26: Kembali
"Dingin amat yah AC-nya, perasaan udah digedein tapi tetap aja ... dingin BANGET," keluh Frisanti sembari melirik Rindu yang duduk di sebelahnya kemudian Lanang yang berada di sebelah Auriga sebagai supir dadakan.
Mereka menyewa mobil Alphard, sebelumnya Auriga sudah datang duluan untuk mengurus semuanya. Semenjak lima belas menit yang lalu Rindu, Lanang dan Frisanti dengan selamat sampai di bandara Ahmad Yani, Semarang. Tepat pukul delapan malam. Kini, fokusnya untuk mengisi perut dulu sebelum beristirahat di hotel.
Hari jum'at setelah pulang kerja sangat efektif tuk langsung berangkat pergi liburan—menghadapi long weekend. Masih ada sabtu dan minggu yang dimanfaatkan untuk berjalan-jalan meski tujuan awal bukanlah untuk itu.
Di sepanjang perjalanan Frisanti sebagai penengah mencoba mencari topik pembahasan, tetapi kakak laki-laki dan calon iparnya sangat tidak bisa diajak bekerjasama. Merusak suasana. Sudah benar keputusannya untuk ikut mengembalikan kehangatan yang sempat hilang selama empat atau lima hari ini, feeling-nya bekerja.
"Yang, Yang, berhenti di depan situ deh ada sate kambing. Kayaknya enak, ulasan di google lumayan," ujar Frisanti kepada Auriga seraya memperhatikan gawainya.
Auriga memelankan mobilnya sembari menekan sein mobil. "Berapa ratingnya?"
"Empat koma lima. Aku lapeeer. Karena ada dua orang yang lagi puasa bicara jadi ngikut aja kan ya," sindir Frisanti dengan nada sedikit kesal. "Menepi aja Yang, jangan parkir dulu."
Auriga sih menurut saja, mencoba santai seperti biasa. Mobil itu pun dengan halus sampai di depan kedai sate yang dimaksud. Frisanti berdeham pintu pun dibuka kemudian Lanang dan Rindu sudah turun duluan. Sekuat tenaga ia menepuk punduk Auriga dari belakang, membisikkan sesuatu hingga membuat pintu mobil itu kembali tertutup tanpa keduanya turun.
"Ayo cepet gas! Udah gapapa, aku yang nanggung kalau mas Lanang marah, cepetan Yang!" seru Frisanti sembari memperhatikan Rindu dan Lanang yang berjalan masuk ke dalam kedai tanpa menoleh ke belakang.
"Astaga, awas aja kalau gaji gue kena potong gara-gara ini doang," sungut Auriga sembari menancap gas sesuai perintah.
Frisanti terkikik puas kala menoleh ke belakang, Rindu dan Lanang yang telat menyadari langsung meneriaki mobil dengan wajah kebingungan juga menahan marah. "Mas Lanang ngancem doang paling, Yang. Kamu udah berjasa banget selama ini, terus tambah yang sekarang, biar mereka baikan dulu baru kita jemput lagi nanti. Yuk ah, makan di mana ya enaknya Yang?"
Rindu dan Lanang yang tertinggal hanya bisa menatap nanar kepergian laknat mobil yang kian menjauh. Benar-benar sangat niat meninggalkan mereka, bila bercanda pun sudah keterlaluan. Dapat disimpulkan jika Frisanti adalah otak di balik peristiwa itu, siapa lagi.
"Rin, Rindu." Lanang menahan lengan Rindu yang hendak beranjak dari depan kedai. Sudah menjadi tontonan beberapa orang disekitar ternyata kepekaan gadis itu agak tumpul sebab tampak tidak peduli. "Aku lapar, Rin."
Rindu menghentikan langkahnya kemudian berbalik badan disertai ekspresi judesnya. "Ya sana tinggal makan. Aku nggak" Bersamaan dengan itu perut gadis itu berbunyi nyaring, membuat mulutnya mengatup rapat menahan malu meski tak tampak pada rupa.
"Kamu lapar. Kita lapar, oke? Jadi ayo makan dulu." Lanang dengan perlahan merangkul pundak Rindu, membawanya masuk ke dalam kemudian memesan dua porsi sate kambing, dua nasi, satu tongseng, dan dua es jeruk. Kedai mungil tetapi hangat, yang beli pun terbilang banyak.
Aroma khas sate yang menggugah selera makan sebenarnya sangat menarik perhatian Rindu terutama cacing di dalam perutnya. Ia sedikit bergeser di bangku panjang kala Lanang mendekatkan tubuh untuk berbicara.
"Kamu mau sampai kapan kayak gitu? Aku tau kamu berusaha jaga jarak." Tangan Lanang dengan sangat sopan menarik pinggul Rindu hingga berdempetan dengannya. Bahkan tangan besar itu menahan tubuh si gadis pada bagian paha agar ia tidak mebuat jarak lagi.
"Mas, apaan sih." Sekitar lima hari ini Rindu memang mencoba tidak terlalu intens dengan Lanang. Menghindar adalah jalan terbaik bagi kesehatan jantungnya yang akhir-akhir ini bekerja lebih keras jika berada didekat Lanang—entah kenapa—seperti saat ini. Harum maskulin tubuh pria itu sangat ia rindukan. Harusnya berkat jarak yang hadir semua akan kembali normal, tetapi malah uring-uringan yang terasa.
"Fine. Kalau kamu ngga mau diperlakukan baik." Lanang menjauhkan tangannya dari paha Rindu.
Saat itu pula hati Rindu terasa mencelos, ia yakin betul sesuatu itu membuatnya gelisah kemudian membuat tendasnya menoleh ke arah Lanang. Namun, rasa itu segera sirna menjadi gelenyar hangat kala mendapati senyuman simpul Lanang dengan kuasanya menggenggam tangan Rindu lembut.
Bahkan gue sekarang bingung sama diri sendiri.
"Tapi suka-suka aku mau memperlakukan kamu kayak gimana," tutur Lanang sembari ibu jarinya aktif bergerak mengelus punggung tangan Rindu. "Sudah ya, main diem-diemannya? Lihat nih kantung mataku tebal lagi, kurang vitamin C dari kamu."
Luluh. Apa boleh gue melunak sedikit? Mungkin nggak apa-apa buat sekarang. Sekali aja.
"Vitamin C apaan deh?"
"Cium, cinta, apa lagi? Cayang?"
Geli mendengar tampang seperti Lanang menggombal seperti itu. Rindu tidak bisa menahan senyumnya lagi, bahkan sampai tertawa kecil. "Sumpah kamu nggak cocok ngegombal."
"Refleks," tanggap Lanang sok cool diikuti tarikan pada ujung bibirnya yang semakin meninggi kala memperhatikan rupa jelita Rindu. Benar, gadis itu cantik kalau tersenyum seperti itu. Jauh lebih cocok untuknya ketimbang cemberut.
Rindu sendiri mengagumi senyuman tipis yang terpatri pada wajah Lanang, semua itu tampak jelas dari kedua mata bulatnya yang memantulkan rupa tampan si pria. Senyum gitu jauh lebih cocok buat lo.
Pesanan mereka pun akhirnya datang. Sate kambing dengan potongan daging besar-besar langsung meningkatkan nafsu makan. Ditambah aroma tongseng ayam yang tidak kalah menyedot perhatian indera penciuman. Minumannya pun sekali lihat tampak segar untuk segera menghilangkan dahaga.
Lanang menyingkirkan potongan bawang yang menutupi sate, kemudian menyiramkan kuah kecap. Tendasnya menoleh didorong rasa penasaran kala Rindu tiba-tiba diam sembari menatap layar gawainya dengan serius, ekspresi ditekuk terlihat tidak suka.
"Mas Lanang, angkatin ini." Rindu menodongkan gawainya kepada Lanang. Nama yang tertera di sana seketika memantikkan api kecil di dalam diri pria itu.
Satu sahutan pelan menerima perintah Rindu dengan senang hati, Lanang pun menekan tombol hijau ke samping. "Baj*ngan, lo ganggu makan malam gue sama Rindu." Detik setelahnya pria itu memutuskan telepon penuh kemenangan.
Rindu melongo sembari mengerjap cepat. Ternyata Lanang bisa mengumpat juga, apa lagi baru kali pertama mendengar pria itu berbicara secara tidak baku. Berefek cukup dahsyat bagi kewarasan Rindu.
"Setelah ini kalau dia telepon lagi, jangan diangkat," jelas Lanang tampak kembali ke mode tenang seraya menyerahkan gawainya pada Rindu kemudian mengambil tiga tusuk sate untuk ditaruh pada piring si gadis. "Makan yang banyak, kamu terlalu kurus. Mama sudah gemas lihat badanmu, katanya harus digemukin sedikit biar ngga kayak lidi berjalan. Mama lho ya, yang bilang."
"Iya ...." Ingin protes, tapi calon mertua yang memberi pesan. Rindu hanya bisa mengangguk pelan sembari mengkerucutkan bibir. Selama ini ia dapat makan dengan nasi sehari sekali saja, rasanya sudah sangat bersyukur, bahkan bisa menyisihkan uang untuk jajan di Pondok Cina adalah rezeki tambahan yang patut disyukuri. Tidak terpikir untuk melihat atau mencari gizi, yang terpenting perut terisi.
Baru ingin meraih gelas es jeruk, tubuh Rindu tiba-tiba ditarik cukup kencang oleh Lanang hingga wajahnya menubruk dada bidang pria itu. Kaget sekali. Erangan suara bariton pun membuat Rindu kebingungan. Sayang sekali es jeruknya kesenggol hingga tumpah.
"Kenapa Mas?" Dengan khawatir, ia menoleh ke belakang. Pupilnya pun membulat sempurna dengan raut wajah cemas.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top