23. Titik


Karena surga letaknya di telapak kaki bunda

Sudah cukup larut saat semua sudut restoran selesai dibersihkan.

Namun, Juna masih tinggal untuk menerima sepucuk surat dari manajernya. Tatapannya jatuh ke permukaan amplop yang dijatuhkan begitu saja ke meja. Meski tahu benar letak kesalahannya, tapi menurut Juna dia berhak diperlakukan lebih baik.

"Surat peringatan," ujar sang manajer dingin.

Mata Juna terpejam saat hidungnya mengembuskan napas lega.

"Kalau bukan temen Dewa, lo pasti udah dipecat," imbuh manajer yang bahkan tak ingin Juna sebut namanya, mendesis sinis dan mengakhiri kalimatnya dengan decih.

Juna sempat berpikir dia pasti akan dipecat saat itu juga setelah—lagi-lagi—datang terlambat sore tadi. Dia tak enak pada Dewa dan Kinanti, surat peringatan itu pun pasti bentuk belas kasihan mereka. Selama ini, belum ada pegawai yang sampai dihadiahi surat peringatan pertama. Biasanya paling peringatan lisan dan mereka sudah tak mengulang kesalahan lagi, atau malah segera mengundurkan diri.

Kalau bukan karena Tupperware Luna yang diributkan bundanya, dia tak akan terlambat. Sebenarnya dia sudah keluar rumah lebih awal, siapa sangka dia harus lebih dulu menolong Luna yang terjerembab dari tempat tidur karena bersikukuh ingin menemuinya. Juna tak mungkin meninggalkan gadis yang kesakitan itu begitu saja. Dia sudah lebih dulu memberi tahu Dewa lewat Kinanti, tapi Dewa pun tak mungkin selalu membela jika urusannya sudah menyangkut karyawan lain.

"Terima kasih," ucap Juna seraya memungut surat yang tergeletak di depannya.

"Sekali lagi lo telat, SP 2, lalu SP 3 dan lo terpaksa harus keluar dari sini," terang manajer satu-satunya yang dipekerjakan Dewa. "Belum kalau mecahin piring atau gelas ... udah berapa banyak yang lo hancurin karena kebanyakan ngelamun?"

Juna masih membisu.

"Bisa bangkrut restoran Dewa kalau lo masih kayak gitu, padahal udah lebih dua bulan lo kerja di sini."

Seyogyanya, manajer dan karyawan tak berbeda jauh kedudukannya. Restoran ini bukan perusahaan besar dengan struktur organisasi yang jelas, pria di depannya ini mendapatkan kedudukan manajer hanya karena bertahan lebih lama dari yang lain, bukan berdasar skill lebih baik, pengalaman lebih banyak, atau latar belakang pendidikan lebih tinggi. Namun, terhadap Juna dia seperti mendapatkan objek melampiaskan keterbatasan kekuasaannya pada karyawan lain. Semata-mata karena dia tahu Juna sangat butuh pekerjaan ini.

"Kalau lo udah nggak mau kerja," katanya lambat-lambat. "Nggak usah kerja. Di sini bukan tempat anak orang kaya main-main."

Jelas itu sindiran. Semua orang yang bekerja di sana tahu benar kondisi keluarga Juna pasca meninggalnya sang ayah. Bukannya berempati, manajer itu senantiasa menggunakannya untuk mengintimidasi. Sebelum bergabung menjadi karyawan, Juna memang sering datang sebagai pengunjung. Sebagai karyawan paling lama yang bekerja untuk Dewa, dia tahu perbedaan nasib Juna dulu dan sekarang.

Seingatnya, dia tak pernah sekalipun bersikap buruk pada pelayan restoran itu saat menjadi pelanggan—mengingat si pemilik telah berteman dengannya jauh sebelum restoran berdiri—yang membuat manajer tersebut memiliki alasan untuk melampiaskan kekesalan padanya.

"Lo denger nggak gue ngomong?" tanya manajer lagi.

Juna mengangguk, "Gue denger," katanya tajam.

Manik mata lawan bicaranya membeliak sedetik mendengar Juna tidak berusaha bersikap lebih sopan. Akan tetapi, karena semua karyawan memang tidak saling memanggil dengan sebutan berbeda, dia tak bisa keberatan.

Hanya diam saat Juna melanjutkan, "Gue butuh pekerjaan ini dan gue nggak main-main."

Setelah menelan ludah, pria ceking berambut rapi itu mencicit, "Nggak keliatan cukup serius buat gue." Dan tak menanti Juna membalas, dia mengibaskan tangan, "Ya sudah, lo boleh pulang. Kalau gue terlalu keras, Kinan bisa negur gue entar."

Juna tak punya pilihan selain menahan geram. Hanya rahangnya yang menggeretak bersama dengan anggukan kepala. Dia keluar ruangan dengan meyakinkan diri bahwa Kinan tak mungkin menegur siapapun untuknya. Meskipun kekasih Dewa, gadis itu tak pernah bersikap arogan terhadap karyawan lain, apalagi pada manajer. Kalaupun dia campur tangan, pasti lewat Dewa. Pria itu hanya mencoba membuatnya merasa malu karena bekerja di sana atas bantuan Kinanti.

Saat ini, Juna memutuskan tak berbuat apa-apa.

Sungguh, dia sudah muak dengan sikap bundanya. Setelah semua permintaannya dituruti demi menghindari datangnya permasalahan baru, bunda seperti harus selalu diingatkan pada kesepakatan mereka semula. Dulu bundanya janji, jika Juna mau membantu dan berteman dengan Luna, beliau tak akan memaksa Juna memberi lebih dari itu.

Karena masih kesal akan kejadian di tempat kerja, saat masuk rumah mendapati bunda belum tidur, Juna tidak menyapa seperti biasa.

"Jun ... kok baru pulang, Nak?"

Langkah Juna terhenti.

Tak menyadari perubahan sikap putranya, wanita yang masih cantik di ujung empat puluhan itu mendesah kuat sambil mematikan televisi, "Kerjaan kayak gitu aja kamu bela-belain sampai tengah malam, Jun. Salah-salah kuliahmu malah berantakan."

Juna tersinggung, tapi masih mencoba diam seraya menanggalkan jaket dan menggantungnya di tempat biasa.

"Kuliahmu gimana?" Bundanya seolah mencegah Juna menghindar.

"Baik," jawab pemuda yang tampangnya sudah letih itu pendek.

"Kamu nggak capek tiap hari begini?"

"Capek."

"Kerja sampai larut malam, paginya bangun buat kuliah. Kadang masih ngurusin grup musik—"

"Capek," tegas Juna, mulai kesal. "Tapi kalau Juna nggak gini, banyak tagihan kita yang nggak kebayar, bunda."

Alih-alih naik ke lantai dua dan masuk kamar, Juna berbelok ke dapur diikuti bundanya.

Bukan hanya kuliah dan perkerjaan saja yang membuatnya lelah, pekerjaan rumah yang sebagian menjadi tanggung jawabnya pun. Juna menggulung lengan baju, membasahi setumpuk perkakas dapur kotor dengan air keran.

Sebisa mungkin, selain harus mengajar demi mengais rupiah, Juna tak ingin hidup bundanya banyak berubah. Pekerjaan yang dulu dikerjakan asisten rumah tangga lebih sering ditanganinya sendiri supaya bundanya tak kecapaian. Sebab kalau kecapaian, beliau akan kembali nelangsa membandingkan hidupnya yang berbanding terbalik setelah sang tulang punggung tiada. Dulu bunda jauh lebih ceria, tak pernah mencampuri hidup Juna asal putra semata wayangnya bahagia dan kuliah dengan benar. Ayahnya yang mengurus dan menghasilkan uang tanpa hambatan menjadikan hidup bunda sepenuhnya bergantung. Dibanding Juna, wanita itu jauh lebih terpukul seperginya sang suami.

Juna bahkan tak mendapat cukup waktu berkabung saking terpuruknya bunda.

"Jun ...," bunda memanggil lagi.

Juna pura-pura tak mendengar, sibuk mencuci panci-panci kotor.

"Bunda tadi masak apa, sih? Banyak banget perkakas kotornya?" dia bertanya untuk mengalihkan topik apapun yang ingin diangkat bundanya.

"Masak dikit buat Luna, buat ganti pudingnya," jawab sang bunda, suaranya berubah ceria. "Bunda antar pake Go-send, Luna langsung nelepon. Katanya enaaak banget masakan bunda."

Bibir bawah Juna terasa nyeri karena gigitannya sendiri. Panci-panci itu kosong sama sekali, bunda bahkan tak menyisakan sedikit pun buatnya. Semua untuk Luna.

"Kamu kan pasti udah makan," tambah bunda enteng.

"Memangnya Luna nggak makan," gumam Juna sengit.

"Yah ... kok ngambek, iya deh besok bunda gantian masakin buat kamu."

"Nggak usah," sergah Juna datar. "Repot nyuci pancinya kalau bunda masak santan-santan. Masak yang biasa aja, biar cuciannya nggak banyak."

"Makanya bayar pembantu lagi, yuk."

Juna tak ingin bertengkar, dia diam.

"Kalau kamu kerjanya nggak di restoran temen kamu, tapi di tempat Om-nya Luna, kita pasti bisa bayar pembantu."

Panci di tangan Juna terjatuh. Bukan meleset, melainkan sengaja setengah dia lemparkan supaya gaduh.

"Hati-hati," bunda memperingatkan, sama sekali tak punya pikiran bahwa putranya kesal. "Ibunya Luna juga udah bilang ke bunda di telepon. Katanya biar keluarga kita masih tetep bisa kerja sama kayak dulu. Mereka baik banget ya, Jun? Padahal ... gara-gara kita mereka kehilangan ...."

"Kita juga kehilangan, Bun."

"Kalau waktu itu kamu nggak minta dijemput di bandara, mereka nggak harus buru-buru, lho."

"Iya, jadi karena Juna," geramnya tertahan.

"Yah ... yang lalu biarlah berlalu, gitu kata ibunya Luna. Dia udah jauh lebih ikhlas daripada bunda sendiri. Tapi ... rasa bersalah bunda belum mau hilang."

"Makanya ...," sela Juna. "Jangan ditambah dengan utang budi lagi."

"Bukan utang budi, justru kalau kamu kerja di tempat Om-nya Luna, kamu bisa bantu mereka. Meringankan kerjaan Om-nya."

Bibir Juna tersenyum miring, matanya melirik ekspresi penuh harap sang bunda yang terpantul dari sisi kulkas, "Meringankan apanya sih, bun? Merepotkan iya. Juna nggak punya pengalaman."

"Di sana kan ditraining dulu, Jun ...."

"Nggak ah, Juna nggak sudi kerja kayak gitu."

"Kayak gitu gimana?"

"Ya dibantu-bantu masuknya, nggak murni karena Juna sendiri."

"Memangnya kamu masuk kerja di restoran itu bukan karena dibantu sama teman kamu?"

Seketika mulut Juna bungkam saat bundanya meninggikan nada bicara. Tapi, tak lama dia mendapat ide balasan, "Makanya, kerja di restoran aja masih dibantu, apalagi kerja di perusahaan besar."

"Ayah kamu dulu—"

"Ayah beda, Bun!" potong Juna gemas. Ditinggalkannya perkakas yang belum dibilas untuk membalik badan menghadapi bunda. "Bunda ... kita nggak utang apa-apa sama keluarga Luna. Ayah sama papanya Luna kerja sama dari nol, Bunda. Nggak sama kayak kalau Juna kerja buat Om-nya Luna. Kita juga nggak seharusnya ngerasa bersalah, kita juga kehilangan, Buuun ...."

"Tapi ayah kamu yang nyetir waktu itu, Jun."

"Ayah juga meninggal. Kondisi almarhum malah lebih mengenaskan, Bun. Bunda bahkan nggak sempat bicara dengan almarhum buat terakhir kalinya karena sampai meninggal almarhum koma. Tante Ingrid masih bisa ngomong sepatah dua patah kata terakhir sama suaminya, bunda harusnya nggak menyiksa diri bunda kayak gini!"

"Tapi kalau nggak karena kepentingan pribadi ayahmu, yaitu kamu, mereka belum tentu harus kecelakaan sama almarhum!"

Jantung Juna berhenti merenyut saat telunjuk bunda mengarah ke wajahnya. Sakit seperti dipukul telak di dada, kepala Juna menunduk, "Terserah bunda," katanya.

"Kamu keluar aja dari restoran itu, kerja sama Om-nya Luna. Lulus kuliah, kamu udah punya banyak pengalaman. Jabatan kamu pasti dinaikin kalau kamu udah dapet gelar sarjana, hidup kita nggak akan kayak gini."

"Kayak gini gimana?"

"Ya gini ... susah. Kamu pulang kerja masih harus ngurus ini, itu. Bunda nggak tega."

"Waktu muda ... apa ayah juga langsung enak hidupnya sama bunda?"

Rahang bunda menggeretak bereaksi pada kalimat yang diucapkan kelewat dingin oleh Juna. Dua bola matanya bergerak kasar membalas tatapan putranya, "Bunda cuma nggak mau kamu susah."

"Aku nggak susah," Juna membantah. "Aku—Juna—lagi berjuang. Juna nggak ngerasa susah, Bun. Apa bunda ngerasa susah sekarang?"

Tak ada jawaban.

"Juna cuma pengin bunda dampingin Juna berjuang kayak bunda dampingin almarhum ayah dulu. Juna juga nggak mau bunda susah, tapi keadaannya udah kayak gini, mau diapain lagi? Juna nggak mau jadi boneka bunda ...."

"Boneka gimana maksud kamu?"

"Apalagi namanya kalau bukan boneka? Bunda mau Juna kerja sama Om-nya Luna, utang budi sama mereka, terus apa? Lama-lama bunda akan minta Juna nikahin Luna, iya?"

"Memangnya apa salahnya kalau bunda pengin kamu sama Luna?"

"Nggak ada salahnya kalau Juna mau, Juna nggak mau."

"Kenapa? Luna kurang apa? Dia punya semuanya, dia baik, hormat sama bunda setelah apa yang terjadi sama papanya. Dia sayang sama kamu. Dia cantik. Sejak dulu bunda suka sama dia. Ayah kamu juga pasti suka kalau kamu sama Luna. Soal kakinya—"

"Nggak ada hubungannya sama kakinya!"

"Soal kakinya," bunda tak mau berhenti meski kalimatnya sudah dipotong, "kalau kamu mau telaten temenin dia terapi, dia pasti sembuh. Sekarang ini yang dia butuhin cuman semangat!"

Semangat? Juna mengulang dalam hati. Secara otomatis sepotong kata itu membuatnya membandingkan Luna dengan Kiki. Penderitaan Luna yang masih punya harapan sembuh seharusnya tidak lebih berat dibanding Kiki yang menyandang kekurangan itu tanpa harapan pulih sama sekali.

Dan entah bagaimana, seperti mampu membaca apa yang ada di kepala Juna, bundanya menyebut nama itu, "Dibanding murid bunda itu, si Kiara, bunda mendingan lihat kamu sama Luna. Kamu nggak lagi dekat sama dia, kan?"

Sakit di relung dada Juna menjadi tak tertahankan. Air mata menggenang di pelupuk matanya, siap meluncur jatuh ke permukaan lantai dapur. Perasaannya campur aduk, pedih mengingat bundanya dulu tak akan menilai orang sedangkal ini.

Dengan mata kepalanya sendiri Juna menyaksikan betapa kedua orang tuanya saling mencintai. Cinta bundanya pada sang ayah seakan tak terputus bahkan oleh kematian. Dia ingin juga merasakan cinta sedalam itu. Demi apapun Juna tak ingin menukar kesempatan merasakan cinta seperti yang dimiliki kedua orang tuanya.

"Bunda nggak setuju kalau kamu dekat sama anak itu," tukas sang bunda menegaskan.

"Juna nggak sayang sama Luna, bun ..." gigil Juna, bola matanya mengikuti gerakan sang bunda yang beranjak meninggalkan dapur.

Di ambang pintu, Juna memanggil sekali lagi.

Bunda berhenti tanpa menoleh, tegasnya, "Pokoknya ... bunda nggak setuju. Titik."


Oh my God kalau part-nya Juna, it's always so drama-drama. He's just too good to be true. A kind of character yang hampir nggak pernah saya tulis sebelumnya karena, to be honest, saya nggak suka tokoh sempurna. It's boring. But well Juna X Saya ini kayak Yin dan Yang wkwk

Saya pikir nggak ada yang nungguin, lho, saya ampe lupa. Tadi siapa yang ngewall kangen Kiki dan saya baru ingat ini udah hari keempat. Please don't hesitate to remind me, dear.

Enjoy.

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top