Chapter 10. Jebakan di Balik Pintu

Irma Kalia menutup pintu di balik tubuhnya.

Sembari merapikan gaun yang melekat indah di tubuhnya, wanita itu berjalan anggun kembali ke ruangan di mana dia meninggalkan Malik dan suaminya.

Tak ada senyum yang merekah di wajah Irma ketika ia kembali bergabung seperti ketika Mia masih bersama mereka mengelilingi meja makan. Irma Kalia bersikap seolah dirinya hanya seorang diri di sana. Dia melewati meja makan. Mengenakan kembali celemeknya, menuang lebih banyak anggur di gelas tingginya, kemudian bersandar di tepi meja persiapan. Menggoyang gelas di tangannya  dan minum dengan nikmat.

Ansel sudah tidak sabar ingin angkat kaki dari sana.

Masih tanpa suara, sembari menghampiri dua lelaki yang memaku di tempat duduk masing-masing, dagu Irma Kalia terangkat membentuk sudut sembilan puluh derajat, nyaris paralel dengan lantai rumahnya. Langkahnya terayun lambat dan anggun, potongan gaun satin di seputar pinggulnya menari-nari, berkilauan ditimpa cahaya, mengikuti ayunan lekuk tubuh pemakainya. Kursi yang ditariknya sama sekali tak berderit, Ansel terus mengawasinya.

Anggukan samar kepala Irma yang nyaris tak kentara membuat hidung Ansel refleks mendengus.

Sambil meludahkan kunyahan daging yang tak bisa ditelannya ke dalam lipatan serbet, Ansel mendorong kursinya mundur. Lamunan Malik yang teramat dalam terusik oleh respons cepat Ansel terhadap isyarat Irma. Kedua pria dalam ruangan itu akhirnya secara serempak mengadu tatapan.

Tanpa ada lagi topeng keramahan yang dipaksakan, Ansel sempat membeku mengira Malik akan berbuat sesuatu. Akan tetapi, pria berkulit sawo matang di hadapannya justru menggunting tatapannya lebih dulu dengan gusar.

Ansel merasa tidak perlu lagi memastikan apapun dan bergegas mengundurkan diri dari sana.

Sepanjang hidupnya, Ansel menyadari, dia bukan laki-laki yang bersih. Namun, bahkan di dasar paling kelam dalam benaknya pun, dia tidak pernah berpikir akan melakukan semua ini. Ini bukan hanya sebuah ide gila, ini keji.

Sebelum akhirnya dia setuju menyusul Irma Kalia pindah ke rumah barunya, Ansel menghabiskan berhari-hari merenungi keputusan yang lantas diambilnya. Tapi, Ansel juga tahu, ini bukan tentang Irma. Ini tidak pernah tentang Irma. Pun menikahi wanita itu dan membentuk sebuah keluarga, itu hanyalah bentuk usaha Ansel berdamai dengan dirinya sendiri yang hampir tidak bisa menerima kegagalannya menaklukkan Kalamia Modesta.

Jantung Ansel tak berhenti berdegup kencang sejak waktu makan malam tiba. Dia nyaris mengurungkan niatnya pada menit-menit terakhir. Dari balik jendela kamarnya di lantai dua, kegundahannya memuncak menyaksikan pasangan suami istri yang tinggal tepat di samping rumahnya itu bergandengan tangan mesra mendekati jebakan Irma. Dia hampir mundur dan menjadi laki-laki sejati, tapi kerinduannya akan hasrat yang belum pernah ia rasakan kembali sejak Kalamia meninggalkannya di Haneda, aroma manis melon bread yang entah bagaimana membayangi indra penciumannya, memaksanya maju.

Jika Mia tidak pernah bahagia bersama lelaki pilihannya, untuk apa dirinya menjadi lelaki sejati?

Rahang Ansel mengeras di depan pintu kamar tamu.

Dia tahu siapa yang akan ditemukannya di balik pintu itu. Seorang perempuan yang pernah mengubah pendiriannya. Perempuan yang kembali didatanginya suatu pagi setelah hubungan satu malam tanpa ia tahu alasannya. Mengapa pagi itu ia kembali kalau dia sudah berhasil menyelinap pergi? Sisi heroiknya?

Dia tidak bahagia. Perempuan yang ia cintai tidak bahagia, lalu untuk apa dia merelakannya?

Pintu terbuka di hadapannya. Ansel melewati ambang pintu dan menutupnya kembali. Irma telah meredupkan lampu-lampu. Yang paling terang hanya sebuah lampu tidur di atas nakas. Di atas ranjang, Mia berbaring miring menghadap ke arahnya. Perempuan itu meracau antara sadar dan tidak, sementara Ansel melangkah pelan menghampirinya.

Mia yang begitu molek terbaring di atas peraduan membangun kembali kepingan memori di benak Ansel akan malam terakhirnya di Tokyo dua tahun silam. Darahnya berdesir oleh gairah yang terbangun mengiringi langkahnya.

"Malik?" tanya perempuan itu dengan suara berat dan parau.

Entah apa yang ditaburkan Irma di dasar gelas anggur untuk Mia. Ansel berdiri di sisinya, membungkuk, membelai kening perempuan cantik yang lantas melenguh nyaman oleh sentuhan mesranya.

Perasaan iba menyelimutinya.

Perasaan iba terhadap dirinya sendiri.

Menurut perhitungannya, Irma sudah hamil muda saat mendekatinya dulu. Sebelum ia bisa berpikir jernih, perempuan licik itu sudah berhasil mengantongi persetujuannya untuk meresmikan hubungan. Mungkin ini saatnya berlabuh, pikirnya kala itu. Cinta tak kunjung menghampirinya setelah Mia mengikat erat hubungannya dengan Malik. Ansel melanjutkan hidup, mencoba menelan kekecewaan yang dianggapnya sebagai sebuah kekalahan. Kemudian satu dan lain hal terjadi, termasuk terkuaknya hubungan lama Irma yang menghasilkan janin. Janin yang bukan miliknya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saat Irma kehilangan bayi di rahimnya, Ansel percaya bangkai kebohongan akan terendus dan menemukan kebenaran sejati. Sayangnya, kali ini ia tidak bisa begitu saja meninggalkan, atau meminta Irma Kalia pergi dari hidupnya.

Sebaliknya, perempuan itu menawarkan ganti rugi.

Mia.

Ansel mengasihani dirinya sendiri karena dia tidak mampu menampiknya.

"Jangan hidupkan lampunya," Mia mencicit. "Mataku sakit. Apa kamu masih harus membaca?"

Ansel terdiam. Mia mengira pria yang menghampirinya itu suaminya, dia mungkin menganggap dirinya sedang berbaring di kamarnya.

Khawatir suaranya akan menyalakan kewaspadaan Mia, Ansel hanya menggeleng.

Mia mengubah posisi tidurnya menghadap langit-langit. Matanya memejam sepenuhnya, tubuhnya menggeliat sensual mencari-cari kenyamanan di atas tempat tidur. Tangan mungilnya jatuh menimpa bagian bawah pakaiannya yang tersingkap.

Dalam temaram lampu tidur dengan kesadaran penuh, Ansel menyaksikan pertunjukan kecil itu dengan nadi leher berdenyut.

Ansel duduk di tepi ranjang, mengamati wajah damai Kalamia dengan leluasa.

Dia menyangga sebagian berat tubuhnya dengan lengan kiri, meletakkan telapak tangannya di atas permukaan tempat tidur, di antara ketiak Mia dan lengannya yang tertekuk di atas bantal. Ansel membungkuk dengan hati-hati hingga jarak di antara mereka tak lebih dari lima jari. Matanya memejam lambat, hidungnya menghirup napas Mia yang terembus lewat celah gelap di bibirnya dalam-dalam.

"Mia," bisiknya mesra seraya menyentuh bibir itu dengan jari telunjuknya.

Mia tersenyum, berkelit manja merespons sentuhannya.

Dada Ansel sontak bertalu kencang seolah senyum bahagia itu tercipta khusus untuknya. Pria itu membungkuk lebih rendah, hendak menyapa bibir Kalamia dengan bibirnya.

Namun, ketika bukan namanya yang disebut sedetik sebelum bibirnya berpaut, Ansel tersentak. Refleks, dia menarik dirinya menjauh secepat kilat.

"Malik...."

Nyalinya menciut.

Malik. Tentu saja, geramnya pilu. Apa yang dia harapkan dari sebuah jebakan kotor? Meski demikian, hatinya  terluka lebih dari sebelumnya. Senyum itu bukan untuknya. Senyum itu untuk Malik yang saat ini mungkin sedang sibuk menggagahi istrinya.

Persetan dengan Malik.

Persetan apakah laki-laki itu sudi menukar dirinya pula, dan bukan hanya menyerahkan istrinya. Apa pedulinya pada Malik dan Irma?

Dia milikmu, Ansel.

Ansel kembali maju. Dengan jemarinya, ia menyisir bagian tengah rambutnya yang lebih panjang ke belakang, mencegah surai-surainya jatuh menimpa wajah Mia saat ia hendak mengecup bibir manisnya. Kelopak matanya memejam saat bibir mereka menyatu.  Lembut dan dalam. Tanpa gerakan. Aliran darahnya menggelegak ke satu titik dengan cepat hanya oleh sentuhan yang tak seberapa.

Sensasi yang timbul dari ciuman kecil yang dicurinya itu begitu mendebarkan, subtil, sekaligus sangat nyata. Aroma anggur dengan sedikit hint merica dari steik pre-cook Irma tercecap saat ia menjilat bibirnya sendiri. Ansel kembali maju, memupus jarak, dan memagut. Bibir dan lidahnya mengulum, memainkan daging bibir kenyal itu dengan gigitan-gigitan samar yang merangsang balasan. Dalam kesadarannya yang tenggelam semakin dalam, Mia mendesah, merintih, menggelitik gairah Ansel semakin kuat.

Sementara Mia menikmati ketrampilan Malik—dalam benaknya—yang sedang khidmat mengunyah bibir kecilnya, lutut Ansel menjejak tempat tidur, disusul yang lainnya. Diantara kaki Mia, lelaki itu melebarkan kedua pahanya. Tubuhnya merunduk semakin rendah, menekan bagian bawah pinggangnya ke tubuh Mia. Kecupan-kecupan kecilnya menjelajahi rahang dan leher Mia. Dalam waktu singkat, blouson Mia telah tersingkap. Lengan Ansel yang menelangkup punggungnya berhasil membuka kait penutup dada Mia, tepat ketika napas panasnya menyapa perpotongan dada perempuan itu.

Mia kembali merintih, rongga mulut Ansel dan lidahnya yang hangat memijat lembut dadanya, menendang jauh keraguan dan menggantinya dengan kenikmatan yang tak pernah bosan ia rindukan.

"Ahk," Mia mengerang, menyebut nama satu-satunya lelaki yang berhak atas tubuhnya.

Yang menggerakkan tubuh Ansel kemudian hanya dorongan naluriah semata. Akal sehatnya  bersembunyi. Harga dirinya tak terpanggil. Seakan-akan tubuh mungil yang meregang menentang birahi di bawahnya itu miliknya, Ansel menjelajahi setiap jengkalnya tanpa segan. Bibirnya yang tak lagi puas mengulum puncak payudara Mia perlahan turun merayapi perut pipihnya. Mengencangkan otot-otot abdomen perempuan itu dengan basah lidahnya. Menyengat syaraf-syaraf dan menggetarkan tubuh Mia saat bagian paling pribadinya melembab oleh usapan lembut jemari Ansel, serta belaian ujung lidahnya.

Panggul Mia mengejang hebat saat mulut Ansel tanpa ragu memagutnya. Berturut-turut, saat miliknya telah siap, Ansel mendesak dirinya memasuki tubuh Mia tanpa ragu. Lelaki itu menghimpitnya lekat, membasahi dan mengisap kulit lehernya, sementara pinggulnya berpacu cepat menghantam tubuh Mia.

Semakin tajam milik Ansel meningkahi tubuhnya, kesadaran Mia berangsur-angsur kembali. Benda keras yang menyesaki dan menggesek intens lubang vestibula pada vaginanya membuat Mia kesulitan mencerna apa yang terjadi meski kesadarannya telah pulih.

Perempuan itu diam termangu. Langit-langit kamar yang tampak jauh dan gelap merengkuhnya seperti hantu. Desakan tubuh pria di atasnya itu begitu asing, tapi juga begitu lekat dalam ingatannya. Malik tidak pernah menghunjamnya sedahsyat itu. Mia menggigil. Fantasinya malam ini terasa begitu nyata.

Ansel nekat terus mengayun pinggulnya bersama Mia, membuang jauh sejuta tanda tanya yang sempat bermain-main di kepalanya. Kaki-kaki Mia mengikat erat pinggangnya, lengannya merenggut ketat leher Ansel.

"Mia, Mia, Mia," sebut Ansel pada setiap entakanya.

Mia membungkam racauan pria itu dengan bibirnya. Ansel membalas membelit kuat lidahnya, memagut, membuatnya hampir mustahil untuk mencuri-curi tarikan napas. Gairah itu semakin menggelora, berdentum-dentum di gendang telinga keduanya.

Mungkin Mia menyangka ini hanya mimpi, tapi siapa yang peduli saat seluruh tenaga, pikiran, dan insting dua insan yang menyatu terpusat untuk mengejar satu tujuan yang sama?

Mia meregang di bawah tubuhnya, mencakar bahunya, tak lagi menyebut nama pria lain meski tak juga menyebut namanya. Ini kerinduan Mia yang sebenarnya. Saat dirinya tak sepenuhnya sadar, ia menginginkannya. Ansel meraup bagian bawah tubuh Mia yang terasa demikian pas dengan cengkeraman tangannya dan mengajaknya berguling ke sisi lain tempat tidur dalam satu hitungan. Perempuan itu menggigit erat bibir bawahnya di atas pinggang Ansel, memberi Ansel pemandangan yang pernah ia nikmati di masa silam. Dua tahun lalu itu mendadak terasa begitu jauh, seolah terjadi pada kehidupan yang telah lampau.

Sebelum permainan Ansel usai, Mia memulainya dari awal lagi. Dia memutuskan memuaskan rasa lapar dan dahaga selama menjadi belahan jiwa Malik Satya Hod.

Ansel terjaga oleh denyut notifikasi smart watch yang melingkar di pergelangan tangannya. Beberapa jam kemudian setelah keduanya mencapai klimaks. Saat itu, Mia sudah lebih dulu terjaga.

Mia bertanya, "Di mana Malik?"

Ansel beranjak dan duduk di tempat yang sama, menyaksikan Mia mengenakan kembali helai demi helai pakaiannya. Kepalanya tertunduk. Saat Mia selesai kembali berbusana, perempuan itu berkata, "Kalau Malik yang memintamu melakukan ini, aku akan membunuh kalian berdua."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top