20: Sudah Jatuh

Di dalam private lift­masih penuh dengan rasa curiga—Rindu memperhatikan access card pada genggaman. Usai penjelasan panjang lebar Lanang soal Dira di restoran tadi, tiba-tiba Rindu dipercayakan untuk membawa kunci akses dengan dalih sebentar lagi mereka resmi menikah. Katanya, Rindu akan menjadi istrinya adalah hal wajar untuk sekadar memegang benda pipih itu. Sudah seharusnya pula mulai terbuka dan membiasakan diri.

Namun jika jalannya semakin dipermudah begini, rasanya menguntungkan sekali bagi Rindu. Barangkali ada sesuatu yang bisa ia temukan di dalam apartemen Lanang. Soal apa pun itu. Lamunan Rindu teralihkan kala tangan Lanang menyelip pada pinggang, tubuh pria itu jadi sangat menempel denganya. Dengan perlakuan lembut, Lanang menyamai langkah ketika keluar dari lift.

"Kamu kenapa deh? Jujur, perasaanku sekarang nggak enak." Terang-terangan Rindu berkomentar disertai kernyitan pada kening.

Keduanya berhenti setelah berjalan beberapa langkah. "Lagi belajar jadi suami yang baik dan benar. Perlu aku jabarin lagi ngga? Nethink terus dari tadi." Anehnya kalau sedang bersama Rindu terkadang kesabaran Lanang bisa berubah menjadi setipis tisu.

"Bukan gitu. Rasanya aku pengen pulang ke indekos ...," seketika dalam hitungan detik semuanya menjadi gelap, "aja."

Rindu mengerjap, tiba-tiba saja mati lampu. Apartemen semewah itu blackout tanpa adanya pemberitahuan, dapat ia simpulkan demikian sebab seharian Lanang tidak menyinggung sama sekali soal itu. Semua diperkuat saat dirasa kehangatan tangan pria itu menghilang dari pinggang dan sebelah sisinya.

"Mas Lanang?" Di sana sunyi. Rindu agak panik bukan karena situasi yang gelap gulita, melainkan kondisi Lanang tanpa pencahayaan adalah kombinasi yang buruk. Buru-buru Rindu mengeluarkan gawainya. Suara napas tersengal dan ponsel terjatuh sungguh menimbulkan rasa khawatir.

Namun pergerakannya sempat terhenti, untuk apa Rindu merasa harus menolong?

***

Sekitar tempat Lanang berdiri keseluruhannya hitam. Hanya terasa kekosongan sebab bayang benda-benda di sana menyatu dengan kegelapan. Setelah mendapat pesan dari Chandra sore tadi, alamat lokasi yang kakaknya kirimkan berakhir di gedung perkantoran kosong; sudah tidak terpakai. Ia merasa sedikit aneh kakaknya memilih tempat seperti ini untuk bertemu dengan wartawan freelance. Mereka akan membicarakan soal artikel berita yang akan dikirimkan ke media. Lanang sendiri belum tahu detailnya, yang pasti mengenai keluarga Lakeswara.

"Jangan mendekat, baj*ngan!"

Remang-remang jauh di depan sana melalui cahaya yang masuk lewat jendela terbuka berhasil menyinari sosok pria tinggi menjulang. Tanpa sambutan hangat dan senyuman bodoh seperti biasa, ekspresi Chandra tampak tegang disertai peringatan kasar. Ia terpojok di depan meja kayu. Kedua matanya melotot ketakutan, pula sumpah serapah terucap tanpa henti.

"Ndra? Lo kenapa?" Lanang maju selangkah. Kuasa kanannya hendak menggapai sosok dihadapan, tetapi ia baru menyadari jika sedang menggenggam sebuah pistol. Sejak kapan? Hal itu pun memicu Chandra untuk mengeluarkan revolver gun dari dalam jas lalu diarahkan lurus pada Lanang.

"Bu Nina, cepat lari!" teriak Chandra kepada seseorang di belakang Lanang. Bersamaan dengan itu, suara letusan peluru yang memekikkan telinga menggema pada kesunyian ruangan. Entah berasal dari senjata yang Lanang genggam atau milik orang lain, yang pasti, tubuh Chandra seketika ambruk.

Jantung Lanang berpacu semakin cepat. Seakan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Suara dentuman pada dadanya yang kian menguasai diri seakan menyumbat pendengaran. Seketika semua indera gagal berfungsi kecuali penglihatan, bahkan guncangan pada tubuhnya oleh seorang pihak berwajib tidak membuatnya lekas merespon.

Lanang merasa kehabisan oksigen, tenggorokannya tercekat hingga samar-samar suara yang ia kenali meredam keributan yang terjadi. Kepalanya terangkat, perlahan ia kembali ke dunia nyata. Tidak lagi di sebuah ruangan dengan pencahayaan minim, tetapi lorong apartemen dengan lampu yang sudah menyala terang. Bau asap senjata pun tergantikan dengan aroma wangi parfum yang menyegarkan.

"Mas Lanang!" Rindu menangkup wajah Lanang. Keduanya kini terduduk di lantai. "Udah nyala lagi lampunya, tenang, oke? Ada aku. Coba napas pelan-pelan." Ia mencoba menenangkan sembari menyeka keringat pada kening pria itu dengan ujung lengan dress. Raut wajah kelewat khawatir terlihat sangat jelas.

Menurut, Lanang pun mulai mengatur napas. Sesekali terbatuk saat meraup udara sebanyak-banyaknya. Kedua tangan gemetar hebat, bersyukur rasa panik mulai mereda kala rengkuhan Rindu dengan lembut mampu mengendalikan suasana hati menjadi lebih baik.

"Nggakpapa, nggakpapa." Rindu mengelus punggung Lanang. Tak tahu kenapa kedua matanya terasa panas, hatinya pun berat melihat kondisi Lanang yang seperti itu. "Udah bisa berdiri belum ...? Masuk dulu yuk? Habis ini aku buatin teh anget ya?"

***

Kepulan asap melambung tinggi, berasal dari air panas yang Rindu tuangkan ke dalam cangkir transparan. Gawainya berbunyi. Terpaksa harus menjeda kegiatannya kemudian beralih mengangkat panggilan telepon.

"Assalamu'alaikum. Halo bu Padma?"

[Wa'alaikumsalam. Tadi kenapa miss call Rin? Maaf Ibu baru cek HP lagi.]

"Oh!" Rindu terkekeh pelan. "Maaf tadi kepencet bu. Rindu lupa kirim pesan." Semenjak pertemuannya dengan Padma di gerai Temu Kangen, keduanya menjadi semakin akrab. Wanita paruh baya itu sering mengabari jika ada menu baru. Sikapnya yang mudah bergaul dan ramah membuat Rindu betah untuk berkunjung. Merasa langsung nyambung ketika bercerita soal sesuatu, Rindu menganggap Padma sudah seperti saudara seumuran.

[Tapi kamu betulan nggak apa-apa ya Rin?]

"Nggakpapa kok bu." Rindu jadi merasa tidak enak. "Bu Padma, maaf senin besok Rindu nggak bisa mampir dulu karena pulang kerja ada acara, mungkin selasa atau rabu baru bisa datang."

[Iya, nggak apa-apa. Datang pas jadwalmu senggang saja, jangan dipaksakan. Eh, sudah dulu ya Rin, Ibu ada pelanggan nih.]

"Siap bu! Laris manis yaaa."

Panggilan pun usai. Senyuman pada bibir kembali mengendur. Rindu buru-buru menaruh gawai dan menuntaskan kegiatan yang tertunda kemudian mengantarkan jasmine tea kepada Lanang yang duduk di sofa.

"Terima kasih," ujar Lanang kala teh hangatnya tersaji di meja. "Senin besok ada acara apa?" Ia sudah lebih tenang sekarang, meski masih membutuhkan suatu pengalihan. Kedua tangannya bergerak terbuka dan tertutup untuk menghilangkan tremor yang menyerang.

"itu," Rindu perlahan duduk di sebelah Lanang seraya memutar otak, "ada acara makan malam sama ... bos."

"Pak Raga bosmu itu? Acara makan malam? Kok kedengarannya janggal."

"Memangnya kamu kenal sama bosku?" Ekspresi Rindu masih terlihat tenang. Lebih tepatnya menyembunyikan keterkejutan. Kuasanya lantas meraih tangan kanan Lanang. Menggenggam sembari menekan-nekan pelan bermaksud memijit.

"Perusahaan sering pakai dia sebagai notaris, kami sudah beberapa kali rapat untuk deal harga. Aku berani bertaruh pak Raga tipe bos yang lebih memilih memberikan uang untuk kalian jajan sendiri tanpa keterlibatannya." Lanang mendekatkan tubuh. Tangannya ganti menarik kuasa mungil Rindu untuk dikecup lembut.

Rindu pun memajukan tendas sembari berbisik, "Sok tau." Ia menyeka keringat Lanang yang masih bermunculan pada kening dengan ujung lengan dress. "Keringat dingin ya? Badannya udah enakan belum?"

"Sudah mendingan." Lanang memperhatikan kecantikan yang terpancar pada wajah Rindu. Bergeming sembari berpikir, apakah kebaikan itu hanya kulit terluar yang terbentuk karena maksud tertentu?

"Tadi ... kamu nyebut nama Chandra. Apa yang kamu liat?"

"Nanti ke polres sebentar ya, ngurus perkara Danu." Dengan sekali tarikan pada pinggang, berhasil membawa Rindu duduk dipangkuan Lanang. Saling berhadapan. Pria itu enggan menjawab pertanyaan. "Lalu besok ke kosan beresin barang-barangmu."

Masih berjarak, Rindu berpegangan pada pundak Lanang. "Yang pertama oke. Soal beresin barang-barang kayaknya kecepetan deh? Kita nikah masih lama."

"Tinggal beberapa bulan lagi. Kita harus ngurus banyak hal bareng."

"Bulan depan deh, gimana? Kosanku tuh jaraknya paling deket sama kantor, nggak sampai lima belas menit. Kalau dari apartemenmu kayaknya butuh waktu lebih dari setengah jam, kan lumayan." Rindu mengalungkan lengan pada leher Lanang sembari menggoyangkan badan ke kiri dan ke kanan; merajuk. "Ya, ya, ya?"

Sikap manis Rindu langsung ditangkis oleh pertahanan diri Lanang. "Nanti aku yang antar. Kamu harus bangun lebih pagi. Problem solved." Sederet kalimat barusan terdengar mutlak.

Rindu mengkerucutkan bibir. Manis pada rupa luntur seketika, terganti dengan ekspresi datar. Ia membalikkan badan—malas melihat wajah Lanang—kemudian bersandar pada dada bidangnya. Jika bersikeras sepertinya juga sia-sia. Bisa saja pria itu langsung memindahkan sendiri barang-barang Rindu tanpa sepengetahuannya.

"Sepertinya kamu benar-benar datang sebagai guardian angel. Sudah dua kali aku diselamatkan." Kaki Lanang perlahan bergerak ke kiri dan ke kanan hingga membuat kedua paha Rindu terbuka semakin lebar. "Tapi ada satu yang terlewat."

Rindu menengadah. "Apa?" Baginya, posisi seperti sekarang terasa sedikit canggung. Namun ketika maniknya bersirobok dengan milik Lanang, hatinya terasa berdesir pelan. Degup di dalam dada mulai berpacu lebih kencang.

"Hati," bisik Lanang semakin merendahkan tendas. Satu tangannya mengelus paha mulus Rindu lalu perlahan bergerak hingga pangkal paha. "Hatiku sudah jatuh."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top