21: Ilusi

Bohong. Rindu yakini ucapan seperti itu hanyalah dusta besar yang dapat dengan mudah laki-laki mana pun lontarkan. Bila perkataan itu benar berasal dari hati, berarti misinya untuk membuat Lanang jatuh cinta telah tercapai. Namun anehnya alih-alih bangga, Rindu justru merasa senang. Padahal baru opini, hatinya terlalu cepat merespon dibarengi desiran aneh. Gue pasti udah sinting.

Kedua matanya terpejam, menunggu bibir Lanang untuk singgah. Namun perkiraannya barusan meleset jauh, ternyata pipi tembamnya yang mendapatkan kecupan singkat. Tangan pria itu pun beralih menggerakkan kedua paha Rindu untuk kembali menutup.

"Setelah ini siap-siap ya, sebelum kesorean." Lanang menyandarkan tubuh seraya memejamkan mata dan mengatur napas. Jemarinya saling bertaut di atas perut. Raut wajah semampunya dibuat tenang.

Biasanya Lanang akan melakukan apa pun untuk menangkan diri. Minum alkohol hingga tidur dengan wanita random yang ia sewabenar-benar dalam konteks bercinta—sampai badan pegal dan akhirnya dapat terlelap. Namun entah kenapa, ia tidak bisa melakukan hal itu terhadap Rindu yang merupakan sasaran empuk. Bila ada niatan merusak, rasanya hati dan otak langsung sigap menentang sebab teringat peringatan keras dari Frisanti jika Rindu masih menjaga mahkotanya. Alhasil harus menahan diri.

Rindu kembali membuka mata. Tubuhnya yang masih tegak perlahan mengubah posisi jadi horizontal dengan fokus memperhatikan Lanang. Ia sedikit kebingungan dengan sikap Lanang barusan. Ada rasa lega juga kecewa, sangat rumit untuk dijabarkan.

Tautan jemari Lanang dipisahkan oleh Rindu kemudian disatukan lagi di atas pinggulnya ketika tubuh sudah berhasil bersandar miring dengan nyaman. "Tremormu belum berhenti."

"Ngga begitu mengganggu, tenang saja."

"Aku yang terganggu," sanggah Hening yang masih sayang nyawa. "Istirahat dulu 30 puluh menit, atau nanti aku aja yang nyetir? Pilih mana?"

"Oke, istirahat 30 menit." Lanang menimpali dengan cepat.

Rindu mengambil kesempatan mengecup pipi Lanang sekilas lalu memejamkan mata. Ia akui dada pria itu sangat nyaman dijadikan bantal meski terasa keras karena otot yang terbentuk. Mereka berdua pun tanpa sadar menyunggingkan senyum kecil kemudian tidak lama terlelap.

***

Sekitar pukul dua siang Rindu dan Lanang baru saja keluar dari gedung kantor Polres kemudian langsung masuk ke mobil bagian penumpang.

"Kamu yakin, Rin? Tinggal membuat laporan kepolisan lho, nanti sisanya biar diurus pak Umar." Umar adalah kenalan Lanang di Polres yang menjabat sebagai Wakapolres setempat, dulu kawan main masa kecilnya sampai SMP. "Sebentar ya Pak Dharma," timpalnya kepada supir agar tidak langsung tancap gas dari sana.

Akhirnya Lanang memilih minta bantuan Dharma—supir pribadinya—untuk mengantarkan sekalian membantu mengusung barang-barang milik Rindu di indekos. Setelah dari sana dan semua beres, baru mereka datang ke kantor Polres.

Rindu mengangguk yakin. Ekspresinya tampak serius memikirkan berbagai pertimbangan yang membuatnya batalkan niatan untuk tempuh jalur hukum. "Tadi di dalam sana aku baru kepikiran ibunya Danu. Beliau mengidap penyakit jantung, aku ngga bisa bayangin bakal sesedih apa kalau tau anak kesayangannya ngelakuin hal buruk dan bakal masuk penjara."

"Ibunya wajib tahu perbuatan anaknya dan ngga bisa selamanya kamu tutupi begitu. Takutnya muncul korban baru lagi."

"Iya, paham. Tapi beliau udah aku anggap kayak ibuku sendiri, di sini aku perlu mikirin kondisinya juga." Rindu membalas tatapan Lanang dengan kilat kesungguhan. "Sebetulnya yang jadi fokusku itu cukup nyari si Danu sampai ketemu."

Lanang menaikkan sebelah alisnya. "Lalu?"

"Pas ketemu nanti aku bakal tendang burungnya sampai biru, sama botakin kepalanya," tegas Rindu. Sorot matanya tampak berapi-api. "Tapi betul katamu tadi, ibunya mas Danu juga harus tau demi kebaikan dia sendiri, tapi dengan cara baik-baik. Nggak perlu masukin anaknya ke penjara. Jadi, kayaknya aku harus ke Ambarawa, kalau belum ketemu beliau rasanya hatiku masih mengganjal."

"Ibunya Danu ada di sana?" pertanyaan Lanang direspon Rindu dengan sebuah anggukan.

"Aku dapet info, terakhir beliau di rumah adiknya di Ambarawa. Sekalian ... ada sesuatu yang mau aku pastikan di sana."

Melihat tekad Rindu yang sudah bulat, Lanang pun akhirnya mengalah. "Kapan berangkat ke sana?"

"Mungkin jum'at malam, nanti mau cek dulu tiket bis—"

"Aku antar. Sudah pasti hari itu ya? Mau confirm jadwal dulu ke Auriga." Lanang mengeluarkan gawainya.

"Aku bisa berangkat sendiri. Kamu cukup kasih uang akomodasi aja, nggak perlu ikut segala," celetuk Rindu bermaksud jenaka.

Lanang tidak menjawab ucapan Rindu, fokusnya mengetik sesuatu. "Jalan ya, Pak Dharma. Kita ke stasiun Kalibata."

Mobil mulai melaju bersamaan dengan badan Rindu yang mencondong ke arah Lanang. Ia berusaha menutupi layar gawai si pria dengan kepalanya. "Mas Lanang. Seriusan aku nggak perlu dianterin."

Jemari Lanang terpaksa berhenti mengetik. "Tapi aku perlu tau sesuatu yang mau kamu pastikan itu apa."

"Nanti kan bisa aku ceritain." Mata bulat Rindu mengerjap pelan tanpa agihkan ekspresi. Tampak lucu.

Berang-berang. Lanang menangkup leher Rindu dengan satu tangan besarnya kemudian tendas mendekat menghadiahkan Rindu sebuah gigitan lemah pada pipinya yang gembil.

"Aaaduduh, sakit!" Rindu meringis sambil memukul-mukul pelan dada Lanang.

Lanang menyudahi gigitannya yang tidak seberapa, sepertinya Rindu terlalu melebih-lebihkan. "Aku juga perlu pastikan kamu ngga kabur bawa uang akomodasi," timpal Lanang disertai senyuman tipis lalu ditutup dengan kecupan singkat pada bibir Rindu.

Dengan memberengut menahan tawa Rindu berkata, "Idih ngapain juga kabur, kalau gitu nggak perlu kasih uang akomodasi." Tangan aktif mengelus pipinya yang kini kemerahan.

"Sudah di transfer," jelas Lanang sembari memasukkan gawai ke dalam avenue slingbag NM miliknya.

Mendengar penuturan barusan, pupil Rindu berubah menjadi rupiah. Aroma uang seketika tercium jelas dan benar, saat mengecek gawai ada notifikasi kredit sebesar dua puluh juta. Namun tetap saja, melihat nomial yang begitu besar membuat Rindu hampir tersedak ludah. Ia kemudian berdeham sambil memasang ekspresi tenang. "Kamu udah cek nol-nya?"

"Kurang?" tanya Lanang tidak kalah tenang seraya menautkan jemarinya di atas perut.

Gila lo. Lebih dari cukup malah! Namun, Rindu memang harus terlihat seperti perempuan mata duitan kan. Jadi, ia hanya merespon dengan ulas senyum manis diikuti gelengan pelan.

***

Beruntung isi KRL pada jam tiga sore jurusan Bogor belum terlalu ramai. Rindu dan Lanang berangkat dari stasiun Kalibata. Tempat duduk di dalam kereta masih banyak yang kosong. Pencetus jalan-jalan dadakan yang baru diusulkan sebelum ke kantor Polres tadi adalah Rindu. Ia merasa harus ke Pondok Cina untuk berjumpa lagi dengan berbagai jajanan pinggir jalan favoritnya juga para pedagang di sana. Perut sudah tidak sabaran ingin menampung semua makanan enak yang nanti akan diborong, mumpung ada ATM berjalan alias Lanang yang menemani.

Lanang menghentikan langkahnya kala Rindu bergeming memperhatikan jalanan depan stasiun Pondok Cina. Ramainya orang yang berlalu-lalang telah terabaikan. Mereka akhirnya tiba di sana tanpa hambatan, cuaca pun sangat mendukung. Tautan jemari mereka belum terlepas. Semenjak keluar kereta Rindu menggenggam tangan Lanang sudah seperti seorang ibu yang sigap melindungi anaknya. Katanya, untuk berjaga kalau saja Lanang melakukan hal bodoh lagi, ia bisa langsung menjitak kepala pria itu.

Namun jawaban sebenarnya, sebab nyawa Lanang ada di genggaman Rindu. Hanya gadis itu yang boleh menentukan bagaimana Lanang mengakhiri hidup bahkan bila Tuhan tidak menghendaki, hanya Rindu yang berhak menjadi saksi akhir hidup pria itu.

"Kamu kenapa nangis?" Raut wajah Lanang sedikit menegang. Kuasanya yang bebas sigap memeriksa beberapa bagian tubuh Rindu.

Dengan tangan menutup hidung dan mulut, diikuti isak tangis tertahan, Rindu menggerakkan kepalanya pelan. "A-aku seneng banget... akhirnya bi-bisa jajan ke sini lagi."

Kening Lanang mengernyit seraya menyeka air mata Rindu dengan ibu jarinya kemudian beberapa detik menyimpulkan dengan pasti, hormon estrogen. Hanya alasan itu yang paling logis. "Red days?"

"Ba-Baru mau." Rindu mengeluarkan tisu lalu membuang ingusnya. Ia masih tersedu-sedu, merasa terharu bisa sampai di sana kemudian mengapit lengan Lanang sambil tersenyum lebar. "Ayo! Aku mau beli bang Ari eh maksudnya cilok bang Ari."

"Kita ngga bisa lama-lama ya, cuacanya cerah tapi panasnya menyengat. Nanti kamu bisa mimisan lagi." Lanang mencoba mengingatkan alias ucapan tak terbantahkan.

"Iya, Om bawel." Rindu menarik lengan Lanang yang memperlihatkan tonjolan-tonjolan otot miliknya. Tidak terlalu besar tetapi sangat menggoda saat dipandang, terbukti dari lirikan nyalang beberapa wanita yang melewatinya. Rindu pun berdecak pelan, seakan presensi dirinya tidak dipedulikan oleh para wanita itu.

Lanang hanya memakai kaus hitam polos lengan pendek dimasukkan ke dalam celana kain warna senada. Tidak lupa ikat pinggang andalan. Anehnya style agak kuno bila Lanang yang mengenakannya, jadi terlihat modis. Sedangkan Rindu memakai celana jeans longgar yang menutup hingga atas pusar agar terlihat tinggi dan atasan kaus crop top lengan pendek berwarna hitam. Rambut pun dibiarkan terurai.

Sekitar jalanan Pondok Cina adalah surga makanan bagi Rindu juga rumah yang menyambut dirinya sangat baik. Sepanjang jalan, beberapa pedagang menyerukan namanya. Mereka menyapa dengan ulasan senyum lebar di wajah mulai dari orang dewasa hingga anak kecil. Sudah seperti seorang bintang, sedangkan Lanang yang mendampingi terkesan seperti orang biasa yang tidak memiliki kepopuleran.

Dengan menggebu Rindu berlari kecil sambil meyeret Lanang ke arah gerobak bertuliskan Cilok Bang Ari. "Babaaang! Ciloknya dua kayak biasa!" Rindu berteriak senang, seperti bertemu kembali dengan kawan lama.

"Wih Neng Rindu ke mana aja? Pada nyariin noh." Ari tersenyum hangat seraya mengambil plastik transparan. Tangannya sangat lincah menjualkan pesanan, ada dua orang yang mengantri.

"Biasa, sok sibuk Bang. Nanti gue bakal mengobati rindu mereka dengan mampir satu-satu." Rindu terkikik senang.

"Eh, bareng sama si Abangnya juga." Ari pun tidak lupa menyambut Lanang. "Lah iya, kok udah peluk-peluk aje, katanya pas itu cuma temen. Begimane nih klaripikasinya."

"Klarifikasi," ulang Rindu. "Rumit jelasinnya. Intinya jodoh kan nggak ada yang tau ya Bang, eh ternyata dia jodoh gue."

Lanang yang dari tadi tidak banyak merespon, kini mengkerutkan alis penuh tanda tanya. Hampir saja kelepasan terbahak jika tidak ditahan. Seketika gawainya di dalam tas bergetar. Saat mengecek, ia bergeming cukup lama memperhatikan nama yang muncul pada layar, hingga sebuah tangan mungil menyahut cepat, mengambil alih benda persegi panjang itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top