada orang di luar."
"Kenapa kamu nggak pernah bertanya sebelumnya?"
"Hentikan. Bukan saatnya membicarakan itu," kelit Malik. "There is someone at the door."
"Sejak kapan kamu peduli ada siapa di pintu kalau kita sedang berdebat seperti ini? Kenapa kamu berubah, Malik?"
"Aku enggak berubah—astaga, Mia...," erang lelaki itu.
Berikutnya, dia menghirup napas panjang dan menutup mata. Tulang-tulang rahangnya bertonjolan menyembul, membentuk semakin tegas garis-garis wajah kakunya ketika rahangnya mengetat. Urat-urat di pelipisnya mengular saat dadanya membusung dipenuhi tarikan napas. Pupilnya menyorot tajam ketika proses yang Mia tahu adalah kebiasaan Malik meredam emosi itu berlalu.
Tubuh Malik bergerak pelan membungkuk. Manik matanya pada manik mata Mia. "Aku nggak pernah berubah. Kamu juga nggak berubah. Aku nggak pernah suka caramu mendesakku. Aku mencintaimu, berhentilah menjadi perundung. If I don't wanna talk about it now, we will find time to discuss it later. Jangan bikin aku muak. Aku melakukan yang terbaik untuk kita berdua."
Selama mendengarkan tajam ucapan Malik, cuping hidung Mia mengembang dan mengempis sangat kentara, mengiringi proses tarikan dan embus napas, serta tubuhnya yang bergetar.
"Mia... kamu masih percaya padaku, kan?" tanya Malik.
Mia tidak tahu harus menjawab apa. Pada saat yang sama, bel ketiga berdentang bersamaan dengan bunyi denting oven dari dapur. Saat itu juga Mia tahu, pembicaraan itu tidak akan perah diangkat kembali. Malik meninggalkannya ke dapur, membiarkan Mia seorang diri menghadapi tamunya dalam keadaan gelisah tak menentu.
Aku mencintaimu, berhentilah menjadi perundung.
Mia berjalan gontai ke pintu.
Namanya Kamelia.
Gadis itu berparas lembut.
Semua guru menyukainya. Semua siswa memujanya.
Dia seusia Mia. Bukan karena wajahnya tampak lebih tua yang membuat Kamelia menguarkan aura dewasa melebihi gadis-gadis sebayanya. Dia memiliki senyum lembut dan sejuk seperti pagi hari pada musim penghujan. Seolah di usianya yang begitu muda, dia telah menyecap begitu banyak kepedihan dalam hidupnya.
Bila Kamelia berjalan di kerumunan, semua orang memberinya jalan. Setiap jalur yang dilaluinya seperti panggung pertunjukan busana. Seperti gadis-gadis lain, ia tampil sederhana dengan senyum terulas manis yang mengukir lesung pipitnya. Rambut hitam kelam panjangnya meriap diterpa angin yang dengan anggun disibaknya ke balik bahu. Ia menduduki peringkat satu di kelas, aktif dalam organisasi sekolah, dan senang melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial meski ia masih remaja.
Kecuali gadis-gadis yang menjadi korban perundungannya, tak akan ada yang percaya Kamelia memiliki sisi keji yang tak terbayangkan.
Setelah apa yang terjadi semalam dan Irma Kalia muncul di depan rumahnya seolah tak terjadi apa-apa, sosoknya mendadak memiliki kesan serupa di mata Mia.
Kamelia menjemputnya dengan senyum ceria. Berbicara dengan mendiang ibu Mia dan berjanji akan selalu menjaganya. Dia juga selalu mengantarnya pulang. Semua tindakan yang diperlihatkannya pada semua orang membuat niatan Mia untuk mengadu terdengar mustahil. Sampai kemudian mereka menyaksikan kekejaman Kamelia dengan mata kepala sendiri.
Mia masih ingat bagaimana mendiang ibunya mengajaknya bicara di kamar usai makan malam. Sebuah kejadian nahas menggemparkan kota kecil tempatnya tinggal. Seorang gadis seusia Mia meninggalkan surat pada hari di mana ia mengambil nyawanya sendiri. Dia menyebut nama Kamelia, menceritakan dengan begitu rinci bagaimana Kamelia merusak hidupnya dan membuat tak seorang pun percaya padanya.
"Kamu masih percaya pada ibu, kan, Mia?" tanya mendiang ibunya kala itu.
Mia mengangguk, tapi ia tidak tahu apakah ia mempercayai jawabannya sendiri, atau tidak.
Saat perempuan itu berdiri di balik pintu kaca rumahnya dengan kepala tertunduk dan hanya bola matanya yang bicara, pupil mata Mia mengecil. Pusaran ingatan yang sudah sangat lama disimpannya di sudut tergelap dalam benaknya tahu-tahu berkelebat cepat dan menghuyungkan badannya.
Keberadaan Malik yang tiba-tiba saja sudah kembali ke balik punggungnya memperburuk reaksi Mia. Diam-diam, Mia mengikuti arah tatapan suaminya, menyaksikan manik matanya terhubung dengan sosok di balik kaca pintu. Seketika itu, untuk pertama kali setelah sekian lama dan tak pernah dengan alasan serupa, Mia merasakan adanya ancaman.
Pada saat yang sama, bibir merah Irma Kalia merekah. Tetangga cantiknya itu melambai, menunjukkan sebuah tas selempang mungil yang langsung melemaskan lutut Mia.
"Itu tasmu, kan?" bisik Malik.
Mia membenarkan.
"Sialan," maki Malik mengimbuhi. "Berarti semalam aku memang lupa mengunci pintu."
"Haaai... pagi kalian!" Irma Kalia menyapa riang. Suaranya nyaring dan tetap terdengar jelas meski daun pintu menghalangi mereka. Matanya berbinar-binar. Rona wajahnya bersinar. "Kalian nggak punya pilihan selain ngebiarin aku mengganggu lagi," candanya. "Aku punya tasmu, Mia, dan aku bisa nyium wangi pisang sampai ke dapurku."
"Buka pintunya," suruh Malik.
Mia tak bergerak.
Pria itu menghardik tertahan di telinga Mia sambil menganyun lengannya ke depan, meraih kenop pintu. "Ya Tuhan, kamu ada masalah apa, sih?"
Sebelum Mia mengatakan sesuatu, pintu di depannya sudah terbuka.
"Hai, pagi," Malik membalas sapaan Irma, canggung dan kaku. Seraya berpindah dari balik punggung sang istri ke sisinya, Malik membuat senyum lebar yang memancing tatapan Mia padanya. Untuk menghentikan sikap Mia yang menurutnya menyebalkan, Malik merangkul pundak mungil di sampingnya, mengentak dan merapatkan tubuh perempuan itu padanya.
Mia baru benar-benar terhenyak. "H—hai...," sapanya kikuk.
"I am sooo sorry about last night," ucap Irma dengan alis melengkung dan bibir menguncup. Tali tas tangan Mia ada dalam dekapan di depan dadanya. "I shouldn't let you drink that much. Aku juga membiarkannya pulang sendiri, Malik. Aku mau bikin kalian terkesan, malah kayak begini jadinya."
"It's okay," sahut Mia.
"Yeah, it's okay," Malik membeo. Dadanya menyenggol bahu Mia saat lelaki itu maju ke depan menerima kembali tas tangan istrinya yang tertinggal di kediaman Irma semalam. "Justru aku yang merepotkan. Itu nggak seharusnya terjadi. Kami sungguh memalukan. Yang satunya minum terlalu banyak, yang satunya pergi duluan."
Kekeh Malik menyusut saat dirasakannya tatapan Mia menajam ke arahnya. "Tapi kesalahan terbesarnya ada padaku," akunya ciut. "Mia sangat marah, sampai pagi ini dia masih sangat marah. Maaf sekali sudah merepotkan, baik tadi malam, juga pagi ini. Aku nggak tahu bagaimana harus berhadapan dengan Ansel."
Berhadapan dengan Ansel, pikir Mia sesak.
Berdiri di hadapan Irma Kalia, menyaksikan perempuan itu beramah tamah dengan Malik setelah apa yang mereka lakukan semalam....
Bagaimanapun Mia berusaha mengikuti permainan, dia tidak cukup gila untuk berpura-pura bahwa semua ini masuk di akal.
"You know what?" pungkas Malik menyudahi kecanggungan itu. "Aku tahu apa yang seharusnya kamu dan Ansel lakukan. You should stay at home, and we will invite you for dinner. Iya, kan, Mia? Dia ingin beramah tamah dengan semua orang. Trust me, I hate it, but... inilah seni hidup bertetangga di hunian terbatas, kan?"
"Kupikir aku juga akan kesulitan, tapi mungkin Ansel lebih tersiksa," dukung Irma. "Tapi sungguhan... kalian nggak perlu melakukannya. Aku tahu kalian sibuk—"
"No... no... kami memaksa," tegas Malik.
"Well... I mean... tentu saja... kalau begitu... kami nggak mungkin menolak kesempatan emas ini," kata Irma, bukan basa-basi, tapi terdengar sangat pekat oleh basa-basi. "Mungkin kamu harus dengar ini, Malik. Banyak yang menunggu keterlibatanmu di kancah kuliner nasional, maksudku... di depan layar televisi—"
"Sebaiknya kita masuk," Mia menyela. "Kamu menahan tamumu di depan pintu."
"Oh! Ya! Astaga!" seru Malik seraya menepuk jidatnya sendiri. "Aku habis memanggang banana bread. Care to join us?"
"Banana bread?" pekik Irma berlebihan. "Lagi? Wow... aku mencium aroma persaingan di sini. Siapa gadis yang diperebutkan?"
"Yang berdiri tepat di depanmu," kelakar Malik. "Ansel nggak akan mencarimu?"
"Oh dia baru akan bangun nanti siang dan dia bukan tipe yang mencari-cari istrinya setelah bangun."
"Wah... lain sekali denganku. Aku harus melihat Mia di sisiku saat aku bangun," ungkap Malik sembari membawa tubuh Mia menyisih ke tepi supaya Irma bisa masuk. Dengan satu tangan, Malik menutup pintu di balik punggung perempuan cantik itu.
"Ansel terlalu mandiri."
"Mia could only wish aku semandiri Ansel. I always want to depend on her."
Irma terbahak.
"So... tolong kasih tahu pendapatmu, Irma... melihat Mia sampai semabuk itu semalam, dan sekarang Ansel belum bangun... gimana menurutmu dengan anggurnya? Sangat hebat, atau justru sebaliknya?"
"Sangat! HEBAT!" angguk Irma agak berlebihan. Tingkah mereka berdua, terutama bagi Mia, sama-sama sedikit di luar garis wajar. Dia memang tidak tahu keseharian Irma Kalia, tapi dia jelas lebih mengenal siapa suaminya. "Apa kamu nggak keberatan kalau aku ingin tahu di mana kalian mendapatkannya?"
"Sangat hebat...? Maksudmu efeknya?"
"Oh," Irma menjengit, seakan dia baru ingat ada orang lain di dalam rumah itu selain dirinya dan Malik. "Kalau tentang efeknya... kurasa kamu yang paling merasakan efeknya, kan? Mungkin lebih tepat kalau kutanyakan pada Ansel nanti setelah dia bangun. Tapi, yah... aku memang sangat mengantuk sesudahnya, tapi merasa segar saat bangun pagi. Aku hampir saja melewatkan sesi yoga pagiku."
"Apa itu artinya kamu tidak melewatkannya?"
"Aku tidak bisa hidup tanpa yoga pagi, Malik. Bagaimana dengan kalian? Apa rutinitas wajib pagi hari kalian?"
Mia tersenyum. "Menyingkap tirai di pagi hari," jawabnya.
Irma menaikkan alis bingung, sedangkan Malik seketika kehilangan minat untuk menjawab. Dia terdiam, sepintas melabuhkan tatapan pada manik mata Mia. Pria tersebut lantas masuk duluan menuju dapur, berdeham membersihkan kerongkongan tepat saat melintasi tubuh istrinya. Meninggalkan dua perempuan itu mengekorinya.
Irma melambatkan langkah, merasakan Mia sengaja tak kunjung mensejajarinya. Pelan, dia berbalik berhadapan dengan Mia. Ekspresi hangat penuh senyumnya lenyap tak berbekas.
"Se—semalam," pendek Mia, tak tahu harus bertanya, atau mulai menjelaskan dari mana. Poninya jatuh menutup kening, kepalanya tetap menunduk. Jari-jari lentik yang ujung-ujungnya merah muda seperti kelopak bunga mawar itu menggenggam erat benda persegi pipih di tangannya.
Irma menyunggingkan senyum, entah mengapa di hadapannya, Mia tak ubahnya seperti anak kecil yang kesulitan mengaku bersalah. Tubuhnya gemetar menanti hukuman macam apa yang akan diterimanya. "Lupain aja," bisik Irma.
Mia sontak mendongak, menyaksikan bibir Irma tersenyum semakin lebar.
"Kami senang membantumu."
"A—apa? Tapi aku—"
"Malik juga bilang, kamu mungkin akan sangat marah, tapi cobalah mengerti keadaannya. Okay?"
Mia semakin tergemap. Sebuah batu sebesar kepalan tangan menyekat tenggorokannya.
Akan tetapi, Irma sama sekali tak memberinya tanda atau petunjuk lebih dari apa yang sudah didengarnya dari Malik, "Itu juga berat bagi Malik, kamu pasti tahu."
Alis Mia mengerut semakin dalam.
"Aku, Malik, dan Ansel... kami sama... makanya kami saling memahami. Aku tahu Malik nggak punya pilihan lain."
"Apa maksudmu?"
"Hm? Maksudku semalam," kata Irma, menyiratkan bahwa dia sama sekali tidak menyimpan arti lain selain yang diucapkannya. "Aku sangat memahami posisi Malik. Kamu tahu... orang-orang yang sibuk bekerja seperti kami, apalagi mungkin dunia Malik, duniaku dan juga Ansel nggak jauh berbeda...."
Bahu ramping Irma menggedik. Ucapan entengnya memaksa Mia merasa kerdil.
"Hey... mau sampai kapan kalian berdiri di situ? Irma... kopi, atau teh?" tanya Malik mengejutkan keduanya.
Irma menghampiri Malik yang menghilang lagi ke dapur.
Dalam langkah-langkah pelan Mia menyusuri lorong menyusul ke dapur, Mia bisa mendengar Irma memekik-mekikkan pujian pada hampir semua hal yang ditemuinya di sana.
Irma sedang mengulum whipped cinamon di jarinya ketika Mia yang setengah melamun tiba di antara keduanya. Hanya sekilas, tapi Mia sempat yakin Irma menatap Malik yang berdiri terpisah island table darinya dengan jari terkulum. Ia berpaling, menyembunyikan wajahnya yang mengeras. Dadanya sakit menyadari betapa anggun wanita itu walau yang dilakukannya sedikit tak pantas. Siapa yang mengulum jari di depan suami orang lain sambil menatapnya?
"Mia, kemarilah, Sayang. Kamu pasti senang mendengar ini. Irma akan membantuku mendapatkan satu sesi dalam episode talk show mengenai gaya hidup di Jakarta!"
Mia terdiam.
Kebingungan.
Kapan mereka membicarakannya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top