27. Evil


Don't take him away from me

I've got nothing if I don't have him

Kiki menggulingkan tubuhnya di kasur.

Baru beberapa menit lalu Juna meninggalkan rumahnya, pemuda itu sudah mengiriminya pesan. Padahal, Kiki belum lagi turun memenuhi panggilan mamanya untuk makan siang setelah menunaikan Salat Dzuhur yang agak terlambat.

"Lunanya nggak di rumah," beri tahu Juna lewat Line chat.

Kiki mengirim emoc senyum, "Mungkin pergi sendiri jalan-jalan," ketik dan kirimnya.

Seharusnya, jadwal kencan mereka sampai sore, tapi Juna tampak lebih murung dari biasanya. Kiki bertanya ada apa dan memintanya cepat pulang menemui Luna setelah kekasih pertama dalam hidupnya itu menceritakan tentang masa lalu kelamnya. Kiki yang memang mudah menangis merasa terharu. Dia tak masalah kalaupun hari Minggu pagi Juna tersita oleh Luna, toh dia masih bisa main dengan Saya.

Dengan penuh pengertian, gadis tuli itu meminta Juna menepati janji meski terlambat.

"Aku siap-siap kerja aja kalau gitu," pesan dari Juna masuk.

Senyum manis terbit di bibir Kiki, "Hati-hati pulangnya, Kak. Jangan ngebut."

Juna masih membalas, "Kok manggilnya masih 'Kak'?"

"Terus apa?" pipi Kiki bersemu merah, dia tahu Juna ingin dipanggil apa, tapi masih belum cukup berani untuk mengabulkannya.

"Sayang, dong," balas Juna.

Nggak mau, ah, malu, Kiki menggigit bibir, membatin, tanpa membalas pesan.

"Kalau masih manggil Kak, aku nge-chat sambil nyetir motor, nih," Juna mengancam.

"Jangan dong, bahaya!" Kiki mengetik cepat. Cemas betulan sampai kepalanya yang semula tertunduk malu, tegak kembali.

"Jangan dong, bahaya, apa?" Juna masih menggoda.

"Kak Juna tukang maksa, yaaa...," kata Kiki, cekikikan sambil mengirim pesan.

"Kiki lebih sayang sama malunya, daripada sama aku, nih?"

Kiki menyerah, menutup bantal ke seluruh mukanya setelah mengirim, "Jangan chat sambil nyetir. Bahaya, Sayang."

Juna merespons dengan stiker yang menghamburkan bentuk hati sampai berkali-kali. "Aku jalan dulu, ya, Kiki Sayang," mengikuti stiker terakhirnya.

Sampai beberapa saat, Kiki masih tenggelam dalam euforia pesan-pesan Juna beberapa hari terakhir setelah mereka jadian. Jarinya sibuk menggulirkan layar ponsel untuk merekam ulang pesan-pesan yang makin mesra dari Juna hari ke hari. Hatinya menghangat oleh perasaan bahagia dan malu yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Bahkan, saking malunya, dia belum berani berterusterang pada Saya bahwa hubungannya dengan Juna berkembang sedemikian rupa.

Juna sudah mendesaknya supaya jujur pada Saya, tapi Kiki masih terus menghindar. Setiap hari dia berbincang dengan Saya di chat maupun video call, jelas sekali sahabatnya itu juga tak berpikir ke arah sana. Kiki tak pernah mendapatkan celah untuk berterus terang karena Saya tak pernah mendahuluinya bertanya tentang Juna.

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka.

Kiki terkejut melihat wajah bundanya, "Kamu nggak ke tempat Saya, ya, Dek?" tanya sang bunda.

Kiki menggeleng.

"Pergi sama Juna, yaaa?" goda wanita itu sembari mendekat. "Saya tadi nelepon, lho. Nanyain kamu mau dateng enggak, kalau dateng mau diajak nonton bertiga sama Emma."

"Hah? Herus mama bihlang hapah?"

"Mama bilang jujur, kamu jalan sama Juna."

Kiki menggigit ujung bantal dalam pelukannya, "Hih mahmaaah," katanya.

"Kenapa? Saya belum tahu kamu jadian sama Juna?"

"Behluuum!"

Gantian mamanya yang melongo. Sedetik kemudian, raut wajah wanita itu semringah luar biasa, "Ihhh ... jadi udah jadian sama Juna?" pekiknya antusias. Tanpa menanti Kiki membenarkan, mamanya malah beranjak dari tepi kasur dan berteriak, "Paaah! Papaaah! Si adek udah jadiaaan!"

"Mamaaah!!!" jerit Kiki sumbang, mencoba mengejar, tapi tak bisa mencegah mamanya berlari keluar kamar.

Akhirnya dengan kepala tertunduk, Kiki turun ke tempat makan. Mama dan papanya yang sedang asyik kasak-kusuk langsung menghentikan aksi mereka. Terutama ayahnya, pria itu memasang wajah serius, "Benar, kalian jadian?" tanyanya menyelidik.

Tak bisa mengelak lagi, Kiki membenarkan dengan anggukan kepala.

"Duduk," perintah ayahnya tegas. Kiki menurut. "Kok Juna nggak bilang papa dulu?"

Kiki terhenyak, tapi tak bisa berkata-kata. Mamanya yang menyahut, "Orang baru pacaran, ya nggak wajib bilang sama papanya duluan. Emangnya papa dulu gitu sama kakek?"

Alis pria di hadapan Kiki itu mengerut, "Yah ... tapi, kan, Juna udah kenal sama kita berdua, mam. Jadi nggak ada salahnya, dong!"

Sementara kedua orang tuanya berdebat, Kiki memilih tak mengikuti arah pembicaraan mereka. Selain keduanya saling berhadapan dan sulit dia ikuti karena bicara terlalu cepat, Kiki takut membayangkan jika ayahnya bersungguh-sungguh. Dia tak tahu bagaimana meminta Juna menghadap ayahnya. Mereka kan cuma pacaran, bukannya mau nikah, pikirnya. Saya aja bilang malas disuruh nemuin papanya Emma, padahal sudah pacaran beberapa bulan.

Di tengah kalut pikiranya yang terlalu serius, Kiki menyadari lampu di dinding dapur menyala merah. Tandanya bel pintu depan telah ditekan. Kiki beranjak dari dapur, berpamitan membukakan pintu. Untuk sementara, dia merasa lega karena bisa mengelak dari tuntutan papanya. Namun, saat melihat siapa yang datang, dia kembali terperangah.

Seorang gadis yang duduk di atas kursi roda menanti di depan pintu bersama seorang pria hampir seusia ayahnya.

Kiki ingat betul apa yang sudah menimpa Luna dari cerita Juna. Kepolosan dan kebaikan hatinya langsung jatuh iba pada nasib gadis itu. Dia merasa senasib, tapi juga merasa lebih beruntung. Dia tak perlu merasakan perubahan drastis atas apa yang menimpanya karena sejak sebelum dia ingat, dia sudah seperti dirinya saat ini. Namun, Luna berbeda, dia pernah merasakan betapa bahagianya bisa berjalan dan berlari sesuka hati, tiba-tiba setelah satu kejadian, dia harus kehilangan semuanya. Belum lagi dia juga kehilangan ayahnya. Kiki tak bisa membayangkan betapa sedihnya kehilangan orang tua. Dia tak bisa membayangkan hidup tanpa bantuan mereka berdua yang tanpa pamrih.

Oleh karena itu, saat Luna mengajaknya keluar karena ada yang ingin dia bicarakan, Kiki ikut saja tanpa bertanya macam-macam.

"Hita mahu kehmana?" tanyanya sopan pada sopir yang duduk di sisinya.

Dia sempat terkejut saat Luna tak menghendakinya duduk di jok belakang bersamanya, tapi Kiki maklum, mungkin Luna tak biasa berbagi tempat duduk dengan orang lain. Dengan patuh dia duduk di samping kemudi.

"Non, kita mau kemana?" Pak Tio menyalurkan pertanyaan Kiki pada Luna.

"Di tempat tadi aja," jawab Luna dingin.

Sepanjang perjalanan, Kiki bingung harus melakukan apa. Dia berusaha sekali dua kali bertanya, tapi kesibukan sopir dengan kemudi membuatnya kesulitan menangkap jawaban pria itu. Beberapa menit kemudian dia memutuskan diam dan menyesal kenapa dia tak membawa ponsel bersamanya.

"Haku bahrusan ke sihni hama Hak Juhna," beri tahunya ceria setelah mereka berdua duduk di salah satu bangku bertiga.

Luna mencegah Pak Tio pergi seperti biasa jika mereka makan di kedai atau restoran, dia pikir, mungkin akan membutuhkan bantuan orang ketiga kalau-kalau bingung apa yang dibicarakan Kiki.

"Apa hubunganmu sama Juna?" Luna menembak tanpa basa-basi. Kedua matanya menatap tajam pada Kiki tanpa belas kasih.

Sekeras apapun Kiki berusaha bersikap ramah, seolah tak sampai ke hati Luna. Pertanyaan itu seakan menyadarkan Kiki bahwa Luna bukannya belum terbiasa dengannya, tapi memang tidak sedang ingin berkawan dengannya. Perasaan kecewa menohok ulu hati gadis polos itu, tapi dia tetap mencoba tersenyum.

"Hamuh ... dehkat bahnget hama Hak Juhna, ha? Hama hayak aku sahma Sahya," tutur Kiki, hati-hati berusaha memperjelas artikulasinya.

Akan tetapi, usahanya tak dipahami Luna. Gadis berkursi roda itu mengernyit.

Kiki paham, kemudian meminta Luna meminjamkan ponsel padanya. Dia mengulang perkataannya dan menunjukkan layar ponsel ke Luna.

Luna meraih kembali ponselnya, tapi Kiki mencegah dan kembali mengetik, "It's Okay. Kamu bicara biasa saja, aku mengerti asal kamu pelan-pelan."

Dengus samar terembus dari hidung Luna, "Gue nggak ngerti lo ngomong apa. Sama dengan lo dan Saya?"

"Saya itu sahabatku," tulis Kiki. Pak Tio yang ikut mengintip, tersenyum membacanya, membuat Luna sedikit kesal dengan reaksi pria tersebut. Dengan kerlingan tajam, Luna seolah mengingatkan bahwa Pak Tio seharusnya ada di pihaknya.

"Gue sama Juna nggak bersahabat," tandas Luna sengit. "Nggak kayak lo sama Saya itu. Nggak sama sekali."

Kiki hanya bisa menjatuhkan rahang, kaget bukan kepalang. Dia mulai bertanya-tanya, apa sebabnya dia dibawa jauh-jauh? Apa yang akan dibicarakan Luna dengannya?

"Hubungan gue sama Juna baik, tapi bukan sahabat," imbuh Luna.

Kiki mencoba menganggukkan kepala meski tak terlalu paham. Sebab, keterangan itu jelas lain sekali dari apa yang terlontar dari mulut Juna. Juna bilang, sejak kematian ayah mereka, dia dan Luna akrab seperti sahabat. Bahkan, dengan jelas Juna bilang, meski mungkin tak sedekat Kiki dengan Saya, tapi Juna ingin lama kelamaan mereka akan seakrab itu.

Kasihan Kak Juna, pikir Kiki. Dia pun tentu akan merasa sakit kalau Saya berkata seperti itu tentangnya.

Dia mengetik, "Bagi Kak Juna, kamu sahabatnya. Kenapa? Apa dia berbuat salah? Maafin dia, dia orang yang baik."

"Lo nggak ngerti maksud gue!" bentak Luna tertahan. "Hubungan gue dan Juna baik sebelum ada lo. Ini pertama kalinya dia nggak menuhin janjinya ke gue."

Kali ini Kiki merasa cukup paham dengan apa yang terjadi, dia menghapus tulisan sebelumnya di note, dan menulis baris lain, "Kalau itu aku ikut minta maaf, tapi setelah aku tahu seharusnya Kak Juna jalan sama kamu di hari Minggu, aku tadi minta dia ke rumah kamu. Kamunya nggak ada, ternyata ke sini. Apa Kak Juna nggak kasih tahu?"

Luna menggeleng saja saat layar ponsel disodorkan padanya.

Kiki melanjutkan ketikannya tanpa menghapus, "Jangan khawatir, seterusnya, aku nggak akan ganggu Minggu pagi kalian."

"Maksud lo?"

Senyum Kiki makin lebar, merasa sudah menemukan jalan keluar, "Aku bilang ke Kak Juna, Minggu paginya harus tetap sama kamu. Soalnya aku paham, kayak aku juga biasanya Minggu pagi sama Saya. Main, bercanda, makan es krim. Cewek-cewek Saya juga selalu paham dan nggak gangguin Minggu Saya karena aku selalu main ke rumahnya. Aku sebenarnya nggak keberatan kalau ceweknya ikut, tapi ceweknya nggak pernah mau kalau ada aku. Mungkin kamu juga ngerasa gitu, nggak apa-apa, aku ngerti. Toh, dengan gitu aku bisa tetap main sama Saya. Apalagi sekarang Emma, ceweknya Saya, mau main bertiga sama aku."

Bukannya senang seperti anggapan Kiki, Luna justru makin berang.

"Lo tuh udah ganggu hubungan gue sama Juna!" terangnya.

Jantung Kiki berhenti berdetak, matanya membelalak karena reaksi Luna berbanding terbalik dari perkiraannya.

"Ada hubungan apa lo sama Juna?" lanjut Luna.

Kiki ragu menjawab jujur, dia diam menelan ludah. Matanya sempat melirik bingung ke arah Pak Tio yang menunduk dalam.

"Lo pacaran sama Juna?" terka Luna.

Meskipun tak mendengar, Kiki selalu berusaha membaca dari raut wajah lawan bicaranya. Dia bisa memperkirakan suara macam apa yang diperdengarkan Luna saat bertanya, hingga sampai membuat bahu Pak Tio bergidik di sisinya.

Bahu Kiki pun ikut mengerut takut. Namun, karena Luna tampak belum selesai bicara, dia memaksakan diri untuk tetap menatapnya.

"Gue kayak gini karena Juna!" Luna menyambung, Kiki makin terperangah. "Lo lihat kaki gue, kan? Kalau bukan karena Juna dan bokapnya, turun dari mobil tadi, gue jalan sisian sama lo. Bukan pake kursi roda, lo paham?"

Air mata Kiki menitik tanpa disadari. Gadis itu terkejut sendiri, mencabut beberapa helai tisu untuk mengeringkan pipinya.

"Mentang-mentang lo patut dikasihani, terus dengan seenaknya lo dekatin Juna? Dengan santainya lo ambil dia dari gue? Asal lo tahu, Juna selalu kasihan sama cewek-cewek kayak kita. Gue nggak tahu dia kayak gitu karena memang baik, atau malah lemah. Dia pasti nggak bisa nolak rasa suka dia ke elo, dan akhirnya ninggalin gue."

Kiki ingin sekali menyangkal, tapi jemarinya terlalu lemah untuk bergerak mengambil ponsel di atas meja.

"Sekarang pertanyaannya ... lo punya hati enggak?"

Bukan hanya Kiki, Pak Tio pun ternganga oleh pertanyaan Luna.

"Lo masih punya sahabat, gue nggak punya selain Juna. Gue sayang sama dia, tapi gara-gara lo, dia bahkan nggak datang ke janjian rutin yang diikrarkannya sendiri. Lo bikin dia berubah, apa sih yang udah lo kasih ke dia? Lo punya hati enggak? Lo lihat gue, kan? Kita sama-sama kekurangan, kalau lo mau ngambil seseorang yang berharga di kehidupan orang lain, kenapa nggak lo ambil dari orang lain yang masih lengkap hidupnya?

"Jangan hanya lo juga menderita, terus lo bikin hidup orang lain sama menderitanya kayak-"

Luna tak sempat menghabiskan kalimatnya. Kiki yang berurai air mata sudah lebih dulu beranjak dari kursi dan berlari keluar.

Pak Tio kebingungan, tapi berusaha sigap ikut beranjak sebelum panggilan Luna menghentikan langkahnya.

"Mau ke mana?" tanyanya.

"Kasihan, Non. Dia nggak bisa dengar, nggak bawa HP, kayaknya juga nggak bawa uang. Ini jauh dari rumahnya, kalau dia nyasar gimana, Non?"

"Biarin aja. Siapa suruh dia lari kayak gitu!"

"Tapi, Non ...."

"Saya bilang biarin, Pak Tio," katanya, kemudian mengambil sejumlah uang dari tas dan meletakkannya di meja. "Bayar ini, terus antar saya pulang."


Ternyata dalam keadaan kayak gitu pun, Kiki masih ngerasa dirinya lebih beruntung daripada Luna, huhuhu betapa mulia hatimu, Nak, nggak kayak mamahmu ini. LOL

Jangan lupa vote dan komennya, muach muach muach!

Jadi gimana nih, masih setia sama team yang mana? A penny for your thought, gimana akhir cerita ini nanti? Hm? Silakan tebak-tebak tapi nggak berhadiah wkwk

I love you

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top