23: Mulai
Rindu hampir terlonjak kaget. Suara bariton Arsa membuat tubuhnya bergidik ngeri. Pria itu sudah seperti demit yang ada di mana-mana, muncul dengan tiba-tiba. Hari ini sepertinya kesialan beruntun sedang hinggap, menyentil kesabaran.
"Loh, Mas Arsa abis nyalon juga?"
"Nggak lah. Tuh, nungguin temen." Arsa terkekeh geli. "Jadi HP-mu kenapa Rin? Kok panik gitu?"
Rindu mengikuti arah pandang Arsa. Melalui kaca transparan kelihatan kawan pria itu adalah perempuan yang rambutnya sedang di tata. Temen, ya. Ceweknya beda lagi, bukan yang di kafe waktu itu.
"Iya ... ini, HP-ku mati, habis baterai. Bingung nggak bisa order ojek daring," tutur Rindu diikuti helaan napas berat.
"Lo cantik," celetuk Arsa tiba-tiba. Pandangnya tidak bisa lepas dari sosok Rindu.
Seharusnya Rindu senang mendapat pujian semacam itu, tetapi rasa ilfil yang justru hadir membuatnya harus mengulum senyum tipis. Diperhatikan seperti itu pun membuatnya risih. "Saya duluan ya Mas."
"Tunggu. Sorry, gue cuma bicara jujur." Arsa menahan lengan Rindu lalu tidak lama melepaskannya sebab gadis itu bersikeras menarik kuasa. "Gue antar ya? Kayaknya lo mau pergi ke acara penting kan?"
"Nggak perlu, takutnya ngerepotin. Temen Mas juga nanti gimana?" Sehalus mungkin Rindu menolak tawaran Arsa. Menghadapi play boy cap ikan teri kayak dia sungguh membuang tenaga.
"Gampang, dia juga masih lama. Gue janji bakal langsung anterin lo ke lokasi, nggak ada maksud lain. Pure membantu. Ya kali lo mau jalan kaki."
Seketika muncul sebuah ide yang membuat Rindu akhirnya mengiyakan ajakan Arsa. Lagi pula ia harus cepat-cepat sampai di rumah Ira. Keduanya pun akhirnya memasuki mobil Rolls Royce milik Arsa.
"Jadi tujuannya mau ke mana Mbak?" ucap Arsa bermaksud mencairkan suasana seraya perlahan mengemudikan mobil keluar parkiran.
Rindu menahan tarikan senyumnya seraya menggeleng pelan. "Ke rumahnya tante Ira. Mas Arsa tau kan?" Ia melirik Arsa, barangkali pria itu berubah pikiran dan jadi enggan mengantarkan. Hanya itu ide yang terlintas.
"Tau dong." Ekspresi Arsa masih terlihat santai, tidak merasa terbebani atau pun berubah kesal. Setelah itu tidak ada percakapan yang berarti, keduanya kadang larut dalam pikiran masing-masing hingga empat puluh menit berlalu. Baru saja melewati pos jaga perumahan elit yang dituju, sebentar lagi mereka akan tiba di rumah Ira.
"Lanang lembur ya hari ini. Kenapa ngga nganterin lo pakai sopir? Kalian berantem?"
Niatan awalnya ingin membuat Arsa mundur, malah Rindu yang sedikit terpancing emosinya. "Hubungan kami baik-baik aja, Mas. Memang akunya yang nolak buat diantar sopir," bela Rindu mencoba tenang.
"Oh gitu. Kirain lagi berantem."
Ingin sekali rasanya Rindu melepas high heels 7 cm yang dipakai kemudian dilemparkan ke wajah Arsa. "Memangnya kenapa kalau lagi berantem?"
"Berantem kenapa?" Arsa menyahut seraya memutar kemudi.
Rindu tidak langsung menjawab, seulas senyum kecil nan kaku ia agihkan. "Mbak Dira ke mana Mas? Kalian lagi berantem? Aku kira tadi nemenin Mbak Dira nyalon."
Seperti Rindu barusan, Arsa pun tidak lantas merespon. Ia baru menyadari sesuatu, sudah membuat gadis di sebelahnya tersinggung. "Istri gue doyan banget shopping sampai malam, gue ngga sanggup nemenin jadi ya ...."
"Jadi mending nemenin cewek lain aja gitu ya Mas," cetus Rindu seraya membuka sabuk pengamannya kala mobil Arsa mulai melaju lambat.
Arsa terkekeh pelan. Alih-alih emosi dia malah merasa tertantang dengan sikap Rindu. Ia mengeluarkan gawai lalu kembali menimpali ucapan gadis itu dengan tenang sembari memberhentikan mobil. "Kamu menarik, Rin."
Kalimat itu berhasil membuat Rindu menoleh. Tanpa sepengetahuannya Arsa langsung mengambil foto. Tidak ada tatapan curiga dari gadis itu sebab pria itu berlagak natural. "Mas, lo udah punya istri dan gue sudah mau menikah sama Mas Lanang. Paham kan ya? Kita udah sama-sama dewasa. Kayaknya gue perlu tegasin ini. Makasih tumpangannya." Setelah itu Rindu keluar dari mobil. Tampangnya merah padam menahan kesal.
Mendapat semprotan dari gadis seperti Rindu tidak lantas menciutkan nyali seorang Arsa Lakeswara. Seulas senyum miring pongah diagihkan, Arsa jadi semakin ingin menaklukan incarannya itu.
Meski jabatannya masih di bawah Lanang sebagai brand manager di satu perusahaan yang sama, pria itu bertekad akan menyerang kelemahan sang rival lewat Rindu Sediakala. Fokusnya pun beralih ke gawai, jemari bergerak mencari kontak seseorang kemudian mengirimkan sebuah foto.
***
Sunyi yang mencengkam. Silaunya cahaya lampu dan pantulan dari kulit luar barang-barang mewah yang terawat dengan baik tampak kontras dengan suasana di tempat makan di sana. Hanya terdengar dentingan sendok atau garpu yang menyentuh piring. Ira duduk berhadapan dengan Rindu, lalu Gala beserta tampang tidak ramahnya memilih menempatkan diri di antara mereka. Seharusnya menjadi makan malam keluarga yang harmonis.
Ira beredeham. "Pa, Rindu mau bicara sesuatu." Wanita itu mengulas senyum hangat ke arah Rindu sembari memberikan kekuatan melalui sebuah anggukan.
Rindu lantas meletakkan alat makan. "Pa, sebelumnya Rindu mau ucapin terima kasih banyak karena sudah merestui hubungan"
"Saya harap kamu tahu batasan." Gala membalas tatapan Rindu dengan tajam. "Yatim piatu, bukan orang terpandang, bahkan dari kalangan bawah. Pakai apa sampai bisa memikat hati Lanang?"
"Pa." Ira langsung buru-buru memperingati Gala dengan suara rendahnya.
Bohong bila Rindu tidak sakit hati mendengar kalimat Gala barusan. Namun, untuk sekadar mengatur emosi bukanlah hal yang sulit demi kelancaran rencana. "Pakai hati, Pa. Mas Lanang melihat saya sebagai seseorang yang dia sayang, begitu pun Rindu."
Gala terkekeh pelan seraya menyeka bibirnya dengan kain bersih. "Gadis seperti kamu seharusnya cepat-cepat bangun dari mimpi indah. Derajat keluarga kami terlalu tinggi untuk kamu gapai, nak. Takutnya nanti tidak kuat dan hanya mempermalukan nama baik keluarga."
Rindu meremas dress sekuat tenaga sembari meneguhkan kembali hatinya. "Saya mampu. Memang Rindu hanya berasal dari panti asuhan dan bukan lahir di keluarga yang berada, tetapi saya mempunyai tekad, unggah-ungguh, dan masa depan bersama Mas Lanang."
"Sebetulnya saya menentang keras pernikahan kalian. Banyak wanita terpandang di luar sana yang lebih layak untuk anak itu nikahi." Gala mengedikkan bahu. "Tapi mengingat dia itu Lanang, lebih senang mencari gara-gara dan bodoh dalam mencari pasangan hidup, ya sudah saya maklumi dari pada nyawa yang melayang."
Ira mengembuskan napas kasar tanpa bersuara. "Mas. Rindu sebagai perwakilan dari Lanang sampai memberanikan diri buat bertemu loh, kamu tidak hargai itu?"
"Harusnya gadis ini dan anakmu itu yang berterima kasih kepada saya karena sudah mau meluangkan waktu," sanggah Gala dengan tegas, hendak berdiri.
"Pa, bisa bicara berdua?" Dengan menebalkan wajah disertai senyuman ramah Rindu mencoba menahan kepergian Gala. "Sejak dari kapan dada Papa mulai terasa sakit? atau mungkin sesak napas?"
Sorot mata Gala berubah lebih menusuk, perlahan ia kembali duduk dengan fokus tidak lepas dari Rindu. "Ira, kamu ke kamar dulu."
Ira tampak bingung, pandangnya menatap Rindu untuk memastikan sesuatu. Sebuah anggukan dari gadis itu pun memberikan setitik kelegaan hingga ia yakin untuk undur diri dari sana, membiarkan sang suami dan Rindu membicarakan sesuatu.
***
"Terima kasih Pak Anwar, hati-hati di jalan." Lanang melepaskan jabatan tangan sembari mengulum senyum ramah. Anwar pun mengangguk sembari menepuk pelan pundak Lanang kemudian masuk ke dalam Lexux hitamnya.
Di depan restoran Jepang Lanang mengawasi kepergian mobil yang telah melaju pergi. Di sebelahnya, Auriga melonggarkan dasi sembari menghela napas lega.
"Nang, gue rasa Pak Anwar memang ada di pihak lo."
Malam yang cukup merepotkan. Mendapatkan kepercayaan seorang pemegam saham seperti Anwar memang sudah bukan hal sulit lagi bagi Lanang. Pria itu secara halus hanya ingin menkonfirmasi jika semua masih berada di jalurnya. Merendahkan hati, bersikap baik, juga pembuktian yang nyata adalah usaha yang selama ini Lanang selalu lakukan.
"Semoga. Setidaknya sampai pengangkatan kembali sebagai direktur dan menutup akses Arsa untuk masuk." Keramahan pada rupa Lanang telah menghilang sepenuhnya, sudah cukup basa-basi untuk hari ini. Ia pun mengeluarkan gawai, hendak menanyakan posisi Rindu sebab akses apartemen hari ini dibawa oleh Lanang. Namun, pesan masuk dari Arsa seketika membuyarkan fokusnya. Genggaman pada gawai pun mengerat.
"Wajah lo kenapa kayak nahan eek gitu?" Auriga mengerjap bingung. Padahal detik sebelumnya suasana hati Lanang masih cukup bagus.
Sambil melepas kacamatanya, Lanang mencoba menghubungi Rindu, tetapi nomornya tidak aktif. Raut wajah gusar perlahan membingkai pada rupa. Decakan pelan pun keluar dari mulutnya. "Arsa bangs*t."
Mendengar Lanang mengumpat sekali penuh penekanan, tiba-tiba saja sekujur tubuh Auriga merinding, tidak berani mengeluarkan pertanyaan lanjutan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top