6: Black Forest

Seorang office boy baru saja keluar dari ruangan direktur setelah menaruh minuman susu hangat dan madu di meja kecil dekat pintu. Lanang dari tempat duduknya sempat melihat sekilas lalu kembali fokus pada sebuah map berisi daftar karyawan untuk ia periksa. Tidak lama, sebuah ketukan terdengar hingga muncul sosok Auriga dari balik pintu dengan ekspresi berseri.

"Selamat pagi Pak. Wah, jarang sekali saya lihat pemandangan kayak gini," ia mengecek jam tangannya, "masih jam tujuh kurang, dan bapak sudah duduk manis di situ."

"Kamu Ga, yang nyuruh OB buatkan susu sama madu?" tanya Lanang tanpa menatap Auriga.

Auriga mengangguk sekali. Ia berjalan mendekat lalu menaruh botol suplemen vitamin B pada meja Lanang meski tahu akan berakhir menjadi pajangan. "Masih ada waktu sekitar empat puluh lima menit untuk tidur," timpalnya seraya kembali mundur beberapa langkah, "setelah itu kunjungan ke restoran House of Yin untuk makan bersama dengan anak-anak penerima beasiswa."

Lanang mengkerutkan alis. "Yasa ke mana?"

Orang kepercayaan Lanang itu tidak langsung menjawab, ia berdeham sambil membetulkan letak kacamatanya. "Ada perjalanan ke luar negeri, Pak. Jadi tugas ini dilimpahkan ke Bapak." Auriga menggaruk lehernya yang tidak gatal.

Melihat gelagat Auriga yang mencurigakan, Lanang bersandar pada kursi sembari menaruh map ke meja. Tidak ada kalimat terlontar, hanya dari sorot mata yang terlihat jelas jika ia butuh penjelasan. Auranya pun sudah seperti singa yang hendak berkelahi.

Auriga mengalihkan pandang dengan berpura-pura sibuk pada tab-nya. "Lebih tepatnya ... ke acara Dior launch party. Katanya ingin ketemu Jisoo." Iya, personil member Blackpink—girl group korea.

Kekehan Lanang terdengar mengerikan. "Si kunyuk emang," dengusnya pelan sambil meraih map dan diberikan kepada Auriga. "Dia mau melarikan diri kan dari mama dan Frisanti? Kapan mereka berangkat dari Jepang?"

"Kalau tidak malam ini, besok, Pak."

Helaan napas berat dilaku oleh Lanang seraya mengecek gawai yang masih aman dari celotehan sang ibu ataupun Frisantiadik angkatnya. Ia harus menerima kenyataan jika hari-harinya yang tenang selama setahun ini akan segera berakhir. Tidak lama terdengar pula helaan panjang dari bibir Auriga, sebab ia juga yang akan kena imbasnya nanti.

Lanang pun beranjak ke meja dekat pintu untuk menandaskan susu. "Subuh tadi saya sudah bisa tidur, jadi kita langsung ke resto saja sekarang." Langkahnya berhenti di ambang pintu

"Baik, Pak." Auriga pun mensejajarkan langkahnya dengan Lanang. "Omong-omong, saya mendapat informasi soal keberadaan wartawan freelance yang selama ini kita cari."

Ekspresi Lanang masih terlihat tenang sembari melangkah tegas memasuki lift. "Dia di mana sekarang? Selesai acara kita langsung ke tempatnya." Perlahan, rahangnya mulai mengeras.

***

Hari ini Rindu izin tidak masuk kerja karena tubuhnya betulan tumbang. Istirahat sehari merupakan ide yang bagus. Selepas pulang dari apartemen Lanang, ia merasa suhu badannya jadi semakin tinggi. Sudah minum obat tapi kepalanya masih terasa pusing dan pandangnya kadang berbayang. Rindu kembali ke dunia nyata, pada kamar indekos mungil dan segala kesederhanaan nyerempet miris yang selama ini akrab dengannya.

Di atas tempat tidur, tubuhnya berguling ke samping. Setelah mandi raganya jadi terasa lebih segar, meski rasa pegal-pegal masih menggerayangi tubuh. Semua utang pinjaman online Danu sudah ia lunasi, tidak bisa dipungkiri memang semua itu berkat bantuan Lanang. Bebannya jadi sedikit terangkat walaupun luka dalam hatinya masih sangat membekas.

Tadi pagi ia mengurungkan niatnya untuk bertindak gegabah, membiarkan pria itu hidup lebih lama mungkin bukan hal yang buruk. Toh sepertinya Lanang sedang dalam situasi tidak baik-baik saja, jadi bahasa kasarnya, biar ia tersiksa terlebih dulu. Sebetulnya Rindu penasaran, hal apa yang membuat orang kaya seperti Lanang memilih untuk akhiri hidup. Bukannya ia sudah memiliki segalanya? atau hanya kurang bersyukur saja?

Ia mengerjap pelan. Memikirkan hal itu hanya membuat kepalanya semakin berdenyut nyeri. Tiba-tiba Rindu seperti melupakan sesuatu yang penting. Ada yang terlewat untuk dikembalikan kepada Lanang, tapi apa ya?

"Haus," gumam Rindu parau. Ia perlahan bangun lalu meraih jaket. Rambut panjangnya diikat rapi ke belakang, lantas bersiap untuk membeli minuman dingin di luar. Tidak apa-apa berjalan kaki lumayan jauh, sekalian olahraga di bawah terik matahari barangkali bisa langsung sembuh.

Nekat memang. Rindu terengah sambil berpegangan pada dinding minimarket, mengatur napas sejenak seraya menyeka peluh yang bercucuran. Setelah berjalan ratusan meter, akhirnya ia berhasil sampai di tempat tujuan berburu minuman.

Ketika menegapkan tubuh, kedua matanya menangkap sebuah gerai minuman Temu Kangen yang sebelumnya adalah bangunan kosong. Memang sudah lama Rindu tidak mengecek deretan penjual di sini sebab lebih suka pergi langsung ke daerah Pondok Cina ketimbang jajan di sekitar Kalibata.

Merasa tertarik, sekalian ngadem pas ada fasilitas pendingin ruangan, Rindu pun menjatuhkan pilihan untuk membeli minuman pada gerai itu. "Permisi," ia membuka pintu perpaduan baja ringan dan kaca secara perlahan.

Di sana masih sepi, hanya ada satu ojek online yang menunggu pesanan. Tempatnya sangat nyaman, banyak sekali tanaman hijau. Tema aesthetic dengan warna serba putih yang diusung sangat menarik perhatian Rindu. Ditambah aroma susu bercampur kopi dan kue membangkitkan selera untuk segera membeli. Kecil, sederhana, tetapi buat betah.

"Silakan, Kak." Rindu disambut oleh seorang wanita paruh baya dengan senyuman hangat terpatri. "Ini ya Pak pesanannya," ia sejenak menuntaskan transaksinya terhadap ojek online itu.

Diperlakukan ramah, Rindu pun mengulum senyum kecil lalu duduk di salah satu bangku tinggi yang menghadap langsung ke tempat pemesanan. Kedua lengannya menumpu pada pinggiran yang dibuat seperti kayu panjang—sengaja difungsikan sebagai meja.

"Halo, saya Padma. Seminggu ini lagi ada promo tiga puluh persen khusus paket Renjana, mau coba Kak?" Wanita berambut pendek seleher itu berucap dengan lembut seraya menyodorkan menu. "Isinya minuman optional kopi atau susu dan potongan kue black forest."

Rindu meneguk saliva sembari menjilat bibir keringnya. Ia sangat menyukai kue itu, tapi saat melihat harganya yang hampir menyentuh nomi empat puluh ribu, niatan itu harus segera pupus. "Um, mau beli es susu cokelatnya aja bu, satu."

"Siap. Tunggu sebentar ya," tutur Padma lalu segera membuatkan pesanan. "Kakaknya baru pertama kali ke sini ya?"

Merasa diajak bicara, Rindu pun menoleh ke arah Padma diikuti anggukan pelan. "Iya bu. Saya baru sempat jajan di sekitaran sini lagi."

"Soalnya, selama dua minggu gerai ini buka, ibu baru lihat kamu." Padma mendekat lalu menaruh sebuah piring kecil berisi potongan black forest kepada Rindu.

"Eh? Saya ngga pesan paket Renjana—"

"Itu gratis. Anggap aja ucapan pertemanan, kalau kamu tolak nanti ibu sedih," ujar Padma sembari mengerling. "Omong-omong ibu owner-nya langsung, jadi kamu ngga perlu sungkan, oke?"

Intuisinya benar untuk masuk ke dalam gerai minuman Temu Kangen itu, bahkan sekarang Rindu disuguhi kue gratis. "Terima kasih, bu Padma," seulas senyum gembira merekah. "Ibu bisa panggil saya Rindu, tinggal di indekos sekitaran sini."

Padma tidak langsung menjawab, sejenak bergeming menatap Rindu cukup lama. "Berarti kita bakal sering ketemu ya, Rin," tuturnya seraya kembali fokus meracik minuman cokelat.

Rindu mengangguk antusias sembari menyuap black forest. "Nanti Rindu sempatkan mampir ke sini sepulang kerja. Tapi ngga bisa sering juga ...."

Sebuah mobil hitam baru saja terparkir tepat di halaman depan. Hal itu cukup menyita fokus hingga Rindu mengerjapkan mata untuk memastikan satu hal yang mengganjal. Perasaan tidak enak pun diperkuat dengan kehadiran seseorang yang keluar dari mobil.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top